Sabtu, 23 April 2016

SYIAR ISLAM DI KAMPAR KIRI

(ULASAN TENTANG ISLAM DI KAMPAR KIRI)
KUNTU DARUSSALAM: KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI RIAU
Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar yang terletak kurang lebih 85 km, di sebelah selatan Pekanbaru ibu kota Provinsi Riau. Desa Kuntu termasuk desa tertua di Propinsi Riau yang syarat dengan lembaran. Dalam buku Sejarah Minangkabau terbitan Bathara Jakarta tahun 1970, di katakan bahwa Kuntu termasuk Wilayah Minangkabau Timur (Kerajaan Kuntu Timur). Sejak abad ke-6 pedagang dari Gujarat India mengembangkan agama Budha di Kuntu. Ini dibuktikan dimana di Kota Tinggi (Sungai Sontan Kuntu) terdapat kuburan raja darah Putih dengan batu nisan bertuliskan huruf Kawi yang belum bisa diartikan oleh penduduk setempat, pada masa inilah Permaisuri Raja Putri Lindung Bulan menyebut daerah ini dengan sebutan “Kuntu Turoba” yang berarti aku dari tanah tempatku berpijak. Pada tahun 670-730 M, terdapat dua kerajaan besar yaitu Cina di timur (beragama budha Mahayana) dan Khalifah Muawiyah di barat (beragama islam) masing-masing hendak memonopoli perdagangan, menanamkan pengaruh ekonomi dan agama. Namun politik Muawiyah lebih berhasil dibanding Cina sehingga abad ke-8 agama islam (syi’ah) masuk dan berkembang di Kuntu. Dakwah pengembangan Islam terhenti selama 4 abad disebabkan Cina merasa terganggu kepentingan ekonomi dan pengembangan agamanya, maka Cina mengutus dua orang sarjana agama Budha yaitu: Wajaro Bodhi dan Amogha Bajra. Sejak saat itu, pedagang dari Arab dan Persi tidak datang lagi ke Kuntu Timur. Pada masa inilah apa yang diistilahkan “Apik Tupai, Panggang Kaluang” dimana pada saat itu penduduk kehilangan pedoman/tuntunan agama. Pada permulaan abad ke-7 sesudah Rajendra Cola dari India Selatan berhasil melumpuhkan Sriwijaya. Maka raja Palembang bernama Aria Darma mengirim surat ke Muawiyah meminta dikirimkan Ulama/mubaligh. Menindak lanjuti permohonan raja Palembang tersebut, maka Khalifah Muawiyah mengutus Syekh Burhanuddin. Yang akhirnya sampai ke Kuntu untuk mengembangkan Islam Mazhaf syafi’i kurang lebih selama 20 tahun. Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah penghasil lada dan menjadi rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri (Lipat Kain) Kabupaten Kampar. Kuntu di masa lalu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua. Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di Makkah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M. Dengan peninggalannya yang ada sampai saat ini: Sebuah stempel dari tembaga bertuliskan Arab “Syekh Burhanuddin Waliyullah Qodi Makkatul Mukarramah” dan Sebilah Pedang, tongkat, sebuah kitab Fathul Wahab dan sebuah Khutbah. Sejak masuknya Syekh Burhanuddin di Kuntu mengembangkan islam Mazhaf Syafi’i, Islam Syi’ah yang datang sebelumnya ke Kuntu kehilangan kekuatan politik dan mundur pada tahun 1238 M. Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan. Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al-Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu. Sumber : http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang Syekh Burhanuddin (Dai Islam) Sebelum masuknya agama Islam ke daerah Riau, tidak ada seorangpun dari penduduk Riau yang memegang agama tauhid. Agama penduduk asli adalah anismisme yang percaya ruh nenek moyang dan para leluhur, kemudian menyusul pada sebagian penduduk mereka yang beragama Budha dan sekali berkembang menjadi Hindu-Budha. [2] Nah dalam kesempatan ini , agar lebih jelas pembahasan masuk Islam ke Riau dibatasi kepada beberapa daerah, yaitu: Kuntu-Kampar, Rokan, Kuantan, Indragiri, danTaqpung. Menurut Sejarah Riau, Kuntu-Kampar adalah daerah pertama-tama di Riau Daratan yang berhubungan dengan orang-orang Islam (pedagang). Hal ini dimungkinkan karena sejak zaman bahari daerah ini telah berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari negeri Cina, India, dan Arab-Persia. Hubungan tersebut didasarkan oleh kepentingan perdagangan, karena daerah lembah sungai Kampar Kanan/ Kiri merupakan daerah penghasil lada terpenting di dunia dalam periode 500-140 M. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau daerah Kuntu-Kampar yang mula-mula dimasuki agama Islam. Berdasarkan perjalanan para penyiar agama Islam yang dating sebagai pedagangitu, maka besar kemungkinan pada abad pertama hiriah atau abad ke-7 M agama Islam itu mungkin telah sampai di Riau, sebagaimana juga disimpulkan oleh seminar masuknya islam ke nusantara di Aceh tahun 1980. [3]Meskipun Islam telah masuk pada abad ke 7 atau 8 Masehi di Riau, namun penganut agama ini masih terbatas di lingkungan para pedagang dan penduduk kota di pesisir pantai tersebut. Hal ini disebabkan karena kuatnya pengaruh agama Budha yang merupakan agama Negara dalam kerajaan Sriwijaya waktu itu. Dari Kuntu, Islam diperkirakan menyebar ke Rokan dalam tahun738/ 1349. saat mereka dating ke daerah ini, Rokan sudah memiliki kehidupan bermasyarakat yang teratur, dipimpin oleh seorang raja yang berkedudukan sebagai primus interperes bernama Raja Said. Masuknya pelarian-pelarian Muslim dari Kuntu berhasil membawa pengikut-pengikut Raja Said memeluk Islam, danbahkan Raja Said sendiri akhirnya menjadi penganut islam yang baik. Di sampaing di atas, terdapat pula pendapat-pendapat lainnya, ada yang menyatakan Islam di Rokan berasal dari Lima Koto (Bangkinang,Kuok, Salo, Rumbio dan Air Tiris) yang terletak di tepi Sungai Kampar Kanan. Menurut Prof.DR.Mhd.Yunus dalam Sejarah Pendidikan Islam Indonesia mengatakan bahwa nama Burhanuddin ada tiga orang yaitu: 1. Burhanuddin di Ulakan Pariaman (Sumatra Barat). 2. Burhanuddin di Aceh Darussalam (Aceh). 3. Burhanuddin di Kuntu Kampar Kiri (Riau). Berdasarkan penelitian dan pengamatan kami, maka saya(Prof.DR.Mhd.Yunus) berkeyakinan bahwa Syekh Burhanuddin yang sebenarnya datang dari Arab adalah yang wafat di Kuntu pada tahun 610 H/1189 M. sesuai dengan peninggalannya yang ada sampai saat ini: 1. Sebuah stempel dari tembaga yang dawatnya asap lampu togok bertuliskan Arab "Syekh Burhanuddin Waliyullah Qodi Makkatul Mukarramah". 2. Sebilah Pedang, tongkat, sebuah kitab Fathul Wahab dan sebuah Khutbah. Sejak masuknya Syekh Burhanuddin di Kuntu mengembangkan islam Mazhaf Syafi'i, Islam Syi'ah yang datang sebelumnya ke Kuntu kehilangan kekuatan politik dan mundur pada tahun 1238 M. Dinasti Iskandar Zulkarnain di Minangkabau Pada tahun 1921, Resident Westenenk menyelesaikan tulisannya yang tidak untuk umum dan yang bernama : De Hindu Javanen In Midden En Zuid Sumatra. Dia mencapai kesimpulan bahwa : 1. Akhir Abad Ke-XIII : Agama Hindu Jawa datang di Minangkabau. 2. Medio Abad Ke-XIV : Masa jaya dari Kerajaan Pagarruyung Minangkabau dibawah Raja Adityawarman. 3. Permulaan Abad Ke- XVI : Agama Islam masuk di Minangkabau. 4. Sejak Medio Abad Ke- XVI : Yangdipertuan Raja Alam Pagarruyung Minangkabau, semuanya ber-Agama Islam. Akan tetapi : Di Minangkabau Timur ada kuburan-kuburan Islam, yang bertahun Hijriah, dan yang bertanggal dari sebelum 1300 Masehi. Membenarkan cerita-cerita Sultan (Radja Islam) para keturunan dari Iskandar Zulkarnain, yang katanya memerintah di Alam Minangkabau sebelum Radja Pagarruyung yang ber-Agama Hindu Djawa. Artinya : Sebelum masa jaya dari Keradjaan Modjopahit di Pulau Djawa, yang mendirikan Keradjaan Pagarruyung di Pulau Andalas, sebelum tahun 1350. Sedangkan Iskandar Zulkarnain adalah Alexander The Great, yang memerintah 336 – 323 Sebelum masehi, Raja Yunani macedonia yang merebut Persia, Gandara, Gudjarat. Tidak pernah merebut Alam Minangkabau !! Bikin binggung Resident Westenenk. “Geen touw aan vast te knoopen”, begitulah dia berpendapatan. Resident Westenenk contacted teman sejawatnya Resident Poortman nearby di Djambi, yang sedang asyik melakukan Fieldwork Fact Finding perihal “Pamalayu Expedition”. Tentara Singosari 1275 – 1292 merebut Darmasraya Djambi. Resident Poortman kebetulan sekali sudah terlebih dahulu menemukan di dalam tulisan-tulisan peninggalan Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty (976 – 1168), bahwa : Di jazirah Gudjarat India, hampir semuanya orang Islam Mazhab Sji’ah claimed to be descendants of Alexander The Great, yang disitu disebutkan “Iskandar Zulkarnain”. Eureka !! Resident Poortman segera mencurigai orang-orang Cambay Gudjarat, yang sebelum 1350 datang berdagang ke Minangkabau dan disitu menjadi origin dari Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty. Resident Poortman kemudian bertahun-tahun lamanya doggedly melakukan pekerjaan “Detective Sejarah”, scrutinizing tulisan peninggalan Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty, Kesultanan Mesir Mamaluk Dynasty, Kesultanan Aru Barumun, Kesultanan Allahad India (yang menguasai jazirah Gudjarat sesudah Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty dan sebelum Kesultanan Dehli India, Tiongkok Yuang Dynasty, Tiongkok Ming Dynasty, dan entah mana lagi. Disamping itu Resident Poortman berjalan kaki melakukan Fieldwork Fact Finding di daerah hulu dari Sungai Batanghari, Kuantan, dan Kampar, daerah-daerah yang oleh Resident Westenenk disebutkan : “Waarmensch en tijger buren zijn”. Jelasnya : Lebih banyak macam daripada manusia. Hasilnya sangat mengagumkan, perihal : Sultan Djohan Djani The Sophisticated Buccaneer, dan perihal : Sultan Malik Ul Mansur The History Corruptor. Lebih phantastic daripada fiction !! Kuburan-kuburan Sultan di Kampung Kuntu Pada tahun 1927, Resident Poortman mengadakan Survey (Fieldwork Fact Finding), perihal kuburan Islam bertanggal dari sebelum tahun 1339, yang di waktu itu masih sangat banyak di rimba-raya Minangkabau Timur. Di sekitar Bangkinang di tepi Sungai Kampar Kanan, Resident Poortman menemukan Kuburan Islam yang tertua di Minangkabau. Yakni bertanggal 521 H (1128 M) Di dekat kampung kuntu di tepi Sungai Kampar Kiri, Resident Poortman menemukan 90 kuburan Islam. 12 diantaranya, masih dapat dibaca oleh Resident Poortman. Termasuk 4 kuburan Sultan-sultan. Di kampung Kuntu, Resident Poortman menemukan pula runtuhan Mesjid yang terbuat dari bahan yang sangat kuat yaitu batu pualan. Oleh penduduk asli setempat treruntuhan Mesjid dan kuburan Sultan yang di Kuntu Kampar itu, sedikitpun tidak dihiraukan. Malahan disebut “Kuburan Keling”. Rupa-rupanya masih ada pertentangan, dari penjajahan asing oleh orang-orang Cambay Gudjarat, yang ber-Agama Islam Mazhab Syi’ah. Sedangkan orang-orang Minangkabau Timur, kini adalah ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i. Karena Conjuncture Tinggi Dagang Karet sebelum tahun 1930, maka : Rimba raya di Minangkabau Timur diubah menjadi kebun-kebun Karet Rakyat. Bukannya orderly rubber plantations, akan tetapi : Wild and dense rubber jungles. Penuh harimau-harimau karena harimau suka memakan biji-biji karet dan Harimau suka memakan babi. “Kuburan Keling” di Minangkabau dalam bahaya kepunahan karena dibongkar oleh akar-akar pohon karet. Lebih parah lagi, Para penyadap pohon-pohon karet sering mengambil batu-batu dari “Kuburan Keling”, untuk digunakan membanting rubber slans, Batu-batu itu adalah batu pualam (marmar putih) : bekas impor dari Gudjarat India. Di sebelah atas ada kaligrapifi berbahasa arab yang sangat indah. Akan tetapi di sebelah bawah masih ada ukiran-ukiran Hindu Shiwa. dengan demikian jelas bahwa batu-batu Pualam tersebut berasal dari candi Hindu di Gudjarat India. Kuburan-kuburan Islam Mazhab Syi’ah di Minangkabau Timur, yang bertanggal 1128 – 1339M Perlu diselidiki oleh para Ahli-ahli Sejarah serta para Ahli Islamologi Indonesia. Walaupun mereka itu ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i dan kira-kira dianggap “Kafir”. Haraplah dia itu tidak seperti pendudukasli Minangkabau Timur, menggunakan istilah “Kuburan Keling”. Agar supaya : Mudah-mudahan dilanjutkan usaha dari Resident Poortman 1927 – 1931, menyelidiki Kuburan Islam yang sudah ada di Minangkabau Timur sebelum Kerajaan Pagaruyung Minangkabau yang ber-Agama Hindu Jawa. Insya Allah terlaksanalah kiranya. Meneruskan Jejak Syeikh Burhanuddin Kuntu Ponpes Salafiyah Syekh Burhanuddin Kuntu, Kampar Kiri, Kampar, Riau Di tengah mahalnya biaya pendidikan sekolah, Ponpes Salafiyah Syekh Burhanuddin Kuntu bisa menjadi pilihan untuk menimba ilmu di Tingkat Wustho (setingkat MTs/SMP) dan di Tingkat ‘Ulya (setingkat MA/SMA). Karena di samping fasilitas dan kurikulum pendidikannya mendukung anak untuk menguasai agama, pengetahuan umum dan ketrampilan, orang tua pun tidak direpotkan memikirkan biaya. Karena semuanya gratis! Sedangkan operasional ponpes didapat dari infak, shadaqah warga sekitar, kaum Muslimin di mana saja yang mau berbagi, unit usaha ponpes dan juga dari pemerintah. Sejarah Miris melihat warga Kampar Kiri banyak yang tidak mendalami dasar-dasar ajaran Islam secara intensif, serta bagi yang ingin memperdalam pun harus nyantri jauh-jauh ke luar Kampar Kiri, maka ulama Kampar KH Angku Mudo Djamarin (almarhum) pada 1 Februari 1973 mendirikan pondok pesantren yang diberi nama Ponpes Salafiyah Syekh Burhanuddin Kuntu. Nama tersebut diambil untuk mengenang jasa ulama besar asal Mekah yang menyebarkan agama Islam selama 20 tahun di Sumbar dan Riau hingga wafat dan dikebumikan di Kuntu, Kampar Kiri pada 1191 Masehi. Sejak didirikan, Ponpes ini mendapat dukungan positif, baik moral maupun materil dari Pemda dan lapisan masyarakat sekitar, sehingga mengalami kemajuan yang sangat menggembirakan. Hanya saja ketika pemerintah mengetahui KH Angku Mudo Djamarin yang berstatus pegawai negari sipil (PNS) itu tidak mau masuk dan menyoblos (Partai) Golkar, Ponpes tidak mendapatkan dukungan. “Sehingga banyak tekanan dan tidak ada bantuan dari pemerintah sampai masa Reformasi 1998,” ungkap Pimpinan Ponpes Syekh Burhanuddin Kuntu KH Ahmad Junaidi Djamarin. Fasilitas dan Kurikulum Ponpes yang berada di Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar Provinsi Riau memiliki lahan empat hektar. Sedangkan yang sudah diisi bangunan baru dua hektar. Bangunan tersebut di antaraya berupa masjid, mushala, gedung lokal belajar, kantor, asrama santri putra, asrama santri putri dan juga tempat tinggal para guru ponpes. Jumlah santri pada awal berdiri 30 orang dan saat ini berjumlah 700 orang—termasuk tingkat Wustho (setara MTs) dan tingkat Ulya (setara MA). Setiap santri yang menimba ilmu tidak dipungut biaya. Ponpes ini memadukan pendidikan agama, pendidikan umum dan keterampilan. Selain mendapatkan perpaduan kurikulum tersebut, santri pun dididik agar memiliki ketrampilan berdakwah yang mumpuni dan belajar kitab kuning. Untuk mendukung tujuan tersebut maka Ponpes membuka tiga program yang menjadi ciri khas Ponpes ini. Pertama, Takhassus (Program khusus). Untuk mempertajam kemampuan kurikulum ilmu alat Bahasa Arab (Nahwu,Sharaf, Ushul, Fiqhi, Mantiq dan Balaghah), kepada siswa diberikan pelajaran tambahan dengan sistem halaqah yang dibina oleh guru-guru tua. Tradisi ini tetap dipertahankan sebagai identitas Pondok Pesantren Sykeh Burhanuddin Kuntu. Kedua, program bahasa Arab dan bahasa Inggris aktif. Dengan improvisasi kurikulum dan pola pengajaran intensif dan Ta’limul Lugah Arabiah, maka 1 tahun siswa diharapkan mampu berbahasa Arab dan Inggris aktif. Dan melalui diklat dan kursus, dalam bidang ini, Ponpes telah mengakader guru melalui kursus. Ketiga, program Hifzul Ayat. Bagi santri diharuskan menghafal 2 Juz setiap tahun. Sedangkan ketrampilan yang diajarkan agar setamat Ponpes bisa mandiri adalah agrobisnis, perkebunan, pertanian, perikanan dan peternakan, kursus komputer dan menjahit. Santri Ponpes pernah juara umum Musabaqoh Qiraatul Kutub tahun 1999 tingkat Kabupaten, Juara I tilawah. Dan hampir mayoritas khatib Jumat di Kampar Kiri adalah santri alumni Syekh Burhanuddin Kuntu. Hingga sekarang Ponpes telah meluluskan sekitar 1.665 alumni yang tersebar di berbagai daerah di Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Mereka berkiprah di berbagai bidang dan tidak sedikit pula yang membuka pesantren. Ada juga yang melanjutkan menimba ilmu ke Al Azhar Kairo, ada yang ke Jawa seperti Yogyakarta dan Jakarta. Ada yang masuk kelas Internasional UIN Suska Riau, dan melanjutkan di Unviersitas Riau dan Universitas Islam Riau.[] apri siswanto/joy BOKS KH Ahmad Junaidi Djamarin, Pimpinan Ponpes Syeikh Burhanuddin Syariah untuk Kemashlahatan Muslim dan Non Muslim KH Ahmad Junaidi Djamarin menyatakan syariah Islam wajib ditegakkan hingga ke level negara. “Karena syariat Islam wajib dan perlu untuk kemaslahatan umat Islam dan non Islam,” tegas lelaki yang pernah aktif di Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU) tersebut. Makanya lelaki kelahiran Batu Bersurat, 1 Januari 1970, menyatakan mendukung semua kelompok yang berjuang untuk menerapkan syariah Islam kaffah. Tak aneh pula bila ia juga mendukung perjuangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan tegaknya syariah dalam naungan khilafah. Hanya saja kyai yang pernah kuliah di Universitas Al Azhar Kairo tersebut mengaku merasa perlu belajar lebih banyak lagi tentang sistem pemerintahan Islam. Karena ada hal-hal yang memang belum dipahaminya secara detail bagaimana khilafah mengimplementasikan syariah kepada masyarakat yang multietnis, agama dan ras. Ia berharap di sisi itulah HTI dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci terkait hal itu. “Karena saya dan juga masyarakat secara umum masih awam mengenai masalah itu,” akunya.[]apri siswanto/joy Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjung Pinang | Sebuah situs Direktorat Jenderal Kebudayaan...

SYEKH BURHANUDDIN ..WALIULLAH QADI MEKKAHTULMUKARRAMAH

SYEKH BURHANUDDIN KAMPAR KIRI
Masuknya Islam ke Minangkabau Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Kedatangan Islam ke Nusantara, berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi, bahwa Islam datang ke Nusantara berasal dari Arabia pada abad pertama Hijri atau pada abad ke 7 Masehi. Para ilmuan telah menyepakati ini pada seminar yang diselenggarakan pada 1969. Azra menulis, teori ini mematahkan teori-teori yang menyebutkan Islam datang ke Nusantara berasal dari India dan Gujarat pada abad ke-12 atau 13 Masehi. [1] Kedatangan Islam yang langsung dari Arabia, sebagaimana diungkap Marrison membantah teori sejumlah sarjana Belanda, yang memegang keyakinan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari anak benua India dan Gujarat. Bantahan Marrison ini didasarkan kepada fakta, bahwa pada sa’at Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya yang wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah 1 tahun sesudahnya Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Dalam pandangannya, para pedagang Arab yang dominan dalam perdagangan Barat-Timur pada abad pertama Hijri atau abad 7 Masehi, juga menyebarkan Islam pada setiap daerah yang disinggahinya yang di antaranya adalah Nusantara.[2] Teori Islam yang datang langsung Arabia juga dipegang oleh Crawfurd, serta Niemann dan de Hollander dengan sedikit merevisi pendapat Kejzer yang mengatakan Islam Nusantara datang dari Mesir dengan alasan kesamaan mazhab fiqih. Niemann dan Hollander berpandangan dan menegaskan bahwa Islam Nusantara bukan datang dari Mesir, akan tetapi dari Hadhramawt. Teori ini juga dikuatkan oleh Naquib al-Attas.[3] Berdasarkan pandangan para sejarawan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara adalah pada abad 7 M / 1 H yang langsung datang dari Arabia, sedangkan konversi besar-besaran penduduk Nusantara berlangsung pada abad 13 M. Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, A.H Johns mengemukakan dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan pengaruh besar dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa para sufi pengembaralah yang terutama melakukan penyebaran Islam dan berpengaruh besar terhadap Islamisasi besar-besaran penduduk Nusantara. Faktor utama keberhasilan para sufi ini adalah kemampuan para sufi menampilkan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontiniutas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktek keagamaan lokal secara radikal. [4] Alasan yang dipakai Johns adalah banyaknya ditemukan sumber-sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik mereka secara rinci adalah, “ Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan , sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan; mereka siap memelihara kontiniutas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsure-unsur kebudayaan pra Islam dalam konteks Islam”. Johns menguatkan hujjahnya bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri dominan dalam perkembangan dunia Muslim sampai jatuhnya Bagdad ke tangan lascar Mongolia pada 656/1257. Sebagimana juga Gibb yang mencatat bahwa setelah kejatuhan Bagdad, kaum sufi memainkan peranan kian penting dalam memelihara keutuhan dunia Muslim dengan menghadapi tantangan kecendrungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistic Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi intitusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawa’if) , yang turut membentuk masyarakat urban. Lebih awal perkiraan ini, Bulliet menyatakan bahwa pada abad ke 10 dan 11ketika Bagdad mengalami kemerosotan, tokoh-tokoh sufi banyak melakukan perpindahan dan pengembaraan ke berbagai wilayah yang ia kenal. Hal inilah yang diistilahkannya dengan kebangkitan para ulama akan kesadaran mereka tentan krusialnya peran mereka dalam menyebarkan dan memelihara keutuhan pengaruh Islam.[5] Hodgson menyebutkan telah terjadinya internasionalisasi “universalisasi” Islam Sunni pada pada abad ke 11. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ulama Sunni Bagdad bagian barat yang melakukan pengembaraan. Lebih mencolok katanya, di Persia dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah yang menyebabkan bertumbuhnya Syi’ah di Persia. Migrasi ini ikut ambil andil besar dalam proses konversi besar penduduk yang mendiami anak benua India dan Eropa Timur dan Tenggara dan Nusantara pada abad 10 dan akhir abad 13.[6]
Dalam konteks Minangkabau, kedatangan Islam diperkirakan oleh para sejarawan juga sudah berlangsung mulai pada abad ke 7 M. Kedatangan ini melalui jalur timur sumatera atau Minangkabau Timur yang terhubung dengan selat Malaka. Sementara melalui jalur pantai barat sejarawan baru memperkirakan pada abad 16/17 M walaupun dibantah oleh beberapa ahli karena tidak sesuai dengan beberapa fakta yang diungkap oleh temuan penelitian para sejarawan. Teori jalur timur didasarkan kepada intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dilayari oleh para pedagang termasuk pedagang Arab untuk mendapatkan komoditi lada dan emas. Intensifnya jalur dagang ini malah dipandang sudah berlangsung berabad-abad bahkan sebelum kelahiran agama Islam. Pelayaran ke selat Malaka ditempuh melalui lembah Sinamar di sekitar Buo dan Sumpur Kudus, melintasi Silukah, Durian Gadang menuju sungai Indragiri atau melintasi Padang Sarai yang terletak di jalur anak sungai Kampar Kiri. [7] Perebutan monopoli perdagangan lada antara kekhalifahan Umayyah dan Dinasti T’ang mendorong pedagang-pedagang muslim untuk mengambil langsung komoditi lada dari wilayah Minangkabau Timur.[8] Kesimpulan masuknya Islam ke Minangkabu pada abad ke 7 M ini juga lahir pada seminar masuknya Islam ke Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1969.[9] Sumber lain menyebutkan Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis: " Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku.". (Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz)[10]. Sumber di atas menggambarkan bahwa hubungan diplomatik Nusantara dengan Dinasti Umayyah sudah terjalin mulai dari abad ke 8 M atau bahkan sudah mulai dari abad ke 7 M. Sebagaimana ditulis Mas’ud Abidin, awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam. Bahkan J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab. [11] Sedangkan asumsi masuknya Islam ke Minangkanau melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad 16/ 17 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada masa ini pengarug kekuasaan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasaan Samdera Pasai) sangat besar. Intensifnya perkembangan Islam pada masa inilah dinilai oleh beberapa kajian peneliti dijadikan sebagai dasar kajian masuknya Islam ke Minangkabau yang sering dihubungkan dengan Syekh Burhanuddin Ulakan ( 1066 H/ 1646 M – 1111 H/ 1691 M ) yang merupakan murid Syekh Abdurrauf Singkel. Burhanuddin Ulakan lakan belajar di Aceh kepada Abdurrauf selama 10 tahun. [12] Syekh Burhanuddin Ulakan meninggal + dalam usia 45 tahun dan dipandang sebagai penggagas pendidikan dengan menjadikan Surau sebagai model dan sentralya. Dalam konteks peranan Burhanuddin Ulakan sebagai pembawa agama Islam ke Minangkabau ini, melalui fakta-fakta sejarah telah dibantah oleh Mahmud Yunus. Pertama, Mahmud Yunus mengemukakan alasan bahwa sebelum belajar di Aceh kepada Abdurrauf Singkel, Burhanuddin telah terlebih dahulu belajar di kampung halamannya kepada beberapa orang guru. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah berkembang sebelum Burhanuddin. Fakta kedua menjelaskan bahwa ada tiga muballig Minangkabau yaitu Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro pergi menyiarkan Islam ke Sulawesi pada tahun 1603 M yang pada saat itu Burhanuddin belum lahir. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam sudah berkembang di Mingkabau sebelum Burhanuddin. Berdasarkan ini, Mahmud Yunus berkesimpulan bahwa Burhanuddin Ulakan bukanlah pembawa Islam pertama ke Minangkabau, namun diakuinya bahwa Burhanuddin adalah orang yang pertama mendirikan lembaga pendidikan Surau secara teratur dan tersistem sebagaimana mengikuti pola dan sistem pendidikan gurunya Abdurrauf Singkel di Aceh.[13] Ketiga, Mahmud Yunus juga mengungkapkan tentang adanya tokoh Burhanuddin di Kuntu Kampar Kiri yang wafat pada tahun 610 H/ 1191 M yang dipandang jauh lebih awal dari pada Burhanuddin Ulakan. Menurut Mahmud Yunus, Burhanuddin Kuntu mula-mula mengajar di Batu Hampar dan menetap di sana selama 10 tahun, kemudian pindah ke Kumpulan (dekat Bonjol) dan mentap selama 5 tahun, dari Kumpulan beliau pergi ke Ulakan Pariaman dan mengajar selama 15 tahun, sampai akhirnya pergi ke Kuntu Kampar dan mengajar selama 20 tahun sampai beliau meninggal pada tahun 1191 M dan dimakamkan di Kuntu.[14] Peranan Burhanuddin Kuntu ini dalam islamisasi kerajaan Pagaruyung juga diungkap oleh Imam Maulana Abdul Manaf dalam Kitab Muballigul Islam sebagaimana dikutip Irhash Shamad.[15] ________________________________________ [1] Azra, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Penerbit Mizan, Cet II, 1994) [2] Azra, ibid., Untuk menguatkan pendapatnya, Azra mengutip tulisan T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A. History of the Propagation of the Muslim Faith, ( London: Constable, 1913) [3] Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, al-Attas beralasan bahwa adanya impor batu Nissan dari Gujarat ini lebih didasarkan karena dekatnya jarak geografir kedua daerah ini lebih dekat ketimbang Arabia. Lihat Azra, [4]. Lihat Azra, Ibid., dan A.H. Johns, “Sufism as a category in Indonesion Literature and History:, JSEAH, 2, II, 1961 Lihat pula H.A.R Gibb, ´An Interpretation of Islamic History II”, MW,45,II, 1955, h. 130 dan R.W. Bulliet, “Conversion to Islam and the Emergence of a muslim Society in Iran”, dalam Levtzion (penj), Conversion to Islam [5] Ibid [6] Lihat Azra, op.cit.,h. 35-36, dan M.G.S. Hodgson, The Venture of Islam, II Chicago: University of Chicago Press, 1974, h. 1-368. [7] Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, (Jakarta: Tintamas, 2007), [8] Mansoer, dkk., Sejarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 44-45 [9] Seminar diselenggarakan atas kerjasama Center for Minangkabau Studies, LKAAM dan BKPUI di IAIN Imam Bonjol Padang yang dihadiri oleh 268 peserta. Peserta yang hadir di antaranya Hamka, Zakiyah Darajat, Mukti Ali, Sidi Gazalba, Ibrahim Buchari, Amura, M.O Parlindungan, Alfian, Zuber Usman, Muhammad Rajab, MD. Mansoer, dll. Lihat Irhash A. Shamad , op cit., h. 26 [10] Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. 2006. [11] Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaituMalayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Masuknya Islam pada masa itu menimbulkan persaingan perdagangan sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing. Sebagaimana pernah terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut Sriwijaya dengan pedagang Islam di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya menuju pesisir timur dan barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara saudagar Islam dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam Syiah (840 M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni. Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak. Setelah itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan dengan Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan Majapahit menang sejak tahun 1477 M. Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke tangan Majapahit sampai akhirnya Majapahit lemah setelah raja Hayam Wuruk meninggal. Semenjak itu pula kerajaan Pagarruyung diperintah oleh Adityawarman. Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai, masing-masingnya menjadi kota dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam berkembang sampai ke Pantai Barat Minang. Akan tetapi, dinamika perkembangan dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering terjadi pertentangan mazhab Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat Malaka. Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam. Sementara Yang Dipertuan Adityawarman masih memeluk Budha. Baca, Mas’ud Abidin, Piagam Sumpah Sati Bukik Marapalam, http://www.pandaisikek.net/ , (Download tgl. 30 September 2012). [12] Irhash A. Shamad, ibid., [13] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979) cet. II., [14] Sebagai peninggalan Burhanuddin Kuntu, didapati sampai sekarang sebuah stempel dari tembaga dengan tulisan Arab, sebelah pedang, sebuah kitab yang bernama Fathul Wahab karangan Abi Yahya Zakaria Anshari. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Ibid.,. Pada sumber lain juga dijelaskan bahwa Burhanuddin Kuntu sebagaimana hasil penelitian Darusman yang dikutip Irhash Shamad diceritakan bahwa Burhanuddin Kuntu sering mengunjungi pemuka massyarakat untuk kepentingan dakwahnya. Diceritakan juga, mula-mula Burhanuddin Kuntu menetap di rumah seorang pemuka masyarakat yang bergelar Datuk Makhudum. lihat Irhash A. Shamad, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, op cit., Baca juga, Darusman, Syekh Burhanuddin dan Pengembangan Islam di Kuntu Kampar Kiri Abad XIII, (Skripsi), (Padang: Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN IB Padang, 1994), [15] Irhash Shamad, Islam.

SEKELUMIT HIKAYAT BERDARAH PERANG SINGINGI-SUBAYANG

HIKAYAT PERANG SINGINGI SUBAYANG (POGHANG SOSAE) Perang Sosae atau Perang Singingi-Subayang merupakan suatu episode sejarah yang pernah terjadi di pengujung abad ke 18 masehi di rantau kampar kiri. Data-data tentang konflik yang berujung perang saudara ini ada terdapat dalam laporan pemerintah Kolonial Belanda, diantaranya laporan asisten residien Du Puy. Disana disebutkan adanya konflik social yang terjadi di rantau kampar kiri sebelum Kolonial Belanda menguasai kerajaan Gunung Sailan pada Tahun 1901 masehi, melalui perjanjian pendek atau Korte Verklaring. Di akhir abad ke-19 Masehi, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sailan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik Rantau Setingkai, dan daerah Singingi masuk keresidennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sailan. Konflik ini melibatkan Kerajaan Gunung Sailan dan Masyarakat Adat Antau Singingi serta keluarga Kerajaan Pagaruyung yakni Putri Reno atau Yang dipertuan Gadis serta Pemerintah Kolonial Belanda. Konflik ini juga berkait dengan penguasaan kekayaan alam tambang emas di Logas Singingi. Pada tahun 1907 Tengku Abdul Jalil Yang dipertuan Hitam, mengajukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial bahwa Singingi adalah bagian dari Kerjaaan Gunung Sailan. Bukan daerah Taklukan yang dipertuan Gadis Kerajaan Pagaruyuang. Konflik bermula dengan adanya kesepakatan masyarakat antau Singingi yang diikuti oleh masyarakat kenegerian Kuntu beserta yang dipertuan Gadis Pagaruyung untuk berdiri sendiri sebagai kerajaan dibawah yang dipertuan Gadis Pagaruyung. Kesepakatan ini ditolak oleh masyarakat antau Sibayang kampar kiri, yang mengakui bahwa antau Singing termasuk Kuntu adalah wilayah defacto dan deyure dari kerajaan Gunung Sailan. Bukan wilayah merdeka dibawah yang dipertuan Gadis Pagaruyung. Perang pertama sekali terjadi antara Dubalang Subayang di negeri Kuntu. Negeri kuntu pada waktu itu berpihak kepada Yang dipertuan gadis Pagaruyung bersama Singingi. Sehingga wilayah Andiko di hulu subayang terpecah dengan wilayah pusat kerajaan di Gunung Sailan. Untuk itu diutuslah Datuk Godang Khalifah Songgan ke Daulat Raja Gunung Sailan untuk membahas hal tersebut. Maka setelah musyawarah terjadi, keputusannya lahirlah titah perang terhadap yang dipertuan Gadis di Singingi. Dubalang Subayang kemudian merebut kembali Negeri Kuntu, kemudian melakukan penyerbuan ke Koto Tinggi di antau singing, maka pecahlah perang Singingi-subayang. Perang saudara ini kemudian terjadi berlarut-larut, seingga menurut laporan dari belanda, menimbulkan malapetaka dan penderitaan bagi rakyat di kedua belah pihak, terutama masyarakat singingi. Pertempuran antara kedua pihak terjadi di wilayah logas/loge dimana dubalang subayang di pimpin oleh datuk Sigha Mato dari Dubalang Raja Gunung Sailan Khalifah Songgan. Sementara Dubalang Singingi di Pimpin oleh Datuk Tumenggung Logas. Dalam perang singing-subayang ini, secara kekuatan militer laskar Dubalang Subayang berhasil menguasai kembali negeri Kuntu sampai ke Logas Singingi. Akhir dari peperangan ini kemudian masuknya intervensi Pemerintah Belanda dalam penguasaan Tambang emas di Logas, kemudian diikuti deNgan terbunuhnya puti reno Yang dipertuan Gadis di Antau Singingi. Sementara logas jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda, dimana belanda kemudian membuka tambang emas di logas. Sementara status antau singing menjadi wilayah sendiri tanpa bertuan kepada siapapun baik Gunung Sailan Maupun Pagaruyung. Dengan kata lain menjadi daerah Direcrule (Daerah yang dikuasai lansung oleh pemerintah Kolonial Belanda). Walaupun secara adat Datuk Jalo Sutan Khalifah Singingi masih mengaku beraja Kegunung Sailan.

SEKELUMIT HIKAYAT ADAT LUAK BATU SONGGAN KAMPAR KIRI

HIKAYAT NEGERI BATU SONGGAN Negeri Batu Songgan adalah suatu komunitas adat yang terletak di sepanjang sungai batang sibayang kiri, negeri batu songgan adalah negeri tertua untuk luak tersebut . disana tempat berkedudukan Datuk Godang Khalifah Luak Batu Songgan. Sedangkan negeri-negeri dimulai dari negeri muara bio, Batu Songgan, Gajah bertalut, Miring, Salo dan Pangkalan Soghai adalah dibawah kekuasaan Datuk Godang Khalifah Songgan. Negeri Batu Songgan adalah negeri dimana jalur penjempuran Anak Raja Pagaruyuang untuk dirajakan di rantau kampar Kiri. Di negeri itu terdapat seorang penghulu adat bernama Datuk Bandaro Hitam pucuk Rantau Pangkalan Serai. Datuk ini memiliki Gelar “ Datuk Palindai Panjang”. Datuk Bandaro Hitam ini adalah datuk penghubung anatara kerajaan gunung Sailan dengan Kerajaan Pagaruyung, atau pada zaman sekarang disebut dengan Duta Besar berkuasa penuh (orang Besar Raja) kerajaan Gunung Sailan terhadap Kerajaan Pagaruyuang

HIKAYAT LAHIRNYA SUMPAH SOTIE DI KAMPAR KIRI

HIKAYAT PERJANJIAN ADAT
RANTAU KAMPAR KIRI

A. Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Adat.
Lahirnya sumpah setia adat dilatar belakangi oleh keinginan untuk bersatu dari masyarakat adat dikawasan Batang Sibayang Kampar Kiri, dimana masyarakat tempatan itu hidup dan menetap di sepanjang sungai-sungai di Rantau Kampar kiri. Dimana dikalangan masyarakat tersebut masih diikat dengan tali kekeluargaan, tali persemendaan, tali aqidah/agama, serta kepentingan dagang atau ekonomi yang sama.
Semangat kekeluargaan adat ini di sampaikan melalui pepatah : Adat batali pisoko baangkai nan manjelo kabatang antau”. Persaudaraan antara sesama masyarakat adat Rantau Kampar Kiri mengalami goncangan akibat terjadinya konflik dan invasi dari kekuatan luar. Dalam hikayat adat di sebutkan bahwa perjanjian adat ini lahir setelah masyarakat adat kampar kiri tidak memiliki payung kekuasaan atau raja selama 200 tahun, semenjak runtuhnya kerajaan melayu Islam yakni kerajaan Kuntu Darussalam. Kerajaan Kuntu, runtuh akibat serangan dari Kerajaan Singasari pada abad ke 13 masehi dan kerajaan Majapahit Adityawarman abad ke 14 masehi. Dalam kurun abad ke 14 sampai dengan abad ke16 masehi itulah adanya kevakuman kekuasaan di Rantau Kampar Kiri. Kondisi ini juga menimbulkan konflik internal antar masyarakat adat yakni antar negeri-Negeri dan koto – koto serantau kampar kiri, saling kelim dan perebutan ulayat. Dimana kondisi ini hanya bisa dihadapi dengan adanya persatuan dan kekuasaan sebagai penengah konflik masyarakat.
Atas inisitif Datuk Bandaro Khalifah Adat antau sibayang dan Datuk-Datuk 13 Koto Serantau kampar kiri, maka dibuatlah kesepakatan adat untuk mempersatukan kembali semua negeri-negeri sepanjang sungai kampar kiri kedalam suatu kesatuan politik. Tempat bermusyawarah para ninik-mamak andiko serantau kampar kiri untuk kesepakatan itu di lakukan di suatu tempat yang disebut “Muara Subangi” dalam ulayat negeri Domo. Hasil kesepakatan itu di tulis dalam sebuah prasasti batu tulis. Kemudian hasil kesepakatan bersama itu “ Buek abi bakato sudah” atau kesepakatan bersama itu di proklamirkan/I’lan atau diumumkan di suatu pulau yang bernama Pulau Angkako. Pulau Angkako ini terletak di tengah sungai Subayang Hulu dipertemuan sungai Sibayang dan sungai Batang Bio. Batu yang berisi butir-butir klausul perjanjian adat ini di bawah oleh para Ninik-mamak ke Negeri Gunung Sailan kemudian di labuhkan atau dibenamkan kedalam sungai Batang Kampar Kiri yang bernama Lubuk Alai. Yaitu suatu genangan air sungai yang terletak dibawah istana Koto dalam di Negeri Gunung Sailan.

B. Bunyi Perjanjian Adat

SUMPAH SOTIE DI MUAGHO BIO ( PIAGAM PERSAUDARAAN MASYARAKAT ADAT RANTAU KAMPAR KIRI ) SUMPAH SOTIE DI MUAGHO BIO BATU BAKAGHANG DIMUAGHO SUBANGI DIBACOKAN DI PULAU ANGKAKO DICOMPUONG KA LUBUK ALAI INDAK BULIE DIANGKEK DIUNGKIEK LAI BUEK TINGGAE DI DATUK BOSAE AMANAT TINGGAE DI DATUK GODANG GONGGAM POCIK KA OMPEK SUKU PAKAIAN DATUK NAN SALAPAN DI GUNUONG SAILAN UNDANG BASUMPA JONJI CUPAK BAPARBUATAN CUPAK MANO PURBAKALO KALAU AJO NAN MAUBAH DIMAKAN BISO KOGHI KALAU KHALIFAH NAN MAUBAH DIMAKAN SUMPAH MANAH KALAU PENGHULU NAN MAUBAH DIMAKAN PERBUATAN KALAU UGHAGH BANYAK NAN MAUBAH DIMAKAN KUTUK KALAMULLAH SAIBU-SIANG SAIBU MALAM KA’ATE INDAK BAPUCUK KABAWAH INDAK BAUGHEK DITONGA-TONGA DI GHIGHIEK KUMBANG IDUIK ONGGAK MATI TAK OMUE SAUPO UMPUIK DI TONGA JALAN BALADANG TAK BULIE PADI BAANAK SOGHANG MATI JUO ANTAU DITUWIK JO UNDANG NAGHONGI DIHUNI JO PISOKO KAMPUONG DILAMBAK JO LIMBAGO ANTAU SAPARENTA AJO LUAK NAN SAPARENTA UGHANG GODANG NAGHONGI SAPARENTA PENGHULU KAMPUONG NAN SAPARENTA UGHANG TUO UMA NAN SAPARENTA TUNGGANAI NAN BA HAQ NAN DI BOGHI NAN BASOSOK BA JUAMI NAN BATUNGGUE BASILAMPIK NAN BATUWUN BANAIKKAN NAN BAJONJANG NAIOK BA TANGGOTUWUN GODANG IKAN HINGGO SISIAK GODANG KA MANAKAN HINGGO MAMAK KAMANAKAN BAAJO KA MAMAK MAMAK BAAJO KA PENGHULU PENGHULU BAAJO MUFAKAT MUFAKAT BAAJO KA NAN BONAE NAN BONAE, BULEK NAN BULIE DIGOLEKKAN PICAK NAN BULIE DILAYANGKAN NAN INDAK MALOMPEK KALUE POPA NAN INDAK MAHAMBU KALUE SEGAE JALAN BAAMBA NAN KAN DITUWIK BAJU BAGUNTIANG NAN KAN DISAWUONGKAN GODANG INDAK MALINDAN PANJANG INDAK MALILIK LOWE INDAK MANYUNGKUIK GOPUOK INDAK MAMBUANG LOMAK CODIK INDAK MAMBUANG KAWAN INDAK MAMBUEK NAN BOLUN-BOLUN INDAK MAUBAH NAN BIASO ANTAU PANJANG KA ULU NAGHONGI PANJANG KAUSUK LICIN BAK LANTAI KULIK ALUI BA ANTAU SIAK SUMPAH SOTIE DIPASOKSIKAN KA GAJAH SA KUNTO NYO KA IMAU SA CINDAKU NYO KA BUAYO SA ANTAU KA ANTU SA IMBO AYO.

GAGAK JAWO DI KAMPAR KIRI (SEJARAH EXPEDISI PAMALAYU)

HIKAYAT KEDATANGAN GAGAK JAWO KE RANTAU KAMPAR KIRI RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM KUNTU DARUSALAM Ekspedisi Pamalayu (Orang Bagak/Kuat dari Tanah Jawa) Stutterheim berpendapat bahwa Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak mengandung pengertian bahwa Kerajaan Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya, melainkan persekutuan antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya penaklukan secara langsung (militer) terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada awalnya dilakukan melalui penaklukan pusat perdagangan lada di Sungai Batanghari dan Sungai Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini merupakan urat nadi perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini, perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. Pemakaian istilah persekutuan dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada 1286, Raja Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago yang terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu). Tiruan arca ini diterima oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan sebagai balasan, sang raja mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga kepada Raja Kertanegara (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56-57). Ketika sampai di Jawadwipa (Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh.Penerus Kerajaan Singasari adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1292, sekaligus memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan gelar Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55).Dara Petak yang telah terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa (1292-1309).Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan Kalagemet yang kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Menurut Prasasti Kubu Rajo No I yang merupakan sebuah prasasti Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Kubu Rajo daerah Limau Kaum, ayah Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono Hardjowardojo, 1966:20).Adwayawarmma merupakan salah satu pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit yang berpangkat “dewa”.Adwayawarmma inilah yang menikah dengan Dara Jingga, sehingga secara garis keturunan, Adityawarman masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Darmasraya.Pasca kelahirannya, Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Nama raja Melayu yang lahir dari perkawinan antara Dara Jingga dan Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965) disebut dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono Hardjowardojo, 1965:46) Seperti tertulis di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Kerajaan Majapahit.Beliau pernah ditunjuk sebagai utusan Kerajaan Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman menjabat Mantri Prandhatara, sebuah jabatan yang sama dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang tinggi untuk Adityawarman ini menandakan bahwa Adityawarman adalah seorang anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang sangat dekat, mengingat ibu Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu Raja Jayanegara sekaligus permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Berkembangnya Majapahit sebagai kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan ekspedisi Pamalayu kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai seorang mahapatih yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah Mada. Maka sebagai pembuka atas Ekspedisi Pamalayu jilid 2, diutuslah Adityawarman untuk pergi ke Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana. Kebetulan Darmasraya telah jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Seperti dikutip dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang menganut ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang telah menganut Mazhab Syafi’i. Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299, Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga praktis monopoli lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari, dikuasai oleh Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah bermukim di daerah ini sejak 1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng Gunung Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan nama Singasari dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55). Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada di tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari. Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga menyerang dan menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349.Dengan ditaklukkannya Kesultanan Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di kedua daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari. Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau” (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari lokasi perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak Kerajaan Pagaruyung secara spesifik sebagaimana disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).

HIKAYAT NEGERI LOEDAI KAMPAR KIRI

HIKAYAT KOTO LOEDAI
(PITOPANG NAN BAOMPEK, MALAYU NAN BALIMO, DOMO NAN OSO, PILIANG NAN SAMBILAN).

Berdasarkan tradisi lisan turun-temurun dikisahkan bahwa satu keluarga nomaden dari Pariangan Padang Panjang, menuruni bukit Barisan serta menyelusuri sungai Batang Bio dan menetap di suatu daerah untuk membuat Ladang. Rombongan ini terdiri dari lima orang, Tiga perempuan dan Dua orang laki-laki, pimpinan rombongan bernama Datuk Sayi Penghulu (Kakak laki-laki tertua) Datuk Pandak Manogha, Puti Sangkae Bulan dan Puti Taman ijuk (Pitopang Nan ba Ompek) dan istri datuk Sayyi Penghulu yakni (Piliang nan oso) Bersuku Piliang Bukit/Piliang Gunung Ijau. Keluarga ini adalah berasal dari pesukuan Patopang Pariangan Padang Panjang. Setelah sampai di daerah baru, setelah “ Manundo kape sosak dan manobe kalimuntiang, lalu membuat huma/ladang serta mendirikan Banjae , serta Kampuang, awalnya kampung itu diberi nama Malako Kociak. Dipinggir Kampuang ditepi Sungai Bio, tempat awal Datuk Sayi Penghulu malambe Hutan (menebas ) ada sebatang kayu besar yang sangat rindang nama kayu itu " Kayu Loedai ". Setelah menetap beberapa lama di Banjae Ludai, panen pun datang, silih berganti musim, maka rupanya Datuk Sayi Penghulu tidak bisa hidup sendiri atau satu keluarga saja, karena ada kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dengan orang lain/keluarga lain/suku lain. maka Datuk pun mencari dunsanak untuk dibawah tinggal dan menetap di Koto Ludai. Di daerah hulu sungai Sitingkai (Batang Kotuo) menetap disitu satu kaum dari suku Piliang di bawah pimpinan Datuk Gomuok Hitam Lidah, kemudian datuk Sayi Penghulu datang kesana dan meminta mereka untuk pindah dan sama-sama menetap di Koto Ludai. Permintaan Datuk Sayyi Penghulu disanggupi oleh Datuk Gomuok Hitam Lidah dengan dua syarat yakni : 1. Kaum suku piliang meminta ulayat di pinggir sungai Bio, dengan alas an mereka memiliki banyak kemanakan yang kecil-kecil sehingga perlu tempat tinggal yang dekat dengan pinggir sungai. 2. Datuk Sayyi Penghulu dan kaum Petopang harus membuang tombak trisula yang mereka miliki, sebab anak cucu datuk Gemuok takut dengan senjata tersebut. Singkat kata singkat cerita maka Datuk sayi penghulu, menyanggupi kedua syarat tersebut kemudian beliau menikahkan adek-adeknya dengan kemenakan dari suku Piliang tersebut, Kemudian Datuk Sayi Penghulu membawah Dt Gomuk Hitam Lidah dan keluarganya menetap di koto Ludai, yang merupakan cikal Bakal Suku Piliang Bawao (Piliang Topi ayie) yakni Ninik Ino Suri. sehingga Koto Ludai sudah memiliki Tiga Suku. Suatu hari datang rombongan suku Melayu dari Pagaruyung singgah di koto Ludai dalam perjalanan menuju Negeri Gunung Sailan, dalam rombongan itu terdiri dari kerabat raja Pagaruyung yang akan pergi ke negeri Gunung Sailan, menurut mereka kaum melayu ini ingin berpindah kenegeri saudaranya di Gunung Sailan. Atas bujukan Dt. Sayi Penghulu, Rombongan ini bersedia tinggal dan menetap di koto Ludai, dengan syarat-syarat mereka diberi tanah ulayat di kapalo koto dan mereka harus diangkat jadi Raja di Koto Ludai, Datuk Sayi Penghulu mengabulkan permintaan tersebut. Dengan datang dan menetapnya Suku Melayu, maka di Koto Ludai sudah terdiri dari 3 suku ; yaitu Suku Patopang, , Suku Pialang dan Suku Melayu. Dalam perjalanan selanjutknya di Kampuang Ludai terjadi Konflik tentang batas ulayat kampuang, dimana konflik melibatkan dua perut dalam suku petopang yakni perut antara puti Sangko Bulan dan Perut dari Puti Taman Iuk. Dimana kedua perut tersebut adalah kemenakan dari datuk Sayyi Penghulu pucuk adat kampuang ludai. Maka untuk memidahkan ulayat dari pihak-pihak yang bertikai,maka dibentuklah suku baru yang berasal dari keturunan atuk sayyi penghulu dengan istrinya dari suku piliang. Suku tersebut diberi nama Suku Piliang Bukik, dengan gelar sokonya Datuk Rajo Antagho atau datuk raja antara, dimana datuk ini merupakan perantara dari pihak-pihak yang bertikai dalam soko petopang pucuk adat. Dengan terbentuknya suku baru maka lengkap sudah kampuang ludai terdiri atas empat suku, sehingga beribahlah statusnya menjadi Koto/Negeri. " elok Naghogi Ompek Suku, suku Bua powik, Kampuang ba Ugang tuo" . Maka Koto Ludai kemudian berkembang menjadi sebuah Naghoghi/Negeri. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pembentukan suku kembali yakni pecahan dari suku piliang bawuo yakni awalnya bernama Piliang Tigo Sajoghong, kemudian berubah menjadi suku Domo, dengan gelar soko nya Datuk Rajo Lelowangso. Pada masa akhir kekuasaan kerajaan Gunung Sailan sekitar tahun 1930-an terjadi lagi pemekaran suku dari suku Piliang Bawou yakni terbentuknya suku Piliang Angkat dirajo sementara suku Piliang bawuo asal disebut Suku Piliang Sotie dirajo. Sehingga hari ini terdapat enam suku di negeri Loedai. (sumber : Wawan cara dengan Ughang Tuo Luodai) KEKHALIFAAN LUDAI ATAU LUWAK BIO Sungai Batang Bio adalah anak sungai Sibayang sebelah kanan, sepanjang aliran sungai Bio ini terdapat tiga negeri tua yaitu negeri Koto Lamo, negeri ludai dan negeri Pangkalan Kapas. Awalnya Batang Bio terdiri dari satu negeri yakni neger i Ludai dengan tiga koto. Dalam otok cacae adat dikatakan tentang luwak bio yakni “ Ikue Koto di Koto Lamo, Kapalo Koto di pngkalan Kape dan iIu Koto di Koto Ludai”. Luwak Batang Bio di kuasai oleh dtuk nan Tigo yakni Datuk Mangun di Koto Lamo, Datuk Sutan Majolelo di Ludai dan Datuk Rajo Malano di Pangkalan Kape. Sementara penguasa Rantau Luwak Bio adalah Datuk Maharajo Besar Khalifah Ludai dari suku Malayu Koto Ludai.

HIKAYAT NEGERI BUNGO SETANGKAI/ LIPATKAIN

HIKAYAT KENEGERIAN LIPATKAIN 1. Latar Belakang Kenegerian Lipatkain adalah salah satu dari enam Negeri tua di wilayah Rantau Kampar Kiri Kabupaten Kampar, daerah ini sudah berdiri semenjak kerajaan Gunung Sahilan berkuasa di Rantau Kampar Kiri dari abad ke 16 sampai denga runtuhnya pada tahun 1946. Setelah Indonesia merdeka Kenegerian Lipatkain merupakan ibu kota dari kewedanaan Kampar Kiri, pada tahun 1981 Kenegerian Lipatkain berubah status menjadi desa Lipatkain dan menjadi ibu kota dari Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar. Satu tahun kemudian tahun 1982 Desa Lipatkain berupa status menjadi Kelurahan Lipatkain. ( Marlaili Rahim : 1985). Pada tahun 1999 kecamatan Kampar Kiri dimekarkan menjadi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kampar Kiri, Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan kecamatan Kampar Kiri Hilir. Kemudian pada tahun 2004 Kecamatan Kampar Kiri sebagai Kecamatan Induk Kembali dimekarkan menjadi tiga kecamatan lagi yaitu Kecamatan Kampar Kiri, Kecamatan Gunun Sahilan, dan Kecamatan Kampar Kiri Tengah. Bersamaan dengan pemekaran Kecamatan ini, Kelurahan Lipatkan juga dimekarkan menjadi lima desa yaitu Desa Lipatkain Utara, Desa Lipatkain Selatan, Kelurahan Lipatkain, Desa Sungai Paku, dan Desa Sungai Geringing. ( Kampar Kiri Dalam Angka 2010). Kenegerian Lipatkain merupakan suatu komunitas okum adat yang terdapat di Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar . Pada wilayah okum adat Kenegerian Lipatkain hari ini secara administrasi pemerintahan terdiri dari lima desa yaitu : 1. Desa Lipatkain Selatan 2. Desa Lipatkain Utara 3. Kelurahan Lipatkain 4. Desa Sungai Paku 5. Desa Sungai Geringing Secara geografis Kenegerian Lipatkain terletak di sebelah selatan Kabupaten Kampar dengan ketinggian 40 Meter dari permukaan Laut, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : i. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kebun Durian dan Desa Subarak ii. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Teluk Paman Timur dan desa Tanjung Pauh iii. Sebelah Timur dengan Kecamatan Salo Kecamatan bangkinang Barat iv. SebelahBarat dengan Desa Gunung Sari Kecamatan Gunung Sahilan Kenegerian Lipatkan pada hari ini terdiri atas lima desa/kelurahan dengan luas wilayah 250,2 M2. Iklim kenegerian Lipatkain adalah beriklim tropis terletak pada garis Khatulistiwa, dimana tugu khatulistiwa terdapat di desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri. Sedangkan jumlah penduduk di Kenegerian Lipatkain adalah 9.793 Jiwa ( Kecamatan Kampar Kiri Dalam Angka : 2010). Foto : Lokasi Pertemuan tiga muara sungai/titik nol derjat/khatulistiwa Masyarakat Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan menganut kebudayaan matrilineal yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu, Kebudayan ini dikenal dengan budaya Minangkabau. Sedangkan sistem perkawinannya adalah sistem matrilokal dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku atau klannya. Secara adat-istiadat penduduk kenegerian Lipatkain terdiri dari Sembilan suku/pesukuan yaitu terdiri dari : 1. Suku Pitopang Basa dengan kepala suku Dt. Jalelo 2. Suku Pitopang Tonga dengan kepala suku Dt. Godang 3. Suku Melayu Palokoto dengan kepala suku Dt. Paduko Majo 4. Suku Mandailing/Maliling dengan kepala suku Dt. Sinaro 5. Suku Melayu Bendang dengan kepala suku Dt. Tanaro 6. Suku Piliang dengan kepala suku Dt. Mongguong/Tumenggung 7. Suku Domo dengan kepala suku Dt. Paduko Tuan 8. Suku Melayu Nan Ompek kepala suku Dt. Mahudum 9. Suku Melayu Datuk Marajo dengan kepala suku Dt. Majo (Wawancara dengan Bapak Tasman Mamak Limbago Suku Domo, tgl 28 Juni 2012). Satu suku/pesukuan disebut juga satu Kampuong, satu kampuong terdiri dari beberapa keluarga yang masih memiliki hubung kekerabatan dari pihak ibu. Satu suku/kampuong di perintah oleh Ninik Mamak diSebut “ Baompek Dalam Kampuong Balimo Jo Ughang Tuo” yaitu terdiri dari 1. Mamak Godang Ka Naghonghi ( Kepala Suku) 2. Mamak Godang Ka Kampuong 3. Malin 4. Dubalang 5. Ughang Tuo Masing-masing memiliki tugas dan wewenang tersendiri dalam suatu satuan hukum adat di tingkat Kampuong terhadap rakyat yang disebut dengan sebutan “Kamanakan”. 2. Hikayat Kenegerian Lipatkain Dalam hikayat adat Kenegerian Lipatkain yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi disebutkan bahwa, pada zaman dahulu kala datanglah dua orang datuk kedaerah Lipatkain secara bersamaan yaitu datuk pertama bernama Datuk Sutan Lawik Api beliau datang dengan perahu dari selat Malaka mudik ke Sungai Ombun (Batang Kampar Kiri) dan singgah (maontak Gala, membuang sauh) di daerah yang sekarang Lipatkain. Ditepi sungai tersebut Datuk Sutan Lawik Api Manundo Kapae Sosak, Malambe (menebas) Kalimunting membuat ladang dan kebun. Tidak jauh disebelah hulu sungai datang pula seorang Datuk dari hulu sungai Kampar kiri yaitu dari daerah Gunung Merapi (Pagaruyung) yaitu Datuk Godang menghilir dari hulu dan singgah membuat ladang dan kebun pula. Kemudian disaat kedua Datuk tadi berburu binatang, dan menggumpulkan makanan dihutan( foodghatering). Maka berjumpalah mereka berdua, maka terjadilah dialok diantara keduanya tentang siapa yang dahulu datang di daerah Lipatkain ini. Masing-masing datuk mengakui dirinya yang dahulu datang dan berhak atas daerah Lipatkain dengan menunjukkan tanda-tanda masing-masing. Setelah menunjukkan bukti masing-masing ternyata kedua datuk memang datang bersamaan, sehingga mereka bersepakat untuk tinggal bersama-masa membangun kampuong, dan ladang serta membuat janji persaudaraan layak nya adik dan kakak Disaat kedua datuk sedang berburu di atas sebuah bukit, mereka melihat asap api yang sangat besar di daerah aliran sungai Singingi. Maka kedua Datuk kedaerah berangkat menyelusuri sungai Singingi melihat apa gerangan yang terjadi. Didaerah Singingi kedua datuk menemui kampuong yang tengah terbakar dan mayat-mayat yang berserakan, rupanya daerah Singingi dia’la (diserang Garuda), maka terjadilah pertempuran antara Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang dengan Garuda, sehingga Sang Garuda dapat dibunuh. Setelah Garuda dapat dibunuh, datuk-datuk tersebut mendengar tangisan anak kecil diantara reruntuhan rumah yang hancur diamuk Garuda. Direruntuhan rumah tersebut Sang Datuk menemukan seorang gadis kecil yang selamat. Maka gadis kecil tersbut dibawah ke Kampuong Lipatkain dan dibesarkan oleh kedua orang datuk tersebut. Setelah berlalunya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahunpun berganti. Maka gadis kecil yang bernama “Puti Majo” beranjak remaja dan dewasa maka tampaklah kecantikan dan rupawan nya sang Putri. Melihat paras yang rupawan maka jatuh hatilah kedua datuk pada Puti Majo, maka jadilah perselisihan tentang siapa yang berhak untuk mengawini Sang Putri. Puncak dari persingan antara kedua Datuk, maka terjadilah pertarungan antara keduanya, setelah sekian lama bertarung, saling adu kesaktian, rupanya kedua datuk sama-sama pendekar dan tidak ada yang menang dan kalah. Setelah lelah bertarung maka dibuatlah kesepakatan untuk bersama-sama meninggalkan Kampuong dan meninggalkan Puti Majo sendirian. Datuk Godang lari keseberang Kampuong dan menetap disana, sedangkan Datuk Sutan Lawik Api lari ke hulu Batang Olang dan menetap pula disana. Tidak lama berselang maka datanglah Datuk Sinaro kedaerah Lipatkain dari pesukuan Mandailing/Maliling, di daerah Lipatkain tersebut Datuk Sinaro menemui seorang gadis menagis sendirian. Gadis tersebut adalah Puti Majo, Puti Majo menceritakan kisah tentang kedua Kakak angkat nya yaitu Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang yang berselisih dan meningalkan Kampuong karena memperebutkan dirinya. Dan meminta Datuk Sinaro untuk menjemput keduanya kembali ke Kampuong. Maka Datuk Sinaro berhasil membujuk kedua datuk untuk kembali kekampuong Lipatkain dan memperdamaikan keduanya. Maka dibutlah kesepakatan bahwa Datuk Sutan Lawik Api, Datuk Godang dan Puti Majo adalah bersaudara dan tidak boleh saling menikahi hal ini juga berlaku bagi anak keturunan mereka hingga hari ini(Cilampuong pata baindiak sutonyo batali juo). Maka Puti Majo dinikahi oleh Datuk Sinaro maka Datuk Sinaro menjadi simondo dari Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang. (Sumber : Alm. AR Fahruddin Datuk Mongguang). Maka dibagilah kekuasaan diantara datuk-datuk tersebut dimana Datuk Sutan Lawik Api adalah Pemilik Rantau, Datuk Godang Pemilik tanah Ulayat dan Puti Majo Pemilik Negeri, sehingga ketiga datuk adalah penguasa dinegeri Lipatkain dengan sebutan (Datuk Batigo). Sedangkan Datuk Sinaro adalah Suluh Negeri (Andiko Besar). Maka dibuatlah sebuah Negeri dengan nama Negeri Bungo Setangkai, inilah nama awal dari negeri Lipatkain. Kemudian datanglah beberapa suku lagi kenegeri Bungo Setangkai yaitu suku Melayu Palokoto, Suku Melayu Bendang, suku Nelayu nan ompek, suku Domo, seningga negeri Bungo Setangkai didiami oleh delapan suku sehingga berdirinya kerajaan Gunung Sailan. Pada masa kerajaan Gunung Sailan terjadilah perkara yang tak selesai-selesai di negeri Bungo Setangkai dimana negeri terbelah menjadi dua praksi besar delapan suku terpecah menjadi dua golongan yang masing masing kokoh pada pendiriannya. Sehingga setiap persoalan tidak bisa diambil kata sepakat. Persoalan ini sampai kepada Raja Gunung Sailan, maka raja mengambil keputusan untuk menempatkan keturunannnya dari suku Piliang untuk menetap di Lipatkain sebagai penengah dari delapan suku yang berselisih. Sehingga negeri Lipatkain terdiri dari sembilan suku. 3. Adat Istiadat Kenegerian Lipatkain Masyarakat Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan menganut kebudayaan matrilineal yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu, Kebudayan ini dikenal dengan budaya Minangkabau. Sedangkan system perkawinan nya adalah system matrilokal dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku atau klannya. Secara adat-istiadat penduduk kenegerian Lipatkain terdiri dari Sembilan suku/pesukuan yaitu terdiri dari : 1. Suku Pitopang Basa dengan kepala suku Dt. Jalelo 2. Suku Pitopang Tonga dengan kepala suku Dt. Godang 3. Suku Melayu Palokoto dengan kepala suku Dt. Paduko Majo 4. Suku Mandailing/Maliling dengan kepala suku Dt. Sinaro 5. Suku Melayu Bendang dengan kepala suku Dt. Tanaro 6. Suku Piliang dengan kepala suku Dt. Mongguong/Tumenggung 7. Suku Domo dengan kepala suku Dt. Paduko Tuan 8. Suku Melayu Nan Ompek kepala suku Dt. Mahudum 9. Suku Melayu Datuk Marajo dengan kepala suku Dt. Majo Satu suku/pesukuan disebut juga satu Kampuong, satu kampuong terdiridari beberapa keluarga yang masih memiliki hubung kekerabatan dari pihak ibu.satu suku/kampuong di perintah oleh Ninik Mamak di Sebut “ Baompek Dalam Kampuong Balimo Jo Ughang Tuo” yaitu terdiri dari 1. Mamak Godang Ka Naghonghi ( Kepala Suku) 2. Mamak Godang Ka Kampuong (Pucuk Kampuoang) 3. Malin 4. Dubalang 5. Ughang Tuo Berikut akan penulis gambarkan Gelar ninik-mamak kesembilan suku dikenegerian Lipatkain yaitu : 1. Suku Pitopang Basa Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Jalelo Mamak Godang Ka Kampuoang : Datuk Lakmano Dubalang Suku : Pahlawan Malin Suku : Malin Pandito Ughang Tuo : 2. Suku Pitopang Tonga Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Godang Mamak Godang Ka Kampuoang : Datuk Rajo Mangkuto Dubalang Suku : Jalo Garang Malin Suku : Malin Panenan Ughang Tuo : 3. Suku Melayu Palokoto Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Paduko Majo Mamak Godang Ka Kampuoang : Datuk Paduko Dubalang Suku : Dubalang Malin Suku : Malin Baru Ughang Tuo : 4. Suku Mandailing/Maliling Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Sinaro Mamak Godang Ka Kampuoang : Jalo Sutan Dubalang Suku : Dubalang Malin Suku : Malin Baru Ughang Tuo : 5. Suku Melayu Bendang Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Tanaro Mamak Godang Ka Kampuoang : Majo Sinaro Dubalang Suku : Dubalang ajo Malin Suku : Malin Baru Ughang Tuo : 6. Suku Piliang Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Mongguong Mamak Godang Ka Kampuoang : Datuk Mangkuto Sinaro Dubalang Suku : Pendekar Sutan Malin Suku : Malin Pono Ughang Tuo 7. Suku Domo Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Paduko Tuan Mamak Godang Ka Kampuoang : Naro Mudo Dubalang Suku : Dubalang Malin Suku : Malin Sulaiman Ughang Tuo 8. Suku Melayu Nan Ompek Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Mahudum Mamak Godang Ka Kampuoang : Majo Sumajo Dubalang Suku : Dubalang Malin Suku : Malin Putih Ughang Tuo : 9. Suku Melayu Datuk Marajo Mamak Godang Ka Nagoghi : Datuk Majo Mamak Godang Ka Kampuoang : Majo Kayo Dubalang Suku : Dubalang Malin Suku : Malin Kayo Ughang Tuo : Masing-masing memiliki tugas dan wewenang tersendiri dalam suatu satuan hukum adat di tingkat Kampuong terhadap rakyat yang disebut dengan sebutan “Kamanakan”. (Sumber : wawancara dengan Bapak Tasman Mamak Limbago Suku Domo, tgl 28 Janauri 2013). DAFTAR PUSTAKA H Encik Zulkifli dan H Ok Nizami Jamil. Adat Perkawinan dan pakain tradisional masarakat Kota Pekanbaru, LAM Riau tahun 2004. Iskandar Dr. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (kuantitatif dan Kualitatif). Gamma Press Jambi 2008. Jefta Leiboh. Sosiologi Pedesaan, Andi Offset, Jogyakarta 1990 Koencaraningrat, Pengantar antropologi, pokok-poko etnografi, Aneka Cipta Jakarta 1997. Koencaraningrat, Pengantar ilmu antropologi,, Aneka Cipta Jakarta 2009. Marlaili Rahim, Makala. Sistem pemerintahan adat Rantau Kuantan dan Kampar Kiri. Pekanbaru 1985. Sidi Gazalba. Sosiologi dan Sosiografi Masyarakat Islam. Bulan Bintang Jakarta. 1985 Soekamto, S. Sosiologi Suatu Pengantar. CV Rajawali, Jakarta 1994 Soerjono Soekanto. Kedudukan dan Peranan hukum Adat Indonesia. Kurnia esa, Jakarta 1981. Soerjono Soekanto. Teori perubahan Sosial. Gramedia Pustaka tama, Jakarta 1979 Tengku Haji Ibrahim. Sejarah adat Istiadat Kampar Kiri. Payakumbuh,1930. UU Hamidy, Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau. Bilik Kreatif Press Pekanbaru 2010. UU Hamidy. Sistem Nilai Masyarakat Desa di Riau. Bumi Pustaka Pekanbaru 1982 Yayuk Yuliati MS, Sosiologi Pedesaan, Lapera Pustaka Utama, Yogakarta, 2003. Zulhermansyah Idris, Hukum adat dan lembaga lembaganya Keberadaan dan perubahannya UIR Press Pekanbaru 2000.

NEGERI LUBUOK CIMPUER

HIKAYAT NEGERI LUBUOK CIMPUR Negeri Lubuk Cimpur, pada zaman dahulu kala adalah negeri tempat persinggahan puti Indo dari suku Malayu, ninik indo datang dari hulu sungai dan diminta oleh dunsanaknya untuk singgah di negeri Kuntu, tetapi Puti Indo menolaknya. Lalu mereka terus kehilir dan singgah di sebuah Lubuk yang banyak pohon Cimpurnya. Lalu datang kaum suku Malayu Datuk Majo dari negeri Lipatkain/Bungo Setangkai meminta Ninik Indo untuk tinggal di negeri Lipatkain saja, permintaan kaum Malayu di Lipatkain pun di tolak oleh ninik Indo. mereka memilih tetap tinggal di Lubuk Cimpur. Kerana permintaan saudara-saudaranya di Kuntu dan Lipatkain mana Ninik Indo diberi gelar Ninik Marajo Indo. Indo, dalam bahasa local berasal dari kata Indak atau tidak, karena menolak permintaan saudaranya bahasa tidak dihaluskan menjadi “indo” atau tidak dalam bahasa yang lebih halus. Sehingga gelar pisoko kaum keturunan suku Malayu ini di beri gelar Datuk Maharajo Indo. Datuk Maharajo Indo ditanam Oleh Datuk berenam belas di Kuntu dan Datuk bersembilan di Lipatkain. Awalnya di Lubuk Cimpur Hanya ada satu suku Saja yakni Suku Malayu Singkuang, suku awal Ninik Indo. Lalu kemudian datang Suku-suku Yang lain dari Kuntu dan Lipatkain sehingga lengkap menjadi 4 suku, tetapi pnghulu negeri tetap satu yakni Datuk Maharajo Indo. Secara ilmiah gelar Marajo Indo ini kemungkinan berasal dari Suku Melayu Singkuang yakni keturunan dari Maharaja Indra, yakni keluarga dinasti Melayu kuno. Didalam kerajaan Gunung Sailan Datuk Marajo Indo memiliki pangkat kebesaran yakni, jika ada perhelatan penobatan Raja Di gunung Sailan Maka Hidangan santap Raja dihidangkan oleh Datuk Marajo Indo. Atau dengan kata lain sebagai kepala tukang masak Istana Darussalam Gunung Sailan.

SEJARAH KAMPAR KIRI ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG

HIKAYAT ZAMAN JOPANG ROMUSHA DAN JALUR KERETA API JEPANG Jalur kereta api Pekanbaru-Sijunjuang (kini ibu kota Provinsi Riau) dibangun tahun 1944-45 oleh tentara Jepang dengan mempekerjakan tawanan perang Sekutu terdiri dari Belanda, Inggris, Australia dan Romusha dari Pulau Jawa. KA Pekanbaru selesai dibikin tanggal 15 Agustus 1945, persis pada hari Dai Nippon menyerah kalah setelah Nagasaki dan Hiroshima dihantam oleh bom atom Amerika.Upacara selesainya KA disaksikan dari jarak jauh oleh tawanan perang bule dan Romusha Indonesia yang kurus kering, sedangkan Jepang masih bisa berteriak Banzai, Banzai dengan semangat. Dari 6.764 tawanan perang bule yang tewas di KA Pekanbaru berjumlah 2.596 orang. Dari kl.100.000 Romusha Indonesia pada akhir 1945 cuma 20.000 orang yang hidup.Wartawan Henk Hovinga dalam bukunya Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud (1982) menulis mereka itu telah dipaksa bekerja “ dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”. Era tahun 1950-1960an adalah era diproduksinya oleh Holywood sejumlah film yang menceritakan berbagai kisah sekitar Perang Dunia ke 2. Banyak film mengisahkan pertempuran yang terjadi di Pacific, sebagian lagi kisah-kisah pertempuran di Eropa, dan ada juga yang mengisahkan pertempuran di Afrika Utara, dan berbagai tempat lainnya di dunia. Sejumlah film jenis ini menjadi sangat terkenal, salah satu diantaranya adalah film “The Bridge on the River Kwai”, yang bercerita tentang penderitaan tawanan perang Sekutu yang bersama dengan romusha yang berasal dari sejumlah negara Asia (termasuk Indonesia) dipaksa oleh tentara Jepang untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Thailand dengan Burma. Jalur kereta api ini menghubungkan Muara Sijunjung, yang merupakan ujung jalur SS di Sumatera Barat, dengan Pekanbaru, sebuah kota pelabuhan di sungai Siak. Jalur sepanjang 220 km ini dibangun antara 1943-1945. Alasan pertama dan utama untuk pembangunan jalur ini adalah untuk mengangkut batu bara dari Tapui, yang terletak di cabang dari jalur ini. Alasan kedua adalah alasan strategis: menghubungkan Samudera Hindia dengan Selat Malaka, pada suatu masa ketika kapal-kapal Jepang terancam oleh torpedo Sekutu. Jalur ini dibangun di bawah pengawasan Korps Angkatan Darat ke-25. Jepang sendiri sama sekali tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan jalur ini; semuanya didatangkan dari Jawa dan Sumatera. Alasan strategis untuk pembangunan jalur ini jauh lebih kecil dibandingkan jalur kereta api di Burma, yang diharapkan menjadi jalur transportasi militer Jepang ke garis depan di Burma dan ke bagian timur India. Sementara jalur Burma mulai dibangun pada tahun 1942, jalur Pekanbaru baru dibangun pada bulan Maret 1943. Kereta api pertama antara Padang-Pekanbaru baru berjalan tanggal 15 Agustus 1945. Ketika Jepang menyerah. Sekitar 50.000 romusha dan hampir 700 tawanan perang, terutama orang Belanda dan Inggris, mengalami kelelahan, kurang makan dan penyakit tropis ketika membangun jalur ini. Tampaknya Jepang sengaja melalaikan kondisi kesehatan para pekerja ini, Para pekerja selalu mengalami kekurangan obat-obatan, para dokter terpaksa melakukan pengobatan dalam kondisi yang amat buruk.Setelah perang berakhir, diketahui bahwa berkotak-kotak obat dari Palang Merah tertahan begitu saja di Pekanbaru. Tampaknya Jepang tidak menyadari bahwa para pekerja yang sehat akan menyelesaikan jalur ini dengan lebih cepat! Kondisi para tawanan perang yang membangun jalur Burma masih lebih baik.Sekitar 80 persen dari para romusha, dan 14 persen dari para tawanan perang, tidak pernah pulang kembali.Ini bukan saja karena perlakuan terhadap para romusha lebih buruk, namun juga karena antara Oktober 1943 hingga Juni 1944, para tawanan perang belum dipekerjakan untuk pembangunan jalur ini. Romusha membangun jalur dengan tenaga otot: 30 ribu orang bekerja dengan pacul, sekop dan keranjang. Sekitar 5000 tawanan perang Inggris dan Belanda membangun jembatan dan memasang rel, juga dengan tenaga manusia.Pada tanggal 24 Mei 1944 rel mulai dipasang dari Pekanbaru.Pada akhir tahun itu, rel sudah mencapai Logas. Pada 7 Maret 1945 rel mulai dipasang dari Muaro. Antara Muaro dan Logas para romusha dan tawanan perang bekerja bersama-sama membangun jalur. Di bagian-bagian lainnya, Jepang memisahkan para romusha dan tawanan perang. Jalur Muara-Logas hanya digunakan oleh kereta api yang membawa material dalam proses pembangunan. Kereta api resmi untuk pembukaan jalur pada tanggal 15 Agustus 1945 berjalan dari kedua ujung, yang satu mungkin berangkat dari Muara, dan yang lain dari kamp 10, dekat Lubukambacan. Upacara singkat pembukaan berpuncak dengan pemasangan “ paku emas ”. Pada bulan September 1945 dijalankan kereta api untuk membawa bahan makanan bagi para tawanan perang di kamp, dan kemudian untuk membawa mereka keluar. Segera setelah itu jalur tidak bisa lagi dipakai.Sementara itu, jalur Logas-Pekanbaru, menurut beberapa laporan, benar-benar dipakai. Di jalur ini berjalan kereta api yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp ke tempat kerja, dan juga kereta api barang, pengangkut bahan-bahan kebutuhan hidup dan kereta api pengangkut batu bara. Pada bulan Juni 1945 alat-alat bengkel dari Pekanbaru dibawa ke Logas. Sejak bulan itu, Logas menjadi balai yasa untuk perawatan kereta api. Di sana dapat diperbaiki gerbong barang dan juga diproduksi tirpon. Jalur Petai-Pekanbaru sepanjang 119 km, dan juga jalur sepanjang sekitar 18 km ke tambang batu bara di Tapui (11 km jalur sempit 700 mm, sisanya jalur 1067 mm) dipakai sejak awal Mei 1945 sampai 15 Agustus 1945 untuk mengangkut batu bara. Menurut Neumann dan Meijer, ada “dua atau tiga kereta api batu bara setiap minggunya”, dan juga “beberapa gerbong batu bara disambungkan ke kereta api pengangkut tawanan perang”. Jalur ini hanya aman untuk kecepatan sangat rendah, menurut Meijer kecepatan rata-rata adalah lima kilometer per jam, dan sering terjadi keluar rel. Sebagian besar trayek Muara-Pekanbaru mengikuti jalur yang dirancang SS pada dasawarsa 1920-an, yang karena krisis ekonomi batal dibangun. Jalur rancangan ini memiliki tanjakan maksimum 1 %.Sekitar 85 persen jalur yang dibangun Jepang mengikuti rencana ini, namun tanjakan maksimum menjadi 2 %.Rel didatangkan dari jalur-jalur di Jawa yang dibongkar, dan juga rel dari DSM. Tidak dipahami mengapa Jepang mendatangkan lok 2C SCS (C54) yang sama sekali tidak cocok untuk jalur berkelok-kelok dan lemah ini. Juga lok 1B1 dari DSM sama sekali tidak cocok karena titik beratnya yang tinggi. Bila dokumen tentang jalur kereta api Burma dibandingkan dengan jalur Pekanbaru, dapat disimpulkan bahwa jalur Pekanbaru bahkan lebih buruk lagi. Selain dua jembatan dari besi yang dibuat dari komponen cadangan milik SSS, semua jembatan dibuat dari kayu.Konstruksi ini sedemikian lemah dan karena balok yang digunakan pendek, bentang jembatan hanya bisa mencapai maksimum enam meter, sehingga perlu banyak pilar untuk menopangnya. Dengan banyaknya balok-balok kayu yang mengapung di sungai pada musim hujan, segera saja jembatan-jembatan ini rusak. Juga tanggul-tanggul yang dibangun terlalu curam, sehingga segera saja rusak oleh air hujan.Bermacam-macam lokomotif dan gerbong dari Jawa dan Sumatera dibawa ke tengah-tengah hutan ini.Jepang sendiri juga mengirimkan beberapa truk-rel ke jalur ini. Sekitar 20 lokomotif dibawa ke jalur ini, yaitu empat lok 2C dari SCS (C54), tiga lok 1C1 dari SS (C30), satu lok 2B (B51) dan lok nomor 7, 30, 56, 60 dan 66 dari DSM. Lok milik SSS juga dipergunakan di jalur ini. Disadur dari Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd, hal. 111 ebagaimana tampak dalam peta sketsa di atas, jalur KA Maut Muaro-Pekanbaru melalui antara lain Logas, Muara Lembu, Lipat Kain, dan Taratak Buluh.Kamp yang terdiri dari sejumlah barak tersebar di sepanjang jalur ini, sebagaimana halnya juga dengan lokasi penguburan.Romusha dan POW bekerja dari pagi-pagi sekali sampai terkadang malam hari dibawah tekanan, beragam hukuman, dan siksaan dari tentara Jepang. Pukulan dengan tongkat bambu dan popor senjata merupakan hal yang rutin, disamping berbagai ragam cara penyiksaan yang dilakukan oleh serdadu Korea dan Jepang. Makanan diberikan dalam jumlah yang sangat minim, dan kalau seseorang sakit dan tidak bisa bekerja, justru jatah makanannya tidak diberikan. Fasilitas kesehatan dan obat-obatan sangat minim.Para POW masih lebih beruntung dengan adanya dokter diantara mereka yang masih bisa menyelenggarakan operasi dengan peralatan seadanya. Sama dengan Death Railways Burma-Siam, bermacam penyakit seperti disentri, kholera, malaria, dan beri-beri digabung dengan kerja berat dan siksaan yang mereka derita menyebabkan tingginya angka kematian dari pada para romusha dan POW ini. Lokasi Kamp secara menyeluruh ( buah) serta sketsa detail dari Kamp 7 Lipat Kain dan Kamp 9 Logas adalah sebagaimana terlihat pada sketsa yang dibuat oleh salah seorang POW Sekutu. Muaro-Pekanbaru : Kekejaman Perang & Penindasan di Rimba Sumatera Sebagaimana tampak dalam peta sketsa di atas, jalur KA Maut Muaro-Pekanbaru melalui antara lain Logas, Muara Lembu, Lipat Kain, dan Taratak Buluh. Kamp yang terdiri dari sejumlah barak tersebar di sepanjang jalur ini, sebagaimana halnya juga dengan lokasi penguburan. Romusha dan POW bekerja dari pagi-pagi sekali sampai terkadang malam hari dibawah tekanan, beragam hukuman, dan siksaan dari tentara Jepang. Pukulan dengan tongkat bambu dan popor senjata merupakan hal yang rutin, disamping berbagai ragam cara penyiksaan yang dilakukan oleh serdadu Korea dan Jepang. Makanan diberikan dalam jumlah yang sangat minim, dan kalau seseorang sakit dan tidak bisa bekerja, justru jatah makanannya tidak diberikan.Fasilitas kesehatan dan obat-obatan sangat minim.Para POW masih lebih beruntung dengan adanya dokter diantara mereka yang masih bisa menyelenggarakan operasi dengan peralatan seadanya. Spoiler for foto kondisi barak: Barak untuk Rumah Sakit Kondisi barak di kamp dikisahkan ada yang tanpa atap sama sekali. Kalau dilihat dari gambar-gambar sketsa yang dibuat oleh beberapa orang POW, bentuk barak dan pengaturan kerja sangat mirip dengan Death Railways Burma-Siam.Gambar-gambar sketsa dan foto yang tampak di sini dapat menggambarkan secara jelas kepada kita situasi dan kondisi yang mengerikan ini. Foto-foto dibuat setelah Jepang kalah dan para POW dan romusha diselamatkan oleh tentara Sekutu. Romusha yang selamat Sama dengan Death Railways Burma-Siam, bermacam penyakit seperti disentri, kholera, malaria, dan beri-beri digabung dengan kerja berat dan siksaan yang mereka derita menyebabkan tingginya angka kematian dari pada para romusha dan POW ini. Kurangnya bahan makanan membuat para pekerja paksa ini harus mencari jalan keluar sendiri.Tikus yang berkeliaran di lokasi kamp merupakan salah pilihan guna mengatasi kekurangan ini. Diceritakan juga bahwa suatu waktu dokter POW melihat ayam yang berada di Kamp tampak sehat dan memperoleh makanan yang cukup.Ternyata ayam ini memakan burayak dari WC barak.Diambil kesimpulan logis bahwa kalau burayak ini cocok untuk ayam tentunya juga cocok untuk manusia.Burayak inipun (maaf) kemudian menjadi pilihan menu berprotein yang diberikan kepada pasien dan ternyata mampu menyembuhkan mereka.Burayak ini juga digunakan sebagai disinfektan yang mujarab.Di sini tampak harkat kemanusian para romusha dan POW ini benar-benar direndahkan secara brutal oleh pihak yang sedang memenangkan peperangan. Lokasi Kamp secara menyeluruh ( buah) serta sketsa detail dari Kamp 7 Lipat Kain dan Kamp 9 Logas adalah sebagaimana terlihat pada sketsa yang dibuat oleh salah seorang POW Sekutu. Spoiler for Peta Camp 9 Logas: Peta Kamp 9, Logas Pemancangan “paku emas” yang menandai selesainya pembangunan jalan kereta api ini dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 di Pekanbaru oleh komandan tentara Jepang. Dan tepat pada tanggal itu pula Jepang sebenarnya sudah kalah perang.Sekutu memenangkan Perang Dunia ke 2. Jalan kereta api ini hanya sempat digunakan untuk membawa para POW dan tentara Jepang yang kalah perang ke Pekanbaru. Zaman Jopang Dalam Cerita Rakyat Kampar Kiri Hidup dizaman jopang merupakan cerita pilu dan penuh air mata bagi Rakyat Kampar kiri,dimana dahulubala tentara Jepang menguasai Rantau Kampar Kiri pada tahun 1942-1945 masehi. Pada masaitu rakyat kampar kiri mengalami banyak tindak kekerasan dan penzaliman,perampasan harta dan kelaparan. Ada dua cerita sedih pada zaman jopang ini adalah hikayat Imau Manggane ( Harimau Mengganas) dan kerja paksa bagi anak negeri. 1. ImauManggane Pada zaman Jepang ini, ada sekor Harimau, mengganas di Rantau Kampar Kiri.menurut cerita darimulut kemulut para tetuo,harimau ini merupakan harimau kebun binatang disumatera Barat yang dilepas oleh tentara jepang. Menurut hikayat turun temurun harimau ini membunuh lebih dari 200 orang manusia di Kampar kiri. Para tetuo yang selamat dari amukan Harimau Ganas ini menuturkan bahwa harimau ini tidakmemakan manusia, hanyamembunuh saja, cerita harimau ganas ini,bisa dijumpai di negeri,songgan,negeri Ludai, negeri Lipatkain dan negeri 8 Koto Setingkai. Cerita harimau mangganas di Rantau kampar Kiri ini, juga diikutioleh cerita musibah kelaparan, dimana pada zaman jepang bahan makanan sangat sulit di dapat. Sementara untuk bertani masyarakat kampuang tidak bisa, disebabkan para laki-laki di jemput paksa dan kerahkan oleh para Ninik-mamak untuk kerja paksa membuat rel keretapi di Lipatkain, Kebun Durian dan Logas.kampuang-kampuang yang telah sepi dari laki-laki ini kemudian menjadi sasaran empuk Harimau Ganas itu. Singkat hikayat nya,pada akhirnya harimau ini dapat dibunuh oleh Masyarakat Rantau Kampar Kiri negeri Ludai Kecamatan Kampar Kiri Hulu sekarang. Harimau ini dapat dibunuh setelah memangsa satu keluarga yang sedang tinggal di Ladang mereka di Hulu Batang Bio, kebetulan pada waktu itu seorang Mursyid Tariqoh Nagsabandiyah yakni Syekh Abdulllah juga sedang berada di daerah tersebut. Maka dalam kejadian tersebut maka setelah terlibat pertarungan dengan para penghuni ladang,harimau ini dibunuh dengan cara di Soga ( Dalam dealek Kampar Kiri) Soga ini adalah di sergah atau di gertak dengan lengkingan suara oleh Sang Syekh Abdullah ( Syekh Beliau) sehingga Harimau Ganas tersebut Mati Lemas. Itulah akhir Hayat sang Harimau Ganas ini. 2. Kerja PaksaBagi AnakNegeri Kalau Kita berbicara tentangRomusha atau kerja paksa,tentu semuakita sudah maklumadanyainiadalah suatu bentuk kekejaman Jepang kepada bumiputra pada era perang dunia II. Salah satu lokasi kerja Paksa ini adalah Rantau Kampar Kiri, sebab wilayah ini termasuk dalam lintasan jalur kereta api Pekanbaru ke Muara Sijunjung. Akan tetapi ingatan kita tentu akan tertuju kepada Orang jawa dan tawanan jepang dari pihak sekutu serta suku bangsa lainnya,sebagai kuli romusha itu. Pada padasarnya pengorbanan anak jati bumiputra juga ada dalam program zalim bangsa Jopang itu. Dalam hikayat tutur dari para tetuo yang hidup pada zaman itu di Rantau Kampar Kiri,Jopang juga membuat Program Bagi para Ninik-Mamak Serantau Kampar Kiri untuk Turut serta dalam pembuatan Rel KeretaApi ini. Dimana dalam waktu satu kali 40 hari, setiap Negeri harus menyediakan 40 orang kemenakan nya untuk bergantian melaksanakan kerja rodi ini.pada masa Jepang ini Jumlah negeri serantau Kampar Kiri adalah 30 negeri. Maka ada 1.200 orang anak kemenakan Ninik-Mamak serantau Kampar Kiri yang musti ikut dalam kerja paksa itu setiap 40 hari dan kemenakan itu baru bisa pulang setelah ada pengganti nya oleh ninik-mamak secara bergiliran.jika tidak ada pengganti maka secara otomatis tidak bisa pulang untuk selama-lamanya sehingga jepang kalah perang pada tahun 1945 Masehi. Dalam hikayat tutur di Kampar Kiri, bahwa ribuan anak kemenakan rantau Kampar Kiri dari setiap negeri yang tewas dalam program kerja paksa jepang ini. Contoh nya bagi anak keemenakan dari kekhalifaan Ludai saja,menurut tetuo yang berhasil selamat dari Camp kerja Paksa ini ada Ratusan Orang Ludai yang dikubur secara masal di area Jembatan Desa Kebun Durian sekarang. Begitu juga dengan Camp 7 di Lipatkain dan camp 9 yang ada di Logas. Itu adalah sekelumit kisah yang perna penulis dengar dari para tetuo adat,tentu masih ada cerita sedih yang lalin nya dari setiapnegeri yang ada di Rantau Kampar Kiri.

SEJARAH PERJUANGAN PEMBENTUKAN KABUPATEN GUNUNG SAILAN

Sejarah Perjuangan Pembentukan Kabupaten Gunung Sailan Darussalam
Oleh : Zaldi Ismet, S. Sos (Kepala Bidang kesekretariatan P2K-Gusdar)

Adanya aspirasi masyarakat di Kawasan Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu untuk membentuk daerah otonom baru, Salah satu faktor yang mempengaruhi keinginan masyarakat untuk membentuk suatu daerah kabupaten adalah sejarah pemerintah masa lalu di wilayah tersebut, yang akan dijelaskan dengan memakai periodesasi sejarah berikut. A. Periode Pra Kolonial Pasca Kemunduran Kerajaan Sriwijaya, di Rantau Kampar Kiri berdiri Kesultanan Islam pertama dibumi melayu Riau yaitu Kesultanan Kuntu Darussalam yang berdiri pada abad ke 12 di daerah Kampar kiri yang berpusat dikenegerian Kuntu.Daerah Kuntu pada masa itu adalah sebuah pelabuhan yang sangat ramai di daerah pantai timur Sumatera dengan komoditi Dagang utama yaitu perdangan Lada hitam “ Merica” dan emas. Setelah kerajaan ini runtuh pada awal abad ke 14 daerah Rantau Kampar Kiri direbut oleh kerajaan Majapahit pada masa Adityawarman, setelah pendudukan Majapahit berakhir daerah Rantau Kampar kiri dibawah kerajaan Pagaruyung (Mansur MD, Dkk.,Sejarah Minangkabau). Sebelum periode Kolonial, di wilayah Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu telah berdiri beberapa kerajaan atau kesultanan.Wilayah Rantau Kampar Kiri meliputi wilayah dari Kerajaan Gunung Sailan dan Kesultanan VIII Koto Sitingkai. Sedangkan Siak Hulu pada waktu itu adalah salah satu daerah dari Kerajaan Siak Sri lnderapura. Kerajaan Gunung Sahilan membawahi 5 (Lima) Khalifah atau pembantu raja yaitu Khalifah Ludai, Khalifah Ujung Bukit, Khalifah Kampar Kiri, Khalifah Kuntu, dan Khalifah Batu Sanggan. Ke lima Khalifah itulah yang melaksanakan roda pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Sedangkan Kesultanan VIII Koto Sitingkai membawahi IV Koto Sitingkai Mudik dan IV Koto Sitingkai Hilir. b. Periode Kolonial Kerajaan Gunung Sailan adalah kerajaan yang paling akhir mengakui kekuasaan Kolonial Belanda di Riau. Kekuasaan Belanda baru diakui kerajaan ini pada awal abad ke 19, tepatnya pada tanggal 22 Februari 1905 (Rahim Marlaily, 1981) melalui perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang dikenal dengan sebutan Plakat Pendek (Korte Verklaring). Dengan plakat yang ditandatangani oleh Sultan Tengku Abdul Jalil Bin Yang Dipertuan Hitam ini, Kerajaan Gunung Sahilan mengakui kekuasaan kolonial Belanda atas Kerajaan Gunung Sahilan. Pada tanggal 29 Mei 1922 diadakan perjanjian baru dengan pemerintah Kolonial Belanda, dimana Belanda menempatkan seorang wakil Belanda di ibukota Kerajaan Gunung Sahilan (Controleur) sebagai pengawas pemerintah kesultanan. Perjanjian ini ditandatangani oleh Sultan Tengku Abdurrahman Yang Dipertuan Besar.Setelah perjanjian ini berlaku, Kerajaan Gunung Sailan secara administratif adalah daerah Onder Afdeling yaitu di bawah Afdeling Bengkalis (Keresidenan Belanda di Riau). Pada tahun 1930, terjadi suksesi terakhir dengan pengangkatan Sultan Yang Dipertuan Tengku Abdul Jalil bergelar Tengku Sulung sebagai Raja Gunung Sailan dan Tengku Haji Abdullah sebagai Raja lbadat (Mukhtar Lutfi, Sejarah Riau). c. Periode Fasis Jepang Dengan kemenangan Kekaisaran Jepang dalam Perang Asia Timur Raya yang ditandai dengan didudukinya daerah Indonesia, maka daerah Rantau Kampar Kiri dan Siak pada tahun 1942-1945 diduduki pula oleh tentara Jepang. Karena strategisnya daerah ini, maka bala tentara Kekaisaran Jepang membangun jalan kereta api yang menghubungkan Kota Pekanbaru di pesisir Timur Pulau Sumatera dengan Muara Sijunjung di Sumatera Bagian Barat. Pembangunan jalan kereta api ini merupakan sarana untuk pengangkutan sumber daya alam dan trasportasi militer untuk mendukung Perang Asia Timur Raya guna menghadapi tentara sekutu. Pembangunan jalan kereta api ini mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia " Pahlawan Kerja atau Romusha” dimana bekas-bekas dari jejak sejarah ini masih dapat di lihat di wilayah Rantau Kampar Kiri- Siak Hulu sebagai aset sejarah Daerah. d. Periode Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, wilayah Kerajaan Gunung Sailan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah, status wilayah diganti dengan kewedanaan (Pembantu Residen) Kampar Kiri. Dimana pemimpin di wilayah bekas kerajaan Gunung Sailan ini tetap di pimpin oleh bekas Raja atau Sulthan Gunung Sailan yakni Tengku Haji Abdullah Yang dipertuan Sakti sebagai Wedana dari Kewedanaan Kampar Kiri. Setelah bergabung kedalam NKRI, maka ada Penggabungan daerah-daerah yang berdekatan, pada waktu itu tahun 1946-1949 Kewedanaan Kampar Kiri, berubah posisi sebagai daerah Bantu kewedaaan Kampar Kiri atau Distrik Kampar Kiri dan Sulthan Tengku Haji Abdullah diangkat menjadi PNS dengan pangkat asisten wedana, kemudian Distrik Kampar Kiri digabung dengan Distrik Langgam di hilir sungai Kampar dan distrik Siak Hulu menjadi Kewedanaan Pekanbaru Luar Kota. Dengan ibu Kota Kewedanaan (Kabupaten) yakni Kota Pekanbaru Pada waktu terjadi agresi militer Belanda ll Tahun1948-1949, pemerintahan diambil alih oleh militer. Wilayah bantu kewedanaan Kampar Kiri adalah daerah pertahanan militer, dimana Lipat Kain adalah pangkalan Komando Gerilya III dibawah pimpinan Samsudin Saleh. Gema (Pasir Amo) adalah basis Komando Resimen IV dibawah pimpinan Kolonel Basri, sedangkan Padang Sawah adalah Markas Staf Resimen IV di bawah pimpinan Mayor Marah Halim dan Kapten Arifin Ahmad. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948, Kabupaten Kampar didirikan dalam Propinsi Sumatera Tengah yang direalisasikan dengan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 9 November 1949 Nomor 10/GM/ST.49. Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956 dibentuk daerah otonom dalam Propinsi Sumatera Tengah termasuk Kabupaten Kampar yang terdiri dari Kewedanan Pekanbaru Luar Kota (Kampar Kiri, Siak Hulu, dan Langgam), Kewedanan Pasir Pengarayan, Kewedanan Pelalawan, dan Kewedanan Bangkinang dengan ibu kotanya Pekanbaru. Setelah pemindahan ibukota Kabupaten Kampar ke Bangkinang tanggal 6 Juni 1967, wilayah Kampar Kiri dan Siak Hulu adalah berstatus wilayah kecamatan. Setelah berlaku UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, berdasarkan Pasal 73 maka dibentuklah dua daerah Pembantu Bupati di Kabupaten Kampar yaitu wilayah kerja Bupati I berkedudukan di Kecamatan Rambah Samo dan wilayah kerja Pembantu Bupati II yang berkedudukan di Pangkalan Kerinci. Sedangkan wilayah eks kewedanan Pekanbaru Luar Kota (Kampar Kiri, Siak Hulu, dan Langgam) bersama kewedanan Bangkinang tetap di bawah koordinasi langsung Bupati Kampar. Pada tahun 1999 Kabupaten Kampar dimekarkan menjadi 3 kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 yaitu Kabupaten Kampar, dimana wilayah kabupaten induk ini adalah wilayah eks kewedanaan Bangkinang, dan eks kewedanaan Pekanbaru Luar Kota. Sedangkan Kabupaten Rokan Hulu, merupakan kabupaten yang mengambil wilayah eks kewedanaan Pasir Pengaraian dan Kabupaten Pelalawan, mengambil wilayah eks Kewedanaan Pangkalan kerinci ditambah eks distrik langgam dari kewedanaan Pekanbaru Luar Kota. Dari sejarah pemerintahan ini dapat di lihat adanya arus balik dari sejarah pemerintahan dimana adanya pengakuan kembali dari komunitas politik local pada masa Kolonial Belanda dan era ordelama. Dimana masing-masing daerah Swaparaja atau kewedanaan mendapat pengakuan kembali sebagai daerah otonom kabupaten. Yakni eks kewedanaan Pasir Pangaraian ( Kerajaan Rokan 4 Koto) menjadi Kabupaten Rokan Hulu dan eks kewedanaan Pangkalan kerinci ( Kerajaan Pelalawan) menjadi Kabupaten Pelalawan dan esk Kewedaaan Bangkinang ( eks kedatuan V koto Kampar, 13 Koto Kampar dan 3 Koto Tambang) sebagai Kabupaten Kampar. Akan tetapi dalam arus balik sejarah ini ada satu daerah eks Kewedanaan yang tidak terakomodir dalam perkembangan erus otonomi daerah yakni wilayah eks Kewedaaan Pekanbaru-Luar Kota, dimana daeranya adalah eks Kerajaan Gunung Sailan/Distrik Kampar Kiri dan eks kedatuan VI Tanjung di Siak Hulu yang merupakan satu Propinsi dari kerajaan Siak Sri Indrapura, yang lebih dekat wilayahnya dengan eks kerajaan Gunung Sailan. e. Periode Reformasi Tuntutan perlunya pembentukan daerah kabupaten diwilayah Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu pertama sekali muncul dalam Musyawarah Besar Adat II, yang dilaksanakan pada tanggal 9 s/d 10 Agustus 2000 di bekas Istana Kerajaan Gunung Sailan Kampar Kiri. Semangat dari Mubes Adat II inilah yang menjiwai lahirnya "Deklarasi Kuntu" yang ditandatangani oleh pengurus Lembaga Kerapatan Adat (LKA) Rantau Kampar Kiri dan Datuk Laksamana VIII Koto Sitingkai. Dalam musyawarah pada tanggal 06 Januari 2002 yang juga dihadiri oleh Ninik - Mamak dan pemuka masyarakat Siak Hulu sebagai peninjau, ada dua keputusan yang diambil yaitu: 1. Mempersiapkan dan memperjuangkan Rantau Kampar Kiri menjadi daerah Kabupaten 2. Dalam rangka persiapan dan perjuangan itu peserta sidang merekomendasikan agar masyarakat Rantau Kampar Kiri mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) pada akhir April 2002 Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Kuntu, pada tanggal 02 Januari 2004 diadakan acara Pra-Mubes yang akan mempersiapkan Musyawarah Besar Masyarakat Rantau Kampar Kiri. Acara ini digelar di Gedung Serba Guna Lipat Kain Kecamatan Kampar Kiri. Dalam acara ini diperoleh kesepakatan bahwa masyarakat Siak Hulu siap bergabung dengan masyarakat Rantau Kampar Kiri untuk membentuk kabupaten sendiri. Pada tanggal 28 s/d 29 Februari 2004 diselenggarakan Musyawarah Besar Masyarakat Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu yang bertempat di Gedung Serba Guna Lipat Kain Kecamatan Kampar Kiri. Mubes ini dihadiri oleh 2.000 peserta yang mewakili ninik- mamak, alim-ulama, tokoh masyarakat, cendikiawan, pemerintahan desa, pemuda, mahasiswa, dan tokoh wanita. Dalam musyawarah besar ini dengan suara yang bulat, diputuskan bahwa masyarakat Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu bersepakat untuk membentuk kabupaten baru, serta dibentuknya tiga komisi yaitu: 1. Komisi A: akan mengkaji rumusan rekomendasi politik hasil Mubes Masyarakat Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu 2. Komisi B: akan merumuskan strategi pembangunan bagi wilayah Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu 3. Komisi C: akan membentuk badan pekerja pembentukan Kabupaten Rantau Kampar Kiri dan Siak Hulu Mubes ini juga merekomendasikan tiga alternatif nama calon kabupaten yang akan dibentuk yaitu Kabupaten Gunung Sailan, Kabupaten Khatulistiwa, dan Kabupaten Kampar Hulu. Berdasarkan musyawarah dan mufakat Tim perumus Penyelaras Mubes maka diperoleh suatu keputusan bahwa nama kabupaten yang akan dibentuk adalah Kabupaten Kampar Hulu ( singkatan dari Daerah Kampar Kiri dan Siak Hulu atau eks kewedanaan Pekanbaru Luar Kota ). Sedangkan mengenai lokasi calon ibu kota Kabupaten Kampar Hulu, berdasarkan rekomendasi peserta Mubes, diusulkan 3 (tiga) alternatif terdapat yaitu Kelurahan Lipat Kain, Kelurahan Sungai Pagar, dan Desa Pantai Raja. Setelah menimbang dan memperhatikan kondisi geografis maupun geostrategis dari masing-masing wilayah yang diusulkan, maka tim perumus dan penyelaras menetapkan lokasi calon ibu kota Kabupaten Kampar Hulu adalah Kelurahan Lipat Kain di Kecamatan Kampar Kiri. Sedangkan untuk memperjuangkannya secara legal konstitusional dibentuklah suatu badan yang bernama Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Kampar Hulu Propinsi Riau atau disingkat dengan P3KKH. P3KKH Periode 2004 - 2010 dinakhodai oleh Drs H Anwar Saleh (Alm). Pada masa kepemimpinan beliau ini, P3KKH telah berhasil membuat proposal resmi calon Kabupaten Kampar Hulu yang telah dibahas bersama tim ahli yaitu bapak Dr. H Azam Awang dan Bapak Normansyah, S.Sos, MSi dari akademisi UIR pada tahun 2006. Pada tahun 2006 juga P3KKH telah mendeklarasikan Perjuangan Pembentukan Kabupaten Kampar Hulu di gedung DPRD Kampar dengan diikuti oleh pembentukan PANSUS Pemekaran yang diketuai oleh H Abridar, SH. Kemudian P3KKH juga telah menyerahkan secara resmi Proposal pemekaran calon kabupaten Kampar Hulu kepada Bupati Kampar waktu itu Drs H Burhanuddin Husin MSi, yang diserahkan oleh H. Jasar Karana Dt. Mudo dikantor Bupati Kampar tahun 2006. Setelah beliau wafat pada tahun 2010, P3KKH di Nakhodai oleh Bapak Zulkifli SH. Perjuangan pembentukan Kabupaten dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 mengalami pase-pase sulit akibat kondisi secara internal maupun eksternal, dimana adanya perubahan regulasi tentang pemekaran daerah melalui PP 78 Tahun 2007 Tentang tata cara Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. yang lebih selektif terhadap proses pemekaran di Indonesia serta juga diikuti adanya kendala-kendala yang bersipat politik dan ekonomi maka perjalanan perjuangan mengalami stagnasi. Pada masa ini P3 KKH di Pimpin oleh H. Zulkifli, SH. Pada masa beliau ini sudah dilakukan persiapan tentang kelengkapan syarat administrasi yang berupa dukungan BDP dan ormas bagi pembentukan Kabupaten baru. Setelah munculnya agenda politik Pilgubri 2013, dimana pemekaran Riau menjadi 20 Kabupaten Kota kembali disuarakan untuk percepatan pembangunan daerah, terutama oleh Calon Gubri Ir. HM Lukman Edy M.si dan H. Anas Maamun, muncul kembali wacana untuk menyegarkan agenda perjuangan Pembentukan Kabupaten diwilayah Rantau Kampar Kiri- Siak Hulu. Menanggapi munculnya aspirasi dan desakan dari berbagai kalangan terutama barisan muda pro pemekaran rantau Kampar Kiri-Siak Hulu ( BAMUP-KKH) dan Mahasiswa Rantau Kampar Kiri- Siak Hulu tentang perlunya reorientasi Perjuangan. Maka Badan penyelaras Mubes Masyarakat Rantau Kampar Kiri-Siak Hulu membuat suatu kebijakan untuk menukar nama Kabupaten Kampar Hulu dengan nama Kabupaten Gunung Sailan Darusalam. Kesepakatan ini terjadi berkat adanya musyawarah antara tokoh-tokoh masyarakat Rantau Kampar Kiri- Siak Hulu di Desa Tanah Merah Kecamatan Siak Hulu, dengan fasilitator Dr (HC) . H Tenas Efendi ( Budayawan Riau) sekaligus mengukuhkan Bapak H . Marwas, Datuk Lilin sebagai ketua P2-K Gusdar yang pertama. Pada masa kepemimpinan H. Marwas dilakukan upaya restrukturisasi kepengurusan Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten. Sehingga diharapkan adanya nama baru dan struktur kepengurusan baru, maka asah yang terkembang akan bisa diperjuangkan secara lebih baik serta mampu diwujudkan menjadi suatu daerah otonom baru di Propinsi Riau. Pada tahun 2014 terjadi suksesi lagi dalam tubuh kepanitian pembentukan Kabupaten Gunung Sailan Darussalam, dimana H. Marwas Datuk Lilin, ditunjuk badan perumus dan Penyelaras sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam kepanitiaan sebagai dewan penasehat P2K-Gusdar. Sementara nakhoda baru P2K-Gusdar di serahkan kepada H. Abridar, SH. Pada tahun 2014 ini proses pemekaran daerah di Riau umumnya dan pembentukan Kabupaten Gunung Sailan Darussalam memperoleh dukungan Kuat dari Gubernur Riau terpilih yakni H. Annas Makmun yang memiliki visi pemekaran 4 daerah di Riau, sehingga atas dukungan Gubernur, maka Kabupaten Gunung Sailan Darusalam berhasil mendapatkan Rekomendasi Dari DPRD-Kabupaten Kampar serta Rekomendasi dari DPRD Propinsi Riau. Akan tetapi setelah Gubernur Riau Non Aktif H. Annas Makmun tersandung Kasus gratifikasi pengalihahan lahan di Inhu, maka bersamaan dengan nasib Gubri yang dipesakitan, maka nasib VISI pemekaran Riau termasuk juga Nasib Pemekaran Gunung Sailan Darusalam juga mengalami pesakitan. Pemekaran Kabupaten Gunung Sailan Pasca dinonaktifkannya Gubernur Riau H. Anas maamun juga mengalami stagnasi, walaupun sudah mendapatkan rekomendasi dari DPRD-Kampar dan DPRD Propinsi Riau,akan tetapi prosesnya berdasarkan UU No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, harus memiliki rekomendasi dan persetujuan dari Bupati Kampar dan Rekomendasi dari Gubernur Riau. Sebenarnya sudah dilakukan pendekatan dan lobi-lobi kepada bupati Kampar H Jefri Noer, SH oleh Panitia pembentukan Kabupaten Gunung Sailan dengan difasilitasi oleh Pimpinan DPRD Kampar Yakni Ramadhan, S.Sos. Akan tetapi Bupati mengatakan bahwa beliau pada prinsipnya terserah Mendagri Saja. Walaupun sampai setakat ini rekomendasi dan persetujuan Bupati Kabupaten Induk untuk pembentukan Kabupaten Gunung Sailan Darussalam tersebut juga tak Kunjung diberikan. Pada tahun 2015 awal, muncul kembali gemah pemekaran daerah di Riau, yang disuarakan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR-RI yakni IR. H.M Lukman Edy, MSi. Beliau adalag legislator dari dapil Riau. Munculnya gaung pemekaran Riau ini di tingkat pusat membali membawa semangat bagi panitia pemekaran Gunung Sailan Darussalam. Diamana panitia bergabung dengan kaukus pemekaran Riau di DPR-RI yang dibentuk oleh H.M Lukman Edy. Semenjak itu maka pada tahun 4 Nopember 2015, maka proposal pemekaran dan kajian akademis kelayakan pembentukan kabupaten Gunung Sailan yang disusun oleh Tim pasca sarjana Universitas Riau, secara resmi di dibawah ke DPR-RI melalui Komisi II. Kemudian panitia Juga mendaftarkan pemekaran Gunung Sailan Darussalam ini kepada pemerintah Pusat melalui Kementrian dalam negeri. Pada tanggal 17 Februari 2016 maka terjadilah kunjungan kerja dari Komisi II DPR-RI yakni wakil ketua Komisi II Ir. HM Lukman edy MSi beserta rombongan di wilayah calon kabupaten persiapan Gunung Sailan Darussalam. Diamana penyambutan oleh masyarakat dan panitia dipusatkan di Komplek Mesjid Raya almizan dan Balai adat kenegerian Lipatkain yang dihadiri oleh semua elemen masyarakat Gunung Sailan Darussalam, panitia serta Anggota DPRD Kampar, DPRD Propinsi Riau serta para tamu dengan peserta lebih kurang 1.000 orang. Dengan adanya kunjungan kerja dan peninjauan dukungan masyarakat terhadap pembentukan Kabupaten Gunung Sailan Darussalam ini, oleh DPR-RI dapat dijadikan masukan bagi percepatan pembentukan Kabupaten Gunung Sailan Darussalam Propinsi Riau.