Sabtu, 23 April 2016

SEKELUMIT HIKAYAT BERDARAH PERANG SINGINGI-SUBAYANG

HIKAYAT PERANG SINGINGI SUBAYANG (POGHANG SOSAE) Perang Sosae atau Perang Singingi-Subayang merupakan suatu episode sejarah yang pernah terjadi di pengujung abad ke 18 masehi di rantau kampar kiri. Data-data tentang konflik yang berujung perang saudara ini ada terdapat dalam laporan pemerintah Kolonial Belanda, diantaranya laporan asisten residien Du Puy. Disana disebutkan adanya konflik social yang terjadi di rantau kampar kiri sebelum Kolonial Belanda menguasai kerajaan Gunung Sailan pada Tahun 1901 masehi, melalui perjanjian pendek atau Korte Verklaring. Di akhir abad ke-19 Masehi, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sailan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik Rantau Setingkai, dan daerah Singingi masuk keresidennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sailan. Konflik ini melibatkan Kerajaan Gunung Sailan dan Masyarakat Adat Antau Singingi serta keluarga Kerajaan Pagaruyung yakni Putri Reno atau Yang dipertuan Gadis serta Pemerintah Kolonial Belanda. Konflik ini juga berkait dengan penguasaan kekayaan alam tambang emas di Logas Singingi. Pada tahun 1907 Tengku Abdul Jalil Yang dipertuan Hitam, mengajukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial bahwa Singingi adalah bagian dari Kerjaaan Gunung Sailan. Bukan daerah Taklukan yang dipertuan Gadis Kerajaan Pagaruyuang. Konflik bermula dengan adanya kesepakatan masyarakat antau Singingi yang diikuti oleh masyarakat kenegerian Kuntu beserta yang dipertuan Gadis Pagaruyung untuk berdiri sendiri sebagai kerajaan dibawah yang dipertuan Gadis Pagaruyung. Kesepakatan ini ditolak oleh masyarakat antau Sibayang kampar kiri, yang mengakui bahwa antau Singing termasuk Kuntu adalah wilayah defacto dan deyure dari kerajaan Gunung Sailan. Bukan wilayah merdeka dibawah yang dipertuan Gadis Pagaruyung. Perang pertama sekali terjadi antara Dubalang Subayang di negeri Kuntu. Negeri kuntu pada waktu itu berpihak kepada Yang dipertuan gadis Pagaruyung bersama Singingi. Sehingga wilayah Andiko di hulu subayang terpecah dengan wilayah pusat kerajaan di Gunung Sailan. Untuk itu diutuslah Datuk Godang Khalifah Songgan ke Daulat Raja Gunung Sailan untuk membahas hal tersebut. Maka setelah musyawarah terjadi, keputusannya lahirlah titah perang terhadap yang dipertuan Gadis di Singingi. Dubalang Subayang kemudian merebut kembali Negeri Kuntu, kemudian melakukan penyerbuan ke Koto Tinggi di antau singing, maka pecahlah perang Singingi-subayang. Perang saudara ini kemudian terjadi berlarut-larut, seingga menurut laporan dari belanda, menimbulkan malapetaka dan penderitaan bagi rakyat di kedua belah pihak, terutama masyarakat singingi. Pertempuran antara kedua pihak terjadi di wilayah logas/loge dimana dubalang subayang di pimpin oleh datuk Sigha Mato dari Dubalang Raja Gunung Sailan Khalifah Songgan. Sementara Dubalang Singingi di Pimpin oleh Datuk Tumenggung Logas. Dalam perang singing-subayang ini, secara kekuatan militer laskar Dubalang Subayang berhasil menguasai kembali negeri Kuntu sampai ke Logas Singingi. Akhir dari peperangan ini kemudian masuknya intervensi Pemerintah Belanda dalam penguasaan Tambang emas di Logas, kemudian diikuti deNgan terbunuhnya puti reno Yang dipertuan Gadis di Antau Singingi. Sementara logas jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda, dimana belanda kemudian membuka tambang emas di logas. Sementara status antau singing menjadi wilayah sendiri tanpa bertuan kepada siapapun baik Gunung Sailan Maupun Pagaruyung. Dengan kata lain menjadi daerah Direcrule (Daerah yang dikuasai lansung oleh pemerintah Kolonial Belanda). Walaupun secara adat Datuk Jalo Sutan Khalifah Singingi masih mengaku beraja Kegunung Sailan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar