Minggu, 07 Juni 2015

ISTANA DARUSSALAM KERAJAAN GUNUNG SAILAN

LAMBANG KABUPATEN GUNUNG SAILAN DARUSSALAM


KABUPATEN GUNUNG SAILAN DARUSSALAM


Profil Calon Kabupaten
GUNUNG SAILAN DARUSSALAM
Pusat Pemerintahan di kota Lipatkain Kecamatan Kampar Kiri
Luas wilayah  4.635.62    Km2 (40 %  dari luas Kabupaten Kampar)
(1). Kec. Kampar Kiri
(2). Kec Kampar Kiri Hulu
(3). Kec Kampar Kiri Hilir
(4). Kec Kampar Kiri Tengah
(5). Kec gunung Sahilan
(6). Kec Siak hulu
(7). Kec Perhentian Raja.
Dengan 96 Desa dan Kelurahan (Tahun 2012).
Batas wilayah :

SEKILAS INFORMASI TENTANG " TAPAK SEJARAH GUNUNG IBUL"...RANTAU KAMPAR KIRI

Dalam buku Sejarah Riau yang disusun Wan Galib dkk dalam BAB VI yakni Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda, tepat pada halaman 355-357 disebutkan tentang Kerajaan Kamparkiri. Berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti namun salah satu peninggalannya adalah suatu tempat disebut benteng yang menjadi peninggalan bersejarah. Masyarakat tempatan menyebut ini sebagai peninggalan sejarah sebelum Islam. Artinya, kerajaan ini sudah berdiri sebelum agama Islam masuk. Namun kemungkinan besar perkembangannya berkemungkinan besar baru mencuat pada awal abad 19 Masehi. Kerajaan Kampar Kiri ini berpusat di Gunungsahilan yakni kira-kira 5 Km dari Kampung Kebun Durian, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Wilayah kerajaan ini meliputi dari Muara Linggi (Langgam, kini masuk Kabupaten Pelalawan) di hilir sampai ke Pangkalan Dua dihulu (diperkirakan daerah Pangkalan Indarung di Sumatera Barat).Perkembangan kerajaan ini diperkirakan tergolong lambat sebab dalam beberapa kali keturunan raja-raja yang memerintah tidak terdapat perubahan-perubahan yang berarti. Pada 1905, Tengku Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam yang menduduki tahta kerajaan, mengirim utusan ke Bengkalis untuk menyerahkan dan mengaku tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuan negerinya akan aman dan makmur. Maka 27 Februari 1905 disepakati sebuah perjanjian antara kerajaan Kamparkiri dengan Hindia Belanda dan setelah itu, kerajaan Kamparkiri merupakan wakil pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Kamparkiri langsung diwakili seorang raja dengan gelar Yang Dipertuan Besar van Gunung Sahilan en Datuk van het Landschap. Pada 29 Mei 1907 kembali dibuat perjanjian dengan Hindia Belanda yang ditandatangani Yang Dipertuan Abdurrahman sebagai pengganti Sultan Abdul Jalil. Maka dengan perjanjian tersebut, secara administrasi kekuasaan Kamparkiri diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Belanda menempatkan seorang controleur sebagai kepala dari pangreh praja di sana dan menurut perjanjian itu bekas kerajaan Kampar Kiri termasuk dalam Zelbestuur. Kerajaan ini dibagi atas lima kekhlifahan dan kedudukan khalifah tidak terpusat pada pusat pemerintahan tetapi berkedudukan di daerahnya masing-masing. Lima kekhalifahan itu antara lain; Datuk Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunungsahilan, Datuk Bendahara Khalifah Kuntu berkedudukan di Kuntu, Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit berkedudukan di Ujung Bukit, Datuk Gedang Khlaifah Batu Sanggam berkedudukan di Batu Sanggam, serta Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai berkedudukan di Ludai. Kerajaan Kamparkiri kemudian disebut dengan Kerajaan Gunungsahilan yang semula meliputi 25 negeri, berkembang menjadi 30 negeri. Pada 1930 Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti ditabalkan sebagai raja. Perhelatan besar dilaksanakan dengan memotong beberapa ekor kerbau tiap-tiap orang dari khalifah yang berlima. Pembangunan di masa pendudukan Belanda arah pembangunan negeri hanya untuk kepentingan Belanda seperti pembangunan kantor pos, kantor kontreleur dan sekolah. Sedangkan istana sultan dibangun sekedar mengambil hati sultan agar kerajaan tersebut tetap setia pada Hindia Belanda. Salah seorang keturunan Tengku Sulung yakni Tengku Arifin bin Tengku Sulung menjelaskan, hingga hari ini masih ada tapak-tapak sejarah yang terabaikan seperti kandang kuda, sekolah perpolof school, asrama polisi, pesanggrahan, penjara, kantor markoni/berita dan kantor raja/merah. Bernama Gunungibul Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunungibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunungibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunungibul, atau Kerajaan Gunungsahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunungsahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunungibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orangtua mereka, Kerajaan Gunungibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunungibul. “Cerita soal Kerajaan Gunungibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunungsahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana. Diakui keduanya, cerita tentang Gunungibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunungsahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunungsahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu sedang dalam menuai masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh. “Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali domo,’’ ujarnya. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunungsahilan untuk meminta anak raja dan di-raja-kan di Gunungsahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang untuk datang ke Pagaruyung mencari siapa yang pantas dirajakan di Negeri Gunungsahilan. “Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunungsahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunungsahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). “Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.

SEJARAH KEDATUAN GUNUNG IBUL HINGGA LAHIR KERAJAAN GUNUNG SAILAN

SEJARAH KEDATUAN GUNUNG IBUL HINGGA LAHIR KERAJAAN GUNUNG SAILAN OLEH : ZALDI ISMET, S.Sos KERANGKA PENELITIAN PEKANBARU 2014 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata syajara dan syajarah. Syajara berarti terjadi dan syajarah berarti pohon yang kemudian diartikan silsilah. Arti harfiah syajarah melahirkan sejarah dalam pengertian sempit, yaitu silsilah, asal-usul atau riwayat. Pada awal perkembangan pengetahuan, sejarah dalam pengertian sempit itulah yang dipahami secara umum oleh masyarakat. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian sejarah pun mengalami perkembangan. Hasil sejarah tersebut, meninggalkan suatu bentuk peninggalan budaya bangsa. Peninggalan tersebut berupa tulisan, simbol, ornamen, bangunan-bangunan bersejarah dan sebagainya, sehingga peninggalan tersebut dapat dinikmati dan dikenal secara nyata nilai budayanya oleh generasi-generasi penerus bangsa. Sejarah merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan maka sejarah harus dapat dipercaya kebenarannya.Oleh karena itu didalam menggali berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi harus berdasarkan pada sumber-sumber yang ada. Untuk menggali sumber-sumber sejarah harus berdasarkan pada metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah langkah-langkah sistematis didalam mengkaji berbagai peristiwa sejarah melalui pencarian informasi sumber sejarah, mengumpulkan sumber sejarah, memeriksa kebenaran sumber sejarah, menafsirkan sumber sejarah dan menuliskan kembali peristiwa sejarah. Menurut Louis Gottschalk metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman atau peninggalan masa lampau. Kemudian data-data yang telah teruji dan dianalisis disusun kembali menjadi sebuah kisah sejarah. Sejarah merupakan bagian dari ilmu pengetahuan serta memiliki obyek yang jelas yaitu peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau. Selain itu sejarah juga memiliki metode penelitian tersendiri yaitu metode historis . Metode historis adalah proses penelahaan secara ilmiah terhadap berbagai peristiwa dari perspektif sejarah. Yang dimaksud dengan perspektif adalah menganalisis peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau untuk kepentingan masa sekarang dan masa yang akan datang. Untuk menganalisis berbagai masalah pada umumnya dicari generalisasi sehingga dapat memahami memahami kenyataan-kenyataan pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Dengan malalui metode historis maka dapat dilakukan penafsiran terhadap gejala, peristiwa maupun gagasan yang pernah muncul pada masa lalu. Agar ilmu sejarah dapat dipercaya kebenarannya, maka sejarah memiliki kaidah atau disiplin ilmiah yaitu metodologi penelitian sejarah. Metodologi adalah langkah-langkah atau tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan dalam penelitian sejarah. Metodologi penelitian sejarah merupakan suatu proses untuk mengumpulkan, menilai dan menafsirkan sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan. Menurut Nugroho Notosusanto yang dimaksud metode penelitian sejarah adalah : Prosedur dari sejarah untuk melukiskan kisah masa lampau itu ternyata terjadi (1) mencari jejak-jejak masa lampau (2) meneliti jejak-jejak secara kritis (3)berdasarkan informasi yang diberikan oleh jejak-jejak itu berusaha membayangkan bagaimana imajinasi ilmiah (Nugroho Notosusanto 1971:72). Wilayah Rantau Kampar Kiri, mulai dikenal dalam Catatan Sejarah dimulai dari awal adab mula sejarah (Proto Sejarah) Nusantara yakni abad ke 1-5 M. catatan catatan sejarah yang membahas tentang wilayah ini sangat berkaitan dengan aktivitas perdagangan. Aktivitas perdagangan ini muncul karena wilayah ini terletak di aliran sungai-sungai besar yang bermuara ke laut yakni selat Malaka, dimana selat malaka merupakan Bandar transito perdagangan antara berbagai macam bangsa-bangsa dunia semenjak zaman dahulu sampai hari ini. Aktivitas perdagangan diselat Malaka juga berkaitan dengan jalur perdangan lainnya yakni sungai-sungai besar yang menghubungkan daerah pantai dengan daerah pedalaman pulau sumatera (Pulau Percha/Poco) atau juga dikenal dengan nama pulau emas (Swarnabumi). Pulau Sumatera merupakan Pulau besar dinusantara yang banyak memiliki sumber daya alam yang dibutuhkan oleh berbagai macam bangsa dunia,diantaranya Emas, Timah, Lada/Merica, Pinang, Damar, Rotan, Gaharu, Gading Gajah dan rempah-rempah lainnya. Jalur transportasi utama untuk membawa barang dangan ini ke pasaran dunia adalah jalur sungai, salah satu jalur sungai ini adalah sungai Kampar, dahulunya bernama laut Ombun atau Sungai Ombun. Sungai Kampar telah mengalami perubahan selama ribuan tahun. Perubahan ini juga menyebabkan perubahan terhadap nama Sungai Kampar itu sendiri, yakni Laut Ombun berubah menjadi Sungai Ombun dan berubah lagi menjadi Sungai Kampar. Sungai Kampar atau Batang Kampar merupakan sebuah sungai di Indonesia, berhulu di Bukit Barisan sekitar Sumatera Barat dan bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera Riau. Sungai ini merupakan pertemuan dua buah sungai yang hampir sama besar, yang disebut dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Pertemuan ini berada pada kawasan Langgam (Kabupaten Pelalawan), dan setelah pertemuan tersebut sungai ini disebut dengan Sungai Kampar sampai ke muaranya di Selat Malaka. Aliran Sungai Kampar Kanan menelusuri Lima Puluh Kota dan Kampar, sedangkan aliran Sungai Kampar Kiri melewati Sijunjung, Kuantan Singingi dan Kampar, kemudian kedua aliran sungai tersebut berjumpa di Langgam Pelalawan. Sungai Kampar Kanan bermata air dari Gunung Gadang, memiliki luas daerah tangkapan air 5.231 km². Alur utama semula mengalir ke utara kemudian berbelok ke timur, bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir dengan kemiringan sedang melalui lembah Batubersurat.Selanjutnya bertemu dengan anak sungai Batang Mahat, mengalir ke arah timur. Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalau tinggi, Gunung Solok janjang, Gunung Paninjauan Nan Elok, memiliki luas daerah tangkapan air 7.053 km². Sungai Kampar Kiri memiliki banyak anak sungai besar diantaranya bernama Batang Sibayang, Batang Singingi, Sungai Teso, Sungai Lipai, Sungai Sitingkai, serta puluhan sungai-sungai kecil lainnya. Diantara anak-anak sungai batang Kampar Kiri tersebut hanya ada beberapa sungai yang dihuni oleh pemukiman manusia sebagai tempat pemukiman yakni : 1. Sungai Singingi 2. Sungai Sibayang 3. Sungai Sitingkai 4. Sungai Lipai 5. Sungai Teso Diantara lima sungai yang terdapat pemukiman penduduk didalamnya, ada tiga sungai yang memiliki persebaran penduduk yang banyak yakni sungai Singingi, sungai Sibayang dan sungai Sitingkai. Uniknya ketiga sungai ini bermuara di Koto Bungo Setangkai/Lipatkain, dimana dipertemuan diantara tiga sungai ini terletak garis khatulistiwa. Koto Bungo Setangkai ini adalah disebut Kapalo Koto Gunung Sailan, karena Koto Dalam Gunung Sailan terletak dihilir Koto Bungo Setangkai, sedangkan di Hulu Koto Bungo Setangkai terdapat Negeri Lubuk Cimpuer yang disebut Negeri Indo Ajo yang menjadi batas dengan negeri-negeri di rantau Andiko (Sibayang ) dimana Negeri Kuntu Teroba adalah gerbang untuk memasuki negeri-negeri di Antau Andiko (Sungai Sibayang). Sementara aliran sungai Sitingkai juga menjadi jalur utama dan singkat untuk mencapai daerah hulu Kampar kanan melalui hulu sungai ini, atau tepatnya menuju wilayah XIII Koto Kampar melalui negeri Balung dihulu Sitingkai, dimana di Koto tuo XIII koto Kampar juga terdapat peninggalan peradaban tua yakni Candi Muara Takus, yang dianggap sebagai salah satu peninggalan dari Kedatuan Sriwijaya. Dalam cerita rakyat Kampar Kiri pada zaman dahulu sungai Batang Kampar Kiri, itu adalah masih berupa lautan dan anak-anak sungai itu dulunya bermuara ke laut. Laut yang berada di daerah batang Kampar kiri itu dulunya di sebut laut Sailan atau Lawik Sailan menurut dialek lokal Kampar Kiri. Dalam catatan I-Tsing yang Terlupakan, Kini menjadi silang sengketa para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “ Sriwijaya ” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713 M. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang. Bagi Slamet Mulyono, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus, Bungo Setangkai, Gunung Ibul dan Kuntu Teoroba , berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau disekitar garis tengah bumi tersebut, diduga menjadi Tapak-Tapak dari suatu peradaban Tua Sriwijaya di Provinsi Riau ini. Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama-tama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan. Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu.Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu. Situs Gunung ibul, sudah ditemukan oleh tim penulisan sejarah Riau tahun 1999 sedangkan situs Kuntu Teoroba, sudah dibahas dalam sejarah Minangkabau oleh Mansur MD dan kawan-kawan, pada tahun 1970-an. Catatan tentang kedua daerah ini menjadi sentral dalam catatan sejarah tentang Rantau Kampar Kiri, Kampar maupun propinsi Riau serta sumatera tengah pada Umumnya. Akan tetapi karena Rantau Kampar kiri sangat identik dengan Kerajaan Gunung Sailan yang didirikan sekitar abad ke 16 M, sehingga kajian sejarah tentang Rantau Kampar kiri berputar pada kerajaan yang berumur cukup muda tersebut dengan berpatokan kepada Kerajaan Pagaruyung yang berdiri pada awal abad ke 14 M. Sementara situs-situs peradaban tua yang menjadi soko guru atau identitas asli dari masyarakat Kampar dan Propinsi Riau kurang terperhatikan. Penelitian sejarah di gunung ibul menurut sumber dari H. Anwar Saleh (alm) sudah pernah dilakukan oleh H. Wan Ghalib dan beberapa sejarawan Riau, sedangkan penelitian tentang situs sejarah di Kuntoe Terobah juga sudah sering dilakukan oleh ahli-ahlu budaya dan sejarwan di Riau ini, sedangkan situs-situs berupa makam-makam tua di Koto Bungo Setangkai belum perna dipublikasikan oleh para peneliti dan ahli sejarah. Demikianlah penelitian-penelitian yang pernah dilakukan di wilayah Rantau Kampar Kiri, jelas bahwa penelitian sejarah secara sistematis, baik berupa survey maupun ekskavasi belum pernah dilakukan. Bukti sejarah itu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Data yang tersimpan dalam situs, harus bisa kita teruskan kepada generasi mendatang supaya bisa dipelajari dan dimaknai oleh mereka. Sikap Apatis untuk mengkaji dan melestarikan situs sejarah di negeri kita, akan berakibat pada pudarnya kesempatan mereka untuk memahami sejarah tentang diri kita sendiri. Oleh karena itu penelitian terhadap situs harus benar-benar komprehensif, selangkah demi selangkah, tetapi penuh tanggung jawab. B. PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN Dari latar belakang pemikiran diatas maka ditariklah suatu rumusan terhadap topik penelitian diatas yakni “ Bagaimanakah gambaran Sejarah Kedatuan Gunung Ibul Hingga Lahirnya Kerajaan Gunung Sailan..?” Urgensi nya topik ini dibahas menjadi suatu tema penelitian karena banyaknya situs-situs tua dan cerita-cerita rakyat di Kawasan Rantau Kampar Kiri yang menunjukkan adanya bekas-bekas peradaban yang lebih tua dari kerajaan Gunung Sailan. Sehingga perlu de eklporasi kaitan antara situs-situs tua tersebut dengan lahirnya kerajaan Gunung sailan. C. PEMBATASAN MASALAH D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Wilayah Rantau Kampar Kiri telah memiliki sejarah yang cukup panjang berbagai tingggalan budaya masa lampau, baik yang berasal dari jaman pengaruh Hindu-Budha , maupun dari jaman pengaruh Islam banyak ditemukan di wilayah ini. Di antara tinggalan-tinggalan budaya itu, tinggalan budaya yang berasal dari jaman pengaruh Hindu-Budha dibuat pada masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 6-13 M. Meski pun demikian tidak tertutup kemungkinan ada juga yang dibuat pada masa sebelum kerajaan itu berdiri. Berdasarkan berita I- Tsing disebutkan sebuah tempat dimana Ibu Kota Mo-lo you itu terletak tempat dimana pada tengah hari orang menginjak kepalanya (bayangannnya sendiri) dimana lokasi ini menunjukkan arah garis Khatulistiwa. Kemudian juga dalam prasasti kedudukan bukit dimana disebutkan adanya suatu daerah “MinanggaTamwan” yang oleh Poerbocaroko ditafsirkan sebangai “ Minangga Temon atau pertemuan sungai-sungai, sebagai tempat awal kebangkitan sriwijaya. Dimana menurut beliau lokasi Minangga Temon itu adalah pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kalau ini benar, tentu sebelum kerajaan Sriwijaya berdiri telah ada suatu bentuk pemerintahan lain di daerah Kampar khususnya di Rantau Kampar Kiri. Data arkeologis menunjukkan bahwa di wilayah Rantau Kampar Kiri, telah lama dihuni orang. Terbukti dengan ditemukakannya bekas-bekas reruntuhan candi an perbentengan di daerah Gunung Sahilan yakni “ situs Gunung Ibul ” kemudia tembayan besar (kendi besar), serta makan-makan tua di daerah Lipatkain atau Bungo Setangkai, yang disebut makam Datuk Kumbuok. Serta. Ditemukannya komplek perkampungan tua, serta makam-makam raja Islam di desa Kuntu kecamatan Kampar Kiri disuatu tempat yang disebut Kebun Rajo. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengertian situs dijelaskan sebagai berikut: “ Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu”. Sementara itu dalam catatan-catatan sejarah masa lampau dari berbagai penulis baik luar dan dalam negeri, selalu menyebutkan nama Kampar Kiri dan Bandar Kuntu, sebagai sebuah pelabuhan dagang yang besar dikawan pantai timur Sumatera, dimana keberadaan daerah Kuntu sebagai salah satu Bandar dagang Sriwijaya diakui oleh masyarakat sejarah dunia. Berdasarkan data tersebut, penelitian tapak-tapak sejarah tua ini bertujuan mengetahui sebaran pemukiman dan bagaimana bentuk pemukiman kuno di Rantau Kampar Kiri. Apakah merupakan pemukiman sakral, pemukiman profan, ataukah keduanya. Kalau di Gunung Ibul terdapat bangunan dan perbentengan kuno dan di Bungo Setangkai/Lipatkain adalah daerah lintasan Khatulistiwa sedangkan Kuntu adalah pelabuhan dagangan pada masa lampau, tentu ada masyarakat pendukung dari situs-situs itu. Setidak-tidaknya sekelompok masyarakat yang memelihara an menguasai itu situs-situs tersebut. Hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pemeliharaanya. Dengan demikian : 1. Tujuan penelitian Sejarah Kedatuan Gunung Ibul Hingga lahirnya Kerajaan Gunung Sailan adalah : a. Berusaha mengetahui bagaimana asal usul dari kelompok masyarakat membuat dan menghuni situs tua di Gunung ibul, Kuntu Teoroba dan Bungo Setangkai serta ditempat lainnya di wilayah Rantau Kampar Kiri serta hubungan diantara situs-situs tersebut; b. Berusaha mencari dan mengetahui bentuk denah bangunan dan barang-barang peninggalan sejarah di Gunung Ibul, Kuntu teoroba dan Bungo Setangkai c. Berusaha mengetahui pertanggalan situs Gunung Ibul, Kuntu Teoroba dan Bungo Setangkai. 2. Kegunaan Penelitian Sejarah Kedatuan Gunung Ibul Hingga lahirnya Kerajaan Gunung Sailan adalah : a. Untuk memetakan situs –situs sejarah di Rantau Kampar Kiri guna melindungi situs tersebut menjadi cagar Budaya daerah b. Sebagai sarana penemuan identitas kebudayaan masyarakat Kampar pada Khusunya dan masyarakat Riau pada Umumnya. c. sebagai sarana pengembangan pariwisata sejarah di kabupaten Kampar serta Propinsi Riau menuju Riau Negeri Wisata. E. METODE PENELITIAN Menurut Gottschalk, (1975:18) ada empat langkah kegiatan dalam prosedur penelitian sejarah, yaitu : 1. Heuristik (mencari sumber) Yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau yang berupa keterangan-keterangan, kejadian, benda peninggalan masa lampau dan bahan tulisan. Dalam pengumpulan data ini dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu : a. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara mencari dan membaca buku-buku dan literatur yang relevan dengan tema penelitian. b. Studi Lapangan Untuk Observasi Yang dimaksud dengan studi lapangan yaitu suatu cara melalui pengamatan langsung untuk menghimpun jejak sejarah terhadap lokasi atau objek studi dalam penelitian ini. Dengan teknik ini penulis secara langsung melihat keadaan, suasana, dan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di suatu daerah. c. Wawancara Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap informan, agar yang akan diwawancarai mau menjawab dengan lancar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis dapat menggali dan memperoleh informasi yang disajikan informan serta mampu membedakan informasi yang sesungguhnya dan informasi yang semu. Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, maka perlu mempersiapkan beberapa hal teknis, yaitu : 1) Dibuat pedoman wawancara. 2) Menghubungi informan yang akan diwawancarai. 3) Pengaturan waktu, hari, dan tempat wawancara. 4) Persiapan-persiapan lain yang diperlukan. 2. Kritik Sumber Kritik sumber adalah usaha kegiatan untuk mendapatkan data yang tingkat kebenarannya atau kredibilitas paling tinggi dengan melalui seleksi data yang telah terkumpul. Kritik sumber ini dibedakan kritik ekstern dan kritik intern. a. Kritik Ekstern, yaitu yang bertujuan untuk menguji otensitas, asli tidaknya sumber yang dipakai. Caranya dengan kompilasi atau membandingkan antara buku dengan dokumen yang diperoleh, sumber yang dipakai dari buku yang bersangkutan saling diperbandingkan juga. Tidak semua jawaban ditulis karena tidak lulus seleksi. Hal ini wajar karena tiap pribadi mempunyai sudut pandang yang berbeda. Dalam penelitian ini penulis telah melakukan kritik ekstern yaitu penilaian terhadap buku-buku referensi dan pemilihan informan untuk melakukan teknik wawancara . Dalam melakukan kritik ekstern terhadap sumber-sumber tertulis dengan cara menilai apakah sumber-sumber yang penulis peroleh merupakan sumber yang sesuai dengan permasalahan yang penulis kaji atau tidak. b. Kritik Intern. Yaitu kritik yang menilai sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan. Sumber-sumber itu berupa buku-buku kepustakaan guna melihat isinya relevan dengan permasalahan yang dikaji serta bisa dipercaya kebenarannya. Pada tahap kritik intern untuk mengkritisi hasil wawancara, yaitu dengan membandingkan isi data yang penulis peroleh di lapangan berupa hasil wawancara dari para informan yang satu dengan informan yang lain. Pembandingan jawaban tersebut bertujuan untuk mempermudah penulis dalam mengambil satu kesimpulan mengenai keterangan yang diberikan oleh para informan tersebut akan kebenaran jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Hal ini dilakukan karena ingin memperoleh jawaban dengan nilai pembuktian dari isi atau data sumber tersebut masih relevan atau tidak. 3. Interpretasi Interpretasi merupakan usaha untuk mewujudkan rangkaian data-data yang mepunyai kesesuaian satu sama lain dan bermakna (Widja, 1989:23). Interpretasi ini dilakukan untuk menentukan makna yang saling berhubungan antara data yang telah diperoleh, pada tahap ini data data yang diperoleh di olah hingga diperoleh fakta sejarah.Fakta-fakta sejarah yang telah melalui tahap kritik sumber dihubungkan atau saling dikaitkan sehingga pada akhirnya akan menjadi suatu rangkaian yang bermakna. 4. Historiografi Penyususunan kesaksian yang dapat dipercaya menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti. Bentuk dari cerita sejarah ini akan ditulis secara kronologi dengan topik yang jelas sehingga akan mudah untuk dimengerti dan dengan tujuan agar pembaca dapat mudah memahaminya. Hasil dari penelitian yang diteliti secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang berlaku tanpa mengurangi daya tarik untuk membaca yang kemudian dibukukan. sedangkan menurut Ismaun (1993:22) historigrafi merupakan merekontruksi imajinatif masa lalu manusia berdasarkan bukti bukti dan data data yang diperoleh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode dasar yang akan diterapkan dalam penelitian sejarah kedatuan Gunung Ibul Hingga Lahirnya Kerajaan Gunung Sailan ini adalah: 1. Metode Eksploratif Study. Metode eksploratif dengan maksud mencari dasar-dasar atau asal usul keberadaan situs-situs tua tersebut melalui bukti-bukti primer yang berasal dari penduduknya melalui metode interview dengan melibatkan para tetuo adat dan orang-orang yang memiliki informasi tentang keberdaann situs-situs tersebut. Asal-usul atau berupa cerita rakyat/foklor, legenda-legenda, ataupun mitologi tentang keberadaan situs-situs tersebut. Serta juga memakai sumber data primer berupa catatan-catatan memalui riset dokumentasi/library. 2. Metode survei ekskavasi. Survei dilakukan dengan maksud memilih dan mencari indikator pada lokasi yang diduga terdapat sisa pemukiman masa lampau. Dalam survey Ekskavasi gejala yang perlu diperhatikan adalah topografi permukaan tanah dan singkapan-singkapan tanah. Dari pengamatan itu diharapkan dapat ditemukan indikator pemukiman masa lampau. Bentuk topografi yang landai dan dekat air lebih memungkinkan manusia untuk tinggal di tempat tersebut. Pengaruh pengikisan oleh arus air sungai Kampar kiri juga mempengaruhi pengamatan terhadap sisa pemukiman masa lampau. Arus sungai Kampar Kiri diwaktu banjir dapat menutup sisa pemukiman. Oleh sebab itu pengamatan terhadap singkapan tanah dan didalam batang air sungai harus dilakukan. Hasil survei permukaan itu kemudian dipetakan dalam sebuah peta topografi yang berskala kecil. Dengan peta ini diharapkan dapat diketahui sebaran pemukiman masa lampau. Ekskavasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kronologi situs, dan untuk mengetahui keletakan temuan secara tepat pada lapisan tanah. Penelitian Tapak sejarah peradaban Tua Gunung Ibul, Bungo Setangkai dan Kuntu di Rantau Kampar Kiri baiknya dilaksanakan pada musim kemarau, yaitu tanggal Maret 2014- Agustus 2014, selama 6 Bulan, karena pada bulan-bulan itu dapat memudahkan survei dan ekskavasi. Pengamatan terhadap lapisan tanah dan didalam sungai akan menjadi sulit apabila turun hujan. F. SISTEMATIKAN PENULISAN Rencana penulisan Sejarah Kedatuan Gunung Ibul Hingga Lahirnya Kerajaan Gunung Sailan ini terdiri atas IV BAB yaitu : BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH B. PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN C. PEMBATASAN MASALAH D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN E. METODE PENELITIAN F. SISTEMATIKAN PENULISAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CATATAN-CATATAN SEJARAH TENTANG RANTAU KAMPAR KIRI B. TEMUAN PENELITI TERDAHULU TENTANG BUKTI SEJARAH DI RANTAU KAMPAR KIRI BAB III HASIL PENELITIAN A. EKPLORASI CERITA RAKYAT RANTAU KAMPAR KIRI TENTANG a. Kedatuan Gunung Ibul b. Kedatuan Bungo Satangkai c. Kedatuan Kuntu Teoroba B. TEMUAN-TEMUAN BUKTI ARKEOLOGIS TENTANG DI RANTAU KAMPAR KIRI TENTANG a. Kedatuan Gunung Ibul b. Kedatuan Bungo Satangkai c. Kedatuan Kuntu Teoroba C. HUBUNGAN KEDATUAN GUNUNG IBUL DENGAN LAHIRNYA KERAJAAN GUNUNG SAILAN BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN B. SARAN-SARAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR NARASUMBER/RESPONDEN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CATATAN SEJARAH TENTANG RANTAU KAMPAR KIRI Jejak-jejak sumber tertulis tentang peradaban Tua dipulau Swarnabumi/ Sumatera dapat dirumut melalui kajian pustaka, dimana para sejarwan sepakat tentang adanya sebuah Tamaddun atau peradaban politik dari bangsa Melayu yakni Sriwijaya. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar di kawasan Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad 20, kedua kerajaan besar ini menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum adanya kolonialisme Belanda. Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya tiga pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya. Sekitar 1993, seorang bernama Pierre-Yves Manguin melakukan observasi. Ia pun berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya, sejarawan bernama Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang). Dalam catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, Bila Malayu ada di kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang). Dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa ) di tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Sumber, http://jakartapedia.net/index.php?title=Sriwijaya Catatan I-Tsing yang Terlupakan Kini, silang sengketa para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “Sriwijaya” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang. Bagi Slamet Mulyono, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus pada siang hari, berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau tanpa ada bayangan. Nah, jika Palembang, Jambi dan beberapa daerah lain juga negara di Asia Tenggara mengaku bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di wilayah mereka, maka kita kembali kepada pangkal: catatan I-Tsing, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada pada siang hari tidak ada bayang-bayang. "Ini kuasa Allah. Dari dasar inilah, banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau," (Sumber : A.Latif Hasyim, Sejarawan Kampar). Seorang biksu dan juga pelaut China bernama Itsing (671M) dalam dua bukunya berjudul “Nan hai kuei nai fa chuan” dan “Ta tang si yu kufa kao seng chuan” menceritakan, ibukota Sriwijaya itu apabila berdiri disana maka bayang-bayang seakan seakan tidak ada. Bila diletakkan tongkat Wela Cakra, maka bayangannya tidak lebih pendek atau tak lebih panjang. Bila dianalisa, ada beberapa tempat lainnya yang pernah disebut sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya seperti Jambi, Palembang, Kedah dan Teluk Tonking. Namun dari tempat-tempat tersebut hanya Muara Takus yang terletak tepat di garis Khatulistiwa. Itsing juga menyebutkan pusat Kerajaan Sriwijaya ini dikelilingi tembok-tembok batu dan tembok tanah yang sangat panjang dan besar. Apa yang disebutkan Itsing ini ternyata ada di Muara Takus. Bekas-bekas tembok yang diceritakan Itsing ini hingga saat ini masih bisa dilihat di Muara Takus. Di Indonesia sendiri, sejarawan yang menulis buku Sriwijaya, Prof. DR. Slamet Mulyana menulis bahwa berita dari Arab dan China menyebutkan Ibukota Sriwijaya itu terletak di pinggir sungai besar. Sama halnya dengan J.L. Moens yang menyimpuilkan Sriwijaya terletak di daerah pertemuan dua sungai besar yakni Sungai Kampar Kanan dan Batang Mahat. Selain pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan tertua di Asia Tenggara dan dinasti terlama di dunia (3-13 Masehi), Muara Takus juga sebagai pusat pendidikan dan pusat agama Budha dunia. Muara Takus sering dikunjungi para biksu salah satunya Itsing yang ingin memperdalam agama Budha. Selama di Muara Takus inilah Itsing berhasil menulis dua buku.Tulisan Itsing ini yang menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa Muara Takus merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya yang disebutnya Shih Li Posih. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang terletak di pulau Sumatra, tepatnya di Palembang. Menurut dugaan, kerajaan sriwijaya selalu berpindah-pindah.Awalnya berada di Minangatamwan (daerah sekitar Candi Muara Takus di Riau daratan). Kemudian dipindahkan ke Jambi, lalu ke Palembang.Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah candi di Muara Takus.Dan di Palembang ditemukan arca Buddha Siguntang, karena pada abad ke 8 M, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat ziarah dan belajar agama Budha. Kerajaan ini berdiri sekitar awal abad ke 7 M. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Buddha terbesar di Asia Tenggara karena memiliki daeraah jajahan yang luas dan menguasai perdagangan laut. Daerah jajahannya meliputi: Laut Natuna, Semenanjung Malaya, Tanah genting Kra, Selat Malaka, Laut Jawa, Ligor, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Selat Sunda. Perdagangan kerajaan Sriwijaya sangat besar dan maju disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 1. Letak Sriwijaya strategis berada pada jalur perdagangan India-Cina. 2. Armada laut Sriwijaya kuat sehingga mampu menjalin hubungan dan kerjasama dengan India dan Cina 3. Sriwijaya telah menguasai daerah jajahan yang luas sebagai pusat-pusat perdagangan 4. Sriwijaya mempunyai hasil bumi melimpah sebagai bahan dagang yang berharga, terutama rempah-rempah dan emas Kerajaan sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 7 dan ke 8 M pada masa pemerintahan Balaputradewa. Menurut prasasti Nalanda di India, Balaputradewa adalah cucu raja di Jawa yang berasal dari keluarga Syailendra. Ayahnya bernama Samaratungga dan Ibunya adalah Dewi Taraputri, putri raja Dharmasetu (Sriwijaya). Sumber sejarah adanya kerajaan Sriwijaya antara lain : 1. Prasasti Kedukan Bukit (683 M) Prasasti ini ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berukuran 45 x 80 cm dan terdiri dari 10 baris kalimat. Isinya menceritakan bahwa pada tahun 683 M raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukkan daerah Minangatamwan. Mereka menang dan berhasil mendirikan kota Sriwijaya. Berikut tulisan prasasti Kedukan Bukit: svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu apunta hiyaklapakşa vulan vaiśākha d<m> nāyik di sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa apunta hiyavulan jyeşţha d<m> maŕlapas dari minānga vala dualakşa dangan ko-tāmvan mamāva yam duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu di mata japtlurātus sapulu dua vañakña dātam sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula…. marvuat vanua …..laghu mudita dātam śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa ….. Terjemahan per baris: 1. Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas 2. paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyaŋ naik di 3. perahu “ mengambil siddhayātra ”. Pada hari ke tujuh paro-terang 4. bulan Jyestha Dapunta Hiyang bertolak dari Minanga 5. sambil membawa 20.000 tentera dengan perbekalan 6. sebanyak dua ratus (peti) berjalan dengan perahu dan yang berjalan kaki sebanyak seribu 7. tiga ratus dua belas datang di Mukha Upaŋ 8. dengan sukacita. Pada hari ke lima paro-terang bulan ……… 9. dengan cepat dan penuh kegembiraan datang membuat wanua (….) 10. Śrīwijaya menang, perjalanan berhasil dan menjadi makmur senantiasa 2. Candi Muara Takus Candi ini terletak di desa Muara Takus, kecamatan XIII, Kota Kampar, Riau. (Sumber) http://tikachan.wordpress.com/kerajaan-sriwijaya/ Kerajaan Sriwijaya telah ada sejak 671, sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 diketahui kerajaan ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad 7 ini, orang Tiongkok mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur berangka tahun 686 yang ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini pun menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Dalam dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda.Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari raja-raja bawahannya di seluruh Asia Tenggara. Pada paruh pertama abad 10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan nasional dan internasional di wilayah perairan Asia Tenggara. Barang dagangannya berupa kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir, kapulaga, lada, gading, emas, perak, timah, kayu hitam, kayu sapan, penyu, dan rempah-rempah lainnya.Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar. Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, yang mengandalkan hegemoni kekuatan armada laut dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya. Pangkalan ini digunakan untuk mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi. Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tanah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya. Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad 9, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India. (sumber) http://bjn.wikipedia.org/wiki/Kedatuan_Sriwijaya Sungai Kampar atau ( Batang Kampar ) merupakan sebuah sungai di Indonesia, berhulu di Bukit Barisan sekitar Sumatera Barat dan bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera Riau. Sungai ini merupakan pertemuan dua buah sungai yang hampir sama besar, yang disebut dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Pertemuan ini berada pada kawasan Langgam (Kabupaten Pelalawan), dan setelah pertemuan tersebut sungai ini disebut dengan Sungai Kampar sampai ke muaranya di Selat Malaka. Aliran Sungai Kampar Kanan menelusuri Lima Puluh Kota dan Kampar, sedangkan aliran Sungai Kampar Kiri melewati Sijunjung, Kuantan Singingi dan Kampar, kemudian kedua aliran sungai tersebut berjumpa di Langgam Pelalawan. Sungai Kampar Kanan bermata air dari Gunung Gadang, memiliki luas daerah tangkapan air 5.231 km².Alur utama semula mengalir ke utara kemudian berbelok ke timur, bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir dengan kemiringan sedang melalui lembah Batubersurat.Selanjutnya bertemu dengan anak sungai Batang Mahat, mengalir ke arah timur. Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalautinggi, Gunung Solokjanjang, Gunung Paninjauan Nan Elok, memiliki luas daerah tangkapan air 7.053 km².Dua anak sungai besar bernama Batang Sibayang dan Batang Singingi. Sungai, kiranya merupakan kunci terpenting dalam proses pembentukan kebudayaan sekaligus peradaban. Lihat saja, bagaimana kebudayaan bangsa-bangsa besar tumbuh di sekitar lembah sungai. Sebut saja kebudayaan lembah sungai Indus di India, kebudayaan lembah sungai Mekong; kebudayaan lembah sungai Nil di Mesir; kebudayaan lembah sungai Eufrat serta Trigis; dan sebagainya. Ada banyak alasan yang mendorong manusia untuk membentuk kebudayaannya di sepanjang sungai. Diantaranya, ketersediaan sumber air dan pangan. Pada akhirnya, sungai pun menjadi tempat tumbuh kembang kebudayaan suatu masyarakat sekaligus kehancurannya. Kehancuran itu, antara lain disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat menjawab tantangan yang diberikan oleh alam (sungai). Kehancuran kebudayaan itu, mengutip beberapa pendapat, kemudian menjadi faktor pendorong masyarakat untuk beringsut ke arah hutan atau bahkan gunung guna membangun kebudayaan baru. Salah satu sungai yang mengandung bekas-bekas peradaban tua bangsa melayu di riau ini adalah sungai Batang Kampar Kiri di kabupaten Kampar. Kebudayaan dan peradaban memang merupakan aspek-aspek kehidupan sosial manusia yang memiliki sedikit perbedaan tapi dari perbedaan tersebut dapat diambil jalan tengah yaitu peradaban dan kebudayaan adalah dua aspek dalam kehidupan manusia, ada hubungan timbal balik antara keduanya. Sebagaimana hubungan antara aspek spiritual, mental dan material dalam diri manusia. Kebudayaan ataupun peradaban, mengandung pengertian yang luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Kata “ kebudayaan ” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikian kebudayaan itu dapat diartikan “ hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal .” Ada pendirian lain mengenai asal dari kata kebudayaan itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dan budi, kekuatan dari akal. Adapun istilah inggrisnya berasal dari kata Latin colere yang berarti “ mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani . Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Adapun istilah peradaban dapat kita sejajarkan dengan kata asing civilization . Istilah itu biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan-santun dan sistem pergaulan komplex dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplex. Sering juga istilah peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplex. Kebudayaan adalah sebagai sesuatu yang “ sedang menjadi ” (it becomes), sedangkan peradaban adalah sebagai sesuatu yang “ sudah selesai ” (it has been). Contoh dari peradaban adalah bangunan-bangunan monumental seperti Borobudur, Piramida, Tembok Besar Cina, serta berbagai hal monumental lain. Sementara itu contoh dari kebudayaan antara lain makanan dan minuman, pakaian, dan berbagai hal yang masih memiliki kecenderungan untuk terus berkembang B. TEMUAN PENELITI TERDAHULU TENTANG BUKTI SEJARAH DI RANTAU KAMPAR KIRI Dalam buku Sejarah Riau yang disusun Wan Galib dkk dalam BAB VI yakni Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda, tepat pada halaman 355-357 disebutkan tentang Kerajaan Kamparkiri. Berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti namun salah satu peninggalannya adalah suatu tempat disebut benteng yang menjadi peninggalan bersejarah. Bernama Gunung ibul Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunungibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunungibul, atau Kerajaan Gunung sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturunan raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunungsahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orangtua mereka, Kerajaan Gunung ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung ibul. Cerita soal Kerajaan Gunung ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana. Disamping adanya cerita rakyat tentang keberadaan peradaban tua di daerah Rantau Kampar Kiri, eksistensi daerah ini dalam catatan sejarah Indonesia juga diakui. Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama-tama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat.Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan. Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu.Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo.Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan.Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu. BAB III HASIL PENELITIAN A. EKPLORASI CERITA RAKYAT RANTAU KAMPAR KIRI a. Kedatuan Gunung Ibul b. Kedatuan Bungo Satangkai Dalam cerita rakyat yang diwariskan turun temurun tentang sejarah dan adat Kenegerian Lipatkain yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi disebutkan bahwa, pada zaman dahulu kala datanglah dua orang datuk kedaerah Lipatkain secara bersamaan yaitu datuk pertama bernama Datuk Sutan Lawik Api beliau datang dengan perahu dari selat Malaka mudik ke Sungai Ombun (Batang Kampar Kiri) dan singgah (maontak Gala, membuang sauh) di daerah yang sekarang Lipatkain. Ditepi sungai tersebut Datuk Sutan Lawik Api Manundo Kapae Sosak, Malambe (menebas) Kalimunting membuat ladang dan kebun. Tidak jauh disebelah hulu sungai datang pula seorang Datuk dari hulu sungai Kampar kiri yaitu Datuk Godang menghilir dari hulu dan singgah membuat ladang dan kebun pula. Kemudian disaat kedua Datuk tadi berburu binatang, dan menggumpulkan makanan dihutan( foodghatering). Maka berjumpalah mereka berdua, maka terjadilah dialok diantara keduanya tentang siapa yang dahulu datang di daerah Lipatkain ini. Masing-masing datuk mengakui dirinya yang dahulu datang dan berhak atas daerah Lipatkain dengan menunjukkan tanda-tanda masing-masing. Setelah menunjukkan bukti masing-masing ternyata kedua datuk memang datang bersamaan, sehingga mereka bersepakat untuk tinggal bersama-masa membangun Banje/Banjar (pemukiman bersama), dan ladang serta membuat janji persaudaraan layak nya adik dan kakak (Cilampuong bata baindiak sutonyo batali juo). Disaat kedua datuk sedang berburu di atas bukit pematang sikai, mereka melihat asap api yang sangat besar di daerah aliran sungai Singingi. Maka kedua Datuk kedaerah berangkat menyelusuri sungai Singingi melihat apa gerangan yang terjadi. Didaerah Singingi kedua datuk menemui kampuong yang tengah terbakar dan mayat-mayat yang berserakan, rupanya daerah Singingi ‘diala’ (diserang Garudo). Diiantara bangunan dan mayat-mayat yang berserakan, kedua Datuk tersebut mendengar tangisan anak kecil diantara reruntuhan rumah yang hancur diamuk Garudo. Direruntuhan rumah tersebut Sang Datuk menemukan seorang gadis kecil yang selamat. Maka gadis kecil tersebut dibawah ke Banjae/Banjar di Bungo Satangkai (Lipatkain) dan dibesarkan oleh kedua orang datuk tersebut. Setelah berlalunya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun pun berganti. Maka gadis kecil yang diberi nama “Puti Majo/ Putri Maharaja ” beranjak remaja dan dewasa maka tampaklah kecantikan dan rupawan nya sang Putri. Melihat paras yang rupawan maka jatuh hatilah kedua datuk pada Puti Majo, maka jadilah perselisihan tentang siapa yang berhak untuk mengawini Sang Putri. (Sumber : Bapak Jasrial ). Puncak dari persaingan antara kedua Datuk, maka terjadilah pertarungan antara keduanya, setelah sekian lama bertarung, saling adu kesaktian, rupanya kedua datuk sama-sama pendekar dan tidak ada yang menang dan kalah. Setelah lelah bertarung maka dibuatlah kesepakatan untuk bersama-sama meninggalkan Banjar dan meninggalkan Puti Majo sendirian. Datuk Godang lari keseberang Kampuong dan menetap disana, sedangkan Datuk Sutan Lawik Api lari ke hulu Batang Olang dan menetap pula disana. Tidak lama berselang maka datanglah Datuk Sinaro kedaerah Bungo Satangkai, di daerah tersebut Datuk Sinaro menemui seorang gadis menagis sendirian. Gadis tersebut adalah Puti Majo, Puti Majo menceritakan kisah tentang kedua Kakak angkat nya yaitu Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang yang berselisih dan meningalkan Kampuong karena memperebutkan dirinya. Dan meminta Datuk Sinaro untuk menjemput keduanya kembali ke Kampuong. Maka Datuk Sinaro berhasil membujuk kedua datuk untuk kembali kekampuong Bungo Satangkai dan memperdamaikan keduanya. Maka dibuatlah kesepakatan bahwa Datuk Sutan Lawik Api, Datuk Godang dan Puti Majo adalah bersaudara dan tidak boleh saling menikahi hal ini juga berlaku bagi anak keturunan mereka hingga hari ini (Cilampuong pata baindiak sutonyo batali juo). Maka Puti Majo dinikahi oleh Datuk Sinaro maka Datuk Sinaro menjadi simondo dari Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang. Maka dibagilah kekuasaan diantara datuk-datuk tersebut dimana Datuk Sutan Lawik Api (Suku Putopang Basa) adalah Pemilik Rantau, Datuk Godang (suku Pitopang Tonga) Pemilik tanah Ulayat dan Puti Majo (Malayu Datu Majo) Pemilik Negeri, sehingga ketiga datuk adalah penguasa dinegeri Lipatkain dengan sebutan (Datuk Batigo) yakni suku Putopang Basa, Putopang Tonga, Malayu Datu’ Majo. Sedangkan Datuk Sinaro (suku Maliling) adalah Suluh Negeri (Andiko Besar). Maka dibuatlah sebuah Negeri dengan nama Negeri Bungo Setangkai, inilah nama awal dari negeri Lipatkain. Letak awal pemukiman Bungo Satangkai itu terletak dibukit pematang Sikai yakni bukit yang lertetak antara sungai Sitingkai dan Sungai Sibayang. Dimana letak Koto Bungo Satangakai hari ini adalah di belakang Tugu Khatulistiwa Lipatkain Selatan. Dimana dilokasi ini masih terdapat kuburan tua, yang disebut oleh masyarakat disana bernama kuburan “ Datuk Kumbuok”. Dimana Datuk ini dipercayai memiliki badan yang besar dan tinggi, dan dianggap sebagai nenek moyang masyarakat Bungo Satangkai. Dalam perjalalan sejarah berdasarkan tradisi lisan turun temurun diketahui bahwa, perna terjadi perpindahan lokasi pemukiman penduduk sebanyak 3 kali yakni, perpindahan pertama terjadi karena Koto Bungo Satangkai diserang Pacet/acek (lintah Darat). Akibat wabah pacet tersebut koto Bungo Satangkai terpaksa ditinggalkan, penduduk berpindah kearah hilir sungai yakni disekitar lokasi SMUN 1 Kampar Kiri hari ini. Perkampungan baru penduduk pindahan dari Koto Bungo satangkai ini diberi nama “Lipatkain” , karena di tepi sungainya terdapat gundukan batu-batu karang berbentuk lipatan kain. Akan tetapi pada suatu masa Koto Lipatkain ini terpaksa ditinggalkan oleh penduduknya karena adanya serangan ikan “ Kapiak” yang sangat ganas. Karena adanya serangan ikan kabiak ini maka penduduknya kembali melakukan perpindhan pemukiman kearah hulu dari koto Lipatkain yakni kelokasi dimuara sungai batang Olang, kampuang ini diberinama Koto Tuo. Koto Tuo inilah yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Negeri Lipatkain. Kemudian datanglah beberapa suku lagi kenegeri Koto Tuo yaitu suku Melayu Palokoto, Suku Melayu Bendang, suku Nelayu nan ompek, suku Domo, seningga negeri Koto Tuo didiami oleh delapan suku sehingga berdirinya kerajaan Gunung Sailan. Pada masa kerajaan Gunung Sailan terjadilah perkara yang tak selesai-selesai di negeri Bungo Setangkai dimana negeri terbelah menjadi dua praksi besar delapan suku terpecah menjadi dua golongan yang masing masing kokoh pada pendiriannya. Sehingga setiap persoalan tidak bisa diambil kata sepakat. Persoalan ini sampai kepada Raja Gunung Sailan, maka raja mengambil keputusan untuk menempatkan keturunannnya dari suku Piliang untuk menetap di Lipatkain sebagai penengah dari delapan suku yang berselisih. Sehingga negeri Lipatkain terdiri dari sembilan suku. (Sumber : Fahruddin Alm ). c. Kedatuan Kuntu Teoroba B.TEMUAN-TEMUAN BUKTI ARKEOLOGIS TENTANG DI RANTAU KAMPAR KIRI TENTANG a. Kedatuan Gunung Ibul b. Kedatuan Bungo Satangkai c. Kedatuan Kuntu Teoroba C. HUBUNGAN KEDATUAN GUNUNG IBUL DENGAN LAHIRNYA KERAJAAN GUNUNG SAILAN BAB IV PENUTUP C. KESIMPULAN D. SARAN-SARAN DAFTAR PUSTAKA Ismaun. 1993. Pengantar ilmu sejarah. Bandung : B3PTKSM. Gottschalk, Luis. 1975. Mengerti Sejarah. -: Universitas Indonesia. Widja, I Gde. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah : Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana. Notosusanto, Nugroho. Norma–Norma Dasar Penelitian Sejarah. Jakarta: Penerbit Sej ABRI. Mansur MD, dkk (1974) . Sejarah Minangkabau. Bratara, Jakarta Muhtar Lutfi (1999). Sejarah Riau. LITBANG Rrov Riau Marlaili Rahim (1985). Sistem pemerintahan adat Kuantan dan Kampar Kiri. Diseminarkan dalam seminar kebudayaan Riau di Tanjung Pinang. http://tikachan.wordpress.com/kerajaan-sriwijaya/. diterima tanggal 01 Desember 2014 http://jakartapedia.net/index.php?title=Sriwijaya diterima tanggal 01 Desember 2014 http://bjn.wikipedia.org/wiki/Kedatuan_Sriwijaya. diterima tanggal 25 Nopember 2014 http://saefulhistory-sejarah-saefulhistory.blogspot.com/2012/02/c-prinsip-prinsip-dasar-penelitian.html. diterima tanggal 02 Desember 2014 http://www.riaueditor.com/viewp/PEKANBARU. diterima tanggal 28 Nopember 2014 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang/2014/06/08/kuntu-darussalam-kerajaan-islam-pertama-di-riau/. diterima tanggal 01 Desember 2014 http://sundullangit.wordpress.com/2012/07/04/geografi-sebagai-panggung-sejarah/. diterima tanggal 03 Desember 2014 http://indonesiakaya.com/search/result/budaya/?utm_source=google&utm_medium=cpc&utm_campaign=budaya. diterima tanggal 01 Desember 2014 http://annisadyah.blog.fisip.uns.ac.id/2012/02/25/perbedaan-kebudayaan-dan-peradaban/. diterima tanggal 02 Desember 2014 http://wirasaputra.wordpress.com/2011/10/13/nilai-budaya-sistem-nilai-dan-orientasi-nilai-budaya/. diterima tanggal 01 Desember 2014 DAFTAR NARASUMBER/RESPONDEN DAFTAR SITUS SEJARAH SASARAN EKSPLORASI DAN EKSKAVASI SEJARAH KEDATUAN GUNUNG IBUL HINGGA KERAJAAN GUNUNG SAILAN 1. SITUS BEKAS PERBENTENGAN DI GUNUNG IBUL VIC MARWAS 2. SITUS DANAU GUCI DI GUNUNG IBUL VIC MARWAS 3. BUKIT PEMATANG SIKAI (SITUS MAKAM DATUOK KUMBUOK) DI BUNGO SATANGKAI VIC ZALDI 4. SITUS KUBURAN CINA DI BUNGO SATANGKAI VIC ZALDI 5. SITUS TAKAE GODANG DI KOTO TUO LIPATKAIN VIC ZALDI 6. SITUS KOBUN RAJO DI KUNTU TEOROBA VIC JAFRI 7. SITUS MAKAM SYEKH BURHNUDDIN DI KUNTU TEOROBA VIC JAFRI 8. SITUS MAKAM RAJA-RAJA DI BATANG SIAONTAN KUNTU TEOROBA VIC JAFRI 9. SITUS BUKIK TAKOGHA (VILLA BELANDA) DI TANJUNG BELIT VIC ZULKIFLI 10. SITUS BATU LAGAN DI LIPATKAIN/BUNGO SATANGKAI VIC RIKO P 11. SITUS PERCANDIAN DI PT KPR (DESA LUBUK CIMPUR/KOENTU TURABA) VIC MANTAN MANAGER KEBUN TAHUN 1995 (AKHLAKUL KARIMA)