Senin, 19 Maret 2012

EKSPEDISI PAMALAYU DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU KE RANTAU KAMPAR KIRI


RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM KUNTU  DARUSALAM
DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU (Orang Bagak/Kuat dari Tanah Jawa/Ekspedisi Pamalayu)

Stutterheim berpendapat bahwa Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak mengandung pengertian bahwa Kerajaan Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya, melainkan persekutuan antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya penaklukan secara langsung (militer) terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada awalnya dilakukan melalui penaklukan pusat perdagangan lada di Sungai Batanghari dan Sungai Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini merupakan urat nadi perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini, perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. Pemakaian istilah persekutuan dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada 1286, Raja Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago yang terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu). Tiruan arca ini diterima oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan sebagai balasan, sang raja mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga kepada Raja Kertanegara (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56-57).

Ketika sampai di Jawadwipa (Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh. Penerus Kerajaan Singasari adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1292, sekaligus memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan gelar Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Dara Petak yang telah terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa (1292-1309). Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan Kalagemet yang kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).

Menurut Prasasti Kubu Rajo No I yang merupakan sebuah prasasti Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Kubu Rajo daerah Limau Kaum, ayah Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono Hardjowardojo, 1966:20). Adwayawarmma merupakan salah satu pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit yang berpangkat “dewa”. Adwayawarmma inilah yang menikah dengan Dara Jingga, sehingga secara garis keturunan, Adityawarman masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Darmasraya. Pasca kelahirannya, Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Nama raja Melayu yang lahir dari perkawinan antara Dara Jingga dan Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965) disebut dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono Hardjowardojo, 1965:46)

Seperti tertulis di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Kerajaan Majapahit. Beliau pernah ditunjuk sebagai utusan Kerajaan Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman menjabat Mantri Prandhatara, sebuah jabatan yang sama dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang tinggi untuk Adityawarman ini menandakan bahwa Adityawarman adalah seorang anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang sangat dekat, mengingat ibu Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu Raja Jayanegara sekaligus permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).

Berkembangnya Majapahit sebagai kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan ekspedisi Pamalayu kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai seorang mahapatih yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah Mada. Maka sebagai pembuka atas Ekspedisi Pamalayu jilid 2, diutuslah Adityawarman untuk pergi ke Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana. Kebetulan Darmasraya telah jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Seperti dikutip dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang menganut ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang telah menganut Mazhab Syafi’i. Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299, Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga praktis monopoli lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari, dikuasai oleh Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah bermukim di daerah ini sejak 1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng Gunung Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan nama Singasari dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55).

Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada di tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari.  

Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga menyerang dan menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan ditaklukkannya Kesultanan Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di kedua daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari.

Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau” (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari lokasi perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak Kerajaan Pagaruyung secara spesifik sebagaimana disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).