RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM KUNTU
DARUSALAM
DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU (Orang
Bagak/Kuat dari Tanah Jawa/Ekspedisi Pamalayu)
Stutterheim berpendapat bahwa
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak mengandung pengertian
bahwa Kerajaan Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya, melainkan
persekutuan antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya
penaklukan secara langsung (militer) terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada awalnya dilakukan
melalui penaklukan pusat perdagangan lada di Sungai Batanghari dan Sungai
Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini merupakan urat nadi
perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini,
perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat
Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk
di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. Pemakaian istilah persekutuan
dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada 1286, Raja
Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago
yang terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto,
1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa
diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di
antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah
Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu). Tiruan arca ini diterima
oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan sebagai balasan, sang raja
mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga kepada Raja
Kertanegara (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56-57).
Ketika sampai di Jawadwipa
(Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh. Penerus Kerajaan Singasari
adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1292,
sekaligus memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan gelar
Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Dara Petak yang telah
terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa
(1292-1309). Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan
Kalagemet yang kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu
Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Menurut Prasasti Kubu Rajo No I
yang merupakan sebuah prasasti Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Kubu Rajo
daerah Limau Kaum, ayah Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono
Hardjowardojo, 1966:20). Adwayawarmma merupakan salah satu pejabat tinggi di
Kerajaan Majapahit yang berpangkat “dewa”. Adwayawarmma inilah yang menikah
dengan Dara Jingga, sehingga secara garis keturunan, Adityawarman masih
memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Darmasraya. Pasca kelahirannya,
Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Nama raja Melayu yang lahir dari perkawinan antara Dara Jingga dan
Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965) disebut dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri
Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono Hardjowardojo, 1965:46)
Seperti tertulis di dalam buku
Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan Kerajaan Majapahit. Beliau pernah ditunjuk sebagai utusan Kerajaan
Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman menjabat Mantri
Prandhatara, sebuah jabatan yang sama dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang
tinggi untuk Adityawarman ini menandakan bahwa Adityawarman adalah seorang
anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang sangat dekat, mengingat ibu
Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu Raja Jayanegara sekaligus
permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama Majapahit (M.D. Mansoer, et.al.,
1970:57).
Berkembangnya Majapahit sebagai
kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan ekspedisi Pamalayu
kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai seorang mahapatih yang
terkenal dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah Mada. Maka sebagai
pembuka atas Ekspedisi Pamalayu jilid 2, diutuslah Adityawarman untuk pergi ke
Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana. Kebetulan Darmasraya telah jatuh
ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Seperti dikutip dalam buku Sedjarah
Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang
menganut ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang
telah menganut Mazhab Syafi’i. Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan
Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299,
Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita
kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan
Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga praktis monopoli
lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari, dikuasai oleh
Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan
Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa
oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan
agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah bermukim di daerah ini sejak
1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng Gunung
Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan
nama Singasari dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak
hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke
Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para
pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama
Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55).
Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada
perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi
Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada di
tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk
membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan
lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari.
Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan
Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan
sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli
lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan
Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai
daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama
Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi
(Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang
Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari
(M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai
upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga menyerang dan
menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan ditaklukkannya Kesultanan
Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di kedua
daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari.
Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu
jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak sebagai penguasa di tanah Melayu.
Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke
Riau Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman
Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah
Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian,
Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung
Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan
Minangkabau” (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari lokasi
perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian
Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak Kerajaan Pagaruyung
secara spesifik sebagaimana disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di
Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir
et.al., 1993:19).