Sabtu, 23 April 2016

HIKAYAT NEGERI LOEDAI KAMPAR KIRI

HIKAYAT KOTO LOEDAI
(PITOPANG NAN BAOMPEK, MALAYU NAN BALIMO, DOMO NAN OSO, PILIANG NAN SAMBILAN).

Berdasarkan tradisi lisan turun-temurun dikisahkan bahwa satu keluarga nomaden dari Pariangan Padang Panjang, menuruni bukit Barisan serta menyelusuri sungai Batang Bio dan menetap di suatu daerah untuk membuat Ladang. Rombongan ini terdiri dari lima orang, Tiga perempuan dan Dua orang laki-laki, pimpinan rombongan bernama Datuk Sayi Penghulu (Kakak laki-laki tertua) Datuk Pandak Manogha, Puti Sangkae Bulan dan Puti Taman ijuk (Pitopang Nan ba Ompek) dan istri datuk Sayyi Penghulu yakni (Piliang nan oso) Bersuku Piliang Bukit/Piliang Gunung Ijau. Keluarga ini adalah berasal dari pesukuan Patopang Pariangan Padang Panjang. Setelah sampai di daerah baru, setelah “ Manundo kape sosak dan manobe kalimuntiang, lalu membuat huma/ladang serta mendirikan Banjae , serta Kampuang, awalnya kampung itu diberi nama Malako Kociak. Dipinggir Kampuang ditepi Sungai Bio, tempat awal Datuk Sayi Penghulu malambe Hutan (menebas ) ada sebatang kayu besar yang sangat rindang nama kayu itu " Kayu Loedai ". Setelah menetap beberapa lama di Banjae Ludai, panen pun datang, silih berganti musim, maka rupanya Datuk Sayi Penghulu tidak bisa hidup sendiri atau satu keluarga saja, karena ada kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dengan orang lain/keluarga lain/suku lain. maka Datuk pun mencari dunsanak untuk dibawah tinggal dan menetap di Koto Ludai. Di daerah hulu sungai Sitingkai (Batang Kotuo) menetap disitu satu kaum dari suku Piliang di bawah pimpinan Datuk Gomuok Hitam Lidah, kemudian datuk Sayi Penghulu datang kesana dan meminta mereka untuk pindah dan sama-sama menetap di Koto Ludai. Permintaan Datuk Sayyi Penghulu disanggupi oleh Datuk Gomuok Hitam Lidah dengan dua syarat yakni : 1. Kaum suku piliang meminta ulayat di pinggir sungai Bio, dengan alas an mereka memiliki banyak kemanakan yang kecil-kecil sehingga perlu tempat tinggal yang dekat dengan pinggir sungai. 2. Datuk Sayyi Penghulu dan kaum Petopang harus membuang tombak trisula yang mereka miliki, sebab anak cucu datuk Gemuok takut dengan senjata tersebut. Singkat kata singkat cerita maka Datuk sayi penghulu, menyanggupi kedua syarat tersebut kemudian beliau menikahkan adek-adeknya dengan kemenakan dari suku Piliang tersebut, Kemudian Datuk Sayi Penghulu membawah Dt Gomuk Hitam Lidah dan keluarganya menetap di koto Ludai, yang merupakan cikal Bakal Suku Piliang Bawao (Piliang Topi ayie) yakni Ninik Ino Suri. sehingga Koto Ludai sudah memiliki Tiga Suku. Suatu hari datang rombongan suku Melayu dari Pagaruyung singgah di koto Ludai dalam perjalanan menuju Negeri Gunung Sailan, dalam rombongan itu terdiri dari kerabat raja Pagaruyung yang akan pergi ke negeri Gunung Sailan, menurut mereka kaum melayu ini ingin berpindah kenegeri saudaranya di Gunung Sailan. Atas bujukan Dt. Sayi Penghulu, Rombongan ini bersedia tinggal dan menetap di koto Ludai, dengan syarat-syarat mereka diberi tanah ulayat di kapalo koto dan mereka harus diangkat jadi Raja di Koto Ludai, Datuk Sayi Penghulu mengabulkan permintaan tersebut. Dengan datang dan menetapnya Suku Melayu, maka di Koto Ludai sudah terdiri dari 3 suku ; yaitu Suku Patopang, , Suku Pialang dan Suku Melayu. Dalam perjalanan selanjutknya di Kampuang Ludai terjadi Konflik tentang batas ulayat kampuang, dimana konflik melibatkan dua perut dalam suku petopang yakni perut antara puti Sangko Bulan dan Perut dari Puti Taman Iuk. Dimana kedua perut tersebut adalah kemenakan dari datuk Sayyi Penghulu pucuk adat kampuang ludai. Maka untuk memidahkan ulayat dari pihak-pihak yang bertikai,maka dibentuklah suku baru yang berasal dari keturunan atuk sayyi penghulu dengan istrinya dari suku piliang. Suku tersebut diberi nama Suku Piliang Bukik, dengan gelar sokonya Datuk Rajo Antagho atau datuk raja antara, dimana datuk ini merupakan perantara dari pihak-pihak yang bertikai dalam soko petopang pucuk adat. Dengan terbentuknya suku baru maka lengkap sudah kampuang ludai terdiri atas empat suku, sehingga beribahlah statusnya menjadi Koto/Negeri. " elok Naghogi Ompek Suku, suku Bua powik, Kampuang ba Ugang tuo" . Maka Koto Ludai kemudian berkembang menjadi sebuah Naghoghi/Negeri. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pembentukan suku kembali yakni pecahan dari suku piliang bawuo yakni awalnya bernama Piliang Tigo Sajoghong, kemudian berubah menjadi suku Domo, dengan gelar soko nya Datuk Rajo Lelowangso. Pada masa akhir kekuasaan kerajaan Gunung Sailan sekitar tahun 1930-an terjadi lagi pemekaran suku dari suku Piliang Bawou yakni terbentuknya suku Piliang Angkat dirajo sementara suku Piliang bawuo asal disebut Suku Piliang Sotie dirajo. Sehingga hari ini terdapat enam suku di negeri Loedai. (sumber : Wawan cara dengan Ughang Tuo Luodai) KEKHALIFAAN LUDAI ATAU LUWAK BIO Sungai Batang Bio adalah anak sungai Sibayang sebelah kanan, sepanjang aliran sungai Bio ini terdapat tiga negeri tua yaitu negeri Koto Lamo, negeri ludai dan negeri Pangkalan Kapas. Awalnya Batang Bio terdiri dari satu negeri yakni neger i Ludai dengan tiga koto. Dalam otok cacae adat dikatakan tentang luwak bio yakni “ Ikue Koto di Koto Lamo, Kapalo Koto di pngkalan Kape dan iIu Koto di Koto Ludai”. Luwak Batang Bio di kuasai oleh dtuk nan Tigo yakni Datuk Mangun di Koto Lamo, Datuk Sutan Majolelo di Ludai dan Datuk Rajo Malano di Pangkalan Kape. Sementara penguasa Rantau Luwak Bio adalah Datuk Maharajo Besar Khalifah Ludai dari suku Malayu Koto Ludai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar