Jumat, 30 Maret 2012

ADAT KAMPAR KIRI VS ADAT MINANGKABAU

ADAT KAMPAR KIRI VS ADAT MINANGKABAU ( Saatnya Orang Rantau Kampar Kiri menemukan jatidiri....) AdatKampar Kiri Sejarah Kerajaan Kamparkiri Dalam buku Sejarah Riau yang disusun Wan Galib dkk dalam BAB VI yakni Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda, tepat pada halaman 355-357 disebutkan tentang Kerajaan Kamparkiri. Berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti namun salah satu peninggalannya adalah suatu tempat disebut benteng yang menjadi peninggalanbersejarah. Masyarakat tempatan menyebut ini sebagai peninggalan sejarah sebelum Islam. Artinya, kerajaan ini sudah berdiri sebelum agama Islam masuk. Namun kemungkinan besar perkembangannya berkemungkinan besar baru mencuat pada awal abad 19 Masehi. Kerajaan Kampar Kiri ini berpusat di Gunungsahilan yakni kira-kira 5 Km dari desa Kebun Durian, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Wilayah kerajaan ini meliputi dari Muara Linggi (Langgam, kini masuk Kabupaten Pelalawan) di hilir sampai ke Pangkalan Dua dihulu (diperkirakan daerah Pangkalan Indarung di Sumatera Barat).Perkembangan kerajaan ini diperkirakan tergolong lambat sebab dalam beberapa kali keturunan raja-raja yang memerintah tidak terdapat perubahan-perubahan yang berarti. Pada 1905, Tengku Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam yang menduduki tahta kerajaan, mengirim utusan ke Bengkalis untuk menyerahkan dan mengaku tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuan negerinya akan aman dan makmur. Maka 27 Februari 1905 disepakati sebuah perjanjian antara kerajaan Kamparkiri dengan Hindia Belanda dan setelah itu, kerajaan Kamparkiri merupakan wakil pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Kamparkiri langsung diwakili seorang raja dengan gelar Yang Dipertuan Besar van Gunung Sahilan en Datuk van het Landschap. Pada 29 Mei 1907 kembali dibuat perjanjian dengan Hindia Belanda yang ditandatangani Yang Dipertuan Abdurrahman sebagai pengganti Sultan Abdul Jalil. Maka dengan perjanjian tersebut, secara administrasi kekuasaan Kamparkiri diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Belanda menempatkan seorang controleur sebagai kepala dari pangreh praja di sana dan menurut perjanjian itu bekas kerajaan Kampar Kiri termasuk dalam Zelbestuur. Kerajaan ini dibagi atas lima kekhlifahan dan kedudukan khalifah tidak terpusat pada pusat pemerintahan tetapi berkedudukan di daerahnya masing-masing. Lima kekhalifahan itu antara lain; Datuk Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunungsahilan, Datuk Bendahara Khalifah Kuntu berkedudukan di Kuntu, Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit berkedudukan di Ujung Bukit, Datuk Gedang Khlaifah Batu Sanggam berkedudukan di Batu Sanggam, serta Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai berkedudukan di Ludai. Kerajaan Kamparkiri kemudian disebut dengan Kerajaan Gunungsahilan yang semula meliputi 25 negeri, berkembang menjadi 30 negeri. Pada 1930 Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti ditabalkan sebagai raja. Perhelatan besar dilaksanakan dengan memotong beberapa ekor kerbau tiap-tiap orang dari khalifah yang berlima. Pembangunan di masa pendudukan Belanda arah pembangunan negeri hanya untuk kepentingan Belanda seperti pembangunan kantor pos, kantor kontreleur dan sekolah. Sedangkan istana sultan dibangun sekedar mengambil hati sultan agar kerajaan tersebut tetap setia pada Hindia Belanda. Salah seorang keturunan Tengku Sulung yakni Tengku Arifin bin Tengku Sulung menjelaskan, hingga hari ini masih ada tapak-tapak sejarah yang terabaikan seperti kandang kuda, sekolah perpolof school, asrama polisi, pesanggrahan, penjara, kantor markoni/berita dan kantor raja/merah. Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunungibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunungibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunungibul, atau Kerajaan Gunungsahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunungsahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunungibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orangtua mereka, Kerajaan Gunungibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunungibul. “Cerita soal Kerajaan Gunungibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunungsahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana. Diakui keduanya, cerita tentang Gunungibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunungsahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunungsahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu sedang dalam menuai masa keemasannya. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunungsahilan untuk meminta anak raja dan di-raja-kan di Gunungsahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang untuk datang ke Pagaruyung mencari siapa yang pantas dirajakan di Negeri Gunungsahilan. “Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunungsahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunungsahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). Pembentukan Adat-Istiadat Kampar Kiri Menurut buku tentang adat-istiadat Kampar Kiri yang ditulis oleh Wazir kerajaan Gunung Sailan Tengku Haji Ibrahim Bin Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam. Mengatakan bahwa Adat-Istiadat Kampar Kiri disusun pada masa pemerintahan Sulthan Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam (1850-1880 M). Dalam buku adat istiadat Kampar kiri tersebut di katakan bahwa yang dimaksud dengan adat ialah, kalau terhadap mesjid/surau disebut IBADAT, kalau terhadap balai (pemerintahan/kerajaan) disebut ADAT. Sedangkan yang menjadi dasar Adat Kampar kiri adalah “ Addienul Islam” pada awalnya pelaksanaan Adat dan Ibadat itu dilaksankan oleh junjungan umat Nabi Muhammad SAW, beliaulah yang pandai memegang dan menjalankan adat dan ibadat itu, setelah beliau wafat maka pelaksanaan adat dan ibadat tersebut dilanjutkan oleh para sahabat beliau yaitu para Khalifah. Sampai pada khalifah terakhir yang memegang adat dan ibadat dalam satu tangan ialah Khalifah Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Setelah berakhirnya masa kehalifaan Husein Bin Ali Bin Abi Tahlib maka pelaksanaan Adat dan Ibadat di bagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Bagian Adat dipegang oleh para Raja/Sulthan yang bertulang kuat, bertangan besi sebagai pelaksananya( eksekutif). 2. Sedangkan bagian ibadat dipegang oleh para alim ulama yang disebut bermata jalang bercermin terus (Majlis syuro/legislatif). Dari dasar inilah dibentuk pemerintahan di kerajaan Gunung Sailan Kampar Kiri dimana Raja dibagi dua yaitu Raja Adat yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Raja Ibadat Yang Bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti. (Tengku Haji Ibrajim. Adat Istiadat Kampar Kiri) Dalam Kerajaan Kampar Kiri Adat dibagi menjadi beberapa bagian anatara laian, Adat Ashal (Penghambaan diri Kepada Allah) Adat Fhuru’ (Penghormatan kepada Orang Tua) Adat Suguhari (Adat Perdamaian) Adat Islamiyah (Adat perdamaian) dan lain-lain. Dari dasar inilah disusun “ Adat bersendi syarak (Syariat) syarabersendi Kitabullah” Prinsip-prinsip Adat Kampar Kiri 1. Adat Nan Sebenar nya Adat Ialah Adat yang diterima dari Nabi Muhammad SAW (Al-Quran dan Sunnah) di situ diambil syah dan batal, Halal dan haram, Pardu dan sunnat, da’wa dan Jawab, Saksi dan Bai,ah. Adat Perpatih Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas. Adat Perpatih berasal dari tanah Minangkabau, Sumatera, diasaskan oleh seorang pemimpin Minang bernama Sutan Balun yang bergelar Dato' Perpatih Nan Sebatang. Adat ini adalah amalan dan peraturan hidup yang ditentukan bagi masyarakat Minangkabau yang rata-ratanya adalah petani ketika itu. Tidak ada tarikh yang tepat dicatatkan bila adat ini diwujudkan. Tetapi Adat Perpatih telah dibawa ke Semenanjung Tanah Melayu (Semenanjung Malaysia) oleh perantau-perantau Minangkabau pada abad ke 14 Masehi. Struktur Masyarakat Adat Perpatih Masyarakat Adat Perpatih terbahagi kepada tiga kumpulan utama iaitu [[Perut Suku dan Luak. Perut adalah unit sosio-politik yang terkecil di mana anggota sesuatu perut itu adalah berasal daripada moyang (keturunan perempuan) yang sama. Mereka ini sangat rapat dan lazimnya tinggal di sesuatu perkampungan atau kawasan yang sama. Setiap perut mempunyai seorang ketua yang digelar Buapak.Buapak ini dipilih oleh anak-anak buah di dalam sesuatu perut berkenaan. Kumpulan yang kedua ialah suku. Suku dibentuk oleh beberapa perut yang menjadikan keluarga berkenaan semakin besar. Suku diketuai oleh seorang ketua yang digelar Dato' Lembaga. Kumpulan ketiga ialah Luak. Luak adalah unit kawasan pentadbiran dari segi adat di mana ada empat luak utama iaitu Rembau, Sungai Ujung, Johol dan Jelebu. Setiap luak diketuai oleh seorang Undang. Selain daripada empat luak utama ini ada satu lagi luak yang kelima dipanggil Luak Tanah Mengandung. Luak Tanah Mengandung ini adalah terdiri daripada lima luak kecil di Seri Menanti iaitu Luak Inas, Luak Ulu Muar, Luak Gunung Pasir, Luak Terachi dan Luak Jempol. Setiap luak kecil ini ditadbirkan oleh seorang ketua yang bergelar Penghulu Luak. Adat Perpatih ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui kata-kata perbilangan. Ia merangkumi pelbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk soal harta pusaka, perlantikan pemimpin, hukum nikah kahwin, amalan bermasyarakat, sistem menghukum mereka yang melanggar adat atau melakukan kesalahan dan pelbagai aspek lagi. Setiap peraturan atau adat itu ada perbilangannya dan setiap peraturan itu ada rasional atau sebab-sebab terjadinya hukum atau adat itu. Perlantikan pemimpin, misalnya, banyak yang menyamakan sistem Adat Perpatih dengan amalan demokrasi. Contohnya ialah perlantikan Yang DiPertuan Besar Negeri Sembilan di mana bukannya melalui keturunan dari bapa ke anak tetapi adalah melalui pemilihan oleh Undang Luak yang empat iaitu Undang Rembau, Undang Sungai Ujung, Undang Johol dan Undang Jelebu. Empat undang ini akan bermesyuarat untuk melantik salah seorang keturunan dari raja Pagar Ruyung untuk menjadi Yang DiPertuan. Undang Luak pula dilantik oleh Dato'-Dato' Lembaga di luak (daerah) masing-masing. Dato' Lembaga ini pula adalah pemimpin-pemimpin yang dilantik secara muafakat oleh pemimpin-pemimpin keluarga yang digelar Buapak. Oleh itu secara keseluruhannya kuasa melantik pemimpin itu sebenarnya berada di tangan rakyat biasa.Inilah satu sistem Adat Perpatih yang ada persamaan dengan demokrasi. Prinsip-prinsip Adat Perpatih Adat Perpatih mempunyai lima prinsip utama. 1. Keturunan dikira melalui nasab ibu: Adat Perpatih memberi keistimewaan kepada perempuan yang dianggap bonda kandung iaitu ibu yang melahirkan anggota-anggota masyarakat. Seseorang individu itu adalah anggota suku ibunya dan bukan anggota suku bapanya. 2. Tempat Kediaman adalah di kawasan ibu isteri: Apabila berlangsungnya sesuatu perkahwinan, si lelaki akan meninggalkan kampung halamannya dan menetap di kawasan ibu isterinya sebagai orang semenda. Pada zaman dahulu si lelaki akan mengusahakan tanah keluarga isterinya. 3. Perempuan mewarisi pusaka, lelaki menyandang saka: Hanya lelaki sahaja yang berhak menyandang saka (jawatan-jawatan dalam adat) manakala perempuan adalah mewarisi harta pusaka keluarga ibunya. 4. Perkahwinan seperut atau sesuku adalah dilarang: Dalam sesuatu perut dan suku, hubungan adalah rapat dan si lelaki menganggap perempuan dalam perut atau sukunya adalah saudara perempuannya. Begitu juga sebaliknya. Oleh itulah perkawinan sesama suku ini adalah terlarang. Perempuan yang berkahwin sesama suku akan hilang haknya untuk mewarisi harta pusaka ibunya manakala lelaki pula akan hilang hak untuk menyandang sebarang jawatan dalam adat. 5. Orang luar boleh menjadi ahli sesuatu suku: Untuk tujuan perkahwinan atau waris mewarisi, dibenarkan orang luar untuk menjadi ahli sesuatu suku dengan cara melalui upacara berkedim. Dalam upacara ini seseorang itu akan bersumpah taat setia dan bersaudara dengan ahli-ahli suku yang akan disertainya. KESIMPULAN 1. Adat Kampar Kiri berdasar atas Syariat Islam disusun Oleh Sultan Tengku Abdul Jalil Yang Dipetuan Hitam pada abad ke 18 2. Adat Istiadat Minangkabau disusun oleh Pemimpin MinangKabau Sutan Balun yang bergelar Datu’ Parpati nan Sabatang dengan dasar filsafat Matrilinial (Hindu) pada abad ke 14. 3.

Minggu, 25 Maret 2012

SENARAI FHOTO " KOTO LOEDAI"

BATU BELAH GAGAK JAO " KEBO ANABRANG EKSPEDISI PAMALAYU

BATU BELAH GAGAK JAO " KEBO ANABRANG EKSPEDISI PAMALAYU

JEJAK-JEJAK KEJAYAAN RANTAU KAMPAR KIRI

Jejak Sejarah Kerajaan Gunung Sahilan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.Beberapa keturunan raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang rumahnya berada tidak jauh dari istana.
Menurut Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Sebelum kerajaan jilid II terbentuk,masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Tidak jauh dari Istana dapat kita jumpai Makam-Makam Raja Gunung Sahilan, namun ada yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak makam tersebut terdapat Makam yang di nisan bertuliskan tahun 1357, apakah tahun yang dimaksud Tahun Hijriah atau Tahun Masehi, kemudian juga terdapat Makam yang bernisankan batu alam.

Rabu, 21 Maret 2012

Senin, 19 Maret 2012

EKSPEDISI PAMALAYU DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU KE RANTAU KAMPAR KIRI


RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM KUNTU  DARUSALAM
DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU (Orang Bagak/Kuat dari Tanah Jawa/Ekspedisi Pamalayu)

Stutterheim berpendapat bahwa Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak mengandung pengertian bahwa Kerajaan Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya, melainkan persekutuan antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya penaklukan secara langsung (militer) terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada awalnya dilakukan melalui penaklukan pusat perdagangan lada di Sungai Batanghari dan Sungai Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini merupakan urat nadi perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini, perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. Pemakaian istilah persekutuan dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada 1286, Raja Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago yang terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu). Tiruan arca ini diterima oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan sebagai balasan, sang raja mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga kepada Raja Kertanegara (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56-57).

Ketika sampai di Jawadwipa (Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh. Penerus Kerajaan Singasari adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1292, sekaligus memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan gelar Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Dara Petak yang telah terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa (1292-1309). Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan Kalagemet yang kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).

Menurut Prasasti Kubu Rajo No I yang merupakan sebuah prasasti Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Kubu Rajo daerah Limau Kaum, ayah Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono Hardjowardojo, 1966:20). Adwayawarmma merupakan salah satu pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit yang berpangkat “dewa”. Adwayawarmma inilah yang menikah dengan Dara Jingga, sehingga secara garis keturunan, Adityawarman masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Darmasraya. Pasca kelahirannya, Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Nama raja Melayu yang lahir dari perkawinan antara Dara Jingga dan Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965) disebut dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono Hardjowardojo, 1965:46)

Seperti tertulis di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Kerajaan Majapahit. Beliau pernah ditunjuk sebagai utusan Kerajaan Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman menjabat Mantri Prandhatara, sebuah jabatan yang sama dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang tinggi untuk Adityawarman ini menandakan bahwa Adityawarman adalah seorang anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang sangat dekat, mengingat ibu Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu Raja Jayanegara sekaligus permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).

Berkembangnya Majapahit sebagai kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan ekspedisi Pamalayu kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai seorang mahapatih yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah Mada. Maka sebagai pembuka atas Ekspedisi Pamalayu jilid 2, diutuslah Adityawarman untuk pergi ke Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana. Kebetulan Darmasraya telah jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Seperti dikutip dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang menganut ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang telah menganut Mazhab Syafi’i. Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299, Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga praktis monopoli lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari, dikuasai oleh Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah bermukim di daerah ini sejak 1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng Gunung Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan nama Singasari dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55).

Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada di tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari.  

Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga menyerang dan menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan ditaklukkannya Kesultanan Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di kedua daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari.

Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau” (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari lokasi perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak Kerajaan Pagaruyung secara spesifik sebagaimana disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).

Jumat, 16 Maret 2012

AIR TERJUN TERTINGGI DI RIAU TERNYATA ADA DI KAMPAR KIRI HULU...

AIR TERJUN  DESA PANGKALAN KAPAS  ADALAH AIR TEJUN TERTINGGI DI RIAU

SEKILAS PANDANG KENEGERIAN LIPATKAIN RANTAU KAMPAR KIRI

KENEGERIAN LIPATKAIN
IBU KOTA RANTAU KAMPAR KIRI
 Seandainya Rantau Kampar Kiri sebentuk cincin emas,
maka Kenegerian Lipatkain adalah mata cincin nya.
LIPATKAIN KOTA KHATULISTIWA

1. Sejarah Kenegerian Lipatkain
Dalam tombo adat Kenegerian Lipatkain yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi disebutkan bahwa, pada zaman dahulu kala datanglah dua orang datuk kedaerah Lipatkain secara bersamaan yaitu datuk pertama bernama Datuk Sutan Lawik Api beliau, datang dengan perahu dari selat Malaka mudik ke Sungai Ombun (Batang Kampar Kiri) dan singgah (maontak Gala, membuang sauh) di daerah yang sekarang Lipatkain. Ditepi sungai tersebut Datuk Sutan Lawik Api Manundo Kapae Sosak, Malambe (menebas) Kalimunting membuat ladang dan kebun. Tidak jauh disebelah hulu sungai datang pula seorang Datuk dari hulu sungai Kampar Kiri yaitu dari daerah Gunung Merapi (Pagaruyung) yaitu Datuk Godang menghilir dari hulu dan singgah membuat ladang dan kebun pula.
Kemudian disaat kedua Datuk tadi berburu binatang,  dan menggumpulkan makanan dihutan( foodghatering). Maka berjumpalah mereka berdua, maka  terjadilah dialok diantara keduanya tentang siapa yang dahulu datang di daerah Lipatkain ini. Masing-masing datuk mengakui dirinya yang dahulu datang dan berhak atas daerah Lipatkain dengan menunjukkan tanda-tanda masing-masing.
Setelah menunjukkan bukti masing-masing ternyata kedua datuk memang datang bersamaan, sehingga mereka bersepakat untuk tinggal bersama-masa membangun kampuong, dan ladang serta membuat janji persaudaraan layak nya adik dan kakak.
Disaat kedua datuk sedang berburu di atas sebuah bukit, mereka melihat asap api yang sangat besar di daerah aliran sungai Singingi. Maka kedua Datuk kedaerah berangkat menyelusuri sungai Singingi  melihat apa gerangan yang terjadi. Didaerah Singingi kedua datuk menemui kampuong yang tengah terbakar dan mayat-mayat yang berserakan, rupanya daerah Singingi diala (diserang Garuda), maka terjadilah pertempuran antara Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang dengan Garuda, sehingga Sang Garuda dapat dibunuh.
Setelah Garuda dapat dibunuh, datuk-datuk tersebut mendengar tangisan anak kecil diantara reruntuhan rumah yang hancur diamuk Garuda. Direruntuhan rumah tersebut Sang Datuk menemukan seorang gadis kecil yang selamat. Maka gadis kecil tersbut di bawah ke Kampuong Lipatkain dan dibesarkan oleh kedua orang datuk tersebut.
Setelah berlalunya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun pun berganti. Maka gadis kecil yang bernama “Puti Majo” beranjak remaja dan dewasa  maka tampaklah kecantikan dan rupawan nya sang Putri. Melihat paras yang rupawan maka jatuh hatilah kedua datuk pada Puti Majo, maka jadilah perselisihan tentang siapa yang berhak untuk mengawini Sang Putri.
Puncak dari persingan antara kedua Datuk, maka terjadilah pertarungan antara keduanya, setelah sekian lama bertarung, saling adu kesaktian, rupanya kedua datuk sama-sama pendekar dan tidak ada yang menang dan kalah. Setelah lelah bertarung maka dibuatlah kesepakatan untuk bersama-sama meninggalkan Kampuong dan meninggalkan Puti Majo sendirian. Datuk Godang lari keseberang Kampuong dan menetap disana, sedangkan Datuk Sutan Lawik Api lari ke hulu Batang Olang dan menetap pula disana.
Tidak lama berselang maka datanglah Datuk Sinaro kedaerah Lipatkain dari pesukuan Mandailing/Maliling, di daerah Lipatkain tersebut Datuk  Sinaro menemui seorang gadis menagis sendirian. Gadis tersebut adalah Puti Majo, Puti Majo menceritakan kisah tentang kedua Kakak angkat nya yaitu Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang yang berselisih dan meningalkan Kampuong karena memperebutkan dirinya. Dan meminta Datuk Sinaro untuk menjemput keduanya kembali ke Kampuong.
Maka Datuk Sinaro berhasil membujuk kedua datuk untuk kembali kekampuong Lipatkain dan memperdamaikan keduanya. Maka dibutlah kesepakatan bahwa Datuk Sutan Lawik Api, Datuk Godang dan Puti Majo adalah bersaudara dan tidak boleh saling menikahi hal ini juga berlaku bagi anak keturunan mereka hingga hari ini(Cilampuong pata baindiak sutonyo batali juo). Maka Puti Majo dinikahi oleh Datuk Sinaro maka Datuk Sinaro menjadi simondo dari Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang.
Maka dibagilah kekuasaan diantara datuk-datuk tersebut dimana Datuk Sutan Lawik Api adalah Pemilik Rantau, Datuk Godang Pemilik tanah Ulayat dan Puti Majo Pemilik Negeri, sehingga ketiga datuk adalah penguasa dinegeri Lipatkain dengan sebutan (Datuk Batigo). Sedangkan Datuk Sinaro adalah Suluh Negeri (Andiko Besar). Maka dibuatlah sebuah Negeri dengan nama Negeri Bungo Setangkai, inilah nama awal dari negeri Lipatkain.
Kemudian datanglah beberapa suku lagi kenegeri Bungo Setangkai yaitu suku Melayu Palokoto, Suku Melayu Bendang, suku Nelayu nan ompek, suku Domo, sehingga negeri Bungo Setangkai didiami oleh delapan suku sehingga berdirinya kerajaan Gunung Sailan.
Pada masa kerajaan Gunung Sailan terjadilah perkara yang tak selesai-selesai di negeri Bungo Setangkai dimana negeri terbelah menjadi dua praksi besar delapan suku terpecah menjadi dua golongan yang masing masing kokoh pada pendiriannya. Sehingga setiap persoalan tidak bisa diambil kata sepakat.
Persoalan ini sampai kepada Raja Gunung Sailan, maka raja mengambil keputusan untuk menempatkan keturunannnya dari suku Piliang untuk menetap di Lipatkain sebagai penengah dari delapan suku yang berselisih. Sehingga negeri Lipatkain terdiri dari sembilan suku.

2. Keadaan Geografis Kenegerian Lipatkain
Kenegerian  merupakan suatu komunitas hukum adat yang terdapat di Kecamatan Kampar Kiri  Kabupaten Kampar . Pada wilayah hukum adat Kenegerian Lipatkain hari ini secara administrasi pemerintahan terdiri dari lima Desa yaitu :
1.     Desa Lipatkain Selatan
2.     Desa Lipatkain Utara
3.     Kelurahan Lipatkain
4.     Desa Sungai Paku
5.     Desa Sungai Geringing
Secara geografis Kenegerian Lipatkain  terletak di sebelah selatan Kabupaten Kampar dengan ketinggian 40 Meter dari permukaan Laut, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
-sebelah utara berbatasan dengan Desa Kebun Durian dan Desa Subarak
-Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Teluk Paman Timur dan desa Tanjung Pauh
-Sebelah Timur dengan Kecamatan Salo Kecamatan bangkinang Barat
-SebelahBarat dengan Desa Gunung Sari Kecamatan Gunung Sahilan
Kenegerian Lipatkan pada hari ini terdiri atas lima desa/kelurahan dengan luas wilayah 250,2 M2. Iklim kenegerian Lipatkain adalah beriklim tropis terletak pada garis Khatulistiwa, dimana tugu khatulistiwa terdapat di desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri.(  Kecamatan Kampar Kiri Dalam Angka 2008)
3. Penduduk/Demografis Kenegerian Lipatkain
Sedangkan secara administasi pemerintahan kenegrian Lipatkain terdiri dari lima desa dengan jumlah penduduk yaitu :
Tabel .1
Jumlah Kelurahan/Desa serta Jumlah penduduk
No
Nama Desa/ Kelurahan
Jumlah  Penduduk
1.
Lipatkain
3.954
2.
Lipatkain Selatan
2105
3.
Lipatkain Utara
2023
4.
Sungai Paku
1038
5.
Sungai Geringging
673

5
9.793 Jiwa
Sumber : Kampar Kiri dalam angk 2008
Sedangkan penggolongan jumlah penduduk di Kenegerian Lipatkin berdasarkan jenis kelamin yaitu :
Tabel .2
Pembagian Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No
Nama Desa/ Kelurahan
Jumlah  Penduduk


Laki-Laki
Perempuan
1.
Lipatkain
2011
1943
2.
Lipatkain Selatan
1421
684
3.
Lipatkain Utara
701
1322
4.
Sungai Paku
539
499
5.
Sungai Geringging
366
307

5
5038
4755
Sumber : Kampar Kiri dalam angka 2008
4. Mata Pencaharian Masyarakat Kenegerian Lipatkain
Masyarakat Kenegerian Lipatkain mayoritas bermata pencaharian sebagai petani (agraris), terutama petani karet dan sawit sebagai mata pencaharian pokok masyarakat. Disamping itu juga ada yang berpropesi sebagai pedagang,nelayan, dan pegawai swasta dan pegawai negeri sipil.
5. Sarana Pendidikan dan Kesehatan Di Kenegrian Lipatkain
Kenegerian Lipatkain merupakan wilayah tempat berdirinya ibu Kota Kecamatan Kampar Kiri yaitu di kelurahan Lipatkain, tentu memiliki sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang lebih lengkap di bandingkan dengan masyarakat kenegerian lain di kecamatan Kampar Kiri. Berikut data-data mengenai jumlah fasilitas pendidikan seperti sekolah TK,SD, SMP/MTs, SLTA/MA dan Universitas  dan kesehatan di Kenegerin Liptkani perkecamatan seperti, Puskesmas, pustu (puskesmas pembantu) Klinik, pos Yandu dll.
Tabel .3
Jumlah Pendidikan dan Kesehatan /Desa
No
Nama Desa/ Kelurahan
Fasilitas


Pendidikan
Kesehatan
1.
Lipatkain
7
2
2.
Lipatkain Selatan
3
1
3.
Lipatkain Utara
2
1
4.
Sungai Paku
1
1
5.
Sungai Geringging
1
1

5
15
6
Sumber : Kampar Kiri dalam angk 2008

6.     Agama dan Fasilitas Kerohanian di Kenegerian Lipatkain
Mayoritas masyarakat Adat Kenegerian lipatkain menganut ajaran islam, sehingga islam menjadi bagian adat yang tidak terpisahkan. Persatuan adat dan agama ini tercermin dalam pepatah “ Adat bersyandi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Berikut data tentang rumah ibadah dan penganut agama di Kenegerian Lipatkain.
Tabel 4
Jumlah Penganut Agama
No
Nama Desa/Kel
JenisAgama


Islam
Khatolik
Protestan
Budha
Hindu
1
Lipatkain
3915
12
27
-
-
2
Lipatkain Selatan
2067
7
31
-
-
3
Lipatkain Utara
2010
-
13
-
-
4
Sei Paku
1029
-
9
-
-
5
Sei. Geringging
673




Sumber Kampar Kiri Dalam Angka 2008
Tabel 4
Jumlah Tempat Peribadatan
No
Nama Desa/Kel
Jenis Rumah Ibadah


Mesjid/
Mushallah
Gereja
Katedral
Wihara
Pura
1
Lipatkain
9
-
-
-
-
2
Lipatkain Selatan
9
-
-
-
-
3
Lipatkain Utara
3
-
-
-
-
4
Sei Paku
7
-
-
-
-
5
Sei. Geringging
3
-
-
-
-
Sumber Kampar Kiri Dalam Angka 2008

7.  Budaya dan Adat Istiadat Kenegerian Lipatkain
Masyarakat Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan menganut kebudayaan matrilineal yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu, Kebudayan ini dikenal dengan budaya Minangkabau. Sedangkan system perkawinan nya adalah system matrilokal dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku atau klannya.
Secara adat-istiadat penduduk kenegerian Lipatkain terdiri dari Sembilan suku/pesukuan yaitu terdiri dari :
1.     Suku Pitopang Basa dengan kepala suku Dt. Jalelo
2.     Suku Pitopang Tonga dengan kepala suku Dt. Godang
3.     Suku Melayu Palokoto dengan kepala suku Dt. Paduko Majo
4.     Suku Mandailing/Maliling dengan kepala suku Dt. Sinaro
5.     Suku Melayu Bendang dengan kepala suku Dt. Tanaro
6.     Suku Piliang dengan kepala suku Dt. Mongguong/Tumenggung
7.     Suku Domo dengan kepala suku Dt. Paduko Tuan
8.     Suku Melayu Nan Ompek kepala suku Dt. Mahudum
9.     Suku Melayu Datuk Marajo dengan kepala suku Dt. Majo
Satu suku/pesukuan disebut juga satu Kampuong, satu kampuong terdiridari beberapa keluarga yang masih memiliki hubung kekerabatan dari pihak ibu.satu suku/kampuong di perintah oleh Ninik Mamak di  Sebut “ Baompek Dalam Kampuong Balimo Jo Ughang Tuo” yaitu terdiri dari
1.     Mamak Godang Ka Naghonghi ( Kepala Suku)
2.     Mamak Godang Ka Kampuong
3.     Malin
4.     Dubalang
5.     Ughang Tuo
Masing-masing memiliki tugas dan wewenang tersendiri dalam suatu satuan hokum adat di tingkat Kampuong terhadap rakyat yang disebut dengan sebutan “Kamanakan”. (dihimpun dari berbagai sumber).