Minggu, 22 Juli 2012

KAWIN SASUKU DALAM TIMBANGAN SYARIAH


KAWIN SASUKU DALAM TIMBANGAN SYARIAH
OLEH : ZALDI ISMET, S.Sos
Pendahuluan
Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan, perkawinan merupakan hal penting. Perkawinan dalam setiap masyarakat adalah masa peralihan yang paling kompleks yang mencakup faktor-faktor fisik, fisikis, sosiologi dan status sosial individu di dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1978).
Di negara Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 yangmengatur tentang perkawinan. Pasal itu menegaskan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang  wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan kata lain perkawinan ialah perjanjian perikatan antara pihak seorang laki-laki dengan pihak seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami-istri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama. Jadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga.
Perkawinan membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau istrinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.
Pembatasan jodoh dalam Perkawinan dalam semua masyarakat di dunia ada larangan-larangan yang harus dipatuhi dalam memilih jodoh. Dalam Adat masyarakat Rantau Kampar Kiri, pembatasan seperti itu juga ada, terutama pembatasan perjodohan yang dilakukan oleh ajaran Islam (Syariah). Dan disamping adanya pembatasan perkawinan menurut syariah islam, masyarakat Rantau Kampar Kiri juga masih memakai pembatasan perkawinan menurut adat-istiadat (* Tradisi Matrilinial ).
Perkawinan menurut adat istiadat Matrilinial
Didalam filsafat matrilineal yang pertama sekali digagas oleh seorang tokoh filsafat Hindu Minangkabau yang bernama “ Sutan Balun ” yang lebih populer dikenal dengan sebutan Datuk Parpati Nan Sabatang. Dalam filsafat matriliniel ini beranggapan bahwa pertalian darah (hubungan kekerabatan) manusia berasal dari pertalian darah dari pihak ibu/wanita (das Motheres). Sehingga pihak wanitalah sebagai Soko (pemegang garis keturunan ) bukan pihak laki-laki. Begitu juga dengan hubungan kekeluargaan berawal dari hubungan seibu (induk), gabungan induk akan membentuk suku, gabungan suku akan membentuk wangsa dan gabungan wangsa akan membentuk Bangsa.  Satu suku berasal dari satu induk atau satu perut maka dia bersaudara layak saudara sekandung dan tidak boleh untuk saling menikahi. Dari filsafat ini masyarakat penganutnya beranggapan bahwa hubungan satu suku  adalah layaknya satu keluarga besar seibu seayah, sehingga mereka tidak boleh untuk menikah. Masyarakat penganut filsafat ini adalah masyarakat Minangkabau, Riau Daratan, Kerinsi Jambi dan negeri Sembilan Malaysia .
Rantau Kampar Kiri merupakan komunitas masyarakat adat yang termasuk penganut filsafat Matrilinial tersebut, sehingga perkawinan sesuku dilarang misalnya, seorang pria yang memiliki suku Melayu Datuk Marajo tidak boleh menikah dengan gadis yang memiliki suku Melayu datuk Marajo. Begitu juga sebaliknya pria yang memiliki suku Pitopang Basa tidak boleh menikah dengan gadis yang memiliki suku Pitopang Basa juga. Sebaliknya seorang pria yang memiliki suku Melayu Datuk Marajo hanya dapat menikah dengan gadis yang memiliki suku berbeda-beda seperti Suku Pitopang Basa, Suku Domo, Suku Piliang dan lain-lain. Bahkan dibeberapa Negeri di Rantau Kampar kiri ada beberapa suku yang berbeda tetap dilarang untuk saling menikahi, karena adanya hubungan kekeluargaan atau sumpah setia nenek moyang pada zaman dahulu kalanya. Contoh antara suku Petopang Basa dan Petopang Tonga di kenegrian Lipatkain Kampar kiri
Jika seorang kemenakan melanggar hukum adat kawin sasuku hukuman secara adat yang akan diterima  adalah seperti:
1.     Dibunuh dengan cara pelaku kawin sasuku dimasukkan kedalam Luka (sejenis alat penangkap ikan yang terbut dari ayaman bambu) kemudian benamkan kedalam sungai Kampar Kiri. Hukuman adat ini disebut dengan nama Joghek Sumbang (Jerat Sumbang). Pada zaman dahulu hukuman ini dilaksanakan pada pernikahan sumbang yang dilakukan oleh kemenakan soko ( Dikiki baabi bosi, dibasua baabi aie/ masih memiliki hubungan darah yang dekat dari pihak ibu atau sumbang sapowik /seperut).
2.     Pengucilan secara adat yang disebut dengan kiasan “ dilotakan di Bukik nan tak baagin, dilugha nan tak basaghok”. Dalam adat-istiadat di Rantau Kampar Kiri kemenakan yang melakukan kawin sasuku, dianggap seperti binatang yang tidak punya malu kiasnya “ Laksana buah baluluk, tacampak ka aie indak dimakan ikan, tacampak kadaek indak diicatuk ayam”. Bentuk yatanya pengucilan ini adalah seperti, apabila keluarga yang melakukan kawin sasuku melakukan pesta maka masyarakat adat tidak akan menghadirinya ( Uma indak ditingkek, nasi indak dimakan, aie indak diminum). Kemudian kalau malam idul fitri maka rumah keluarga pelaku kawin sasuku tersebut tidak di adakan acara takbiran oleh warga sukunya masing-masing.
3.     Denda secara adat/ diberi hutang satu ekor kerbau, dimana keluarga pelaku kawin sasuku didenda satu ekor kerbau dan mereka harus memasaknya sendiri. Setelah selesai dimasak maka dipanggil seluruh warga untuk menikmati hidangan, hal  ini dilakukan untuk memberikan sanksi kepada keluarga besar pelaku kawin sasuku.
4.     Pengusiran dari Kampuong/Negeri karena dianggap melanggar hukum adat dan menantang sumpah sotie adat. Sanksi pengusiran dari kampuong terhadap pelaku kawin sasuku dilakukan adalah karena masyarakat adat menganggap perbuatan sumbang tersebut telah melanggar “ sumpah sotie” adat istiadat. Maka kalau pelakunya tidak diusir (dialau) dari negeri mereka maka negeri mereka akan dikutuk tuhan. Tanda- tanda tuhan murka adalah antara lain, baladang tak bulie padi, harimau mengganas, buaya timbul-timbul, gajah masuk kampuong. Akan tetapi pengusiran ini terjadi apabbila pelaku kawin sasuku dan keluargnya tidak bersedia menjalankan sanksi adat atau menantang adat “ Utang indak umuo mambayi, salah indak omua batimbang adat tak omua maisi limbago tak omua manuang”.
5.      Pelaku kawin Sasuku tidak diperbolehkan lagi memegang gelar adat atau menjadi Ninik-Mamak. Jika seandainya pelaku kawin sasuku adalah seorang kemenakan pisoko atau kemenakan yang semestinya berhak untuk memegang gelar adat-istiadat maka semenjak kemenakan tersebut melakukan kawin sasuku dia tidak lagi berhak untuk memegang pisoko adat tersebut sampai dia mati.
6.     Anak-anak hasil dari perkawinan sesuku tidak memiliki suku/kampuong dikenegerian Lipatkain dan tidak memiliki hak-hak secara adat,  kemudian anak tersebut disamakan statusnya dengan anak hasil perzinahan/ anak luar nikah atau dalam bahasa kampungnya “ Anak Gampang”.
Perkawinan menurut Syariat Islam
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Aturan Mahrom dalam Islam
Siapa yang boleh dinikahi dan tidak boleh dinikahai menurut Tuntunan Islam?. Aturan itu ada termuat di Al Qur-an yaitu QS.4. AN-Nisaa ayat (23): Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Betapa indahnya aturan itu, dan bayangkan bagaimana jika aturan tentang pernikahan itu tidak ada?.
Siapa Saja Mahram itu?
Muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun mim di-dhammah yg makna adalah orang yg berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arab adalah mahramun mim di-fathah. Mahram ini berasal dari kalangan wanita yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya . boleh melakukan safar bersama boleh berboncengan dengan boleh melihat wajah tangan boleh berjabat tangan dengan dan seterus dari hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yakni mahram karena nasab mahram karena penyusuan dan mahram mushaharah .
Kelompok pertama yakni mahram karena keturunan ada tujuh golongan:
1. Ibu nenek dan seterus ke atas baik dari jalur laki2 maupun wanita
2. Anak perempuan cucu perempuan dan seterus ke bawah baik dari jalur laki2 maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak saudara perempuan kakek dan seterus ke atas baik sekandung seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu saudara perempuan nenek dan seterus ke atas baik sekandung seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan sekandung seayah atau seibu cucu perempuan dan seterus ke bawah baik dari jalur laki2 maupun wanita
7. Putri saudara laki2 sekandung seayah atau seibu cucu perempuan dan seterus ke bawah baik dari jalur laki2 maupun wanita
Mereka inilah yg dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu anak-anakmu yg perempuan saudara-saudaramu yg perempuan saudara-saudara bapakmu yg perempuan saudara-saudara ibumu yg perempuan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yg perempuan”
Kelompok kedua juga berjumlah tujuh golongan sama dengan mahram yg telah disebutkan pada nasab hanya saja di sini sebab adalah penyusuan. Dua di antara telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
“Dan ibu-ibu kalian yg telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.”
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuan padahal air susu itu bukan milik melainkan milik suami yang telah menggauli sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suami menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak berarti termasuk anak kandung dari ibu susu anak kandung dari ayah susu serta dua anak yg disusui oleh wanita yg sama. maka ayat ini dan hadits yg marfu’:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” kedua menunjukkan tersebar hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebar pada kerabat . Maka ibu dari ibu dan bapak susu misal adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterus ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara karena susuan dan seterus ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterus ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunan saja. maka seluruh anak keturunan dia berupa anak cucu dan seterus ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja berdasar pendapat yg paling kuat yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna rahimahumullahu bahwa penyusuan yg mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak selama 2 tahun penuh bagi siapa yg hendak menyempurnakan penyusuannya.”
Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yg mengharamkan adl penyusuan yg berlangsung krn rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yg diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dlm Al-Irwa bahwa tdk mengharamkan suatu penyusuan kecuali yg membelah usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuk adalah: bayi menyusu sampai kenyang lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Adapun kelompok ketiga jumlah 4 golongan sebagai berikut:
1. Istri bapak istri kakek dan seterus ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2. Istri anak istri cucu dan seterus ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua ibu dan seterus ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib dan seterus ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1 2 dan 3 hanya menjadi mahram dgn akad yg sah meskipun belum melakukan jima’ . Adapun yg keempat mk dipersyaratkan bersama dgn akad yg sah dan harus terjadi jima’ dan tdk dipersyaratkan rabibah itu harus dlm asuhan menurut pendapat yg paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.
Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati mk istri bapak misal tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibu telah meninggal atau diceraikan dan seterusnya.
Selain yg disebutkan di atas mk bukan mahram. Jadi boleh seseorang misal menikahi rabibah bapak atau menikahi saudara perempuan dari istri bapak dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri atau bibi istri baik krn nasab maupun krn penyusuan mk bukan mahram tdk boleh safar berdua dengan berboncengan sepeda motor dengan tdk boleh melihat wajah berjabat tangan dan seterus dari hukum-hukum mahram tdk berlaku padanya. Akan tetapi tdk boleh menikahi selama saudara atau keponakan itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ
“Dan mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri .”
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dgn bibi sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penutup

Sudah banyak aturan-aturan adat diberbagai suku di Indonesia yang mengatur tentang pernikahan atau perkawinan dimana karena mereka belum mengenal tuntunan pernikahan menurut islam itu. Dan bagaimana perkembangan serta dampaknya, ternyata pernikahan-pernikahan yang dilakukan boleh dan tidaknya menurut aturan adat atau suku yang ada itu adalah tidak membawa pada keteraturan bahkan menimbulkan persoalan-persoalan sosial yang tak berujung pada masyarakat mereka masing-masing.


Kembali pada ayat itu yang mengatur tentang siapa yang boleh dinikahi dan siapa yang tidak boleh; adalah sangat agung dan menakjubkan kalau kita mau berfikir. Betapa tidak, karena aturan itu ada di Al Qur-an yang mana Al Qur-an itu adanya atau sebagai Al Kitab ada sejak 1400 tahun yang lalu. Sungguh luar biasa, diamana aturan pernikahan itu sangat bermakna dalam memberikan keteraturan dalam kehidupan dan perjalanan kehidupan manusia selanjutnya. Andai sekaranga ada produk aturan manusia yang mengatur tentang yang boleh dinikahi dan tidak boleh dinikahi yang berbeda dengan yang tertera di Al Qur-an itu niscaya tidak akan berdampak positif dalam kehidupan manusia , dan tidak akan berlangsung lama adanya aturan itu karena menimbulkan dampak-dampak yang tidak beruntung bagi kehidupan. 
Aturan pernikahan menurut adat istiadat diberbagai suku bangsa di indonesia termasuk di Rantau Kampar Kiri adalah aturan yang bersumber dari Tsqofah Basyariah (filsafat manusia) yang tentu saja tidak akan bertahan menghadapi perubahan zaman dan perkembangan manusia baik perkembangan jumlah apalagi pemikiran manusia. 
Timbulnya berbagai gejolak dimasyarakat antara golongan yang mempertahankan tradisi dengan golongan yang berusaha untuk keluar dari tradisi sempit tersebut akan membuat konflik sosial seperti putusnya hubungan kekeluargaa, silaturrahmi, dan permusuhan diantara anggota masyarakat yang pada akhirnya berakibat pada runtuhnya sistem kemasyarakatan.

Sungguhlah itu aturan pernihakan  di Al Qur-an bukan produk pemikiran seorang Muhammad tapi ia merupakan aturan ilahi yang fitrah dan sesuai dengan segala kondisi masyarakat, aturan pernikahan dalam Al-quran merupakan hukum-hukum suci yang telah megalami penyesuaian dari hukum pernikahan sejak zaman Nabi adam, hukum pernikahan bani Israel sampai menjadi hukum pernikahan yang ideal untuk umat manusia sampai akhir zaman sudah ditetapkan didalam kitab Allah SWT yang terakhir yaitu Quran. Kalau orang Islam memang sudah yakin bahwa apa yang ada di Al Qur-an adalah Wahyu Allah Tuhan Rabbul Aalamiin.