Jumat, 30 Maret 2012

ADAT KAMPAR KIRI VS ADAT MINANGKABAU

ADAT KAMPAR KIRI VS ADAT MINANGKABAU ( Saatnya Orang Rantau Kampar Kiri menemukan jatidiri....) AdatKampar Kiri Sejarah Kerajaan Kamparkiri Dalam buku Sejarah Riau yang disusun Wan Galib dkk dalam BAB VI yakni Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda, tepat pada halaman 355-357 disebutkan tentang Kerajaan Kamparkiri. Berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti namun salah satu peninggalannya adalah suatu tempat disebut benteng yang menjadi peninggalanbersejarah. Masyarakat tempatan menyebut ini sebagai peninggalan sejarah sebelum Islam. Artinya, kerajaan ini sudah berdiri sebelum agama Islam masuk. Namun kemungkinan besar perkembangannya berkemungkinan besar baru mencuat pada awal abad 19 Masehi. Kerajaan Kampar Kiri ini berpusat di Gunungsahilan yakni kira-kira 5 Km dari desa Kebun Durian, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Wilayah kerajaan ini meliputi dari Muara Linggi (Langgam, kini masuk Kabupaten Pelalawan) di hilir sampai ke Pangkalan Dua dihulu (diperkirakan daerah Pangkalan Indarung di Sumatera Barat).Perkembangan kerajaan ini diperkirakan tergolong lambat sebab dalam beberapa kali keturunan raja-raja yang memerintah tidak terdapat perubahan-perubahan yang berarti. Pada 1905, Tengku Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam yang menduduki tahta kerajaan, mengirim utusan ke Bengkalis untuk menyerahkan dan mengaku tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuan negerinya akan aman dan makmur. Maka 27 Februari 1905 disepakati sebuah perjanjian antara kerajaan Kamparkiri dengan Hindia Belanda dan setelah itu, kerajaan Kamparkiri merupakan wakil pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Kamparkiri langsung diwakili seorang raja dengan gelar Yang Dipertuan Besar van Gunung Sahilan en Datuk van het Landschap. Pada 29 Mei 1907 kembali dibuat perjanjian dengan Hindia Belanda yang ditandatangani Yang Dipertuan Abdurrahman sebagai pengganti Sultan Abdul Jalil. Maka dengan perjanjian tersebut, secara administrasi kekuasaan Kamparkiri diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Belanda menempatkan seorang controleur sebagai kepala dari pangreh praja di sana dan menurut perjanjian itu bekas kerajaan Kampar Kiri termasuk dalam Zelbestuur. Kerajaan ini dibagi atas lima kekhlifahan dan kedudukan khalifah tidak terpusat pada pusat pemerintahan tetapi berkedudukan di daerahnya masing-masing. Lima kekhalifahan itu antara lain; Datuk Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunungsahilan, Datuk Bendahara Khalifah Kuntu berkedudukan di Kuntu, Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit berkedudukan di Ujung Bukit, Datuk Gedang Khlaifah Batu Sanggam berkedudukan di Batu Sanggam, serta Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai berkedudukan di Ludai. Kerajaan Kamparkiri kemudian disebut dengan Kerajaan Gunungsahilan yang semula meliputi 25 negeri, berkembang menjadi 30 negeri. Pada 1930 Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti ditabalkan sebagai raja. Perhelatan besar dilaksanakan dengan memotong beberapa ekor kerbau tiap-tiap orang dari khalifah yang berlima. Pembangunan di masa pendudukan Belanda arah pembangunan negeri hanya untuk kepentingan Belanda seperti pembangunan kantor pos, kantor kontreleur dan sekolah. Sedangkan istana sultan dibangun sekedar mengambil hati sultan agar kerajaan tersebut tetap setia pada Hindia Belanda. Salah seorang keturunan Tengku Sulung yakni Tengku Arifin bin Tengku Sulung menjelaskan, hingga hari ini masih ada tapak-tapak sejarah yang terabaikan seperti kandang kuda, sekolah perpolof school, asrama polisi, pesanggrahan, penjara, kantor markoni/berita dan kantor raja/merah. Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunungibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunungibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunungibul, atau Kerajaan Gunungsahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunungsahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunungibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orangtua mereka, Kerajaan Gunungibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunungibul. “Cerita soal Kerajaan Gunungibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunungsahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana. Diakui keduanya, cerita tentang Gunungibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunungsahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunungsahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu sedang dalam menuai masa keemasannya. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunungsahilan untuk meminta anak raja dan di-raja-kan di Gunungsahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang untuk datang ke Pagaruyung mencari siapa yang pantas dirajakan di Negeri Gunungsahilan. “Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunungsahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunungsahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). Pembentukan Adat-Istiadat Kampar Kiri Menurut buku tentang adat-istiadat Kampar Kiri yang ditulis oleh Wazir kerajaan Gunung Sailan Tengku Haji Ibrahim Bin Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam. Mengatakan bahwa Adat-Istiadat Kampar Kiri disusun pada masa pemerintahan Sulthan Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam (1850-1880 M). Dalam buku adat istiadat Kampar kiri tersebut di katakan bahwa yang dimaksud dengan adat ialah, kalau terhadap mesjid/surau disebut IBADAT, kalau terhadap balai (pemerintahan/kerajaan) disebut ADAT. Sedangkan yang menjadi dasar Adat Kampar kiri adalah “ Addienul Islam” pada awalnya pelaksanaan Adat dan Ibadat itu dilaksankan oleh junjungan umat Nabi Muhammad SAW, beliaulah yang pandai memegang dan menjalankan adat dan ibadat itu, setelah beliau wafat maka pelaksanaan adat dan ibadat tersebut dilanjutkan oleh para sahabat beliau yaitu para Khalifah. Sampai pada khalifah terakhir yang memegang adat dan ibadat dalam satu tangan ialah Khalifah Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Setelah berakhirnya masa kehalifaan Husein Bin Ali Bin Abi Tahlib maka pelaksanaan Adat dan Ibadat di bagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Bagian Adat dipegang oleh para Raja/Sulthan yang bertulang kuat, bertangan besi sebagai pelaksananya( eksekutif). 2. Sedangkan bagian ibadat dipegang oleh para alim ulama yang disebut bermata jalang bercermin terus (Majlis syuro/legislatif). Dari dasar inilah dibentuk pemerintahan di kerajaan Gunung Sailan Kampar Kiri dimana Raja dibagi dua yaitu Raja Adat yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Raja Ibadat Yang Bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti. (Tengku Haji Ibrajim. Adat Istiadat Kampar Kiri) Dalam Kerajaan Kampar Kiri Adat dibagi menjadi beberapa bagian anatara laian, Adat Ashal (Penghambaan diri Kepada Allah) Adat Fhuru’ (Penghormatan kepada Orang Tua) Adat Suguhari (Adat Perdamaian) Adat Islamiyah (Adat perdamaian) dan lain-lain. Dari dasar inilah disusun “ Adat bersendi syarak (Syariat) syarabersendi Kitabullah” Prinsip-prinsip Adat Kampar Kiri 1. Adat Nan Sebenar nya Adat Ialah Adat yang diterima dari Nabi Muhammad SAW (Al-Quran dan Sunnah) di situ diambil syah dan batal, Halal dan haram, Pardu dan sunnat, da’wa dan Jawab, Saksi dan Bai,ah. Adat Perpatih Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas. Adat Perpatih berasal dari tanah Minangkabau, Sumatera, diasaskan oleh seorang pemimpin Minang bernama Sutan Balun yang bergelar Dato' Perpatih Nan Sebatang. Adat ini adalah amalan dan peraturan hidup yang ditentukan bagi masyarakat Minangkabau yang rata-ratanya adalah petani ketika itu. Tidak ada tarikh yang tepat dicatatkan bila adat ini diwujudkan. Tetapi Adat Perpatih telah dibawa ke Semenanjung Tanah Melayu (Semenanjung Malaysia) oleh perantau-perantau Minangkabau pada abad ke 14 Masehi. Struktur Masyarakat Adat Perpatih Masyarakat Adat Perpatih terbahagi kepada tiga kumpulan utama iaitu [[Perut Suku dan Luak. Perut adalah unit sosio-politik yang terkecil di mana anggota sesuatu perut itu adalah berasal daripada moyang (keturunan perempuan) yang sama. Mereka ini sangat rapat dan lazimnya tinggal di sesuatu perkampungan atau kawasan yang sama. Setiap perut mempunyai seorang ketua yang digelar Buapak.Buapak ini dipilih oleh anak-anak buah di dalam sesuatu perut berkenaan. Kumpulan yang kedua ialah suku. Suku dibentuk oleh beberapa perut yang menjadikan keluarga berkenaan semakin besar. Suku diketuai oleh seorang ketua yang digelar Dato' Lembaga. Kumpulan ketiga ialah Luak. Luak adalah unit kawasan pentadbiran dari segi adat di mana ada empat luak utama iaitu Rembau, Sungai Ujung, Johol dan Jelebu. Setiap luak diketuai oleh seorang Undang. Selain daripada empat luak utama ini ada satu lagi luak yang kelima dipanggil Luak Tanah Mengandung. Luak Tanah Mengandung ini adalah terdiri daripada lima luak kecil di Seri Menanti iaitu Luak Inas, Luak Ulu Muar, Luak Gunung Pasir, Luak Terachi dan Luak Jempol. Setiap luak kecil ini ditadbirkan oleh seorang ketua yang bergelar Penghulu Luak. Adat Perpatih ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui kata-kata perbilangan. Ia merangkumi pelbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk soal harta pusaka, perlantikan pemimpin, hukum nikah kahwin, amalan bermasyarakat, sistem menghukum mereka yang melanggar adat atau melakukan kesalahan dan pelbagai aspek lagi. Setiap peraturan atau adat itu ada perbilangannya dan setiap peraturan itu ada rasional atau sebab-sebab terjadinya hukum atau adat itu. Perlantikan pemimpin, misalnya, banyak yang menyamakan sistem Adat Perpatih dengan amalan demokrasi. Contohnya ialah perlantikan Yang DiPertuan Besar Negeri Sembilan di mana bukannya melalui keturunan dari bapa ke anak tetapi adalah melalui pemilihan oleh Undang Luak yang empat iaitu Undang Rembau, Undang Sungai Ujung, Undang Johol dan Undang Jelebu. Empat undang ini akan bermesyuarat untuk melantik salah seorang keturunan dari raja Pagar Ruyung untuk menjadi Yang DiPertuan. Undang Luak pula dilantik oleh Dato'-Dato' Lembaga di luak (daerah) masing-masing. Dato' Lembaga ini pula adalah pemimpin-pemimpin yang dilantik secara muafakat oleh pemimpin-pemimpin keluarga yang digelar Buapak. Oleh itu secara keseluruhannya kuasa melantik pemimpin itu sebenarnya berada di tangan rakyat biasa.Inilah satu sistem Adat Perpatih yang ada persamaan dengan demokrasi. Prinsip-prinsip Adat Perpatih Adat Perpatih mempunyai lima prinsip utama. 1. Keturunan dikira melalui nasab ibu: Adat Perpatih memberi keistimewaan kepada perempuan yang dianggap bonda kandung iaitu ibu yang melahirkan anggota-anggota masyarakat. Seseorang individu itu adalah anggota suku ibunya dan bukan anggota suku bapanya. 2. Tempat Kediaman adalah di kawasan ibu isteri: Apabila berlangsungnya sesuatu perkahwinan, si lelaki akan meninggalkan kampung halamannya dan menetap di kawasan ibu isterinya sebagai orang semenda. Pada zaman dahulu si lelaki akan mengusahakan tanah keluarga isterinya. 3. Perempuan mewarisi pusaka, lelaki menyandang saka: Hanya lelaki sahaja yang berhak menyandang saka (jawatan-jawatan dalam adat) manakala perempuan adalah mewarisi harta pusaka keluarga ibunya. 4. Perkahwinan seperut atau sesuku adalah dilarang: Dalam sesuatu perut dan suku, hubungan adalah rapat dan si lelaki menganggap perempuan dalam perut atau sukunya adalah saudara perempuannya. Begitu juga sebaliknya. Oleh itulah perkawinan sesama suku ini adalah terlarang. Perempuan yang berkahwin sesama suku akan hilang haknya untuk mewarisi harta pusaka ibunya manakala lelaki pula akan hilang hak untuk menyandang sebarang jawatan dalam adat. 5. Orang luar boleh menjadi ahli sesuatu suku: Untuk tujuan perkahwinan atau waris mewarisi, dibenarkan orang luar untuk menjadi ahli sesuatu suku dengan cara melalui upacara berkedim. Dalam upacara ini seseorang itu akan bersumpah taat setia dan bersaudara dengan ahli-ahli suku yang akan disertainya. KESIMPULAN 1. Adat Kampar Kiri berdasar atas Syariat Islam disusun Oleh Sultan Tengku Abdul Jalil Yang Dipetuan Hitam pada abad ke 18 2. Adat Istiadat Minangkabau disusun oleh Pemimpin MinangKabau Sutan Balun yang bergelar Datu’ Parpati nan Sabatang dengan dasar filsafat Matrilinial (Hindu) pada abad ke 14. 3.