Minggu, 02 Agustus 2020

SEJARAH PENGIBARAN SANG SAKA MERAH PUTIH PERTAMA DI RANTAU KAMPAR KIRI

NEGERI LIPATKAIN ERA PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 

        


                 MAKAM RAJA RANTAU KAMPAR KIRI

               T. H. ABDULLAH YDP SAKTI DI LIPATKAIN

Raja Ibadat Gunung Sahilan yakni Tengku Haji Abdullah YDP Sakti, memiliki beberapa orang istri, salah satu istrinya berasal dari Negeri Lipatkain. Keberadaan salah satu Istri beliau di Negeri Lipatkain, sehingga beliau dominan tinggal di Negeri Lipatkain, Bukan di Negeri Gunung Sahilan sebagai Pusat Kerajaan Rantau Kampar Kiri pada waktu itu.

Pada sekitar tahun 1940-an Raja Adat Kampar Kiri yakni Tengku Abdul Jalil YDP Besar atau dikenal dengan nama Tengku Sulung dalam keadaan Sakit, sehingga Raja Ibadat Tengku Haji Abdullah melaksanakan jabatan Rangkap sebagai Raja adat dan Ibadat.

Pada tahun 1945, tentara Jepang menyerah kepada sekutu, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya di Jakarta. Proklamasi Itu dibacakan Oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta.

 

Berita Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang di Proklamasikan Tanggal 17 Agustus 1945, akhirnya sampai juga ke Rantau Kampar Kiri, berita Proklamasi ini dibawah oleh seorang mantan Prajurit Peta yang bernama Hasan Basri Lilit yang berasal dari Lipatkain, berita itu didapat oleh Hasan Basri dari Pekanbaru.

Oleh Hasan Basri (Kolonel TNI) berita itu disampikan kepada tokoh-tokoh masyarakat di Rantau Kampar Kiri, terutama kepada tokoh-tokoh masyarakat Negeri Lipatkain antara lain :


1.   Guru Ahmad Abdurrahman Zaini

2.   Guru Rahmat

3.   Guru Rusli

4.   Guru Roib

Oleh tokoh-tokoh masyarakat yang juga seorang guru ini, berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Tersebut di sampaikan kepada Raja Rantau Kampar Kiri pada waktu itu yakni Tengku Haji Abdullah YDP Sakti.

Dari sini munculnya dukungan dari Raja Kerajaan Rantau Kampar Kiri terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan pernyataan bergabungnya Kerajaan Rantau Kampar Kiri kedalam Negara Republik Indonesia, yang dikirim melalui Telegram kepada Pemerintah Republik Indonesia oleh Raja Adat dan Ibadat Rantau Kampar Kiri yakni Tengku Haji Abdullah YDP Sakti.

Wujud dukungan dan bergabungnya Kerajaan Rantau Kampar Kiri kepada Republik Indonesia, maka pada tanggal 21 Oktober 1945 diadakan upacara Pengibaran Bendera Merah Putih pertama di Negeri Lipatkain Oleh Raja Rantau Kampar Kiri Tengku Haji Abdullah YDP Sakti bersama tokoh-tokoh masyarakat Rantau Kampar Kiri bertempat di Halaman Sekolah Rakyat di Negeri Lipatkain.

Lokasi Pengibaran Bendera Merah-Putih pertama di Rantau Kampar Kiri ini adalah di Negeri Lipatkain tepatnya di Halaman Sekolah Rakyat (SR) hari ini disebut SDN 001 Lipatkain, Dusun I Bukit Balam Desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar.

  SDN 001 LIPATKAIN ( LOKASI PERTAMA PENGIBARAN        BENDERA MERAH  PUTIH DI RANTAU KAMPAR KIRI)

Ini adalah sekelumit sejarah pengibaran Sang Saka Merah-Putih pertama sekali di Bumi Rantau Kampar Kiri, yakni di Negeri Lipatkain, yang mana setelah itu Negeri Lipatkain menjadi Pusat Kewedanaan Rantau Kampar Kiri.

 

Rabu, 29 Juli 2020

LEGENDA SIMIKIN ANAK DURHAKA

 LEGENDA SIMIKIN ANAK DURAKO

CERITA RAKYAT RANTAU KAMPAR KIRI


Menurut Riwayat Lisan Dari Tetuo Adat Negeri Lipatkain, Simikin ini adalah nama seorang anak dari kaum pesukuan Pitopang  pada masa dahulu. Simikin ini adalah seorang anak yatim, dia ditinggalkan mati oleh ayahnya, sehingga dia hanya hidup dengan ibunya saja “ Mak Sonik”. Semenjak Kecil Simikin hidup dengan sangat bersahaja, dia adalah anak yang baik, dan santun serta sayang dengan ibunya.
Setelah beranjak dewasa, hidup dikampung dengan kondisi serba kesusahan, bekerja sebagai buruh tani (Nyukpaan) diladang-ladang penduduk bersama ibunya Mak Sonik.
Pada suatu malam, Simikin berbicara pada ibunya mak sonik, bahwa dia meniat untuk merantau kalawik ( Malaka). Mendengar niat hati sang Putra semata wayang, maka menteslah air mata sang omak (Sonik) ini, Anak Bujang Jolong, belum menikah ini berniat Merantau ke Lawik untuk merubah Nasib ke rantau Orang. Dengan berat hati dan cucuran air mata mak sonic pun mengizinkan.
Maka berkata mak Sonik kepada anaknya, omak hanya bisa memberikan restu untuk niat mu merobah nasib merantau Ka lawik, tapi Omak hanya Mampu memberikan Bekal 7 ( tujuh) Genggam Sokui ( Sejenis Tanaman padi-padian). Sebagai bekal perjalan mu Bujang, Omak Lope Jo hati nan suci Jo Muko nan jonie, semoga niat mu, bakuwuo Lope, baniat Sampai, Kok baladang dapek padi, Kok Manego dapek Ome. Begitu doa restu Mak Sonik melepas Putranya Turun Kelaut pergi Merantau Ketanah Seberang, Bandar Malaka. Maka dengan menumpang kapal para saudagar Simikin pun berlayar menuju tanah Perantauan dilawik yakni Kota malaka. Dilepas dengan isak tangis oleh ibunya Mak Sonik dengan dukacita. Maka merantaulah sibujang Tangguang “ Simikin” Kelawik. Dengan bekal tujuh gengam Sokui, sebagai modal hidup di perantaun.
 Di perantaun karena kerja keras, kejujuran dan do’a dari si emak, maka Simikin disayangi oleh Induk Semangnya dibandar Malaka. Sesuai petata adat, Jiko Bujang Pergi Maantau, lomang boli, belanak boli, induk somang cari dahulu. ( Induk Somang adalah Bos atau Saudagar yang memiliki anak buah sebagai karyawan dalam bahasa local Lipatkain karyawan ini di sebut Anak Somang).
 Setelah sampai dikota Malaka, maka Simikin bekerja pada seorang saudagar, karena ulet jujur dan hemat, maka hari demi hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, tahun pun berganti. Maka kehidupan Simikin pun berganti lebih baik di tanah Rantau. Simikin bukan lagi seorang Anak Somang dia sudah menjadi seorang Saudagar yang memiliki usaha perdagangan lintas pulau dan memilik 7 buah armada Kapal dagang di tanah Malaka.
Kehidupan Simikin berubah menjadi  Kaya raya, sebagai saudagar terpandang di Malaka, maka Simikin pun memiliki banyak istri, menurut hikayat tetuo adat Simikin memiliki 4 istri yang cantik-cantik. Dari 4 istri tersebut, istri muda Simikin yang bernama “Intan Suri” adalah istri yang paling Muda dan cantik.
Pada suatu malam ditempat peraduan di Rumah mewah nya si Mikin di Bandar Malaka, Intan Suri, istri yang paling cantik dan Budiman, bertanya kepada Si Mikin, wahai kakanda, adinda mau bertanya, kapankah kakanda membawa adinda bertandang ke kampung Halaman kakandi di Negeri Junguik Batu di hulu sungai kampar  Kiri, menegok Ibu mertua yang sering kakanda ceritakan kepada adinda.
Mendengar permintaan istrinya, Simikin menjadi kaget, dan berkata mengapa adinda  bertanya seperti itu jawab simikin, buat apa Pulang kampung, mungkin Ibunda ku Mak Sonik Sudah lama meninggal, dan akupun tidak memiliki sanak saudara lagi di sana, jawab Simikin.
Intan Suri, menjawab Kakanda, setidaknya bawaklah istrimu ini sedikit berziara kekampung halaman ayah dari anak-anak ku, sehingga jika mereka besar nanti, mereka jadi tahu dimana kampung kelahiran ayahandanya berasal.
Mendengar jawaban istrinya, Simikin yang sudah jadi saudagar sukses ini pun terdiam.
Didalam hatinya simiskin teringat kepada Ibundanya mak Sonik yang sudah Puluhan tahun tidak di Kunjunginya, sudah silih berganti “ hari Baik Bulan baik” tak ada sedikitpun tergiang dibenaknya untuk Mudik ke Koto Junguik Batu, atau berkirim pesan ataupun berkirim harta untuk belanja Ibu yang ditinggalkannya. Dia pun ingat betapa miskin dan merananya hidup ibunya di Kampung bersama dengan dia Dahulunya.
Penyesalan pun tumbuh dari dalam hatinya, mengapa dia tidak ingat dengan nasib ibunya di kampung, Mungkin ini terjadi karena seluruh pikiran dan hatinya hanya tercurah kepada bagaimana menjadi Orang yang sukses dan kaya raya, sebagai alasan dari kesusahan dimasa kecilnya, sehingga dia lupa dengan tanah Kampung halamannya yang menjadikan dia menjadi Miskin dan terhina di Kampung Halamannya. Bukan hanya Kampung Halaman yang dia Lupakan, Ibunya Mak Sonik pun turut dia Lupakan. Dalam hatinya timbul rasa sedih, ibah dan juga rindu dengan ibunya.
Di dalam kegalau ini akhirnya Simikin, menjawab Siap untuk membawa istri tersayangnya Intan Suri k berlayar mudik ke Junguik Batu Melihat tanah Kelahiran, dan berniat untuk menjumpai ibunya melepas rindu.
Maka pada hari yang disepakati, berlayarlah Simikin dengan Istrinya Intan Suri dengan Kapal yang mewah dari Bandar Malaka, memudiki Batang Sungai Kampar. Kapal ini penuh dengan Harta Benda berharga, alat Musik Gendang  Gong, payung  Kuning yang biasa dipakai Raja-raja, bahan makanan, pakaian dan sebagainya.
Setelah berlayar berminggu-mingu dari Bandar Malaka memudiki Sungai Kampar, berbelok kebelah kiri menuju sungai Kampar kiri, maka pada suatu Petang yang cerah sampailah Kapal Niaga Mewah Simikin ke Pelabuhan Negeri Jungik Batu di Hulu Sungai Kampar Kiri.
Melihat Kedatangan kapal mewah nan megah ini, maka penduduk negeri Junguik Batu, segera berbondong-bondong menuju dermaga, tidak ketingggalan juga Mak Sonik ibu dari Sang Saudagar Kapal Mewah “ Si Mikin”.
Setelah Merapat Di dermaga Negeri Jungik Batu, maka Simikin berdiri di anjungan kapal bersama istrinya, gendang gong pun dimainkan oleh para awak kapal Simikin, barang-barang muatan kapal, makanan dan pakian dibagi-bagi pada para penduduk kampung. Ditengah-tengah keramain masyarakat, ada suara dari seorang perempuan tua yang sudah bungkuk badannya, berpakaian sangat bersahaja, dengan sambut sudah puti dan kusut pula. Ibu Tua itu berteriak-teriak memanggil nama Mikin, mikin anakku..ini omak nak ,ini Omak.
Sang Nakhoda Kapal Saudagar Mikin tidak mendengar panggilan ibu tua itu, dia sibuk melayani para penduduk yang berebut hadia dari kapalnya. Sang istri yang cantik dan baik hati itu kemudian berkata kepada suaminya, kakanda apakah kakanda Menganal Ibu tua yang berteriak memanggil kakanda dengan menyebut, Mikin,..Mikin Iko Omak nak sambil melanpai-lambaikan tangannnya. Apakah itu adalah Ibunda Mu kakanda tegas Si Intan Suri kepada Suaminya.
Maka Si Mikinpun melihat Ibunya dari anjungan Kapal, setelah melihat ibunya yang berpakain compang camping dengan rambut kusut serta sudah tua dan bongkok, maka timbullah  perasaan malu pada hati Saudagar Mikin. Dia malu mengakui ibunya yang Miskin papah kedana,buruk serta bungkuok dihadapan Istrinya cantik dan kaya raya itu.
Maka dengan berteriak Saugadar Mikin berkata kepada istrinya “ Dia Bukan Omak Ku, Omak ku Cantik  dan dia sudah mati, perempuan itu Bukan Omak ku, Omak Ku Sudah lama Mati, jawab Si Tuan Saudagar Mikin dengan muka Merah padam.
Istrinya Intan Suri, menjawab cobalah melihat baik-naik kakanda, mungkin omak kakanda masih hidup, dan ibu tua itulah orang nya jawab Intan Suri, mari Kita ketepian menjumpai ibu itu.
Menjawab istrinya maka, Sudagar Mikin semakin Malu, mengakui kenyatan Mak Sonik yang rentah itu adalah Ibunya dihadapan Istrinya yang Cantik dan kaya raya itu.
Dengan muka merah padam, maka dibentaknya ibu tua itu dihadapan istrinya, wahai perempuan tua, jangan mengaku-ngaku sebagai Omak ku, Omak ku seorang perempuan rupawan dan berada, omak ku sudah lama meninggal dunia, Kau bukan Omak Ku Nenek tua, serga Saudagar Mikin itu kepada Mak sonik.
Dengan Perasaan Malu yang berujung kepada marah, tidak kuasa menghadapi kenyataan hidup ibunya yang miskin melarat dihadapan istrinya yang cantik. Maka dengan suara yang lantang dia memerintahkan juru mudi kapal untuk menarik sawuh kapal meninggalkan Dermaga Kota Junguik Batu Kembali Berlayar.

Mak Sonik sang Ibunda pun tidak kuasa Menahan hibah hati, mendengar pengakuan Si Mikin, anak Tunggal, belahan Jiwa  yang tidak mengakui lagi dia adalah Ibunya, Dengan perasaan hancur mak Sonik kembali Kerumahnya, dengan perasaan hancur, hati yang remuk redam. Maka Sang Ibu pun melemparkan Lesung Penumbuk Sokui di depan rumahnya dan menyeruh kepada Tuhan yang Maha kaya dan maha perkasa “ Jika Benar Sang Saudagar itu adalah Si Mikin Anak Ku, Wahai Tuhan Allah maka terbangkanlah Kapalnya dengan Angin Kalimubu “ Tobang Abu” dari Negeri Ini…... “Sumpah Kutuk” Sang Ibu pun dijabah Oleh Allah tuhan Yang maha Kuasa.
Ditengah Perjalanan menghilir muara Sungai Kampar kembali ke Bandar Malaka, maka bertiuplah Angin “Kalimubu/Topan” yang sangat deras maka akibat hembusan Angin Kalimubu itu, maka datanglah Ombak Bono dari Kualo Kampar menjadikan kapal Saudagar Mikin anak Durhaka bagaikan daun-daun yang ditiup angin Topan Kalimubu.
Ditengah-tengah amukan Angin Topan kalimubu itu, Sang Nakhoda Saudagar Mikin pun berteriak memohon Ampun atas kesalahannya, apa boleh Buat Kutukan Yang Omak Sonik telah terkabul oleh ALLLAH, YANG MAHA PERKASA. Tak ada Guna taubat Jika Nyawa Sudah sampai tenggorokan, sang istri Intak Suri juga Menagis semua, Awak kapal dilanda Ketakutan, maka dengan Kuasa dan Iradah Allah, kapal besar itu diterbangkan kearah hulu Sungai Kampar Kiri, Muatannya Jatuh berserakan di sapanjang negeri dan Rantau, menjadi Posil dibebatuan sepanjang sungai, Jasad Simikin, Intan Suri yang cantik dan baik hati, awak kapal yang tidak tahu apa-apa juga merasakan azab akibat kedurhakaan Sang Saudagar Mikin yanjg Durhaka ini, tetapi jasad-jasan mereka berjatuhan di tengah-tengah ombak Bonoh terkubur atau dimakan ikan di dalam sungai batang Kampar kiri.
Dari legenda Simikin inilah, nanti menginpsirasi masyarakat adat membuat nama negeri-negeri dengan nama-nama alat-alat perkakas dari isi kapal si Mikin anak durhaka, seperti nama Negeri Lipatkain, Lubuk Payung, Lubuk Oguang dan lain-lain sebainya, karena ditemukan Bebatuan Di sungai-sungai sepanjang Bantang Kampar kiri dan anak-anak sungainya yang menyerupai benda-benda tersebut.

LEGENDA AWANG TIKULUAK

LEGENDA AWANG TIKULUAK
CERITA RAKYAT LIPATKAIN


Tersebutlah suatu cerita rakyat tentang awang Tikuluak, awang Tikuluk adalah nama sebuah rawa yang terdapat di Negeri Lipatkain di tepi Kampung Maliliang. Rawa atau awang atau disebut juga “Bonca Tikuluak” memiliki luas lebih kurang 10 hekatar, memiliki Loghan (anak Sungai kecil yang bermuara di Muara Sungai Sitingkai, sungai kecil ini berhulu di sebuah tempat yang bersama Bukit balam, dalam ulayat negeri Lipatkain.
Pada masa dahulunya Awang atau Bonca ini belum ada yang ada hanyalah sebuah anak sungai kecil saja, kemudian sungai kecil ini menjadi sebuah rawa yang cukup luas, dan kalau sungai Sitingkai mengalami banjir maka kawasan rawa ini membentuk sebuah danau.
Menurut Hikayat atau cerita Rakyat di Negeri Lipatkain, dan diyakini turun temurun, diceritakan dari generasi kegenerasi bahwa penyebab munculnya awang tikuluk ini karena suatu peristiwa legenda “ anak durhaka kepada ibunya. Begini gambaran cerita rakyatnya.
Di negeri Lipatkain pada masa dahulunya, tepatnya di kampung Maliliang, hidup seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Wanita atau perempuan janda tersebut memiliki seorang anak gadis yang cantik Jelita bernama “ Gadi Umbai” (dibuat Penulis). Sementara ibunya bernama “ Mak Mina” ( dibuat oleh Penulis).
Mak Mina ini, semenjak suaminya meninggal, dia yang bekerja menghidupi anak-anaknya, mak Mina sebagaimana orang lain bekerja sebagai peladang/petani.  Mak Mina memiliki ladang dan kebun di Seberang Loghang atau Sungai kecil itu. Di ladang tersebut ditanami padi, Sokui, Jaguang, Nyolai dan tanaman sayur sayuran. Hasil dari perladang dan bertani tersebut akan dijual sebagai mata pencaharian bagi keluarganya.
Sebagai tulang Punggung keluarga setelah wafatnya sang suami, membuat nasib mak Mina Kurang beruntung secara ekonomi (miskin), kondisi ini ditambah mak mina memiliki seorang anak perempuan, yang pada masa ayahnya masih hidup tergolong anak yang dimanjakan oleh ayahnya, hal ini karena ayahnya termasuk orang yang berada (kaya).
Gadi Umbai sang anak, tumbuh menjadi anak yang cantik, pemalas  dan manja di kampungnya, sementara sang ibu harus membanting tulang mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Pagi-pagi makmina sudah bekerja di lading, sementara si anak bangun tengah hari tidak mau mmebantu ibunya bekerja di lading.
Hari kehari dihabiskan oleh gadi Umbai, bermain-main saja di kampung, bersama kawan-kawan sepermainannya, sikap dan tingka lakunya semakin durhaka kepada ibunya, tidak jarang dia merasa malu memiliki ibu yang miskin seperti mak Mina.
Kedurhakaan Si gadi Umbai, sampai-sampai diwaktu menyajikan makanan dirumah kepada ibunya, makanan untuk ibunya diletakkan di dalam “ Sayak’ atau tempurung kelapa, bukan diatas Pinggan (piring) sebagaimana layaknya.
Melihat kelakuan anaknya mak mina sangat bersedih hati, berulang kali makmina memberikan nasehat, tetapi nasehet itu dianggap angina lalu saja oleh sianak. Bahkan Si gadi umbai merasa terhina memiliki seorang ibu yang miskin dan buruk rupa.
Pada suatu hari, karena Bosan dirumah, gadi Umbai ikut keladang melihat ibunya bekerja di seberang Loghan/ Sungai di kampungnya. Melihat perubahan perangai anaknya si ibu merasa gembira, mungkin gadi Umbai sudah mulai sadar fikir Mak Mina.
Sesampai diladang, gadi umbai Bukannya membantu ibunya bekerja “menuai Padi dan Nyolai” tapi Gadi Umbai sibuk bermain-main di aliran Loghan sungai saja. Setelah hari petang maka si ibu mengumpulkan hasil Panen kedalam “ Kumbuik dan Ombuang” ( alat penyimpan hasil panen) tradisional Lipatkain. Karena hasil panen cukup banyak maka makmina membawa beban panen yang cukup banyak di letakkan di dalam “Ombuang”. Sementara hasil panen yang sedikit di letakkan  di dalam “ Kombuik”.
Pada waktu mau kembali kerumah, mak mina meminta tolong kepada anaknya untuk membantu membawa Kombuik padi hasil panen tersebut. Tapi malang tak bisa di tolak, mujur tak dapat diraih, bukan bantuan yang didapat justru hamun carut yang di sampaikan oleh Gadi umbai kepada ibunya.
Dengan perasaan hancur dan sedih, akhirnya Ombuang dan Kombuik tersebut dibawah oleh Makmina sendiri, dengan tertati-tati mak Mina berjalan membawa beban berat hasil panen dibelakang. Sementara gadi Umbai melenggang lengkok bak penari saja berjalan di depan ibunya.
Pada waktu berjalan melewati Titian Loghan sungai kecil itu menuju kampung, maka kaki kiri Gadi umbai tergelincir dan Jatuh ke dalam Loghan itu. Setelah jatuh ke dalam Loghan gadi umbai berteriak meminta Tolong kepada ibunya “ Omak-omak tolong deyen Omak”. Jerit gadi Umbai.
Karena masih sakit hati karena hamun carut gadi umbai di lading, mak minah cuek saja, dia kemudian berjalan diatas titian loghan dan sampai kesebarang dengan selamat.
Sesampai diseberang, Makmina masih mendengar jeritan gadi Umbai meminta tolong, Mak tolong tarek ambo mak, bonac Ku maisok ambo mak (Mak tolong saya mak rawa ini menarik saya mak) begitu lolongan si gadi Umbai. Mak Mina pun menoleh dia melihat rawa itu sudah menelam badan anaknya sampai ke dadanya.
Mak mina merasa gadi umbai hanya bercanda saja sebab dia sering mencandai ibunya, setahu mak mina loghan ini sebelumnya tidak memiliki lumpur hisap, sebab hampir saban waktu makmina menjadikan anak sungai ini sebagai tempat mandi dan mencuci di ladanny. Kemudian Loghan ini juga sering makmina jadikan tempat mencari ikan dengan “sembighai atau Luka” sebab loghan sungai ini banyak ikannya seperti, ikan Bakok, uwan, ikan sepat, ikan limbek dan sebagai-sebainya.
Mak mina terus berjalan pulang, membiarkan anaknya bangkit sendiri dari lumpur lungai tanpa harus di Tolong, “ jangan manjo fikir mak Mina dalam hati”.
Setelah berjalan beberapa langkah dari Titian, Jeritan gadi Umbai semakin Keras, Mak tolong ambo den mak, Lumpur iko semakin Kuat maisok, mak tabonam den le mak, mati den le mak, begitu kira-kira jeritan, permohonan dari gadi Umbai sambil menangis.
Mak mina kemudian menoleh kebelakang, dan dilihatnya lumpur sungai sudah sampai di leher anak gadisnya, maka dengan berlari skencang-kencangnya makmina mengenjar Gadi umbai dan berusaha meraih tangan si anak,,Tapi nasib berkata lain. Gerakan Orang Tua ini kalah cepat dengan Hisapan lumpur hidup tersebut.
Tangan mak mina hanya mampu merai ujung rambut sianak dan dapat menarik penutup kepala yang biasa dipakai oleh gadi umbai ketika keluar rumah, orag kampung menyebutnya “ TIKULUK”. Secepat kedipan mata tubuh Gadi Umbai hilang ditelan Bumi, sang ibu hanya mampu menyelamatkan Tikuluk atau selendangnya saja.
Dengan perasaan sedih, maka pulanlah makmina ke kampungnya dan memberitahukan kejadian ini kepada orang kampung. Dan mentakan bhawa dia hanya mampu menyelamatkan “ Tikuluk Sigadi umbai” dia telah ditelan oleh Lumpur Hisap di Loghan Bukik Maliliang tersebut.
Maka orang-orang kampung pun beramai-ramai dating ketepi Loghan itu, untuk menolong si gadi Umbai, akan tetai Pencipta alam berkehendak lain, Sungai yang tadinya kecil dan dangkal berubah menjadi rawa yang cukup luas, lubang lumpur hisap tersebut mengeluarkan air bercampur lumpur terus-menerus, sehingga membentuk sebuh danau lumpur yang disebut penduduk kampung “ Awang”. Maka awang tersebut diberi nama “ Awang Tikuluk”.
Menurut Legenda masyarakat Lipatkain, bahwa setelah kejadian tersebut Sungai Loghan Bukit maliliang ini, berubah menjadi sebuah rawa/ awang, dan Gadi umbai yang durhaka kepada ibunya ini menjelma menjadi seekor induk Linta sebesar Nyiru (sebagai Penunggu awang Tikuluk). Sehingga hari ini, anak-anak di Lipatkain taku untuk bermain di sekitar rawa tersebut, karena memang rawa awang Tikuluk terkenal banyak di huni oleh “Lintah”.
Cerita Rakyat ini sangat terkenal di Lipatkain, bisanya cerita ini diceritakan oleh orang tua mereka kepada anak-anaknya sebelum tidur pada zaman dahulu, diwaktu televisi belum masuk kampung, disamping itu cerita-cerita rakyat ini mengandung pesan Moral dan akhlak kepada generasi Muda di Negeri Lipatkain Kampar Kiri.


Kamis, 01 Februari 2018

HIKAYAT TOLUOK BANDARUHUM KAMPAR KIRI

HIKAYAT TOLUOK BANDARUHUM
 Ikhtiar: Mengumpul Nan Taseghak, Menyambung Nan Taputui 
 Oleh : Zaldi Ismet (Pemerhati Sejarah dan Budaya Rantau Kampar Kiri)

MALAYU DALAM CATATAN SEJARAH 
 Sejarah merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan maka sejarah harus dapat dipercaya kebenarannya. Oleh karena itu didalam menggali berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi harus berdasarkan pada sumber-sumber yang ada. Untuk menggali sumber-sumber sejarah harus berdasarkan pada metode penelitian sejarah.
 Metode penelitian sejarah adalah langkah-langkah sistematis didalam mengkaji berbagai peristiwa sejarah melalui pencarian informasi sumber sejarah, mengumpulkan sumber sejarah primer dan sekunder, memeriksa kebenaran sumber sejarah, menafsirkan sumber sejarah dan menuliskan kembali peristiwa sejarah. Menurut Louis Gottschalk metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman atau peninggalan masa lampau. Kemudian data-data yang telah teruji dan dianalisis disusun kembali menjadi sebuah kisah sejarah.
 Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kali¬nya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot 1904:324 dan 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatera. Pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (=Śrīwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebe¬lum melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha (Kedah) dan menuju Nālanda (India) (Wheatly 1961:41-42). 
Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing menuliskan bahwa sekemba¬li¬nya dari Nālanda, pada tahun 685 Masehi ia singgah di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing meninggalkan Nālanda pada tahun 685 Masehi, pendudukan Mālayu oleh Śrīwijaya berlangsung antara tahun 671 Masehi, ketika ia mening¬galkan Śrīwijaya dan tahun 688/689 Masehi ketika ia datang lagi ke Śrīwijaya. Berita I-tsing tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi yang tidak mau tunduk kepada Kadātuan Śrīwijaya. Kedua data ini menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Mālayu telah ditaklukan dan diduduki oleh Śrīwijaya sampai sekitar abad ke-13 Masehi. Pendudukan Śrīwijaya atas Mālayu dianggap penting karena dengan menduduki Mālayu, Śrīwijaya dapat menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumī Jāwa, serta Palas dan Jabung (Lampung). 

TANAH KAMPAR DI PERCHA TENGAH
 Sungai Kampar atau Batang Kampar merupakan sebuah sungai di Indonesia, berhulu di Bukit Barisan sekitar Sumatera Barat dan bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera Riau. Sungai ini merupakan pertemuan dua buah sungai yang hampir sama besar, yang disebut dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Pertemuan ini berada pada kawasan Langgam (Kabupaten Pelalawan), dan setelah pertemuan tersebut sungai ini disebut dengan Sungai Kampar sampai ke muaranya di Selat Malaka. Aliran Sungai Kampar Kanan menelusuri Lima Puluh Kota dan Kampar, sedangkan aliran Sungai Kampar Kiri melewati Sijunjung, Kuantan Singingi dan Kampar, kemudian kedua aliran sungai tersebut berjumpa di Langgam Pelalawan. 
Sungai Kampar Kanan bermata air dari Gunung Gadang, memiliki luas daerah tangkapan air 5.231 km². Alur utama semula mengalir ke utara kemudian berbelok ke timur, bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir dengan kemiringan sedang melalui lembah Batubersurat. Selanjutnya bertemu dengan anak sungai Batang Mahat, mengalir ke arah timur. Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalau tinggi, Gunung Solok janjang, Gunung Paninjauan Nan Elok, memiliki luas daerah tangkapan air 7.053 km². Sungai Kampar Kiri memiliki banyak anak sungai besar diantaranya bernama Batang Sibayang, Batang Singingi, Sungai Teso, Sungai Lipai, Sungai Sitingkai, serta puluhan sungai-sungai kecil lainnya. Diantara lima sungai yang terdapat pemukiman penduduk didalamnya, ada tiga sungai yang memiliki persebaran penduduk yang banyak yakni sungai Singingi, sungai Sibayang dan sungai Sitingkai.
Tugu Khatulistiwa di tepi Sungai Kampar Kiri 
Uniknya ketiga sungai ini bermuara di Koto Bungo Setangkai/Lipatkain, Ibuo Kota Kecamatan Kampar Kiri hari ini, dimana dipertemuan diantara tiga sungai ini terletak Garis Khatulistiwa di desa Lipatkain Selatan. Sementara aliran sungai Sitingkai juga menjadi jalur utama dan singkat untuk mencapai daerah hulu Kampar Kanan melalui hulu sungai Batang Kotuo tepatnya menuju wilayah Kabupaten 50 Kota Propinsi Sumatera Barat dan Melalui Hulu Sitingkai Kecil menuju Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Propinsi Riau, melalui Negeri Balung dihulu Sitingkai. 
Di Kecamatan XIII Koto Kampar juga terdapat peninggalan peradaban tua yakni Candi Muara Takus, yang dianggap sebagai salah satu peninggalan dari Kedatuan Sriwijaya. Sekitar 1993, seorang bernama Pierre-Yves Manguin melakukan observasi. Ia pun berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya, sejarawan bernama Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang). Dalam catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, Bila Malayu ada di kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (Provinsi Riau sekarang). Dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I-Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya ( Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa ) di tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan Cheng Tien Wan Shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). 
 Komplek Koto Candi Muara Takus
 Silang pendapat para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr. Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “Sriwijaya” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang. Bagi Slamet Mulyono, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus pada siang hari, berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau tanpa ada bayangan. Daerah Lintasan garis tengah Bumi seperti tanah Kampar dan beberapa daerah lain di Pulau Sumatera serta di Asia Tenggara mengaku bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di wilayah mereka. Menurut Sejarawan Kampar A.Latif Hasyim, Beliau membuat pernyataan bahawa “ maka kita kembali kepada pangkal: catatan I-Tsing, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada pada siang hari tidak ada bayang-bayang. " Ini kuasa Allah. Dari dasar inilah, banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau," (Sumber : A.Latif Hasyim, Sejarawan Kampar).

 Kuntu Dalam hikayat Masyarakat Adat
Dalam hikayat tutur masyarakat adat (Foklor) di Kenegerian Kuntu disebutkan bahwa, sebelum Negeri Kuntu berdiri, masyarakat adatnya tinggal di seberang sungai di suatu tempat yang bernama Batang Siontan. Pada zaman dahulu Muara Sungai Sibayang dan Singingi dan Sitingkai itu lebih kehulu dari sekarang. Muara dari ketiga sungai itu berada pada sebuah teluk yang Bernama Teluk Bandaruhum. Teluk Bandaruhum itu merupakan tempat Pemukiman terawal di Kampar Kiri bersama Gunung Ibul di Muara Langgai ( Muara sungai Kampar Kiri). 
Ditepi Sebelah Kiri Teluk Bandaruhum itu berdiri sebuah Kota (Koto) bernama Koto Tinggi sekaligus sebagai Kota pelabuhan pada masa itu. Pemukiman masyarakat pada awalnya dibangun di sebelah Kiri hadap mudik sungai-sungai di Kampar Kiri termasuk anak –anak sungainya yakni sungai Sitingkai, Sibayang dan Singingi. Pola itu disebut Kotak Antau dan Kotak Negeri. Kotak Negeri di Sebelah Kiri Mudik dan Kotak antau disebelah Kanan Mudik. Dari pola pemukiman ini maka pucuk Pimpinan di sebuah Negeri atau Koto melahirkan Konsep Kepemimpinan “Andiko Duo Sakato” yakni Datuk Pucuk Negeri dan datuk Pucuk Rantau. Di sungai Sibayang, tepatnya yaitu di Muara Sungai Siontan, pemukiman awal itu bernama “ Koto Tenggi”. Pendiri Koto Tenggi di Teluk Bandaruhum adalah Datuk Maharajo Godang dari Pesukuan Domo atau disebut dengan nama sehari – hari oleh masyarakat dengan sebutan “ Datuk Majo Godang”. 
Negeri Koto Tenggi di Teluk Bandaruhum inilah yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Malayu Tuo di Kampar Kiri pada masa Hindu. Koto Tenggi menjadi maju karena menjadi pusat perdagangan di Pulau Sumatera Tengah (Pulau Poco). Hasil bumi dari daerah hulu dan pegunungan Bukit Barisan untuk dipertukarkan dengan dunia luar musti melalaui pelabuhan ini. Pada masa proto sejarah, pulau Sumatera terkenal dengan hasil emas dan lada hitamnya serta rempah-rempah lainnya. Adalah penting untuk melihat kedudukan sumberdaya alam pulau Sumatera untuk dapat memahami mengenai timbulnya pemukiman, pelabuhan, pola perdagangan, dan kerajaan-kerajaan kuno di Sumatera. Hal yang tidak dapat dipungkiri oleh banyak orang adalah bahwa hasil bumi dan hasil tambang Sumatera banyak dicari oleh para pedagang baik dari Arab, India, Tiongkok dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Salah satu hasil Sumatera yang terpenting adalah emas. Dalam catatan Yunani kuno Claudius Ptolomeus disebutkan nama Gunung Ophir, sebagai Gunung emas di tanah Sumatera. Para ahli ada yang berpendapat kata Ophir dekat dengan kata Swanpur atau kata Sumpur yang bermakna daerah penghasil emas di Bukit Barisan. Selain emas, beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatera seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen 1944:210; Miksic 1979: 263). 
Barang-barang logam itu telah lama ditambang dan jauh sebelum abad ke-16 Masehi, yaitu ketika para penguasa Barat ( Eropa Barat dan Amerika Utara) melakukan penambangan secara besar-besaran di bumi Suma¬tera (Miksic 1979:262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan Cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum keda¬tangan orang Barat (Miksic 1979:262; Tobber 1919:463-464). Cinnabar juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) (van Bemmelen 1944:210). Di Muara Sipongi, sebelum kedatangan bangsa Barat ditambang plumbum, zink, besi, dan tembaga. Selain hasil tambang, sumber daya alam Sumatera yang menjadi komoditi penting pada masa lampau adalah hasil hutan. 
Pada masa Kesultanan Melaka diberitakan ada selusin kapal yang singgah di Melaka setiap tahunnya membawa muatan yang sebagian besar berupa hasil hutan. Hasil hutan yang dikapalkan itu antara lain berupa Damar, Kapur Karus, Storax, bahan untuk membuat minyak wangi, Myrobalan (bahan baku untuk pencelup kain), Dadah, dan Benzoin. 
Hasil bumi ini kemudian dibawah ke Tumasik atau ke Semenjung Malaya untuk diperdagangkan dengan bangsa India dan bangsa Cina, begitu juga produk-produk dari bangsa luar dibawah kepedalaman melalui jalur sungai Kampar Kiri dengan pelabuhan utama yakni Teluk Bandaruhum dengan Koto Tenggi Sebagai Kota Dagangnya. Penguasa Koto Tenggi pada masa dahulu adalah Suku Domo dengan gelar Pisoko adalah Datuk Rajo Godang, Ajaran Hindu dari India adalah Agama yang Dianut oleh masyarakat di Kota itu. Gelar Datuk Maharajo Godang ini diwariskan dari Mamak kepada kemenakan melalui jalur Soko ( Matrilinial) berdasarkan ajaran agama Hindu “Mother Codes”. Tali kekerabatan disusun berdasarkan garis Perempuan (Para Ompuan), para ompuan ini adalah pengikat tali kekerabatan yang berisi ajaran persaudaraan kemanusiaan (ajaran batin) sehingga Mahluk yang berjenis kelamin wanita disebuta “ Batino” Pemengan tali batin. Konsep ajaran bahwa kekuatan tertinggi ada di Perempuan ini merupakan warisan ajaran Hindu Siwa-Sati. Siwa atau Sivva adalah pemegang kuasa atas kekutan inti yang bernama Sati/Parwati. 
Perlambangan ajaran Hindu ini dapat dijumpai pada peninggalan Arkelogis di Tanah Kampar yakni candi Muara Takus berupa Valus/Lingga dan Yoni. Sebagai perlambangan Jantan dan Batino sebagai lambang Siva dan Sati. Dari ajaran ini bisa dilihat bahwa ajaran Hindu Siwa merupakan agama awal dari bangsa Malayu di Sumtera Tengah termasuk di Kampar Kiri.
 Candi Muara Takus : Lambang Lingga dan Yoni Dalam hikayat masyarakat adat di Kampar Kiri dan Negeri Kuntu dapat ditemui bahwa Koto Tenggi merupakan pemukiman awal yang berkembang, dimana Negeri Kuntu didiami oleh banyak masyarakakta adat dengan berbagai macam suku kaum disana awalnya hanya ada enam suku di Koto Tenggi dan kemudian pada masa Daulat Gunung Sailan, Negeri Kuntu dihuni oleh enam belas pesukuan. 
Dalam hikayat adat pada masa dahulu perkembangan masyarakat di Kuntu dan Kampar Kiri mengalami kemandekan, disebabkan jalur perdangan di Selat Malaka terganggu oleh munculnya perompakan oleh para lanun yang datang dari selatan. Para lanun dan perompak ini menganggu keamanan perdagangan di Selat Malaka dengan menguasai wilayah pesisir timur Pulau Poco/Percha, hingga ke muara muara sungai di selatan pulau Poco seperti muara Indragiri, Muara Batang Hari sampai ke Muara Sungai Musi. Kondisi ini mematikan aktifitas perdagangan dan perekonomian masyarakat di Sumatera Tengah termasuk masyarakat kerajaan Malayu di Koto Tenggi dan Kerajaan Malayu di Muara Mahat ( Momaek).
 Melihat kondisi ini maka atas inisitif dari Datuk Sri Maharajadiraja Muara Mahat di Koto Sijangkang di hulu Kampar Kanan, maka dilakukan pertemuan bersama dengan Datuk Maharajo Godang ( Majo Godang) dari Koto Tenggi di Kampar Kiri. Hasil permufakatan antara dua kerajaan maka dijalinlah suatu persekutuan untuk menumpas para Lanun atau perompak yang menganggu pelayaran di Selat Malaka ( Riwayat Tutur Masyarakat Adat Kuntu Oleh Bapak Buyung Hendrizal Dt. Bandaro Khalifah Kuntu). 
Setelah mufakat diperoleh, maka muncul suatu pertanyaan siapa yang akan memimpin peperangan ini. Maka Datuk Srimaharaja Diraja dari Muara Mahat meminta Datuk Maharajo Godang yang akan memimpin penyerangan. Datuk Maharajo Godang justru mempersilakan Datuk Sri Maharajadiraja untuk memimpin peperangan karena inisiatif awal untuk melakukan pengamana jalur dagang ini datang dari Kerajaan Muara Mahat Koto Sijangkang. Berita sejarah tentang adanya ekpedisi dari bangsa Malayu yang disebut dengan nama “ Sidhayatra” pada abad ke 7 masehi ini ditemukan oleh Ilmuwan Belanda di Muara Sungai Tatang di Palembang, yang disebut dengan Prasasti Kedukan Bukit. 
Dalam prasati itu disebutkan bahwa Sepasukan tentara dibawah Pimpinan Dapunta Hiyang Srijaya Nasa telah melakukan Sidhayatra atau Perjalanan suci dengan membawa 20.000 tentara dengan Sampan ( Pasukan Kavaleri) sementara 1.312 tentara darat (Invantri) melakukan perjalanan melalui perbukitan menuju selatan dan menancabkan Walacakra kemenangan di Muara Sungai Musi (Palembang). Sebagai pertanda Sidayatra Subiksa ( tercapainya tujuan yang membawa kejayaan Semesta). Pada ilmuwan sejarah mengatakan ekpedisi Sidhayatra bangsa Malayu itu sebagai cikal bakal bendirinya Kerajaan Malayu Maritim Sriwijaya yang menguasai Nusantara selama 7 abad. Sumber sejarah adanya kerajaan Sriwijaya antara lain : Prasasti Kedukan Bukit (683 M) Prasasti ini ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berukuran 45 x 80 cm dan terdiri dari 10 baris kalimat. Isinya menceritakan bahwa pada tahun 683 M, raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang Datang dari Matajap lalu Marvuat Wanua Sriwijaya-jaya. Mereka menang dan berhasil mendirikan kota Sriwijaya.
 Berikut tulisan prasasti Kedukan Bukit: 
svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu apunta hiyaklapakşa vulan vaiśākha d<m> nāyik di sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa apunta hiyavulan jyeşţha d<m> maŕlapas dari minānga vala dualakşa dangan ko-tāmvan mamāva yam duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu di mata japtlurātus sapulu dua vañakña dātam sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula
Prasasti Kedukan Bukit berasal dari tahun 604 Saka (682 M) dan merupakan prasasti yang mencantumkan angka tahun tertua di Indonesia. Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) Dapunta Hyang penguasa Kerajaan Sriwijaya dari Minanga menuju Muka Upang. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, keadaan seperti ini ditafsirkan bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Prasasti Kedukan Bukit hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja tersebut. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 606 Saka (684 M) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). 
Besar kemungkinan dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit. Sebagain para ilmuwan juga berpendapat bahwa tempat awal keberangakatan pasukan tersebut adalah Minanga tanwan atau pertemuan dua muara yakni muara sungai Kampar Kiri dan muara sungai Kampar kanan. Sehingga letak Candi Muara Takus yang terletak di hulu Kampar Kanan disebut sebagai tempat awal diberangkatkan pasukan tersebut.
Selat Malaka pada masa dahulu sampai sekarang merupakan jantung peradaban yang menjadi penghubung Bangsa Malayu di Pulau Percha untuk menjalin kontak dagang dan kebudayaan dengan bangsa –bangsa lain di dunia. Aman atau tidaknya selat malaka menjadi penentu maju atau mundurnya peradaban Malayu di Sumatera dan Semenjaung tanah Malayu. Makna Minangatamwan bagi masyarakat adat Kampar Kiri bukan saja bertemunya dua muara sungai, akan tetapi pada masa lampau pernah terjadi Kesepakatan Politik bersama-sama dari masyarakat adat di Pulau Percha Tengah ini yang sebut dengan bahasa kiasan “ Undang-undang di Kampar Kiri, undang Sejati di Kampar kanan talago Undang di Muara Takus”. Pusek jalo Pumpunan Ikan, Kosiek Putih airnyo Jernih”. Permufakatan Politik ini memiliki tanda bukti berupa masih kokohnya bangunan komplek percandian “ Koto Candi “ di Muara Takus yang terletak di hulu Kampar kanan. Tentunya adanya candi bukan hanya menjelaskan bahwa Candi adalah tempat ibadah sebuah Agama tertentu saja, tetapi keberadaan candi memiliki makna-makna kebudayaan, pesan-pesan kebudayaan yang diukir dibatu, yang dipahat dikayu, yang diserakkan kebumi dan dibendangkankan kelangit sebagai wujud permohonan restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Letak Candi itu diatas sebuah Negeri yang bernama Koto Tuo di hulu Kampar Kanan tidak jawuh dari Negeri Tua Batu Bersurat Muara Mahat, Di Pinggang Bukit Barisan. Hari ini Negeri-Negeri tua tersebut sudah terbenam kedalam Waduk PLTA Koto Panjang.
Besarnya perhatian Kŗtanagara kepada Mālayu mem¬buk¬tikan bahwa pada abad ke-13 Masehi Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri meng-adakan ekspedisi pamālayu. Pararaton menye¬¬butkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasu¬kan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“ (Pitono 1965:37). Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu berarti pendudukan atas Mālayu .
Ekspedisi Pamalayu I dalam buah tutur masyarakat adat di Rantau Kampar Kiri, tidak bisa dipisahkan dari nama Negeri Kuntu. Pada masa Pra Islam Negeri Kuntu sekarang disebut Teluk Bandaruhum dengan Koto Tenggi sebagai ibu Kotanya, disana pada masa lampau hidup seorang putri yang bernama Puti Lindung Bulan. Putri Lindung Bulan sangat cantik dan terkenal kemanca Negara, pada waktu itu masyarakatnya belum mengenal agama Islam. Menurut Hikayat Adat Putri Lindung Bulan ini adalah Anak Datuk Maharajo Godang Negeri Koto Tenggi di Teluk Bandaruhum. 
Datuk Maharajo Godang (Majo Godang) Memiliki seorang anak laki-kakinya bernama Datuk Sigha Mato tertawan dalam pertempuran menghadapi ekpedisi Pamalayu I dari Singosari, sehingga yang tertinggal hanya Putri Lindung Bulan Di Koto Tenggi Kuntu. Pada suatu hari datanglah hulubalang Raja Feratu Gading ( Nama ini bersumber Kitab Sejarah Adat Kampar Kiri, Penulis HT. Ibrahim : 1939 ) dari laut hendak meminang Putri Lindung Bulan, akan tetapi lamaran ini ditolak oleh sang putri. Setelah mendengar lamarannya ditolak, maka murka MaharajFaratu Gading. Maka di utus lah hulubalang untuk merebut Putri Lindung Bulan yakni Gagak Jawo. 
Gagak Jawo adalah hulubalang yang sangat sakti dengan para prajutit tangguh datang ke Kuntu Kampar Kiri. Mendengar kedatangan kedatangan Hulubalang Gagak jawo, maka penduduk pun tidak sanggup melawan lalu mereka melarikan diri kehulu sungai Sibayang. Dalam pelarian tersebut Putri Lindung Bulan terjatuh di tepi sungai Subayang, dan keluarlah ucapan yang secara tidak terduga yakni kata “ Kuntu Toerobah ”. 
Kata –kata tersebut belum dimengerti oleh masyarakat akan maknanya. Setelah Gagak Jawo datang dan merebut Koto Tenggi dan tidak menemukan rakyat dan Putri Lindung Bulan, maka Gagak Jawo Mengejar rombongan Putri Lindung Bulan sampai ke Ujung Bukit. Negeri Ujung Bukit di rebut oleh tentara Gagak Jawo, dinegeri itu tentara Gagak Jawo Menawan anak laki laki dan Cucu Perempuan Datuk Maharajo Godang yakni Anak Datuk Sigha Mato dan anak perempuanny bernama Dara Pitok, Putri Dara Pitok (Si Putri bermata Sipit) merupakan anak perempuan dari Datuk Sigha Mato dari istrinya Putri dari Pesukuan Malayu Majo Kayo di Negeri Ujung Bukit. Dara Pitok beserta ayahnya ini kemudian ditawan dan dibawah ke tanah Jawa sebagai hadiah kepada Maharaja Singasari Srimaharaja Kartanegara, menurut tutur dari tokoh-tokoh adat di Kampar kiri Dara Pitok dan dara Jingga (Jenggo) ini adalah orang yang sama. 
Sehinga menurut cerita hikayat dalam masyarakat Adat Kampar kiri yang tertawan dalam ekpedisi pamalayu Singosari ini adalah Datuk Sigha Mato dan Putrinya Dara Pitok. Dara Pitok ini yang kemudian dijadikan Selir oleh Menantu Kartanegara yakni Raden Wijaya. Sehingga menurut pendapat tokoh-tokoh adat Kampar kiri dan Negeri Kuntu pada khususnya Adityawarman atau Arya Damar ini merupakan anak dari Raden Wijaya. Sementara Datuk Singha Mato adalah Kakek dari Adityawarman dari Pihak Ibunya Darah Pitok. Kemudian pengejaran Putri Lindung Bulan( Anak raja Perempuan dari dinasti Koto Tenggi) dilanjutkan oleh para Prajurit hulubalang Singosari ke hulu Subayang, sampai ke Negeri Batu Songgan, rombongan Putri Lindung Bulan akhirnya menyingkir ke Gunung Hijau ( Tanah Pariangan). Di Negeri Batu Songgan Panglima Perang Singosari yang di kenal masyarakat dengan nama Gagak Jawo juga gagal untuk menawan Putri Lindung Bulan. Untuk melampiaskan kemarahannya maka Gagak Jawo memancung batu besar di pinggir sungai sebanyak tiga kali tebasan dan menantang setiap Dubalang untuk berperang. Disebabkan kesaktian Gagak Jawo maka tidak ada satu dubalang pun yang berani untuk menghadapinya. 
Foto : Batu Concang Gagak Jawo di Batu Songgan Foto Negeri Batu Songgan

Hikayat lain mengatakan bahwa asal mula perubahan nama ini adalah berkaitan dengan datangnya tentara Islam pada abad ke 11 Masehi 11-12 masehi di Kampar kiri. Kedatangan rombongan tentara Arab ini juga membawa seorang Ulama yang bernama Syekh Burhanuddin. Setelah beliau sampai di Koto Tenggi beliau bersama tentara nya menancapkan sebilah tongkat di tepi rawa-rawa yang terdapat diseberang Koto tenggi sambil berseru “ Kuntu Turaba”. 
Tentara Islam yang datang bersama Syekh Burhanuddin lalu menguasai Kampar Kiri mendirikan kerajaan Kuntu Darussalam, Sultan Pertamanya dalam catatan sejarah bernama Sulthan Muhammad Amrullah dan Qadinya Bernama Haji Fadhilullah. Apakah Haji Fadhilullah ini orang yang bergelar Syekh Burhanuddin?, masih merupakan suatu Hipotesis. Pada Kurun abad ke 11 dan 12 masehi itu, dalam menjalankan pemerintahan kerajaan dan menegakkan hukum-hukum Islam maka dibentuklah 4 wilayah kekhalifaan dengan mengambil contoh kepada para sahabat Nabi Muhammad yakni Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Usman dan Khalifah Ali. 
Kerajaan Islam ini kemudian kembali Muncul setelah dinasti Aru Barumun memasuki Kampar kiri dan dinasti ini bertahan Lebih Kurang 50 tahun menurut catatan sejarah dari MD Mansyur dalam Sejarah Minangkabau. Dinasti ini memiliki empat orang raja muda yang dikuburkan di Bumi Kuntu dan peneliti dari pemerintah Kolonial Belanda perna menjumpai makam-makan dari dinasti Islam Aru Barumun ini. Kekuasaan Dinasti Aru Barumun Perkasa Alam juga berakhir pada masa datangnya serangan dari penguasa Majapahit dibawah Pimpinan Adityawarman. Masuknya tentara Majapahit kembali ke Bumi Malayu sebagai Panglima Perang kerajaan Majapahit yang awalnya merebut Palembang. Dari Palembang Pasukan Majapahit memasuki wilayah Sumatera Tengah melalui Sungai Batang Hari, wilayah Malayu di taklukkam kedalam suatu kekuasaan disebut dengan kerajaan Malayu Pura dengan pusat kekuasaan awalnya Sungai Lansat di hulu Sungai Batanghari ( MD Mansyur dkk. Sejarah Minangkabau ). 
Bahwa Adityawarman masih memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan masyarakat Malayu Kampar Kiri dengan kata lain bahwa Adityawarman/ Arya Palembang masih merupakan Cucuong Kamanakan dari Datuk Bandaro Puti di Kuntu Kampar Kiri. Maka dengan alasan inilah kemudian Datuk Bandaro Puti kemudian menyerahkan Kampar kiri kepada perlindungan Panglima Perang Adityawarman dengan ungkapan, “ Kamankan Nan Jawuo Olah Baliek, Nan Kociek Olah Godang, Nan Binguang Ola Codiak “ Bukti bukti sejarah yang menunjukkan adanya hubungan antara Datuk Sigha Mato ( Datuk Merah Mata) dengan Kampar Kiri masih dapat ditemukan di Negeri Kuntu, disana masih ada beberapa barang peninggalan Datuk Sigha Mato diantaranya Pedang, Dayung Kapal, dan keturunan Perempuan ( Soko) yang disebut dengan Suku Domo Puak Palembang. Anak perempuan datuk Sigha mato ini adalah hasil pernikahan beliau dengan Kaum malayu Palembang dan anak perempuan ini dibawah kembali ke Kampar kiri diwaktu Adityawarman menaklukkan Kampar kiri. 
MITOS MASYARAKAT ADAT KAMPAR KIRI 
Mitos Gajah Mada Dalam hikayat adat juga disebutkan bahwa Pulangnya Datuk Sigha Mato ke Kampar kiri bersama anak Perempuannya mendapat penghinaan dari Seekor Gajah Tunggal, penghinaan ini membuat Datuk Sigha Mato menjadi Murka. Kemudian Datuk Sigha Mato menantang Si Gajah Tunggal untuk bertarung sampai mati di seberang Negeri Kuntu. Maka setelah melalui pertarungan seharian akhirnya Datuk Sigha Mato dan Si Gajah Tunggal sama-sama menemui Kematian. Datuk Singha Mato dimakamkan oleh kaum keluarganya, sebelum beliau meninggal beliau berpesan supaya anak perempaunny karena dia tidak bersuku, sebab ibunya adalah wanita dari tanah Palembang. Maka beliau beramanat supaya anak perempuan ini dimasukkan kedalam suku kerabat Datuk Sigha Mato di Kuntu yakni menurut garis matrilineal Datuk Sigha Mato adalah bersuku Domo. Maka keturunan matrilineal dari anak perempuan Datuk Sigha Mato di dikenal dengan nama Suku Domo rumah Panjang puak Palembang, sebab ibunya Perempuan Palembang. Benda Pusaka peninggalan Datuk Singha Mato di Negeri Kuntu Kampar Kiri Makam beliau kemudian hilang ditelan abrasi sungai Sibayang Kampar kiri, dari hikayat ini masyarakat Kampar Kiri memempercayai bahwa yang menghina Datuk Sigha Mato adalah Mahapati Gajah Mada, sehingga masyarakat adat Kuntu mempercayai bahwa Gajah Mada adalah Si Gajah Tunggal yang mati di Kuntu Kampar kiri dalam perang tanding bersama Datuk Sigha Mato. 
Mitos Hubungan Dinasti Malayu,
Mitos hubungan darah dinasti merupakan salah satu alat pemersatu dalam masyarakat adat. Hubungan dinasti ini dalam bahasa adat disebut “ Adat nan batali Pisoko nan ba,angkai” ini disambungkan melalui hububungan darah Soko dan Pisoko “ Jopuik Minyak jo Air jopuik Soko Jo Pisoko” adalah bahwa Ibu Sri Maharaja Adityawarman adalah Dara Pitok yang merupakan cucu dari Datuk Maharajo Godang Koto Tenggi yang dibawah ketanah Jawa oleh tentara Singosari dahulunya. Sedangkan ayah dari Darah Pitok adalah Datuk Sigha Mato sedangkan Datuk Sigha Mato adalah saudara dari Putri Lindung Bulan sama – sama Bersuku Domo. Sedangkan Putri Lindung Bulan adalah Keturunan Datuk Maharajo Godang di Koto Tenggi yang beragama Hindu yang melarikan diri ke Gunung Hijau. Berdasarkan hubungan kekeluargaan inilah kedatangan Adityawarman, yang menurut tutur adat disebut dengan nama Aria Damar atau Arya Palembang diterima oleh para Ninik-Mamak di Kampar Kiri. Datuk Sigha Mato diangkat oleh cucunya menjadi seorang Penasehat Politik dan Militer dalam ekpedisi merebut Malayu, beliau yang membantu Adityawarman dalam menyatukan wilayah-wilayah Pulau Percha kedalam kerajaan Malayapura. Pada waktu Adityawarman meminta penguasa Gunung Hijau untuk tunduk kepada Malayapura maka Datuk Sigha Mato dari Kuntu inilah yang diutus kesana bernegosiasi dengan Datuk Suri Dirajo di Pariangan Gunung Hijau. Sehingga terjadi perkawinan antara Adityawarman dengan Putri Jailan, sehingga Ibu Kota Malayapura dipindahkan dari pesisir Timur Ke Suruaso ditanah Pariangan. Selama lebih kurang 200 tahun lamanya Kampar kiri dibawah kekuasaan Kerajaan Malayapura di Suruaso hingga pada awal abad ke 16 Masehi atas mufakat para Datuk, Ninik Mamak para Andiko Duo Sakato dan para Khalifah nan berempat di Andiko sebagai Suluh serantau Kampar Kiri, maka diniatkan untuk mendirikan kerajaan kembali di Kampar Kiri. Permufakatan untuk mendirikan adat dan limbago dikampar kiri disampaikan kepada datuk Khalifah adat Kampar Kiri yakni Datuk Bandaro Khalifah Kuntu yang nama awalnya Datuk Bandaro Puti. Di dalam adat Ninik-Mamak dan Khalifah Andiko statusnya sama yakni “Togak Sama tenggi dan duduk sama rendah”. Begitu ajaran yang di kembangkan oleh Syekh Burhanuddin dalam pembentukan kerajaan Islam Kuntu Kampar Kiri. Sementara keturunan Raja dari garis laki-laki (Pisoko) dari kerajaan Koto Tenggi pada masa Hindu di Kampar Kiri Adalah Datuk Sigha Mato yang tertawan pada masa ekpedisi Pamalayu I Singosari beliau bersama Anak perempuannya Dara Pitok/ Dara Jinggo. Dara Pitok dijadikan selir oleh Raja majapahit Raden Wijaya dan kelak memiliki seorang anak bernama Adityawarman. Panglima Adityawarman ini kelak bersama kakeknya Datuk Sigha Mato kembali ke tanah Malayu. Ditanah Malayu Adityawarman Kemudian menikah dengan Puti Jailan di Negeri Pintu Rayo Tanah Pariangan Gunung Hijau Tanah Pariangan merupakan Negeri dimana para masa kedatangan Gagak Jawo atau ekpedisi Pamalayu I menjadi tanah perlindungan bagi Putri Lindung Bulan ( keturunan Soko), anak Perempuan dari Datuk Maharajo Godang Koto Tenggi Teluk Bandaruhum. Sehingga Puti Jailan masih dianggap bagian dari Soko Puti Lindung Bulan. Pada abad ke 16 disaat masyarakat adat Kampar kiri bersepakat untuk mendirikan adat, maka persolan siapa pewaris dinasti Malayu juga menjadi sesuatu yang perbincangkan. Maka persoalan siapa yang pantas menjadi raja ini akhirnya membuat rencana menegakkankan adat di Kampar Kiri ini menemui jalan buntu. Sebab faktor kunci dalam penegakkan adat berlembaga adalah hadirnya seorang pemimpin. Sementara jalur kepemimpinan ideal di dalam adat adalah bertemunya dua garis keturunan yakni menurut garis darah Laki-laki (Pisoko) dan jalur kekerabatan tali perut/rahim (Soko). Atau anak yang lahir dari perkawinan Bako-Baki. Konsep lahirnya kepemimpinan dalam adat adalah “ Botuang Tumbuo dimato, Pasak Tumbuo dimani”. Keturunan Maharaja yang akan dirajakan”. Adat Rajo turun-temurun adat Puti sunduik-basunduik. Aier nan bakacucuran jo tanah nan bakatelengan, nan manundo kapae sosak nan manote Kalimuntiang”. Sampai akhirnya Ninik-Mamak Andiko Duo Sakato bermufakat dengan Suluo Serantau Andiko besar yakni Khalifah nan berempat di Andiko, untuk menyerahkan persoalan mencari Bijo Raja ini kepada Datuk Bandaro Khalifah Kuntu sebagai Khalifah Adat. Menurut pertimbangan sejarah dan hubungan kekerabatan antara Penguasa awal Kampar Kiri yakni Datuk Maharajo Godang Teluk Bandaruhum maka garis keturunan matrilineal yang masih tersambung adalah melalui zuriat Puti Lindung Bulan yang menyingkir ke Gunung Hijau. Sementara melalui jalur Patrilinial adalah melalui keturunan Datuk Sigha Mato dengan anak Perempuannya yang bernama Dara Pitok. Dalam adat Kampar kiri Dara Pitok dan Dara Jinggo adalah orang yang sama dengan nama panggilan yang berbeda-beda. Maka Adityawarman/Arya Damar yang merupakan keturunan Darah Pitok, maka dengan sendirinya Keturunan laki-laki Adityawarman masih memiliki hubungan darah dengan Datuk Maharaja Godang Kuntu. Dengan dasar inilah akhirnya Datuk Khalifah Kuntu Datuk Bandaro sebagai Khalifah adat memerintahkan Datuk Senjayo dan Datuk Singo Untuk Mencari Keturunan Asli Datuk Sigha Mato melalui jalur Adityawarman dan Keturunan Putri Lindung Bulan Ke Bumi Pariangan Gunung Hijau. Sehingga dalam riwayat tutur dalam adat Kampar kiri disebutkan berbagai macam versi pencaharian anak raja ini ke Pagaruyung, ada yang menyebutnya 3 kali pencaharian bahwakan ada yang menyebutkanya sampai 7 kali pencaharian baru ditemukan. Setiap kali diutus delegasi untuk menjemput anak raja ke Pagaruyung makan anak raja yang diminta diuji dengan ujian ritual “ Sembah raja”. Dalam adat di Kampar Kiri jika Pihak Penyembah lebih tinggi derjatnya (Asi) dalam adat, maka yang disembah akan sakit dan mati”. Jika pihak yang disembah lebih tinggi derajatnya (Asi) dari penyembah maka yang disembah akan selamat dan dia berhak menjadi penguasa atau Raja”. Dalam hikayat tutur/lisan setiap kali di jemput anak raja Pagaruyung, maka tetap anak raja yang dijemput sakit dan mati, hal ini menimbulkan kegegeran pada masyarakat adat di Kampar Kiri bahwa garis keturunan Datuk Maharajo Godang melalui anak laki lakinya datuk Sigha Mato dan garis perempuan Putri Lindung Bulan memang sudah pupus/punah. Melihat kekhawatiran dan kegalauan tersebut maka Datuk Bandaro Khalifah Kuntu memerintahkan Kemenakannya Datuk Andomo/ Indomo Pucuk Rantau Negeri Domo Kampar Kiri untuk mencari Keturunaan penguasa Kampar Kiri yang asli ke Pagaruyung. Maka Datuk inilah yang berhasil mendapatkan Keturunan Asli dari Daulat Pagaruyung yang masih berasal dari Keturunan Datuk Maharajo Godang Koto Tenggi Teluk Bandaruhum. Maka Datuk Andomo ini kemudian diberi gelar Kehormatan sebagai Orang Besar Raja Gunung Sailan dengan Nama Datuk Nyato Dirajo dan gelar ini Masih bertahan sampai hari ini.

Sumber Sekuder : 1. Sejarah Minangkabau yang ditulis oleh MD Mansyur dkk, Penerbit Bratara Jakarta 1970. 2. Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999 3. Kitab Sejarah Adat Kampar Kiri yang dikarang oleh Tengku Haji Ibrahim, diterbitkan di Payakumbuh tahun 1939 4. Sejarah Kesusastraan Malayu Klasik, ditulis oleh Dr. Liew Yok Fang diterbitkan oleh Singapura University. 5. Sejarah Riau, Muhtar Lutfi (1999). LITBANG Rrov Riau 6. Sistem pemerintahan adat Kuantan dan Kampar Kiri , Marlaili Rahim (1985). Diseminarkan dalam seminar kebudayaan Riau di Tanjung Pinang. 
2. Sumber fhoto Group Kebudayaan , Kuntu Heritage. 
3. Sumber Foto Dokumen Pribadi Penulis