Rabu, 29 Juli 2020

LEGENDA SIMIKIN ANAK DURHAKA

 LEGENDA SIMIKIN ANAK DURAKO

CERITA RAKYAT RANTAU KAMPAR KIRI


Menurut Riwayat Lisan Dari Tetuo Adat Negeri Lipatkain, Simikin ini adalah nama seorang anak dari kaum pesukuan Pitopang  pada masa dahulu. Simikin ini adalah seorang anak yatim, dia ditinggalkan mati oleh ayahnya, sehingga dia hanya hidup dengan ibunya saja “ Mak Sonik”. Semenjak Kecil Simikin hidup dengan sangat bersahaja, dia adalah anak yang baik, dan santun serta sayang dengan ibunya.
Setelah beranjak dewasa, hidup dikampung dengan kondisi serba kesusahan, bekerja sebagai buruh tani (Nyukpaan) diladang-ladang penduduk bersama ibunya Mak Sonik.
Pada suatu malam, Simikin berbicara pada ibunya mak sonik, bahwa dia meniat untuk merantau kalawik ( Malaka). Mendengar niat hati sang Putra semata wayang, maka menteslah air mata sang omak (Sonik) ini, Anak Bujang Jolong, belum menikah ini berniat Merantau ke Lawik untuk merubah Nasib ke rantau Orang. Dengan berat hati dan cucuran air mata mak sonic pun mengizinkan.
Maka berkata mak Sonik kepada anaknya, omak hanya bisa memberikan restu untuk niat mu merobah nasib merantau Ka lawik, tapi Omak hanya Mampu memberikan Bekal 7 ( tujuh) Genggam Sokui ( Sejenis Tanaman padi-padian). Sebagai bekal perjalan mu Bujang, Omak Lope Jo hati nan suci Jo Muko nan jonie, semoga niat mu, bakuwuo Lope, baniat Sampai, Kok baladang dapek padi, Kok Manego dapek Ome. Begitu doa restu Mak Sonik melepas Putranya Turun Kelaut pergi Merantau Ketanah Seberang, Bandar Malaka. Maka dengan menumpang kapal para saudagar Simikin pun berlayar menuju tanah Perantauan dilawik yakni Kota malaka. Dilepas dengan isak tangis oleh ibunya Mak Sonik dengan dukacita. Maka merantaulah sibujang Tangguang “ Simikin” Kelawik. Dengan bekal tujuh gengam Sokui, sebagai modal hidup di perantaun.
 Di perantaun karena kerja keras, kejujuran dan do’a dari si emak, maka Simikin disayangi oleh Induk Semangnya dibandar Malaka. Sesuai petata adat, Jiko Bujang Pergi Maantau, lomang boli, belanak boli, induk somang cari dahulu. ( Induk Somang adalah Bos atau Saudagar yang memiliki anak buah sebagai karyawan dalam bahasa local Lipatkain karyawan ini di sebut Anak Somang).
 Setelah sampai dikota Malaka, maka Simikin bekerja pada seorang saudagar, karena ulet jujur dan hemat, maka hari demi hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, tahun pun berganti. Maka kehidupan Simikin pun berganti lebih baik di tanah Rantau. Simikin bukan lagi seorang Anak Somang dia sudah menjadi seorang Saudagar yang memiliki usaha perdagangan lintas pulau dan memilik 7 buah armada Kapal dagang di tanah Malaka.
Kehidupan Simikin berubah menjadi  Kaya raya, sebagai saudagar terpandang di Malaka, maka Simikin pun memiliki banyak istri, menurut hikayat tetuo adat Simikin memiliki 4 istri yang cantik-cantik. Dari 4 istri tersebut, istri muda Simikin yang bernama “Intan Suri” adalah istri yang paling Muda dan cantik.
Pada suatu malam ditempat peraduan di Rumah mewah nya si Mikin di Bandar Malaka, Intan Suri, istri yang paling cantik dan Budiman, bertanya kepada Si Mikin, wahai kakanda, adinda mau bertanya, kapankah kakanda membawa adinda bertandang ke kampung Halaman kakandi di Negeri Junguik Batu di hulu sungai kampar  Kiri, menegok Ibu mertua yang sering kakanda ceritakan kepada adinda.
Mendengar permintaan istrinya, Simikin menjadi kaget, dan berkata mengapa adinda  bertanya seperti itu jawab simikin, buat apa Pulang kampung, mungkin Ibunda ku Mak Sonik Sudah lama meninggal, dan akupun tidak memiliki sanak saudara lagi di sana, jawab Simikin.
Intan Suri, menjawab Kakanda, setidaknya bawaklah istrimu ini sedikit berziara kekampung halaman ayah dari anak-anak ku, sehingga jika mereka besar nanti, mereka jadi tahu dimana kampung kelahiran ayahandanya berasal.
Mendengar jawaban istrinya, Simikin yang sudah jadi saudagar sukses ini pun terdiam.
Didalam hatinya simiskin teringat kepada Ibundanya mak Sonik yang sudah Puluhan tahun tidak di Kunjunginya, sudah silih berganti “ hari Baik Bulan baik” tak ada sedikitpun tergiang dibenaknya untuk Mudik ke Koto Junguik Batu, atau berkirim pesan ataupun berkirim harta untuk belanja Ibu yang ditinggalkannya. Dia pun ingat betapa miskin dan merananya hidup ibunya di Kampung bersama dengan dia Dahulunya.
Penyesalan pun tumbuh dari dalam hatinya, mengapa dia tidak ingat dengan nasib ibunya di kampung, Mungkin ini terjadi karena seluruh pikiran dan hatinya hanya tercurah kepada bagaimana menjadi Orang yang sukses dan kaya raya, sebagai alasan dari kesusahan dimasa kecilnya, sehingga dia lupa dengan tanah Kampung halamannya yang menjadikan dia menjadi Miskin dan terhina di Kampung Halamannya. Bukan hanya Kampung Halaman yang dia Lupakan, Ibunya Mak Sonik pun turut dia Lupakan. Dalam hatinya timbul rasa sedih, ibah dan juga rindu dengan ibunya.
Di dalam kegalau ini akhirnya Simikin, menjawab Siap untuk membawa istri tersayangnya Intan Suri k berlayar mudik ke Junguik Batu Melihat tanah Kelahiran, dan berniat untuk menjumpai ibunya melepas rindu.
Maka pada hari yang disepakati, berlayarlah Simikin dengan Istrinya Intan Suri dengan Kapal yang mewah dari Bandar Malaka, memudiki Batang Sungai Kampar. Kapal ini penuh dengan Harta Benda berharga, alat Musik Gendang  Gong, payung  Kuning yang biasa dipakai Raja-raja, bahan makanan, pakaian dan sebagainya.
Setelah berlayar berminggu-mingu dari Bandar Malaka memudiki Sungai Kampar, berbelok kebelah kiri menuju sungai Kampar kiri, maka pada suatu Petang yang cerah sampailah Kapal Niaga Mewah Simikin ke Pelabuhan Negeri Jungik Batu di Hulu Sungai Kampar Kiri.
Melihat Kedatangan kapal mewah nan megah ini, maka penduduk negeri Junguik Batu, segera berbondong-bondong menuju dermaga, tidak ketingggalan juga Mak Sonik ibu dari Sang Saudagar Kapal Mewah “ Si Mikin”.
Setelah Merapat Di dermaga Negeri Jungik Batu, maka Simikin berdiri di anjungan kapal bersama istrinya, gendang gong pun dimainkan oleh para awak kapal Simikin, barang-barang muatan kapal, makanan dan pakian dibagi-bagi pada para penduduk kampung. Ditengah-tengah keramain masyarakat, ada suara dari seorang perempuan tua yang sudah bungkuk badannya, berpakaian sangat bersahaja, dengan sambut sudah puti dan kusut pula. Ibu Tua itu berteriak-teriak memanggil nama Mikin, mikin anakku..ini omak nak ,ini Omak.
Sang Nakhoda Kapal Saudagar Mikin tidak mendengar panggilan ibu tua itu, dia sibuk melayani para penduduk yang berebut hadia dari kapalnya. Sang istri yang cantik dan baik hati itu kemudian berkata kepada suaminya, kakanda apakah kakanda Menganal Ibu tua yang berteriak memanggil kakanda dengan menyebut, Mikin,..Mikin Iko Omak nak sambil melanpai-lambaikan tangannnya. Apakah itu adalah Ibunda Mu kakanda tegas Si Intan Suri kepada Suaminya.
Maka Si Mikinpun melihat Ibunya dari anjungan Kapal, setelah melihat ibunya yang berpakain compang camping dengan rambut kusut serta sudah tua dan bongkok, maka timbullah  perasaan malu pada hati Saudagar Mikin. Dia malu mengakui ibunya yang Miskin papah kedana,buruk serta bungkuok dihadapan Istrinya cantik dan kaya raya itu.
Maka dengan berteriak Saugadar Mikin berkata kepada istrinya “ Dia Bukan Omak Ku, Omak ku Cantik  dan dia sudah mati, perempuan itu Bukan Omak ku, Omak Ku Sudah lama Mati, jawab Si Tuan Saudagar Mikin dengan muka Merah padam.
Istrinya Intan Suri, menjawab cobalah melihat baik-naik kakanda, mungkin omak kakanda masih hidup, dan ibu tua itulah orang nya jawab Intan Suri, mari Kita ketepian menjumpai ibu itu.
Menjawab istrinya maka, Sudagar Mikin semakin Malu, mengakui kenyatan Mak Sonik yang rentah itu adalah Ibunya dihadapan Istrinya yang Cantik dan kaya raya itu.
Dengan muka merah padam, maka dibentaknya ibu tua itu dihadapan istrinya, wahai perempuan tua, jangan mengaku-ngaku sebagai Omak ku, Omak ku seorang perempuan rupawan dan berada, omak ku sudah lama meninggal dunia, Kau bukan Omak Ku Nenek tua, serga Saudagar Mikin itu kepada Mak sonik.
Dengan Perasaan Malu yang berujung kepada marah, tidak kuasa menghadapi kenyataan hidup ibunya yang miskin melarat dihadapan istrinya yang cantik. Maka dengan suara yang lantang dia memerintahkan juru mudi kapal untuk menarik sawuh kapal meninggalkan Dermaga Kota Junguik Batu Kembali Berlayar.

Mak Sonik sang Ibunda pun tidak kuasa Menahan hibah hati, mendengar pengakuan Si Mikin, anak Tunggal, belahan Jiwa  yang tidak mengakui lagi dia adalah Ibunya, Dengan perasaan hancur mak Sonik kembali Kerumahnya, dengan perasaan hancur, hati yang remuk redam. Maka Sang Ibu pun melemparkan Lesung Penumbuk Sokui di depan rumahnya dan menyeruh kepada Tuhan yang Maha kaya dan maha perkasa “ Jika Benar Sang Saudagar itu adalah Si Mikin Anak Ku, Wahai Tuhan Allah maka terbangkanlah Kapalnya dengan Angin Kalimubu “ Tobang Abu” dari Negeri Ini…... “Sumpah Kutuk” Sang Ibu pun dijabah Oleh Allah tuhan Yang maha Kuasa.
Ditengah Perjalanan menghilir muara Sungai Kampar kembali ke Bandar Malaka, maka bertiuplah Angin “Kalimubu/Topan” yang sangat deras maka akibat hembusan Angin Kalimubu itu, maka datanglah Ombak Bono dari Kualo Kampar menjadikan kapal Saudagar Mikin anak Durhaka bagaikan daun-daun yang ditiup angin Topan Kalimubu.
Ditengah-tengah amukan Angin Topan kalimubu itu, Sang Nakhoda Saudagar Mikin pun berteriak memohon Ampun atas kesalahannya, apa boleh Buat Kutukan Yang Omak Sonik telah terkabul oleh ALLLAH, YANG MAHA PERKASA. Tak ada Guna taubat Jika Nyawa Sudah sampai tenggorokan, sang istri Intak Suri juga Menagis semua, Awak kapal dilanda Ketakutan, maka dengan Kuasa dan Iradah Allah, kapal besar itu diterbangkan kearah hulu Sungai Kampar Kiri, Muatannya Jatuh berserakan di sapanjang negeri dan Rantau, menjadi Posil dibebatuan sepanjang sungai, Jasad Simikin, Intan Suri yang cantik dan baik hati, awak kapal yang tidak tahu apa-apa juga merasakan azab akibat kedurhakaan Sang Saudagar Mikin yanjg Durhaka ini, tetapi jasad-jasan mereka berjatuhan di tengah-tengah ombak Bonoh terkubur atau dimakan ikan di dalam sungai batang Kampar kiri.
Dari legenda Simikin inilah, nanti menginpsirasi masyarakat adat membuat nama negeri-negeri dengan nama-nama alat-alat perkakas dari isi kapal si Mikin anak durhaka, seperti nama Negeri Lipatkain, Lubuk Payung, Lubuk Oguang dan lain-lain sebainya, karena ditemukan Bebatuan Di sungai-sungai sepanjang Bantang Kampar kiri dan anak-anak sungainya yang menyerupai benda-benda tersebut.

LEGENDA AWANG TIKULUAK

LEGENDA AWANG TIKULUAK
CERITA RAKYAT LIPATKAIN


Tersebutlah suatu cerita rakyat tentang awang Tikuluak, awang Tikuluk adalah nama sebuah rawa yang terdapat di Negeri Lipatkain di tepi Kampung Maliliang. Rawa atau awang atau disebut juga “Bonca Tikuluak” memiliki luas lebih kurang 10 hekatar, memiliki Loghan (anak Sungai kecil yang bermuara di Muara Sungai Sitingkai, sungai kecil ini berhulu di sebuah tempat yang bersama Bukit balam, dalam ulayat negeri Lipatkain.
Pada masa dahulunya Awang atau Bonca ini belum ada yang ada hanyalah sebuah anak sungai kecil saja, kemudian sungai kecil ini menjadi sebuah rawa yang cukup luas, dan kalau sungai Sitingkai mengalami banjir maka kawasan rawa ini membentuk sebuah danau.
Menurut Hikayat atau cerita Rakyat di Negeri Lipatkain, dan diyakini turun temurun, diceritakan dari generasi kegenerasi bahwa penyebab munculnya awang tikuluk ini karena suatu peristiwa legenda “ anak durhaka kepada ibunya. Begini gambaran cerita rakyatnya.
Di negeri Lipatkain pada masa dahulunya, tepatnya di kampung Maliliang, hidup seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Wanita atau perempuan janda tersebut memiliki seorang anak gadis yang cantik Jelita bernama “ Gadi Umbai” (dibuat Penulis). Sementara ibunya bernama “ Mak Mina” ( dibuat oleh Penulis).
Mak Mina ini, semenjak suaminya meninggal, dia yang bekerja menghidupi anak-anaknya, mak Mina sebagaimana orang lain bekerja sebagai peladang/petani.  Mak Mina memiliki ladang dan kebun di Seberang Loghang atau Sungai kecil itu. Di ladang tersebut ditanami padi, Sokui, Jaguang, Nyolai dan tanaman sayur sayuran. Hasil dari perladang dan bertani tersebut akan dijual sebagai mata pencaharian bagi keluarganya.
Sebagai tulang Punggung keluarga setelah wafatnya sang suami, membuat nasib mak Mina Kurang beruntung secara ekonomi (miskin), kondisi ini ditambah mak mina memiliki seorang anak perempuan, yang pada masa ayahnya masih hidup tergolong anak yang dimanjakan oleh ayahnya, hal ini karena ayahnya termasuk orang yang berada (kaya).
Gadi Umbai sang anak, tumbuh menjadi anak yang cantik, pemalas  dan manja di kampungnya, sementara sang ibu harus membanting tulang mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Pagi-pagi makmina sudah bekerja di lading, sementara si anak bangun tengah hari tidak mau mmebantu ibunya bekerja di lading.
Hari kehari dihabiskan oleh gadi Umbai, bermain-main saja di kampung, bersama kawan-kawan sepermainannya, sikap dan tingka lakunya semakin durhaka kepada ibunya, tidak jarang dia merasa malu memiliki ibu yang miskin seperti mak Mina.
Kedurhakaan Si gadi Umbai, sampai-sampai diwaktu menyajikan makanan dirumah kepada ibunya, makanan untuk ibunya diletakkan di dalam “ Sayak’ atau tempurung kelapa, bukan diatas Pinggan (piring) sebagaimana layaknya.
Melihat kelakuan anaknya mak mina sangat bersedih hati, berulang kali makmina memberikan nasehat, tetapi nasehet itu dianggap angina lalu saja oleh sianak. Bahkan Si gadi umbai merasa terhina memiliki seorang ibu yang miskin dan buruk rupa.
Pada suatu hari, karena Bosan dirumah, gadi Umbai ikut keladang melihat ibunya bekerja di seberang Loghan/ Sungai di kampungnya. Melihat perubahan perangai anaknya si ibu merasa gembira, mungkin gadi Umbai sudah mulai sadar fikir Mak Mina.
Sesampai diladang, gadi umbai Bukannya membantu ibunya bekerja “menuai Padi dan Nyolai” tapi Gadi Umbai sibuk bermain-main di aliran Loghan sungai saja. Setelah hari petang maka si ibu mengumpulkan hasil Panen kedalam “ Kumbuik dan Ombuang” ( alat penyimpan hasil panen) tradisional Lipatkain. Karena hasil panen cukup banyak maka makmina membawa beban panen yang cukup banyak di letakkan di dalam “Ombuang”. Sementara hasil panen yang sedikit di letakkan  di dalam “ Kombuik”.
Pada waktu mau kembali kerumah, mak mina meminta tolong kepada anaknya untuk membantu membawa Kombuik padi hasil panen tersebut. Tapi malang tak bisa di tolak, mujur tak dapat diraih, bukan bantuan yang didapat justru hamun carut yang di sampaikan oleh Gadi umbai kepada ibunya.
Dengan perasaan hancur dan sedih, akhirnya Ombuang dan Kombuik tersebut dibawah oleh Makmina sendiri, dengan tertati-tati mak Mina berjalan membawa beban berat hasil panen dibelakang. Sementara gadi Umbai melenggang lengkok bak penari saja berjalan di depan ibunya.
Pada waktu berjalan melewati Titian Loghan sungai kecil itu menuju kampung, maka kaki kiri Gadi umbai tergelincir dan Jatuh ke dalam Loghan itu. Setelah jatuh ke dalam Loghan gadi umbai berteriak meminta Tolong kepada ibunya “ Omak-omak tolong deyen Omak”. Jerit gadi Umbai.
Karena masih sakit hati karena hamun carut gadi umbai di lading, mak minah cuek saja, dia kemudian berjalan diatas titian loghan dan sampai kesebarang dengan selamat.
Sesampai diseberang, Makmina masih mendengar jeritan gadi Umbai meminta tolong, Mak tolong tarek ambo mak, bonac Ku maisok ambo mak (Mak tolong saya mak rawa ini menarik saya mak) begitu lolongan si gadi Umbai. Mak Mina pun menoleh dia melihat rawa itu sudah menelam badan anaknya sampai ke dadanya.
Mak mina merasa gadi umbai hanya bercanda saja sebab dia sering mencandai ibunya, setahu mak mina loghan ini sebelumnya tidak memiliki lumpur hisap, sebab hampir saban waktu makmina menjadikan anak sungai ini sebagai tempat mandi dan mencuci di ladanny. Kemudian Loghan ini juga sering makmina jadikan tempat mencari ikan dengan “sembighai atau Luka” sebab loghan sungai ini banyak ikannya seperti, ikan Bakok, uwan, ikan sepat, ikan limbek dan sebagai-sebainya.
Mak mina terus berjalan pulang, membiarkan anaknya bangkit sendiri dari lumpur lungai tanpa harus di Tolong, “ jangan manjo fikir mak Mina dalam hati”.
Setelah berjalan beberapa langkah dari Titian, Jeritan gadi Umbai semakin Keras, Mak tolong ambo den mak, Lumpur iko semakin Kuat maisok, mak tabonam den le mak, mati den le mak, begitu kira-kira jeritan, permohonan dari gadi Umbai sambil menangis.
Mak mina kemudian menoleh kebelakang, dan dilihatnya lumpur sungai sudah sampai di leher anak gadisnya, maka dengan berlari skencang-kencangnya makmina mengenjar Gadi umbai dan berusaha meraih tangan si anak,,Tapi nasib berkata lain. Gerakan Orang Tua ini kalah cepat dengan Hisapan lumpur hidup tersebut.
Tangan mak mina hanya mampu merai ujung rambut sianak dan dapat menarik penutup kepala yang biasa dipakai oleh gadi umbai ketika keluar rumah, orag kampung menyebutnya “ TIKULUK”. Secepat kedipan mata tubuh Gadi Umbai hilang ditelan Bumi, sang ibu hanya mampu menyelamatkan Tikuluk atau selendangnya saja.
Dengan perasaan sedih, maka pulanlah makmina ke kampungnya dan memberitahukan kejadian ini kepada orang kampung. Dan mentakan bhawa dia hanya mampu menyelamatkan “ Tikuluk Sigadi umbai” dia telah ditelan oleh Lumpur Hisap di Loghan Bukik Maliliang tersebut.
Maka orang-orang kampung pun beramai-ramai dating ketepi Loghan itu, untuk menolong si gadi Umbai, akan tetai Pencipta alam berkehendak lain, Sungai yang tadinya kecil dan dangkal berubah menjadi rawa yang cukup luas, lubang lumpur hisap tersebut mengeluarkan air bercampur lumpur terus-menerus, sehingga membentuk sebuh danau lumpur yang disebut penduduk kampung “ Awang”. Maka awang tersebut diberi nama “ Awang Tikuluk”.
Menurut Legenda masyarakat Lipatkain, bahwa setelah kejadian tersebut Sungai Loghan Bukit maliliang ini, berubah menjadi sebuah rawa/ awang, dan Gadi umbai yang durhaka kepada ibunya ini menjelma menjadi seekor induk Linta sebesar Nyiru (sebagai Penunggu awang Tikuluk). Sehingga hari ini, anak-anak di Lipatkain taku untuk bermain di sekitar rawa tersebut, karena memang rawa awang Tikuluk terkenal banyak di huni oleh “Lintah”.
Cerita Rakyat ini sangat terkenal di Lipatkain, bisanya cerita ini diceritakan oleh orang tua mereka kepada anak-anaknya sebelum tidur pada zaman dahulu, diwaktu televisi belum masuk kampung, disamping itu cerita-cerita rakyat ini mengandung pesan Moral dan akhlak kepada generasi Muda di Negeri Lipatkain Kampar Kiri.