Sabtu, 15 Oktober 2016

KUMPULAN PEMIKIRAN KAUM ISLAMIS

ANTARA 4 PILAR UMAT DAN 4 PILAR BANGSA
Posted by Nyala on October 4, 2013.
Kemarin telah kita sajikan pengenalan anatomi masyarakat Indonesia, yang terdiri dari tiga entitas utama yaitu: golongan nasionalis, golongan Islam, dan golongan sosialis. Kemudian redaksi Nyala juga menampilkan pelajaran penting untuk mengenal diri sendiri: menjadi subyek yang berani menyatakan diri sebagai kaum radikal Islam. Kali ini kita coba untuk mengenal golongan Islam lebih jauh dengan memahami bagaimana cara memperkuat masyarakat Islam. Teori ini disarikan dari sebuah hadist Rasulullah yang bisa kita kenal sebagai “Empat Pilar Umat Islam” yang isinya berbeda dengan Empat Pilar Kebangsaan-nya golongan nasionalis. Adapun keempat pilar itu adalah: “Sabda Rasulullah SAW, tegaknya Negara ditunjang empat pilar.
Pertama bi’ilmil ulama (dengan ilmu ulama),
kedua bi-adillatil umaro (dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa),
ketiga bisaqoowatil aghniyaa (peran para aghniya/orang-orang kaya), keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin (doanya orang-orang lemah).”
Bagaimanakah cara kita membumikan pesan Nabi itu? Jika tidak ada pemuda muslim yang melakukan penerjemahan bukan mustahil bila petunjuk Rasul ini akan menjadi nasihat sambil lalu saja. Adalah tugas kaum revousioner Islam untuk menilaigunakan hadist ini agar bisa dipakai dalam perpolitikan golongan Islam. Hal penting dari pemaknaan hadist ini adalah penghapusan ‘asosiasi simbolik’ yang sebelumnya sudah tertanam dalam benak kita bahkan sebelum kita mendengar sabda Rasul ini. Berikut ini akan diterangkan apa itu asosiasi simbolik yang harus dihapus dalam penjabaran masing-masing pilar di atas.
Pilar pertama bi’ilmil ulama Bila mendengar kata ulama, asosiasi simbolik dalam pikiran kita akan otomatis menunjuk pada sosok orang bersorban yang bekerja mengurus pesantren dan sibuk menghafal Al Quran. Artinya, jika kita menilai diri kita bukan ulama, bukan ustad, maka saya tidak termasuk pilar pertama. Inilah kesalahan pertama. Kita harus menterjemahkan bi’ilmil ulama sebagai ilmu pengetahuannya orang berilmu. Artinya siapapun yang merasa berkepentingan menambah ilmunya demi kualitas hidupnya maka secara bersamaan ia tergolong dalam pilar pertama. Tidak cuma ulama dan ustad namun mereka dari pilar-pilar lainnya juga bisa termasuk dalam pilar pertama ini. Seorang amir umaro tidak mungkin menegakkan keadilan jika ia tidak punya pengetahuan tentang menjalankan organisasi dan pemahaman atas anggotanya. Seorang aghniya tidak akan berguna jika ia tidak punya ilmu soal bagaimana memperoleh dan menafkahkan hartanya secara halal dan benar. Demikian pula seorang dhuafa tidak akan memperoleh jalan untuk merubah nasibnya tanpa ilmu. Singkat kata dapat dikatakan kalau semua ilmu yang ditunjukkan Allah kepada kita, entah itu ilmu agama, sains, ilmu sosial, maupun ilmu keterampilan pasti berguna untuk menegakkan negara. Selama kita bersedia mempelajari ilmu karena kegunaannya maka kita tergolong pilar pertama masyarakat Islam.
Pilar kedua bi-adillatil umaro Asosiasi simbolik kita akan menunjuk pada sosok berjas yang menjadi pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa negara ini. Hal ini tidak berlaku jika kita sadari konsep kepemimpinan itu berjenjang dan bisa dipecah ke dalam tingkat nukleus dasar. Semua tingkat kelompok organisasi butuh kepemimpinan dan setiap kepemimpinan diharuskan paham apa itu adil. Keadilan dibutuhkan semua tingkat kelompok manusia demi keutuhan kelompok itu sendiri. Situasi tidak adil dalam suatu kelompok manusia akan menimbukan ketidakpercayaan pada anggota kelompok lainnya dan ketidakpercayaan kepada pemimpin kelompok. Bila sudah demikian, situasi tidak adil akan menyebabkan anggota tidak nyaman dan berusaha untuk memisahkan diri dari kelompok. Organisasi seperti itu akan kehilangan persatuan dan niscaya akan bubar. Segala bentuk kepemimpinan entah itu pemimpin kantor, pimpinan perkumpulan, bahkan sebuah keluarga selalu butuh keadilan kepala rumah tangganya. Semua orang selama memikul tanggung jawab atas orang lain dalam kepemimpinannya adalah pilar kedua masyarakat Islam.
Pilar ketiga bisaqoowatil aghniyaa Banyak para pihak bahkan para ulama fiqih sendiri melakukan asosiasi simbolik atas para aghniya sebagai orang-orang kaya/para konglomerat yang memberikan kontribusi kepada pemerintah negara. Umat Islam yang merasa bukan konglomerat, yang merasa penghasilannya pas-pasan akan menganggap mereka uzur sebagai aghniya. Inilah bentuk kesalahan berikutnya. Pengertian aghniya harus diperluas menjadi orang yang memiliki harta, sesedikit apapun selama ia sadar Allah telah memberikan harta kepadanya. Dari sini mekanisme sedekah bekerja dalam masyarakat Islam. Kita tidak perlu menunggu jadi kaya terlebih dulu sebelum menyumbang baitul maal. Sekecil apapun pendapatan kita, selama kita menyadari pentingnya bersedekah, entah itu melalui zakat maupun infak, akan menggugah kita menyisihkan sebagian harta kita demi kepentingan ad Diin (agama). Setelah menyisihkan harta untuk kepentingan Islam mungkin kita akan berpikir betapa sedikitnya hak yang kita terima selaku pemilik harta. Barulah disadari betapa konsepsi kebutuhan itu sesuatu yang amat ulet (fleksibel). Di tengah kesempitan materi, kita tetap bisa memenuhi kebutuhan kita secara wajar dengan pola hidup amat sederhana (austerity). Tradisi asketik malah berkesesuaian dengan sikap kaum Revolusioner Islam yang zuhud. Dalam Islam sendiri kita kenal bahwa muslim yang mau berjihad dengan jiwa dan harta mereka akan mendapat ganjaran surga. Ini berkebalikan dengan pengertian aghniya sebagai orang-orang kaya. Sebelum merasa kaya atau berkelebihan harta orang akan enggan bersedekah membantu keuangan masyarakat Islam. Ini bisa menimbulkan gejala ke-bakhil-an. Jiwa yang selalu mengejar status kekayaan akan selalu cenderung menaikkan batas harta yang terkumpul. Dia selalu merasa dalam kekurangan karena belum semua keinginannya terpenuhi sementara apa yang ia inginkan selalu ditambahkan ke dalam daftar keinginan tanpa henti. Karena status ‘kaya’ belum pernah tercapai sebanyak apapun harta yang dikumpulkan, ia tidak akan pernah merasa perlu untuk bersedekah ke baitul maal.
Pilar keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin Bila kita mendengar istilah dhuafa, asosiasi simbolik kita langsung menunjuk pada sosok miskin atau golongan yang berkondisi di bawah kita. Padahal tidak demikian. Kalau kita punya pandangan bahwa selalu ada yang lebih baik dari kita, selalu ada manusia lain yang lebih baik dari kita maka akan terbentuk pikiran bahwa kita selalu dalam posisi lebih lemah. Atau katakanlah bila kita makhluk terbaik di muka bumi, masih ada Allah di atas kita selaku dzat terbaik. Artinya kita ini sebenarnya senantiasa dalam posisi dhaif, pada dasarnya kita dhuafa. Pemikiran macam ini harus dianut oleh setiap diri Revolusioner Islam sebagai prasyarat untuk hidup rendah hati sekaligus menjauhkan diri dari kesombongan (takabur) yang membuat-buat sistem derajat dalam masyarakat. Dalam kesadaran sebagai dhuafa, setiap doa yang kita panjatkan adalah doa yang bermakna bagi kehidupan umat. Terutama doa mengenai nasib kaum mukmin, doa tentang masa depan umat Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan lagi kalau doa yang menyangkut nasib banyak orang, yang dipanjatkan oleh kaum yang menyadari ke-dhaif-annya, doa yang penuh harap kepada Allah, akan menjadi salah satu pilar umat sebagaimana maksud hadist di atas. Dari ulasan singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa perluasan arti yang dianjurkan kaum Revousioner Islam malah berpotensi menyatukan umat muslim dan menjadikan semua orang bisa mengambil peran dari nasihat Rasulullah tersebut. Coba bayangkan sebaliknya jika kita tidak melakukan perluasan arti. Akan kita dapati orang-orang yang berpikir sempit dan simplistik macam: “Saya bukan kyai ulama karena tak punya pesantren sehingga bukan pilar pertama, saya bukan pemimpin atau pejabat sehingga tidak perlu adil seperti pilar kedua, saya juga bukan aghniya karena bukan konglomerat bahkan penghasilan saya pas-pasan, tetapi saya bukanlah dhuafa karena saya bukan gelandangan miskin!” Jika ada yang berpikir demikian maka ia merasa tidak termasuk keempat pilar umat dan tidak mengambil peran apa-apa atas kehidupan masyarakat Islam. Dengan kata lain, nasihat baginda Rasulullah tentang empat pilar umat bisa sia-sia karena sikap ‘asosiasi simbolik’. Pembedaan empat pilar umat ternyata mutlak dalam teori namun harus cair dalam kenyataan. Sudah menjadi tugas kaum revolusioner untuk membaurkan pembagian itu hingga tidak ada kesenjangan dan mewujudkan hadist itu dalam realitas umat. Masyarakat Islam harus cinta ilmu pengetahuan karena yakin hanya dengan jalan itulah kualitas hidup dapat ditingkatkan, dan tatanan negeri bersendi syariat bisa didirikan. Kemudian keadilan adalah saudara kembar dari kepemimpinan. Persatuan umat akan terancam tanpa keadilan karena tiada kelompok manusia yang bisa selamat tanpa menegakkan keadilan. Dengan bersedekah dibangun kesadaran untuk membentuk perbendaharaan harta bersama. Semua level organisasi terjamin pemenuhan kebutuhan materinya lewat kas bersama atau baitul maal. Sedekah juga mempererat persatuan (solidaritas) antar anggota kelompok sekaligus cermin keadilan sang pemimpin. Lalu akhirnya semua amalan duniawi itu harus disampaikan maksudnya kepada Allah lewat doa yang penuh kerendahan hati. Jadi fungsi Empat Pilar Umat sangatlah jelas: ilmu untuk berkembang, adil untuk utuh bersatu, urunan harta untuk bertahan hidup, dan doa untuk pelihara harapan kepada Allah.
Sekarang akan kita coba selidiki Empat Pilar Kebangsaan yang belakangan gencar disosialisasikan kepada seluruh komponen rakyat indonesia. Empat pilar bangsa adalah konsep tambahan dalam suatu ‘paham kebangsaan’ mengenai unsur-unsur yang dianggap mampu menopang tegaknya ide eksistensi bangsa Indonesia. Menurut konsep ini keempat pilar itu adalah: Undang-Undang Dasar 45, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUD 45 dipandang sebagai suatu landasan yuridis formal untuk semua tindakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Semua aktifitas berbangsa harus merujuk pada aturan hukum ini. Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang dianut, diakui, dan yang boleh hidup di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tercantum dalam lambang negara Indonesia. Dicantumkannya semboyan ini sebagai pilar bangsa karena kedudukannya sebagai dasar sosiologis dalam pergaulannya bangsa Indonesia. NKRI dipandang sebagai satu-satunya wujud fisik atau realitas bangsa Indonesia. Yaitu menunjuk pada suatu bangsa yang hidup di gugusan kepulauan Nusantara, diantara dua samudera dan diantara dua benua. Sebagai kaum yang menghargai pihak lain dan tidak anti perdebatan obyektif, kami selaku Revolusioner Islam punya pandangan lain atas konsep Empat Pilar Bangsa. Adapun pandangan itu adalah: • Bangsa Indonesia tidak homogen. Ini bukan pengulangan pernyataan salah satu pilar soal ke-bhinneka-an tetapi penegasan kalau cara pandang diatas dibangun atas asumsi ide ‘bangsa Indonesia’ sudah solid, sudah utuh, dan final. ‘Bangsa Indonesia’ adalah ‘mereka yang nasionalis’. Mereka yang tidak nasionalis dianggap sudah menyimpang dari ide bangsa Indonesia. Realitasnya sampai sekarang adalah bangsa Indonesia tidak semuanya berpaham nasionalis. Secara de facto ada golongan Islam sebagai salah satu golongan dominan dalam ‘bangsa Indonesia’. Kamipun menghormati eksistensi kaum nasionalis dan kaum sosialis di dalam konsep kebangsaan ini. • Pancasila bukan ‘ideologi bersama’ bahkan tidak bisa jadi ideologi karena ketidaklengkapannya. Sesuai wujudnya, Pancasila harus bisa diperas menjadi Trisila yang menunjuk pada ‘subjek orisinal’ kekuatan politik bangsa Indonesia, yang kemudian bisa diperas lagi menjadi Ekasila yang menunjuk pada ‘objek yang dikerjakan ketiga kekuatan politik bangsa’ yakni Gotong-royong.
Dari sini jelas bahwa Pancasila lebih memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian daripada sebagai sebuah ideologi. Perjanjian antara golongan Nasionalis, Islam, dan Sosialis. Perjanjian yang berisi pengakuan ideologi-ideologi yang dianut ketiga golongan. Logika gotong-royong adalah aktifitas yang dilakukan oleh subjek jamak, sehingga mustahil dikerjakan oleh ‘mereka yang nasionalis saja’. • Konsep bhinneka harus merujuk pada pluralitas bukan pluralisme. Pluralitas adalah kondisi sementara pluralisme adalah aktifitas. Pluralitas itu diam sementara pluralisme itu dinamis. Kami harus menolak pluralisme karena wujudnya berupa ajaran, tentu saja ajaran yang diusung sang subjek. Bisa saja ajarannya kaum nasionalis atau kaum internasionalis (sosialis), bahkan ajarannya golongan liberal. Yang jelas ini bukan ajaran kami dan kami secara tegas tidak perlu menyemaikan ajaran golongan lain di tubuh golongan Islam. Bagi kami, pluralitas punya starting point, punya titik mula yang lebih netral. Pluralitas ialah pengakuan atas kenyataan kalau Indonesia dihuni oleh kelompok manusia yang memiliki perbedaan prinsipil, termasuk perbedaan konsekuensi politik yang menyertainya. Golongan Islam punya kebebasan untuk memberi cara pandang dan penilaian atas pluralitas Indonesia. Demikian pula golongan lain juga punya hak yang sama atas pluralitas Indonesia. Penilaian kami adalah bahwa tiada konsep ‘unity through diversity’ sebagaimana diterjemahkan banyak pihak pada ke-bhinneka-an. Persatuan tak bisa diperoleh dari inventarisasi banyaknya perbedaan. Sebaliknya, secara alami persatuan cuma bisa diperoleh dari persamaan. Persamaan cara pandang atas suatu hal. Menambah panjang daftar perbedaan hanya akan memperparah disintegrasi sosial, yang berujung pada banyaknya variasi konflik. Perbedaan suku dan etnis tidak perlu lagi ditampilkan karena sudah diatasi evolusi paham nasionalis dari ‘nasionalisme fisik’ menjadi ‘nasionalisme sosiologis’ berupa Marhaenisme. Sementara perbedaan agama juga sudah sampai pada realitas bahwa umat Islam menjadi kekuatan paling dominan di negeri ini sehingga aspirasi umat agama minoritas harus berafiliasi pada kekuatan politik dominan lainnya, atau bahkan berafiliasi pada keadilan yang diberikan politik Islam. Kami selalu terbuka untuk hal itu. Menunjuk pluralitas sebagai ‘kumpulan begitu banyak perbedaan’ adalah berpikir mundur karena cuma kembali menampilkan proto-nasionalisme yang sudah diatasi sebelumnya. Sesungguhnya perbedaan itu sudah mengerucut pada tiga kekuatan yang diwakili dalam Trisila, yang diidentifikasi Soekarno sebagai Nasakom. • Memandang Empat Pilar Kebangsaan sebagai harga mati adalah penutupan pintu dialog yang menyebabkan golongan Islam seperti kami merasa diabaikan. Pandangan bahwa bangsa Indonesia itu hanya terdiri dari golongan nasionalis saja adalah ilusi congkak yang menganggap golongan kami sudah ‘diatasi’. Kaum nasionalis masih harus banyak berkompromi dengan golongan lain seperti kami maupun kelompok sosialis. Bukannya malah melenggang naik podium sambil mengaku sebagai ahli waris tunggal NKRI. Kami tak akan punah hanya karena diabaikan, dan tak akan sudi ditaklukkan tanpa pertarungan. Pencampuran ideologi seperti jargon ‘nasionalis relijius’ akan tak berguna samasekali karena mencurangi pengabdian dan kesetiaan, bahkan mengingkari siapa sebenarnya diri kita. Perlakuan macam ini tidak bisa diterima kaum Revolusioner Islam dan akan dianggap sebagai penghinaan. • Bagi kebanyakan awam rakyat Indonesia, konsepsi Empat Pilar Bangsa ini hanya menjejali teori filsafat Pancasila yang sebelumnya sudah rumit menjadi berputar-putar tanpa tujuan. Sungguh aneh bila kita berusaha memberi penerangan namum malah mempersulit keinsyafan. Apabila telah memahami perbedaan yang diuraikan di atas, kini kaum Revolusioner Islam punya hujjah (argumen) untuk menolak Empat Pilar Bangsa dan secara bersamaan menjadikan Empat Pilar Umat sebagai miliknya umat Islam di negeri ini. Tujuan Empat Pilar Umat jauh lebih mudah dipahami yaitu untuk mengetahui unsur utama umat Islam bisa dibangkitkan di belahan dunia manapun ia berada: Pengetahuan, Keadilan, Harta, dan Doa. Sementara konsep Empat Pilar Bangsa masih dibangun di atas asumsi-asumsi keliru pada sosok bangsa Indonesia. Konsep yang tidak dibangun di atas realitas jelas tidak akan bisa bertahan karena berfungsi tak lebih daripada fantasi atau takhayul. Kaum Revolusioner Islam sebenarnya punya kesadaran soal ‘kebangsaan Indonesia’ dengan penjelasan yang jauh lebih sederhana. Kebangsaan Indonesia adalah kerjasama, adalah gotong-royongnya kekuatan-kekuatan ideologis yang hidup di dalam negeri Nusantara itu sendiri. Kami tidak akan mungkin bekerjasama jika kami tidak diakui. Kami adalah kelompok yang hidup dengan kebudayaan Islam, yang menginginkan syariat Islam sebagai way of life-nya, yang merumuskan kemajuannya dengan Revolusi Islamnya sendiri. Pemaksaan yang menginginkan kami berideologi dengan ideologi selain Islam adalah penghianatan sesungguhnya atas persatuan bangsa. Dan hanya dengan pengakuan atas semua itu sajalah kaum Revolusioner Islam bersedia bekerjasama dengan komponen bangsa Indonesia lainnya.(Goy)
TANYAKAN PADA REVOLUSI ISLAM IV:
SEKILAS TENTANG IDENTITAS ISLAMIS
Posted by Nyala on January 17, 2015.
Sebelumnya, Nyala pernah menulis dua artikel tentang dasar identitas dan identitas Islamis. Edisi IV ini akan sedikit menengok ke belakang, kembali membahas tentang identitas Islamis.
Dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang bersifat mendasar, agar mudah dipahami dan kenal lebih dalam lagi tentang Islamis. Terutama bagi yang baru mendengar (lagi) nama Islamis. “Apa Islamis itu?” Islamis adalah identitas politik. Bagian dari entitas politik Indonesia. “Siapa Islamis itu?” Islamis adalah entitas politik yang berideologi Islam.
Menempatkan Islam tidak hanya sebagai agama individual, melainkan juga sebagai ideologi kolektif. “Apa bedanya antara Muslim dengan Islamis?” Muslim adalah orang yang beragama Islam. Sedangkan Islamis adalah orang yang berideologi Islam. Agama dan ideologi adalah dua hal yang berbeda, namun Islam memiliki fungsi sebagai agama sekaligus ideologi secara sempurna. “Apakah semua muslim adalah Islamis?” Sudah sepatutnya seorang muslim adalah Islamis. Akan tetapi tidak atau belum semua muslim dinegeri ini berideologi Islam. “Apakah Islamis harus muslim?” Siapapun yang tunduk terhadap aspek hukum publik dari syari’at adalah bagian dari Islamis. Syari’at adalah manifesto dari ideologi Islam. “Apa fungsi identitas Islamis?” Fungsi identitas Islamis adalah untuk membedakan mereka yang berideologi Islam dengan mereka yang tidak atau belum berideologi Islam. “Bagaimana identitas Islamis digunakan?” Nama Islamis merupakan istilah politik, bukan penyebutan berdasarkan ilmu fiqh. Hal ini untuk menunjukkan eksistensi politik Islam dalam ranah sosial-politik di Nusantara.
“Apa tujuan identitas Islamis?” Islamis menjadi kesadaran kolektif tiap muslim atas ideologi Islam dan syari’atnya, yang memenangkan politik Islam dalam pertarungan sosial-politik Nusantara. “Identitas Islamis merupakan bentuk representasi siapa?” Sesuai dengan core society di Nusantara, golongan Islamis secara sosial merepresentasi “muslim-pribumi” atau “pribumi-muslim” sebagai mayoritas. “Apakah Islamis itu suatu organisasi yang sejajar dengan ormas Islam atau partai Islam lainnya?” Sekali-kali bukan. Islamis adalah golongan riil yang eksis secara nyata dalam masyarakat kita. Bukan bentuk organisasi atau organ formil. Islamis adalah golongan yang berideologi Islam, tidak terbatas pada ormas atau partai. “Apa ciri khas dari golongan Islamis?” Revolusioner dan Radikal. Revolusioner adalah sifat dasarnya. Sedangkan Radikal adalah jalan yang ditempuh dalam pertarungan sosial-politik di Nusantara. Itulah sekelumit pertanyaan dan sekilas jawaban seputar identitas Islamis. Setelah sedikit bertanya-jawab, lalu dimana kini engkau akan berdiri?(Ajm)
ISLAM, PANCASILA, DAN MASA DEPAN INDONESIA
Posted by Nyala on July 31, 2015 Oleh: Adif Fahrizal Pengantar redaksi: tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Kompasiana edisi 28 Agustus 2013 dengan judul yang sama.
Kami muat kembali di dalam jurnal Nyala karena topik yang diangkat penulis memiliki kesamaan visi dengan pergerakan Revolusi Islam Nusantara walaupun sang penulis tidak memiliki afiliasi apapun dengan pergerakan kami. Sementara itu komentar redaksi disertakan di section komentar. Semoga sumbangsih pemikiran macam ini bisa semakin menginsyafkan para pemuda muslim akan seluk beluk revolusi sosial politik yang tengah kita rintis ini. Juga menambah keberanian para partisan yang masih ragu bertindak maupun menambah keyakinan para simpatisan politik Islam yang selama ini masih berdiri di tepi panggung sejarah untuk segera sadar mengambil perannya masing-masing. Tidak lupa terima kasih kepada penulis saudara Adif Fahrizal atas kesediaannya berbagi pandangan atas topik hangat ini.
Pasca-reformasi mendengar kata “Pancasila” serasa membawa kita pada era otoritarianisme Orde Baru. Tidak aneh sebenarnya karena memang pada masa itu “Pancasila” menjadi sebuah ‘kata sakti’ yang selalu didengung-dengungkan dan disebut dalam hampir semua kesempatan, terutama oleh para pejabat. Tidak hanya itu, dalam lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara pun Pancasila menjadi satu-satunya asas yang tidak dapat diganggu gugat keabsahannya. Semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai asasnya, tentu saja Pancasila di sini adalah Pancasila yang telah ditafsirkan sesuai selera penguasa. Bagi umat Islam Indonesia Pancasila dirasakan pula sebagai sesuatu yang mengundang trauma sekaligus sikap antipati. Hal yang wajar sesungguhnya karena pada masa Orde Baru Pancasila dijadikan sebagai alat untuk membelenggu aspirasi politik umat Islam dan alat pemukul bagi kelompok umat Islam yang dianggap ‘berbahaya’ bagi penguasa. Belakangan di era Reformasi ketika perjalanan bangsa dirasa tidak lagi mempunyai arah yang jelas dan negeri ini dihantui ancaman disintegrasi di mana-mana Pancasila yang menjadi common denominator (pembagi bersama) dan common platform (landasan bersama) bangsa Indonesia dimunculkan kembali dengan harapan dapat memberikan arah bagi perjalanan bangsa serta membangun kembali kebersamaan di antara pelbagai elemen bangsa. Revitalisasi Pancasila diserukan oleh berbagai kalangan. Namun di sisi lain bagi sebagian kalangan umat Islam Pancasila dianggap sebagai alat untuk mengekang aspirasi umat yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’ah. Upaya formalisasi syari’ah dan pemberlakuan sejumlah peraturan daerah (perda) yang “bernuansa syari’ah” dicap oleh sebagian kelompok sebagai suatu hal yang bertentangan dengan semangat menjaga kemajemukan yang terkandung dalam Pancasila. Islam dan Pancasila lalu seolah menjadi dua hal yang harus dibenturkan, seolah-olah jika ada umat Islam yang menuntut formalisasi syari’ah maka sama dengan anti-Pancasila. Pertanyaannya benarkah Islam bertentangan dengan Pancasila atau sebaliknya? Begitu pula betulkah aspirasi penerapan syari’ah itu bertentangan dengan Pancasila? Hal inilah yang coba dijawab oleh Ustadz Adian Husaini lewat bukunya “Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”.
Dalam buku ini Ustadz Adian mencoba menjelaskan timbulnya kesalahpahaman kalangan Kristen dan nasionalis sekuler mengenai aspirasi penegakan syari’ah dan juga pemahaman yang ‘tepat’ atas Pancasila dari sudut pandang Islam. Selain itu tidak lupa ia pun mengingatkan umat Islam bahwa perjuangan Islam di Nusantara belum berakhir dan bahwa tugas generasi kaum Muslimin hari ini adalah melanjutkan perjuangan generasi terdahulu dengan cara membangun budaya ilmu yang merupakan fondasi utama dari sebuah peradaban. Cendekiawan Muslim yang produktif dalam menulis ini mengingatkan bahwa untuk membangun peradaban tidak cukup hanya dengan meraih kekuasaan melainkan justru harus dimulai dengan membangun budaya ilmu, terutama sekali meluruskan kekeliruan mengenai konsep ilmu itu sendiri.
Momok Piagam Jakarta Berbicara tentang upaya penegakan syari’at Islam di Indonesia tidak akan lepas dari Piagam Jakarta. Di dalam piagam yang oleh Bung Karno disebut gentlemen’s agreement ini terdapat 7 kata yang menjamin kewajiban pelaksanaan syari’ah bagi umat Islam Indonesia. Namun seperti kita ketahui kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang sedianya akan dijadikan pembukaan UUD 1945 itu harus dihapus atas desakan umat Kristen Indonesia timur yang khawatir jika ketentuan itu berlaku maka akan menjadikan umat non-Muslim sebagai warga negara kelas dua. Secara resmi ketujuh kata tersebut tidak lagi tercantum dalam teks Pancasila pada pembukaan UUD 1945. Setelah dihapuskannya 7 kata itu tidak sedikit orang –khususnya kalangan non-Muslim dan sekuler- memahami bahwa Piagam Jakarta hanyalah masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Dalam konteks yang demikian upaya penerapan syari’ah lewat formalisasi hukum-hukum Islam dalam hukum negara kerap dinilai sebagai pelanggaran –bahkan pengkhianatan- atas Pancasila, dengan kata lain formalisasi syari’ah dianggap sebagai tindakan yang inkonstitusional. Tudingan inilah yang mengemuka setiap kali ada rancangan undang-undang atau peraturan lainnya yang dianggap berbau syari’ah atau mengakomodasi kepentingan umat Islam. Lewat argumentasi historis dan hukum positif Ustadz Adian membantah tuduhan ini. Ia menunjukkan bahwa upaya penerapan syari’ah lewat aturan perundang-undangan adalah hal yang sah, legal, dan konstitusional. Secara historis terbukti bahwa ketika UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Itu berarti bahwa 7 kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta juga diakui secara legal-formal sebagai “jiwa” dan bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945 yang masih berlaku hingga kini. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menolak formalisasi syari’ah dengan dalih inkonstitusional. Lebih jauh lagi, penolakan formalisasi syari’ah oleh sebagian kalangan sesungguhnya dilatarbelakangi oleh sentimen Islamo-fobia yang sejatinya adalah warisan kolonialisme Belanda. Sebagaimana kita ketahui bahwa kalangan Kristen adalah elemen yang paling keras menolak formalisasi syari’ah dan upaya-upaya mengangkat kembali isu Piagam Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini kalangan Kristen mewarisi persepsi kolonialis Belanda yang memandang Islam sebagai ancaman. Memang dahulu Belanda khawatir dengan pemberlakuan syari’ah karena syari’ah akan memperkuat identitas keislaman penduduk pribumi yang akan menghambat hegemoni kolonial Belanda serta mendorong semakin kuatnya perlawanan kaum Muslim pribumi terhadap Belanda.
Bagi kaum misionaris, syari’ah juga akan menghambat upaya Kristenisasi Nusantara karena jika umat Islam berkomitmen pada syari’ah sudah barang tentu akan menolak dengan keras upaya-upaya pemurtadan seperti Kristenisasi. Hal inilah yang dilihat oleh Adian sebagai alasan utama mengapa kaum Kristen selalu menolak usaha-usaha pemberlakuan syari’ah di Indonesia. Ini bukanlah tuduhan yang tak berdasar karena memang dinyatakan sendiri oleh kalangan Kristen bahwa setelah perginya kaum misionaris asing bukan berarti tugas penkabaran Injil berakhir akan tetapi tugas tersebut beralih kepada umat Kristen Indonesia yang dalam hal ini harus berhadapan dengan tantangan dan hambatan dari umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia (hal. 67-69). Satu hal lagi yang menjadi hambatan dan tantangan bagi pelaksanaan syari’ah dalam aturan perundang-undangan di Indonesia adalah masih adanya kesalahpahaman mengenai syari’ah. Penerapan syari’ah seringkali masih disalahpahami –atau memang disalahpahamkan- secara sempit sebagai penerapan hukum huddud dan qishash padahal sesungguhnya cakupan syari’ah jauh lebih luas dari sekadar hukum pidana. Bahkan jika dikaitkan dengan permasalahan riel yang dihadapi Indonesia hari ini seperti kemiskinan, korupsi, utang luar negeri dan sebagainya syari’ah sangatlah relevan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dalam hal ini Ustadz Adian menekankan pentingnya peran umat Islam – khususnya para tokohnya- untuk menjadi contoh yang baik dari penerapan syari’ah. Syari’ah tidak boleh menjadi slogan dan komoditas politik belaka melainkan harus diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehingga terbukti bahwa syari’ah sebagai aturan yang datang dari Allah memang mampu memecahkan problematika kehidupan umat manusia. Tafsir Pancasila Hal menarik lain yang diangkat dalam buku ini adalah mengenai polemik tafsiran Pancasila. Kita tentu sudah mafhum bahwa Pancasila adalah kesepakatan bersama para pendiri bangsa ini yang terdiri dari poin-poin umum yang bisa diterima oleh seluruh elemen bangsa dari pelbagai, agama, ideologi, partai politik, etnis, dan sebagainya. Sering dikatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang terbuka. Di satu sisi karakter Pancasila yang terbuka dan fleksibel ini memang dapat menjadi pengikat bagi seluruh elemen bangsa yang plural ini akan tetapi di sisi lain juga menjadi kelemahan tersendiri manakala Pancasila hendak diposisikan sebagai dasar filosofis-normatif penyelenggaraan negara. Sejarah menunjukkan bahwa tafsiran atas Pancasila selalu dikontestasikan oleh berbagai kekuatan politik sesuai dengan perspektif ideologis, aspirasi, dan kepentingannya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, kalangan non-Muslim dan nasionalis sekuler memahami Pancasila dari perspektif yang netral-agama. Pancasila tidak boleh ditafsirkan menurut sudut pandang agama tertentu tetapi harus mengakomodasi keberagaman keyakinan yang ada di Indonesia. Dengan demikian maka Pancasila juga tidak boleh –dalam pandangan kelompok ini- dijadikan alat legitimasi masuknya paham atau aturan agama tertentu dalam penyelenggaraan negara. Persepsi semacam ini tentu wajar saja mengingat cara pandang yang mereka gunakan untuk menafsirkan Pancasila adalah cara pandang sekuler yang memisahkan agama dan negara, di samping ada juga kepentingan tertentu sebagaimana sudah disinggung di atas. Atas dasar persepsi inilah kalangan non-Muslim dan nasionalis sekuler menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menolak formalisasi syari’ah yang marak berlangsung pasca-reformasi. Namun benarkah bahwa Pancasila adalah sebuah konsepsi yang netral agama? Inilah yang dibantah oleh Ustadz Adian Husaini. Doktor bidang Pemikiran Islam lulusan ISTAC Malaysia ini menyatakan dengan tegas bahwa Pancasila bukanlah konsepsi sekuler sebagaimana yang dipahami banyak kalangan. Adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan (baca: agama). Lantas apakah Pancasila itu netral agama dalam arti tidak diwarnai oleh satu agama tertentu, katakanlah Islam misalnya? Ini pun dibantah oleh Ustadz Adian. Dalam hal ini ia mengutip pernyataan dari seorang penulis Kristen yang menyebut sila pertama sebagai suatu kekalahan dari “bapak-bapak Kristen dan Hindu” dalam penyusunan dasar negara ini (hal 131). Jika “bapak-bapak Kristen dan Hindu” mengalami kekalahan lalu siapakah yang menang?
Tak lain dan tak bukan yang menang adalah tokoh-tokoh Islam. Ini bukan hal yang mengada-ada karena memang dalam sejarahnya yang mengajukan rumusan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” –sebagai pengganti 7 kata yang dihapus- adalah tokoh NU K.H. Wahid Hasyim dan rumusan tersebut diambil dari ajaran tauhid. Untuk menunjukkan bahwa Pancasila memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh worldview Islam, Ustadz Adian menjelaskan bahwa pemahaman mengenai siapa “Tuhan Yang Maha Esa” yang dimaksud dalam sila pertama tidak bisa dipisahkan dari kalimat dalam pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kemerdekaan adalah “berkat rahmat Allah”. Oleh karena pernyataan “berkat rahmat Allah” dan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ada dalam satu wacana –yaitu Pembukaan UUD 1945- maka logis jika keduanya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Penggalan kalimat “berkat rahmat Allah” sesungguhnya memberikan petunjuk mengenai siapa “Tuhan Yang Maha Esa” dalam sila “ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak lain dan tidak bukan yang dimaksud “Tuhan Yang Maha Esa” adalah Allah. Dalam kaitan dengan hal tersebut amat terang benderang bagaimana pengaruh Islam dalam perumusan Pancasila. “Allah” jelas merupakan konsep Tuhan khas Islam yang tidak ditemukan dalam agama-agama lain. Ia lalu membandingkan konsep ketuhanan dalam Islam dengan konsep ketuhanan dalam tradisi Yudeo-Kristiani yang bahkan tidak mengenal satu nama yang pasti untuk menyebut Tuhan Pencipta Alam Semesta. Bila “Tuhan Yang Maha Esa” yang dimaksud sila pertama adalah Allah maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa asas pertama Republik Indonesia adalah tauhid. Dengan demikian ini sekaligus membantah asumsi sebagian kalangan bahwa Pancasila adalah konsepsi yang netral agama alias sekuler. Selanjutnya, karena “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sila pertama maka wajar bila penafsiran sila-sila selanjutnya tidak bisa dipisahkan dari kandungan sila pertama tersebut. Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” misalnya, tidak bisa ditafsirkan secara bebas tanpa memerhatikan asas tauhid yang terkandung dalam sila pertama apalagi kata “adil” dan “adab” yang terdapat dalam sila tersebut adalah kata serapan dari bahasa Arab dan merupakan bagian konsep-konsep kunci dalam Islam. Kata “adil” dan “adab” baru dikenal setelah masuknya Islam ke Nusantara dan tidak ada padanannya dalam kosa kata asli bahasa-bahasa lokal di Nusantara. Oleh karena itu “adil dan beradab” dalam sila kedua harus dipahami dengan merujuk pengertian kedua kata tersebut dalam khazanah keilmuan Islam sebagai sumber konseptualnya. Dalam aplikasinya maka sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan hal-hal yang dilarang agama –khususnya Islam- katakanlah misalnya praktik homoseksual, karena hal-hal yang dilarang agama justru merupakan suatu kezaliman (lawan dari adil) dan ketidakberadaban. Dengan kata lain “kemanusiaan” harus dibatasi oleh “keadilan dan keberadaban” yang didasari oleh agama khususnya Islam yang merupakan pengejawantahan dari ajaran tauhid yang terkandung dalam sila pertama. Pendek kata penafsiran Pancasila berdasarkan perspektif keislaman bukan hanya sah jika tetapi juga Pancasila itu sendiri dipenuhi oleh konsep-konsep yang bersumber dari Islam. Ini bukan hal yang aneh mengingat banyak di antara perumus Pancasila adalah tokoh-tokoh Islam. Dilihat dari sudut pandang ini menjadikan Pancasila sebagai alasan untuk menolak penerapan syari’ah di Indonesia jelas tidak memiliki dasar yang kuat dan gugur dengan sendirinya. Sayangnya dalam buku ini Ustadz Adian tidak mencoba menjabarkan perspektif keislaman dalam penafsiran tiga sila lainnya dalam Pancasila yaitu sila ketiga sampai kelima.
Tafsir Islami Pancasila dan Konteks Kebangsaan Ditinjau dari perspektif keislaman penjelasan Ustadz Adian Husaini mengenai Pancasila sudah cukup menjawab bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, begitu pula sebaliknya. Ini perlu ditekankan mengingat di tengah umat Islam sendiri masih ada kalangan yang menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam bahkan menyebut Pancasila sebagai “paham syirik”. Persepsi semacam itu jelas mengecilkan peranan para tokoh Islam dalam perumusan Pancasila dan menafikan kenyataan besarnya pengaruh Islam dalam konsepsi Pancasila itu sendiri. Akan tetapi masih ada satu pertanyaan tersisa dari penafsiran Pancasila dengan perspektif keislaman sebagaimana yang telah dikemukakan Ustadz Adian. Pertanyaan itu adalah bagaimana jika penafsiran tersebut dihadapkan dengan realitas bangsa kita yang majemuk? Diakui atau tidak dalam konteks kebangsaan penafsiran Pancasila seperti yang coba ia lakukan akan ‘bermasalah’. Suka atau tidak suka konsep kebangsaan yang dianut Indonesia adalah konsep yang netral agama. ‘Bangsa Indonesia’ adalah sebuah entitas yang plural, yang terdiri dari berbagai elemen agama, etnis, ideologi, kelas sosial, dan sebagainya yang berbeda namun dipersatukan oleh perasaan ‘senasib sepenanggungan’ sebagai sesama penduduk negeri yang terjajah. Kaum sekuler tampaknya lebih berhasil merumuskan konsep kebangsaan Indonesia yang bertahan hingga kini. Secara historis, Indische Partij adalah organisasi pergerakan pertama yang merumuskan konsep “bangsa Hindia” yang menjadi cikal bakal dari konsep “bangsa Indonesia”. Konsep “bangsa Hindia” yang diusung Indische Partij adalah konsep kebangsaan berdasarkan kewargaan (citizenship based nationalism), semua orang bisa menjadi bagian dari “bangsa Hindia” apapun latar belakang agama, etnis, ataupun rasnya selama ia adalah warga Hindia dan merasa sebagai “orang Hindia”. Momen-momen penting lain dalam terbentuknya kesadaran akan identitas bersama sebagai “bangsa Indonesia” adalah Manifesto Politik Perhimpoenan Indonesia tahun 1925, terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Sumpah Pemuda tahun 1928. Dalam momen-momen ini kaum sekulerlah yang menjadi pemain utama dalam merumuskan apa dan siapakah “bangsa Indonesia”. Tentu saja bukan berarti kalangan Islam absen dalam upaya merumuskan identitas kebangsaan. Seperti kita ketahui Sarekat Islam (SI) adalah organisasi pertama yang berhasil membangun kesadaran nasional dalam arti mampu membangun jaringan organisasi yang meluas ke seluruh Hindia Belanda melintasi batas-batas daerah dan etnis. Namun perlu kita ingat bahwa pada masa-masa puncak kejayaannya SI sendiri belum menunjukkan secara tegas identitas keislamannya sehingga ketika itu SI secara ideologis belum bisa disebut gerakan Islam dan dalam perjalanan sejarah berikutnya kaum sekulerlah yang lebih dominan dalam membentuk identitas kebangsaan. Terbukti bahwa pada dekade 1930-an timbul polarisasi di tengah kalangan pergerakan antara “kaum Islam” dengan “kaum kebangsaan” yang menyiratkan bahwa “kebangsaan” tidak identik dengan “Islam” dan begitu pula sebaliknya. Hal ini diperkuat pula oleh kritikan keras dari sejumlah tokoh Islam seperti Haji Agus Salim, A. Hassan, dan Mohammad Natsir terhadap ide kebangsaan. Tentu kritikan itu timbul karena ide kebangsaan yang dominan ketika itu adalah ide kebangsaan yang netral agama meskipun para tokoh Islam itu tidak selalu antipati pada ide kebangsaan per se.
Setelah proklamasi kemerdekaan keadaan ini tidak banyak berubah. Hingga sekarang pun identitas “bangsa Indonesia” tidak pernah identik dengan agama tertentu. Bandingkan dengan identitas “bangsa Melayu” di Malaysia yang identik dengan Islam, atau “bangsa Thai” yang identik dengan Buddhisme dan “bangsa Filipina” yang identik dengan Kristen khususnya Katolik. Dengan identitas kebangsaan yang netral agama maka sejujurnya sulit untuk memberlakukan suatu penafsiran atas Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan perspektif satu agama tertentu sekalipun –katakanlah- itu tidak dilakukan secara terang-terangan. Tentu saja akan ada perkecualian jika kita membongkar identitas kebangsaan Indonesia dan membangunnya kembali dengan identitas keislaman sebagai dasarnya. Namun ini pun menyimpan masalah tersendiri. Ketika sebuah negara-bangsa hendak dibangun di atas negeri yang penduduknya majemuk maka mau tidak mau keberagaman tersebut harus benar-benar diperhatikan. Ini dengan catatan jika negara-bangsa itu hendak didirikan dengan tanpa mengorbankan keutuhan wilayah negeri tersebut. Dalam hal ini kita bisa belajar dari pengalaman sejarah India. Apa yang membuat sebagian kaum Muslim India yang dimotori oleh Muslim League menuntut negara tersendiri yang akhirnya membuahkan lahirnya Pakistan adalah perasaan dieksklusikan dalam pembentukan identitas kebangsaan India. Pembentukan identitas kebangsaan India sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan negeri tersebut memang didominasi oleh kaum Hindu, ide nasionalisme India –yang sebenarnya netral agama- juga dianggap banyak diwarnai pandangan hidup Hinduisme dan hanya kedok untuk menciptakan diktator mayoritas di India. Muncul kekhawatiran dari sebagian kaum Muslim bahwa kemerdekaan India akan membawa pada penindasan minoritas Muslim oleh mayoritas Hindu. Sementara itu di kalangan Hindu timbul pula persepsi negatif terhadap kaum Muslim. Kaum Muslim –terutama golongan elitnya yang memang banyak di antaranya adalah keturunan Arab, Persia, Afghan, atau Turki- dipandang tidak memiliki rasa memiliki sebagai bagian dari “bangsa India” dan dicap sebagai anak-turunan ‘penjajah’, yang dimaksud ‘penjajah’ di sini adalah para penguasa Muslim dari luar India seperti Dinasti Mughal yang menguasai India sebelum era kolonialisme Inggris. Apakah nasionalisme India yang diusung oleh organisasi Indian National Congress di bawah kepemimpinan Gandhi dan Nehru memang hanya kedok bagi dominasi mayoritas Hindu sesungguhnya masih bisa diperdebatkan. Bahkan kalaupun betul nasionalisme India diwarnai pandangan hidup Hinduisme itu tidak serta merta menjadikan kaum Muslim menjadi minoritas yang tertindas di India. Nyatanya hingga kini India telah memiliki 3 presiden Muslim, banyak Muslim yang menjadi public figure terkemuka –termasuk selebritis Bollywood, tidak ada halangan bagi dakwah Islam, madrasah Darul Ulum Deoband yang konon merupakan lembaga pendidikan Islam terbesar kedua di dunia setelah Al Azhar masih kokoh berdiri dengan murid berdatangan dari berbagai penjuru dunia.
Bagi sebagian kalangan Hindu sendiri Congress dianggap bersikap terlalu akomodatif dan kompromistis kepada kaum Muslim, nasionalisme India yang diletakkan dasarnya oleh Congress juga dikritik tajam oleh kelompok ini karena dianggap hanya copy-paste dari nasionalisme di Barat alias “tidak bersifat India” (baca: tidak bersifat Hindu) –sementara bagi kaum Muslim yang menuntut berdirinya Pakistan nasionalisme India justru “bersifat Hindu”. Jika demikian maka apakah tuntutan kaum Muslim India untuk mendirikan negara tersendiri di bawah Muslim League dilatarbelakangi oleh alasan yang rasional atau hanya paranoia tanpa dasar? Tampaknya keduanya memiliki sisi kebenaran masing-masing. Namun yang jelas sejarah telah mencatat bahwa pergulatan identitas dalam perjuangan kemerdekaan India menghasilkan terbelahnya negeri tersebut menjadi dua negara-bangsa: India dan Pakistan. Jika pengalaman India itu kita proyeksikan pada kasus Indonesia kita bisa melihat paralelitas yang menarik. Sebagaimana sudah disinggung di atas pembentukan ide nasionalisme Indonesia lebih didominasi oleh kaum sekuler yang meskipun kebanyakan dari mereka adalah Muslim tetapi memilih untuk memisahkan ranah agama dan negara. Perdebatan mengenai konsepsi “Indonesia” di dalam sidang BPUPKI yang menghasilkan gentlement’s agreement Piagam Jakarta sebenarnya bukan kemenangan mutlak bagi kubu nasionalis Islam, harus diingat bahwa klausul 7 kata dalam piagam tersebut adalah hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah. Seandainya kemenangan mutlak ada di pihak nasionalis Islam sudah barang tentu negara Indonesia merdeka yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Islam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Toh, dengan hasil yang demikian tetap saja kaum Kristen di Indonesia timur –yang oleh banyak kaum Muslim Indonesia dianggap sebagai ‘kaki tangan’ kolonial Belanda- tidak puas dan mengancam akan berdiri di luar negara Indonesia merdeka jika Piagam Jakarta disahkan. Dengan kearifan para pendiri bangsa –khususnya dari kubu nasionalis Islam- akhirnya tuntutan tersebut diakomodasi, Piagam Jakarta –yang sebenarnya tidak sepenuhnya memuaskan bagi kaum nasionalis Islam sendiri- direvisi dengan membuang 7 kata, perpecahan pun dapat dihindarkan. Inilah yang tidak terjadi dalam kasus India, tuntutan Muslim League untuk memberikan otonomi luas bagi daerah-daerah mayoritas Muslim guna menghindarkan dominasi golongan mayoritas Hindu dalam negara India merdeka –kekhawatiran yang walau beralasan namun masih bisa diperdebatkan kemungkinannya- ditolak oleh Congress sehingga pembentukan Pakistan sebagai negara tersendiri tak terhindarkan. Bisa kita bayangkan bagaimana seandainya dulu para pendiri bangsa, khususnya kalangan nasionalis Islam ngotot mempertahankan 7 kata maka bisa jadi wajah negara Indonesia merdeka tidak seperti yang kita saksikan sekarang.
Bila coba kita simpulkan dari pembahasan di atas maka upaya membentuk ulang identitas kebangsaan Indonesia menjadi ‘kebangsaan yang Islami’ atau menjadikan warna Islam lebih dominan dalam identitas kebangsaan Indonesia adalah suatu pilihan yang dilematis. Jika upaya tersebut dilakukan maka resiko disintegrasi bangsa sepertinya bukan suatu hal yang mengada-ada. Suka ataupun tidak bagi sebagian orang sifat netral agama dalam nasionalisme Indonesia memang menjadi kunci penting bagi tetap hadirnya sense of belonging atas Indonesia. Dengan nasionalisme yang netral agama ide “Indonesia” menjadi bukan hanya milik satu golongan agama saja melainkan milik semua golongan agama. Di sisi lain tentunya nasionalisme itu sendiri bukan suatu hal yang sakral, terlebih bagi umat Islam. Dilihat secara historis nasionalisme dan negara-bangsa pun relatif merupakan barang baru dalam sejarah peradaban manusia. Ide ini lahir setelah Revolusi Perancis dan tersebar ke seluruh penjuru dunia seiring dengan tersebarnya modernitas. Di era globalisasi ini batas-batas negara juga semakin cair, sepanjang sejarah negara-negara-bangsa kita bisa menyaksikan ide sebuah negara bangsa ditinggalkan seperti kita lihat dalam kasus Yugoslavia misalnya. Oleh karena itu bukanlah barang tabu pula untuk memikirkan sebuah ide negara-bangsa yang melampaui ide “Indonesia”. Sekiranya umat Islam menghendaki suatu ide kebangsaan yang dibangun atas landasan Islam maka tidak ada salahnya jika umat Islam mulai memikirkan gagasan mengenai suatu negara yang mempersatukan bangsa-bangsa Muslim rumpun Melayu misalnya. Berani menyatakan secara tegas ide radikal semacam ini sesungguhnya dapat melepaskan kita dari sikap ambivalen yang disadari atau tidak kerap muncul manakala kita mempertahankan ide nasionalisme Indonesia sambil di sisi lain mencari-cari celah untuk membangun ‘dominasi Islam’. Terkecuali apabila kita menerima ide nasionalisme yang menghargai keberagaman itu dan konsisten terhadapnya. Di sisi lain ide radikal semacam “Negara Islam Melayu Raya” dapat menjadi jembatan antara realitas negara-bangsa yang ada hari ini dengan ide sejenis “khilafah Islamiyah” yang walaupun ideal namun masih terkesan utopis. Persatuan umat Islam sedunia di bawah satu kepemimpinan jelas merupakan cita-cita yang mulia akan tetapi keberagaman kaum Muslimin dalam hal mazhab, bahasa, budaya, dan sebagainya juga merupakan suatu kekayaan tersendiri yang perlu dijaga. Dalam konteks tersebut ‘blok-blok kaum Muslimin’ yang dipersatukan oleh kedekatan budaya di samping kesamaan akidah bisa menjadi pilihan menuju persatuan kaum Muslimin sedunia dengan tetap menghargai keberagaman di tengah kaum Muslimin sendiri. Kesimpulan Pancasila adalah dasar negara yang merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa, termasuk di antaranya para tokoh Islam. Bukan hal aneh kemudian jika dasar negara ini diwarnai oleh pandangan dunia Islam. Oleh karena itu penafsiran Pancasila dengan perspektif Islam adalah hal yang absah dan memiliki argumentasi yang kuat. Mempertentangkan Pancasila dengan Islam ataupun sebaliknya jelas merupakan cara pandang keliru yang dangkal dan ahistoris. Berdasarkan analisis yang mendalam atas Pancasila beserta historisitasnya tidak ada alasan yang kuat untuk menolak hak konstitusional umat Islam menerapakan syari’ah dengan mengatasnamakan Pancasila. Begitu pula tidak ada alasan kuat untuk menolak keabsahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah penegakan syari’ah. Akan tetapi tantangan sesungguhnya untuk menegakkan syari’ah di bumi Indonesia dalam konteks kebangsaan adalah kuatnya dominasi paham sekuler mewarnai gagasan dan identitas kebangsaan Indonesia. Jika penafsiran Pancasila dengan perspektif Islam –yang tidak lain dan tidak bukan mewujud pada penegakan syari’ah- hendak diberlakukan maka itu sama artinya dengan membongkar ide “Indonesia” versi kaum nasionalis sekuler yang telah berhasil ditanamkan di benak masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Upaya pembongkaran tersebut akan dengan mudah dicap sebagai “pengkhianatan atas keberagaman”, bisa dipastikan pula akan muncul pernyataan bahwa “Indonesia bukan hanya milik umat Islam”, suatu pernyataan yang sayangnya sama absahnya dengan tafsir Islami atas Pancasila itu sendiri. Dengan konteks yang demikian maka pilihan bagi umat Islam Indonesia sesungguhnya berkisar pada tiga alternatif: mempertahankan ide “Indonesia” sebagai entitas multikultural tanpa ada dominasi mayoritas, mereka ulang ide “Indonesia” menjadi milik umat Islam semata, atau merumuskan ide baru yang “melampaui Indonesia” dan lebih dekat pada cita-cita persatuan kaum Muslimin sedunia tanpa harus kehilangan sikap realistis. Satu hal yang perlu diingat, jauh sebelum terumuskannya gagasan “Indonesia” oleh para elit didikan Belanda kedatangan Islam di kepulauan Nusantara telah menanamkan bibit-bibit persatuan penduduk Nusantara yang dilandasi persamaan akidah. Kerjasama antar kerajaan Islam Demak dan Aceh untuk mengusir Portugis dari Malaka, tersebarnya bahasa Melayu dan aksara Pegon sebagai sarana komunikasi penduduk Nusantara, terbentuknya komunitas Muslim Jawi dan jaringan ulama Nusantara yang berpusat di Haramain sudah cukup menjadi bukti bahwa gagasan persatuan Nusantara atas dasar Islam memiliki akar yang kuat di masa lampau. Sekiranya kolonialisme Belanda gagal menancapkan hegemoninya di kepulauan ini bukan tidak mungkin persatuan tersebut sudah terwujud hari ini. Adapun ide “Indonesia” yang kita kenal sekarang sejatinya merupakan produk modernitas yang tumbuh seiring dengan kolonialisme, ide ini tidak punya akar yang mendalam dalam memori kolektif masyarakat Nusantara yang mayoritasnya Muslim. Bisa kita bayangkan, bagaimana komunitas Jawi di Makkah dan Madinah dapat dengan mudah mengidentifikasikan dirinya sebagai sesama Muslim yang datang dari Nusantara tanpa harus mencerna gagasan “Indonesia” yang melangit dari para elit berpendidikan Barat. Maka dari itu bukan hal yang muluk-muluk kiranya jika kita menyusun kembali ide persatuan Nusantara yang akarnya sudah ditanamkan para ulama penyebar Islam di kepulauan ini sejak berabad lalu dan merintis berdirinya sebuah negara baru di atas puing-puing Indonesia kelak. Modernitas yang lahir dari pengalaman sejarah Barat kini tengah mengalami krisis dan bukan tidak mungkin akan terkubur dalam waktu dekat. Bersamaan dengan terkuburnya modernitas maka akan terkubur pula ide-ide yang lahir darinya, termasuk ide “Indonesia”. Wallahu a’lam.(Goy) Persoalan Pancasila bagi kaum Islamis sudah ditanggulangi dengan sebuah segregasi politik. Kita menetapkan posisi Pancasila di hadapan ideologi Islam yang kita anut dengan sebuah penyimpulan independen yang tak perlu lagi dicampuri konsensus nasional. Bahwa Islamis bukanlah golongan Nasionalis, dan Islamis akan selalu berideologi Islam sampai kapanpun. Pancasila adalah sebuah perjanjian an sich, sebuah perjanjian luhur bangsa yang tidak bisa disulap menjadi ideologi, apalagi sampai menggantikan ideologi Islam yang Islamis anut sejak dulu. Mengenai ‘tantangan sesungguhnya untuk menegakkan syari’ah di bumi Indonesia dalam konteks kebangsaan adalah kuatnya dominasi paham sekuler mewarnai gagasan dan identitas kebangsaan Indonesia’, maka kita akan menjawab tantangan tersebut dengan menguji kekuatan dominasi paham Nasionalis sekuler itu sendiri. Dengan segregasi sosial politik yang kita lancarkan, kita akan membatasi diri untuk ‘tidak ikut mengambil peran’ dalam usaha Nasionalisme yang konteksnya netral agama. Kita akan buktikan kalau Nasionalisme yang netral agama tidak akan mampu mencegah kemunduran kultural Indonesia yang kini tampak semakin menjadi-jadi. Semua dekadensi kebudayaan yang melanda Indonesia harus kita persalahkan kepada kepemimpinan kaum Nasionalis sekuler demi untuk menggerogoti keyakinan rakyat kepada dominasi paham sekuler. Sambil, di sisi lain, memperkenalkan kebangkitan politik Islamis sebagai kekuatan alternatif baru yang layak didukung melalui dakwah dan tarbiyah tak kenal lelah. Kita tidak sedang ‘menghancurkan Indonesia’ namun langkah yang kita ambil adalah ‘membiarkan ide Indonesia hancur oleh dirinya sendiri yang koruptif’. Indonesia yang steril dari dominasi agama mayoritas terbukti tak akan mampu melawan kekuatan globalisasi yang ‘memiliki agenda tersendiri atas negeri ini’. Visi para revolusioner Islam ini tentunya bukan phobia yang dibuat-buat melainkan akan terbukti kebenarannya seiring dengan berjalannya waktu. Pada paragraf kedua sub-judul Tafsir Islami Pancasila dan Konteks Kebangsaan: “‘Bangsa Indonesia’ adalah sebuah entitas yang plural, yang terdiri dari berbagai elemen agama, etnis, ideologi, kelas sosial, dan sebagainya yang berbeda namun dipersatukan oleh perasaan ‘senasib sepenanggungan’ sebagai sesama penduduk negeri yang terjajah.” Bagi kami istilah ‘bangsa Indonesia’ tidaklah se-plural seperti terjemahan yang dipahami sekarang. Sumpah Pemuda 1928 bisa membuktikan fakta kami bahwa istilah ‘bangsa Indonesia’ selalu menunjuk kepada ras pribumi Nusantara. Dengan mengesampingkan unsur ‘non-pribumi’, perbedaan faktual diantara intra bumiputera hanyalah soal agama, dan ideologi politik. Perbedaan etnis (suku) tidak bisa dimasukkan dalam bingkai ‘multikulturalisme’ karena lebih cenderung kepada ‘monokultural’ yang menginduk pada identifikasi ras yang sama. Mengenai nasib unsur ‘non-pribumi’, mereka telah diberi kemerdekaan untuk menentukan sikap tanggapan atas inisiatif yang telah dilakukan para pemuda bumiputera demi mengintegrasikan golongan mereka ke dalam ‘bangsa Indonesia’ tanpa perlu mengubah ide dasar bahwa bangsa Indonesia itu pribumi. Ini bukti tiada tirani mayoritas dalam proses tersebut karena harmonisasi tetap bisa dicapai oleh relasi nyata mayoritas-minoritas. Tanpa disadari, perjuangan kemerdekaan Indonesia sesungguhnya telah mengambil ‘porsi rasialnya’ sendiri. Bukankah identifikasi ‘kulit sawo matang’ melawan ‘kulit putih’ menjadi tema sentral perjuangan saat itu? Bukankah bangsa kita menolak untuk dipimpin terus oleh seorang Gubernur Jenderal bule? Pada pokok penyimpulan, penulis menyatakan: “Dengan konteks yang demikian maka pilihan bagi umat Islam Indonesia sesungguhnya berkisar pada tiga alternatif: mempertahankan ide ‘Indonesia’ sebagai entitas multikultural tanpa ada dominasi mayoritas, melakukan reka ulang ide ‘Indonesia’ menjadi milik umat Islam semata, atau merumuskan ide baru yang ‘melampaui Indonesia’ dan lebih dekat pada cita-cita persatuan kaum Muslimin sedunia tanpa harus kehilangan sikap realistis.” Redaksi Nyala akan coba menanggapi ketiga opsi tersebut. Pilihan pertama untuk “mempertahankan ide ‘Indonesia’ sebagai entitas multikultural tanpa ada dominasi mayoritas” adalah kondisi status quo sebagaimana yang hendak dipertahankan mayoritas orang Indonesia sekarang. Revolusioner Islam memandang opsi ini sebagai ‘menunda kekalahan yang niscaya tiba’. Semakin lama ide ini dijalankan mungkin bisa memperpanjang nafas kestabilan dalam negeri Indonesia namun ide ini tidak relevan lagi manghadapi ancaman berskala besar yang datangnya dari luar negeri kita. Kami menyebutnya sebagai ancaman ‘asing’ daripada ancaman ‘bangsa asing’ karena rezim Globalisasi sendiri datangnya dari arah luar yang pastinya anasir asing bagi bangsa kita namun tidak berwujud sebagai ‘bangsa’. Kondisi negeri kita akan semakin kelam saat menjalankan opsi pertama ini tanpa tahu apa yang harus diperbuat untuk mencegah kehancuran sistematis kultur bangsa kita yang berujung kepada perbudakan lalu kepunahan kita. Naudzubillahi min dzalik! Pilihan kedua untuk “reka ulang ide ‘Indonesia’ menjadi milik umat Islam semata” tentunya bukanlah pilihan untuk ditawarkan kepada ‘seluruh bangsa Indonesia’, melainkan hanya terbatas untuk ditawarkan kepada golongan Islamis sendiri sambil secara bijaksana melakukan asimilasi untuk terus memperbesar persentase pendukung Islamis diantara rakyat Indonesia. Pergerakan Revolusi Islam Nusantara sendiri pada dasarnya sedang menyemaikan visi ini di kalangan pemuda Islamis Indonesia sebagai bagian dari pendidikan politiknya. Ide ini tidak bisa menjadi opsi referendum seluruh ‘bangsa Indonesia’ melainkan secara otomatis menjadi ide independen bagi kaum Islamis sendiri. Secara progresif kami telah mengolah ide ini dengan penemuan kembali core identity Nusantara sebagai ‘pribumi muslim’. Konsep keindonesiaan yang ada sekarang terlalu rapuh untuk bisa menerima opsi kedua ini sehingga mengandung risiko disintegrasi yang pada muaranya ‘lebih memperlemah bangsa ini di saat kekuatan potensial pribumi muslim belum sempat memperkuat diri’. Saat NKRI mengalami disintegrasi lebih cepat daripada kemampuan Islamis Indonesia memperkuat diri itu artinya mempersulit maksud upaya kita menyelamatkan ras bangsa ini dari angkara globalisasi. Perjuangan kita ikut dirugikan oleh terlalu cepatnya negara Indonesia bubar. Kita tidak boleh begitu saja kehilangan modal besar negara merdeka karunia Allah Yang Maha Kuasa ini. NKRI yang terpecah ke dalam unsur primordial sekuler pasti lebih mudah untuk dilumat rezim Globalis satu demi satu. Setelah divide usai, pasti tahap impera tiba. Dan terakhir ialah opsi “merumuskan ide baru yang ‘melampaui Indonesia’ dan lebih dekat pada cita-cita persatuan kaum Muslimin sedunia tanpa harus kehilangan sikap realistis”. Opsi ketiga adalah pilihan kita yang tak mungkin diganggu gugat oleh sikap defaitis dan revisionis lagi. Beyond Indonesia alias Daulah Islam Nusantara adalah jalan revolusioner kita. Kita setuju dengan pemikiran penulis yang menyatakan: “ide radikal semacam ‘Negara Islam Melayu Raya’ dapat menjadi jembatan antara realitas negara-bangsa yang ada hari ini dengan ide sejenis ‘khilafah Islamiyah’ yang walaupun ideal namun masih terkesan utopia.” Konsolidasi kekuatan pribumi muslim di Nusantara adalah jawaban ekuivalen kita atas ancaman rezim globalisasi. Rezim Globalis walau secara natural bersifat mendunia namun dalam operasionalnya mereka ini harus memecah diri ke dalam regionalisasi demi efisiensi kerja kapitalisme yang selalu mereka tekankan. Regionalisasi rezim Globalis di Asia Tenggara menjadikan kekuatan asing ini setara sebangun (simetris) dengan kekuatan regional yang sedang revolusioner Islam bangkitkan di Nusantara. Dalam hal ini kesempatan kita adalah fifty-fifty dalam memenangkan pertarungan agung ini. Bangsa kita pernah dengan segenap kecerdasannya membaca dengan kalam Tuhannya sebuah kondisi vacuum of power dalam sejarah demi kesempatan proklamasi kemerdekaannya. Maka kaum Islamis juga percaya kita akan mampu membaca sebuah kesempatan yang sama dalam sejarah untuk menghantam Globalisasi pada their weakness period, atau kondisi terlemahnya. Persoalan Pancasila bagi kaum Islamis sudah ditanggulangi dengan sebuah segregasi politik. Kita menetapkan posisi Pancasila di hadapan ideologi Islam yang kita anut dengan sebuah penyimpulan independen yang tak perlu lagi dicampuri konsensus nasional. Bahwa Islamis bukanlah golongan Nasionalis, dan Islamis akan selalu berideologi Islam sampai kapanpun. Pancasila adalah sebuah perjanjian an sich, sebuah perjanjian luhur bangsa yang tidak bisa disulap menjadi ideologi, apalagi sampai menggantikan ideologi Islam yang Islamis anut sejak dulu. Mengenai ‘tantangan sesungguhnya untuk menegakkan syari’ah di bumi Indonesia dalam konteks kebangsaan adalah kuatnya dominasi paham sekuler mewarnai gagasan dan identitas kebangsaan Indonesia’, maka kita akan menjawab tantangan tersebut dengan menguji kekuatan dominasi paham Nasionalis sekuler itu sendiri. Dengan segregasi sosial politik yang kita lancarkan, kita akan membatasi diri untuk ‘tidak ikut mengambil peran’ dalam usaha Nasionalisme yang konteksnya netral agama. Kita akan buktikan kalau Nasionalisme yang netral agama tidak akan mampu mencegah kemunduran kultural Indonesia yang kini tampak semakin menjadi-jadi. Semua dekadensi kebudayaan yang melanda Indonesia harus kita persalahkan kepada kepemimpinan kaum Nasionalis sekuler demi untuk menggerogoti keyakinan rakyat kepada dominasi paham sekuler. Sambil, di sisi lain, memperkenalkan kebangkitan politik Islamis sebagai kekuatan alternatif baru yang layak didukung melalui dakwah dan tarbiyah tak kenal lelah. Kita tidak sedang ‘menghancurkan Indonesia’ namun langkah yang kita ambil adalah ‘membiarkan ide Indonesia hancur oleh dirinya sendiri yang koruptif’. Indonesia yang steril dari dominasi agama mayoritas terbukti tak akan mampu melawan kekuatan globalisasi yang ‘memiliki agenda tersendiri atas negeri ini’. Visi para revolusioner Islam ini tentunya bukan phobia yang dibuat-buat melainkan akan terbukti kebenarannya seiring dengan berjalannya waktu. Pada paragraf kedua sub-judul Tafsir Islami Pancasila dan Konteks Kebangsaan: “‘Bangsa Indonesia’ adalah sebuah entitas yang plural, yang terdiri dari berbagai elemen agama, etnis, ideologi, kelas sosial, dan sebagainya yang berbeda namun dipersatukan oleh perasaan ‘senasib sepenanggungan’ sebagai sesama penduduk negeri yang terjajah.” Bagi kami istilah ‘bangsa Indonesia’ tidaklah se-plural seperti terjemahan yang dipahami sekarang. Sumpah Pemuda 1928 bisa membuktikan fakta kami bahwa istilah ‘bangsa Indonesia’ selalu menunjuk kepada ras pribumi Nusantara. Dengan mengesampingkan unsur ‘non-pribumi’, perbedaan faktual diantara intra bumiputera hanyalah soal agama, dan ideologi politik. Perbedaan etnis (suku) tidak bisa dimasukkan dalam bingkai ‘multikulturalisme’ karena lebih cenderung kepada ‘monokultural’ yang menginduk pada identifikasi ras yang sama. Mengenai nasib unsur ‘non-pribumi’, mereka telah diberi kemerdekaan untuk menentukan sikap tanggapan atas inisiatif yang telah dilakukan para pemuda bumiputera demi mengintegrasikan golongan mereka ke dalam ‘bangsa Indonesia’ tanpa perlu mengubah ide dasar bahwa bangsa Indonesia itu pribumi. Ini bukti tiada tirani mayoritas dalam proses tersebut karena harmonisasi tetap bisa dicapai oleh relasi nyata mayoritas-minoritas. Tanpa disadari, perjuangan kemerdekaan Indonesia sesungguhnya telah mengambil ‘porsi rasialnya’ sendiri. Bukankah identifikasi ‘kulit sawo matang’ melawan ‘kulit putih’ menjadi tema sentral perjuangan saat itu? Bukankah bangsa kita menolak untuk dipimpin terus oleh seorang Gubernur Jenderal bule? Pada pokok penyimpulan, penulis menyatakan: “Dengan konteks yang demikian maka pilihan bagi umat Islam Indonesia sesungguhnya berkisar pada tiga alternatif: mempertahankan ide ‘Indonesia’ sebagai entitas multikultural tanpa ada dominasi mayoritas, melakukan reka ulang ide ‘Indonesia’ menjadi milik umat Islam semata, atau merumuskan ide baru yang ‘melampaui Indonesia’ dan lebih dekat pada cita-cita persatuan kaum Muslimin sedunia tanpa harus kehilangan sikap realistis.” Redaksi Nyala akan coba menanggapi ketiga opsi tersebut. Pilihan pertama untuk “mempertahankan ide ‘Indonesia’ sebagai entitas multikultural tanpa ada dominasi mayoritas” adalah kondisi status quo sebagaimana yang hendak dipertahankan mayoritas orang Indonesia sekarang. Revolusioner Islam memandang opsi ini sebagai ‘menunda kekalahan yang niscaya tiba’. Semakin lama ide ini dijalankan mungkin bisa memperpanjang nafas kestabilan dalam negeri Indonesia namun ide ini tidak relevan lagi manghadapi ancaman berskala besar yang datangnya dari luar negeri kita. Kami menyebutnya sebagai ancaman ‘asing’ daripada ancaman ‘bangsa asing’ karena rezim Globalisasi sendiri datangnya dari arah luar yang pastinya anasir asing bagi bangsa kita namun tidak berwujud sebagai ‘bangsa’. Kondisi negeri kita akan semakin kelam saat menjalankan opsi pertama ini tanpa tahu apa yang harus diperbuat untuk mencegah kehancuran sistematis kultur bangsa kita yang berujung kepada perbudakan lalu kepunahan kita. Naudzubillahi min dzalik! Pilihan kedua untuk “reka ulang ide ‘Indonesia’ menjadi milik umat Islam semata” tentunya bukanlah pilihan untuk ditawarkan kepada ‘seluruh bangsa Indonesia’, melainkan hanya terbatas untuk ditawarkan kepada golongan Islamis sendiri sambil secara bijaksana melakukan asimilasi untuk terus memperbesar persentase pendukung Islamis diantara rakyat Indonesia. Pergerakan Revolusi Islam Nusantara sendiri pada dasarnya sedang menyemaikan visi ini di kalangan pemuda Islamis Indonesia sebagai bagian dari pendidikan politiknya. Ide ini tidak bisa menjadi opsi referendum seluruh ‘bangsa Indonesia’ melainkan secara otomatis menjadi ide independen bagi kaum Islamis sendiri. Secara progresif kami telah mengolah ide ini dengan penemuan kembali core identity Nusantara sebagai ‘pribumi muslim’. Konsep keindonesiaan yang ada sekarang terlalu rapuh untuk bisa menerima opsi kedua ini sehingga mengandung risiko disintegrasi yang pada muaranya ‘lebih memperlemah bangsa ini di saat kekuatan potensial pribumi muslim belum sempat memperkuat diri’. Saat NKRI mengalami disintegrasi lebih cepat daripada kemampuan Islamis Indonesia memperkuat diri itu artinya mempersulit maksud upaya kita menyelamatkan ras bangsa ini dari angkara globalisasi. Perjuangan kita ikut dirugikan oleh terlalu cepatnya negara Indonesia bubar. Kita tidak boleh begitu saja kehilangan modal besar negara merdeka karunia Allah Yang Maha Kuasa ini. NKRI yang terpecah ke dalam unsur primordial sekuler pasti lebih mudah untuk dilumat rezim Globalis satu demi satu. Setelah divide usai, pasti tahap impera tiba. Dan terakhir ialah opsi “merumuskan ide baru yang ‘melampaui Indonesia’ dan lebih dekat pada cita-cita persatuan kaum Muslimin sedunia tanpa harus kehilangan sikap realistis”. Opsi ketiga adalah pilihan kita yang tak mungkin diganggu gugat oleh sikap defaitis dan revisionis lagi. Beyond Indonesia alias Daulah Islam Nusantara adalah jalan revolusioner kita. Kita setuju dengan pemikiran penulis yang menyatakan: “ide radikal semacam ‘Negara Islam Melayu Raya’ dapat menjadi jembatan antara realitas negara-bangsa yang ada hari ini dengan ide sejenis ‘khilafah Islamiyah’ yang walaupun ideal namun masih terkesan utopia.” Konsolidasi kekuatan pribumi muslim di Nusantara adalah jawaban ekuivalen kita atas ancaman rezim globalisasi. Rezim Globalis walau secara natural bersifat mendunia namun dalam operasionalnya mereka ini harus memecah diri ke dalam regionalisasi demi efisiensi kerja kapitalisme yang selalu mereka tekankan. Regionalisasi rezim Globalis di Asia Tenggara menjadikan kekuatan asing ini setara sebangun (simetris) dengan kekuatan regional yang sedang revolusioner Islam bangkitkan di Nusantara. Dalam hal ini kesempatan kita adalah fifty-fifty dalam memenangkan pertarungan agung ini. Bangsa kita pernah dengan segenap kecerdasannya membaca dengan kalam Tuhannya sebuah kondisi vacuum of power dalam sejarah demi kesempatan proklamasi kemerdekaannya. Maka kaum Islamis juga percaya kita akan mampu membaca sebuah kesempatan yang sama dalam sejarah untuk menghantam Globalisasi pada their weakness period, atau kondisi terlemahnya.
EVOLUSI SOSIAL ISLAM DAN PERGERAKAN KITA
Posted by Nyala on August 31, 2015 Saat mendengar kata ‘evolusi’ barangkali sidang pembaca akan langsung mengasosiasikan pikirannya pada perseteruan klasik dunia sains antara kaum creationist melawan evolutionist. Secara simplisistik perdebatan ini dilanjutkan dengan gambaran dikotomi bahwa manusia itu berasal dari proses evolusi kera atau bukan. Tentu istilah evolusi sosial akan mengundang tanya apakah sekarang Nyala menjadi pengikut evolusionis Darwin untuk disusupkan ke dalam lingkungan Islam yang terang-terangan merupakan pelanjut kaum kreasionis. Nyala sendiri secara tegas tidak menganut pemahaman evolusi biologis karena meyakini bahwa ‘missing link’ yang selama ini amat dicari para ilmuwan evolusi tidak akan bisa ditemukan karena memang tidak pernah ada. Namun kami tidak akan memperpanjang bahasan itu di sini karena memang bukan pokok bahasan tulisan kami kali ini. Penggunaan istilah evolusi di dalam teori yang akan Nyala sajikan berikut ini samasekali tidak ada hubungannya dengan evolusi biologis Darwin. Teori ini hanya berlaku di khazanah ilmu sosial karena faktor-faktor penentu di dalam ilmu sosial tidak seketat ilmu biologi molekular yang sangat disiplin dan exact. Namun demikian, baik bidang biologi maupun ilmu sosial ini hendak menggunakan term ‘evolusi’ yang sama maka keduanya tetap harus jujur pada pengertian evolusi itu sendiri. Seperti kita ketahui bahwa pengertian evolusi adalah perubahan yang dialami suatu subjek dari satu bentuk ke bentuk lainnya sedikit demi sedikit melalui sebuah tahapan yang lebih panjang waktunya. Perubahan tidak akan terjadi jika tahap demi tahap tersebut tidak pernah dilalui. Masyarakat muslim mengenal istilah ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai ‘persaudaraan’, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti ‘memperhatikan’. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Selama ini istilah tersebut terbagi menjadi ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah yang diartikan oleh banyak ulama sebagai persaudaraan seagama Islam, persaudaraan sebangsa bernegara, dan persaudaraan umat manusia. Diartikan begitu saja tanpa penjelasan lebih lanjut. Pembagian yang kita kenal sekarang hanyalah kategorisasi mati yang sangat kaku dan sulit diterapkan. Sudah menjadi panggilan nurani dan intelektual bagi pemuda revolusioner Islam seperti kita untuk melakukan penerjemahan ulang agar teori berharga ini bisa kontemporer dan mampu dioperasionalkan di dalam masyarakat Islam, khususnya bagi muslimin negeri kita Nusantara. Usaha ini tentu saja dilatari kesadaran bahwa betapa pergerakan sosial Islam yang ada sekarang sangat minim, kalau tak boleh dikatakan miskin, akan teori sosial. Pergerakan revolusi Islam yang sekarang sedang kita rintis ternyata juga membutuhkan banyak sekali pengayaan teori sosial dari para pemikir sosial Islam untuk diuji dan dijalankan. Sebagai suatu revolusi yang khas Islam maka konstruksi teori yang ditawarkan sebaiknya juga digali dari khazanah pengetahuan sumber-sumber Islam. Semoga panduan sederhana redaksi Nyala ini juga menggugah pemuda pelajar Islam Indonesia lainnya untuk ikut kontribusi memberikan pemikirannya demi memenangkan usaha-usaha yang menginginkan Syariat berdaulat di negeri kita. Selama ini doktrin lama kita hanya mengartikan ukhuwah Islamiyah sebagai persaudaraan sesama muslim. Persaudaraan sendiri harus diartikan sebagai prasyarat sebuah sistem sosial karena hasil akhir suatu ukhuwah adalah ummatan. Seorang revolusioner Islam seperti kita harus bisa menterjemahkan perihal ukhuwah itu melampaui anjuran yang selama ini berlaku bahwa ukhuwah hanya perangkat pembentuk individu shalih. Jika aktivitas ukhuwah dijalankan namun tidak menghasilkan ikatan umat maka yang tercipta hanyalah ajaran moral pergaulan seorang individu belaka. Dan ini harus dipandang tidak cukup bagi pergerakan Islam kita karena tidak memberi kontribusi apa-apa secara sosial. Dengan kata lain, persoalan keumatan sepi tidak terurus para muslimin. Seperti kita ketahui, di dalam doktrin Islam sebenarnya dikenal empat macam persaudaraan yang disarikan dari ayat suci Al Quran: 1. Ukhuwwah ‘ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. Al-Quran menyatakan bahwa: “Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya) kecuali umat-umat juga seperti kamu” (QS Al-An’am [6]: 38). 2. Ukhuwwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu. Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah seketurunan dan dengan demikian bersaudara. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat sabda beliau, “Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara.” 3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Dalam Al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti: o Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang berbicara tentang waris, atau keharaman mengawini orang-orang tertentu, misalnya QS Al-Nisa [4]: 23. o Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, sebagaimana bunyi doa Nabi Musa AS yang diabadikan Al-Quran Surah Thaha [20]: 29-30. o Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti dalam firman-Nya QS Al-A’raf [7]: 65. o Saudara semasyarakat, walaupun di dalamnya berselisih paham QS Shad [38]: 23. 4. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim. Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 10 “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.” Rasulullah SAW. bersabda, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah (wafat)-ku.” Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat Al-Quran. Mengenai ukhuwah ubudiyah bahwa kita bersaudara dengan makhluk-makhluk selain manusia seperti malaikat, jin, flora tetumbuhan, dan fauna, tidak bisa kita sikapi secara mukhalaf melainkan cukup dengan sikap pengakuan eksistensial. Bahwa makhluk-makhluk tersebut memang ada di sekitar kita, hidup sebagai realitas dunia, dan tidak mungkin kita sangkal. Semua konsepsi persaudaraan, baik itu seagama maupun yang jalinannya bukan karena agama ternyata cuma bisa dipahami oleh orang beriman tauhid. Sebab konstruksi tersebut merupakan petunjuk Allah yang wajib diimani lebih dulu sedari awal. Mereka yang tidak beriman tauhid tidak mempunyai bekal pengetahuan persaudaraan sehingga menjadikan segala perbedaan dengan dirinya sebagai biang perseteruan sehari-hari. Kebanyakan ulama kita menempatkan pengetahuan tentang persaudaraan ini hanya sebatas teori pergaulan yang dipakai untuk meningkatkan akhlak individu belaka. Pengajaran seperti itu menjadikan ayat-ayat ini bersifat statis, diamalkan secara serentak dalam satu waktu, dan tidak sistematis. Ini yang kami sebut pengajaran ini tidak memberi panduan secara sosial, khususnya buat umat muslim di Nusantara. Islamis revolusioner seperti kami meyakini bahwa ayat-ayat tentang ukhuwah adalah sebuah ‘cetak biru’ suatu sistem sosial yang disebut ummatan. Jika kita mampu mensistematikkannya, menyusunnya sebagai sebuah tahap-tahap relasi sosial, lalu memberlakukannya secara bertahap dan tidak lagi berlaku serentak dalam satu waktu, maka akan didapat sebuah petunjuk operasional bagaimana suatu umat terbaik di muka bumi bisa lahir. Tahap-tahap operasional itulah yang jika dirangkaikan akan membentuk rentang evolusi sosial. Kita perlu menambahinya dengan label Islam karena memang bersumber dari ajaran Islam dan hanya bisa diterapkan kepada sistem sosial yang beridentitas Islam. Itulah teori evolusi sosial Islam yang kita maksud. Persaudaraan Sesama Muslim / Ukhuwah Islamiyah (Diniyah) “…Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah…” QS Al Hajj [22]:78 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” QS Ali Imron [03]:103 Tidak perlu ragu lagi bahwa setelah kita masuk Islam maka segala pengertian tentang tauhid, tentang mukmin, dan penilaian Allah yang berdasar kadar ketakwaan adalah suatu universalitas. Tapi harus dipahami pula kalau ajaran universal itu sendiri hanya bersifat universal ide. Artinya hanya berlaku di dalam pikiran dan hati orang-orang beriman. Pengetahuan universal ini tidak berlaku dan tidak hadir di dalam benak orang-orang ingkar. Padahal eksistensi orang tidak beriman ini nyata di kehidupan sekitar kita. Dengan bekal pengetahuan universal ini, setiap individu muslim mulai memilah dan memilih realitas mereka. Melalui identifikasi persamaan dan perbedaan akan diperoleh kesimpulan bahwa ruang hidup mereka diisi orang-orang sesama muslim dan orang-orang yang tidak mengakui agama Islam. Persamaan sesama muslim ini jika dikembangkan lebih jauh akan mengubah kumpulan individu-individu muslim menjadi jamaah Islam. Ikrar untuk mengikatkan diri, yang biasanya dimulai dari sholat berjamaah lalu menjelma jadi jamaah sebuah masjid, adalah sistem sosial Islam pertama kita. Jamaah Islam atau society Islam ini bisa hadir di dalam himpunan sosial manapun. Di dalam etnis Jawa ada Jawa muslim, di dalam ras kita ada pribumi muslim. Di masyarakat Jepang yang mayoritas sekuler terdapat segelintir keluarga muslim Jepang. Masyarakat Eropa Barat pun yang sangat steril dari muslimin ternyata juga kedatangan imigran muslim dari dunia Arab, Turki, dan Pakistan dalam jumlah yang banyak. Hal terpenting bagi revolusioner Islam apabila society Islam telah terbentuk, tak peduli betapa kecil lingkupnya, harus dipertahankan eksistensinya mati-matian karena setiap society Islam adalah DIRI KITA! Mekanisme bertahan tersebut harus ditujukan kepada segala upaya pelemahan (declination), penghancuran atau pemusnahan (annihilation), maupun penguasaan oleh pihak lain (subjugation). Di dalam konteks keindonesiaan, society Islam juga secara mengagumkan memperoleh waktu yang cukup untuk melakukan konsolidasi yang panjang memanfaatkan kebebasan yang diberikan alam merdeka Republik Indonesia. Society Islam di Indonesia telah berhasil gemilang mengukuhkan dirinya secara sosial dan politik sebagai golongan Islam atau Islamis (Islamist). Secara ekuivalen sejak awal kemerdekaan, Islamis menjadi rival tangguh bagi kelompok Nasionalis dan kelompok Sosialis. Dengan diberangusnya golongan Marxis pada medio 1960-an maka kekuatan sosial politik di Indonesia kini praktis tinggal Nasionalis dan Islamis. Kesadaran sebagai Islamis di Indonesia ini yang akan kita pertahankan habis-habisan. Ideologi Islam tidak boleh hapus dari negeri Nusantara. Saat mendeklarasikan diri menjadi jamaah Islam, di saat itu juga kehendak aktif masing-masing individu muslim mengikatkan diri kepada ‘tali agama Allah’. Jadi bukannya ‘agama Allah mencari lalu membelit tiap-tiap individu muslim’ bagaikan sulur ajaib. Melainkan dengan kehendak bebasnya, setiap muslim mengikatkan dirinya kepada tali-tali agama Allah (Syariat). Sesama muslim tidak saling berangkulan untuk membentuk jamaah. Sehingga konstruksi ummat bukan muslim A berangkulan dengan muslim B, diteruskan dengan muslim C lalu tercipta ukhuwah Islam. Jadi bukan direct relation seperti itu. Mekanismenya adalah individu muslim A mengikatkan diri / berpegang pada tali Allah, muslim B berpegang pula pada tali Allah, demikian juga muslim C berpegang pada alat yang sama. Akhirnya si muslim A, B, dan C bersatu dalam society Islam paling sederhana setelah semuanya berpegang kepada tali Allah yang sama. Tanpa tali Allah (Syariat) sebagai alat pemersatu maka ukhuwah Islamiyah mustahil tercipta. Hal demikian dilakukan secara aktif lewat kehendak bebas tanpa paksaan dan didorong kesadaran iman. Tali Allah ini juga memiliki fungsi yang menakjubkan. Dengan hadirnya tali Allah sebagai unsur tersendiri maka relasi Islam ini dapat elakkan konflik mendasar yang biasa terjadi pada direct relation. Walau berpegang pada tali yang sama, namun persepsi atau alasan masing-masing pihak untuk berpegang pada tali Allah juga beragam. Saat muslim A mempersepsi tali Allah untuk kemudian berpegang kepadanya adalah independensi yang tak perlu dicampuri muslim lainnya. Demikian juga muslim B yang mungkin punya alasan lain waktu memutuskan untuk berpegang pada tali Allah ini. Yang penting semuanya berpegang pada tali Allah adalah prinsip ukhuwah intraumat Islam. Kita bisa lihat dalam kenyataan ada saudara kita yang berislam karena kelembutan yang terdapat di agama ini, namun sebaliknya kita juga bisa saksikan ada saudara kita yang berislam karena kekuatan agama ini dalam bertahan dari serangan lawan ideologisnya. Kemudian ada yang berislam karena menemukan keadilan di dalam Islam, dan ada juga yang berislam didorong penemuan harapan di tengah putus asa kehidupan. Perbedaan motif seperti ini bukanlah bahan pertentangan karena semua aspek yang seolah kontradiktif itu memang terkandung dalam ajaran Islam. Mekanisme macam ini redaksi nilai telah banyak mengurangi potensi konflik yang berpeluang muncul maupun menyediakan sarana islah bagi konflik yang masih tersisa. Direct relation punya banyak kelemahan dibanding ukhuwah Islamiyah. Pada relasi langsung A dengan B, kekurangan yang ada pada diri rekan langsung bisa jadi pemicu krisis hubungan tersebut. Tingkat kepercayaan bisa langsung drop hanya disebabkan persepsi si A kepada si B tidak seperti yang dia harapkan. Dalam khazanah ‘evolusi sosial Islam’, terbentuknya komunitas muslim menjadi society Islam ialah akibat dari kehendak aktif untuk mengikatkan diri menjadi jamaah. Terbentuknya society Islam di dalam himpunan sosial yang belum semuanya muslim adalah akibat dari usaha ukhuwah fi al-din Islam. Kami menyebutnya sebagai Evolusi Tahap Pertama / Fase I. Ukhuwah Wathaniyah wa an-Nasab Pada bahasan di atas disebutkan bahwa kehendak untuk mengikatkan diri dan agama Allah akan menghasilkan unit sosial Islam paling sederhana. Society Islam yang terbentuk di dalam himpunan sosial manapun merupakan ‘modal dasar bagi orang beriman tauhid untuk memulai dakwah’ atau menyebarluaskan ajaran Islam di himpunan sosial dia bernaung. Ini merupakan jalan pembuka bagi tahap evolusi sosial selanjutnya. Dalam doktrin usang ulama konservatif, kita dapati bahwa pengertian ukhuwah wathaniyah hanya diartikan sebagai persaudaraan sebangsa. Kemudian secara serampangan diartikan sebagai statehood atau kebangsaan formal yang ada sekarang. Padahal maksud sesungguhnya tidak demikian. Semakin identitas Indonesia dipakai ternyata semakin tidak sahih dalam merepresentasi arti wathan wa an-nasab. Pada tulisan sebelumnya, Nyala pernah tegaskan bahwa untuk menjadi Islamis kita harus yakin pada petunjuk Allah, menemukan identitas diri, mencurahkan segala sumberdaya sendiri, dan berlepas diri dari kooptasi golongan lain [baca: Identitas Semu Anti-SARA]. Dalam membahas perihal wathaniyah, revolusioner Islam secara berani akan membahas wacana yang kini amat dihindari manusia seluruh dunia, yaitu perihal ras. Mari kita simak beberapa ayat Al Quran yang berbicara soal bangsa. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Al Hujuraat [49]:13 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Ar Ruum [30]:22 Kedua ayat tersebut ditegaskan dengan akhiran “…Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” dan “…tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. Artinya persoalan mengenal dan memahami hakikat kebangsaan dan ras bersumber dari ilham yang dianugerahkan Allah kepada orang tertentu, dan terbuka atas pintu ijtihad. Hal ini sesuai dengan ranah ilmu sosial yang sedang kita bahas sekarang dan berbeda jauh dengan persoalan ilmu sains yang zakelijk / muthlaq yang Allah SWT tegaskan di dalam Al Quran dengan akhiran “…tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”. Kita tidak perlu takut dicemooh orang sedunia sebagai ‘rasis’ saat mengupas perihal wathan sebagai ras. Celaan seperti itu tak ada pengaruhnya bagi kemajuan pikiran maupun iman di hati kita selaku revolusioner Islam. Kita harus artikan wathan dan bangsa sebagai puak atau ras karena semuanya memiliki kaitan ikhwat atau jalinan darah. Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab dapat diterjemahkan sebagai jalinan persaudaraan berdasar ras dan darah karena cakupan saudara sedarah paling luas adalah ras dan yang terkecil adalah keluarga. Persaudaraan kemanusiaan, walaupun senyatanya cakupan sedarah paling luas tapi tidak bisa dijadikan sandaran karena tiada kesepakatan yang tunggal. Kita yang muslim dan para ahlul kitab meyakini kita berasal dari ayah Adam AS yang sama, namun manusia lain yang atheis atau agnostik tidak punya persetujuan yang sama akan hal ini. Darah sendiri adalah pengertian awam yang dapat secara fleksibel mengikuti perkembangan sains manusia. Dengan ditemukannya sains mikrobiologi maka penjelasan soal ‘darah’ atau nasab bisa di-qiyas-kan ke dalam sistem genetika yang lebih kompleks. Mengupas soal persaudaraan wathaniyah wa an-nasab dengan wacana ras, etnis, dan keluarga lewat analisis genetika menjadi lebih sahih dibanding mengupasnya dengan persoalan kebangsaan formal (statehood). Struktur genetika adalah realitas ciptaan Allah yang melekat pada diri tiap makhluk hidup kompleks. Mengungkap rahasia sel dan gen menjadi ikhtiar bagi setiap hamba beriman untuk membuktikan kebesaran penciptaan Allah SWT. Sayangnya umat manusia sedunia kini sangat takut dengan risiko politisasi ilmu genetika dalam sejarah manusia dan sangat enggan menghadapi konsekuensi pembedaan ras yang sejatinya sangat netral ilmiah. Pengalaman traumatik yang terekam di dalam sejarah tersebut kemudian dilawan dengan senjata politik yang sama berupa koreksi politis (political correctness). Rezim Globalis yang kini menjadi pengusung humanisme akan menjebeloskan setiap wacana yang berasal dari sains genetika manusia ke dalam penjara ide dan mengkriminalisasikannya dengan label ‘rasisme’. Para humanis berwajah manis ini seketika bisa berubah sikap menjadi algojo berdarah dingin saat mengganjar mereka yang ‘melanggar’ batas ini menggunakan instrumen poltik, ekonomi, dan sosial yang skalanya tak terbayangkan. Globalisasi akan memaksakan kehendak humanisme. Apakah kita akan mengingkari kebesaran ciptaan Allah melalui sel dan gen hanya karena manusia sedunia mengecamnya sebagai rasisme? Revolusioner Islam seperti kita pasti tahu apa jawaban pantas yang akan kita berikan. Kembali ke soal evolusi sosial, perihal persaudaraan sebangsa atau wathaniyah tidak bisa dilepaskan dari kondisi yang dicapai tahap sebelumnya di Fase Pertama. Membentuk society Islam di dalam suatu unit sosial bukanlah nilai final. Dakwah masih harus dilanjutkan dan diperluas pengaruhnya melalui basis bangsa (ras). Mengapa harus berbasis ras? Ada beberapa alasan yang bisa redaksi kemukakan: Pertama, ras adalah relasi kekerabatan ciptaan Allah SWT dan bukannya konstruksi imajiner buatan manusia sebagaimana sering kita dengar. Tiap bangsa (ras) manusia punya perbedaan kode genetik di dalam tubuhnya yang mustahil dirancang manusia apalagi sengaja dibentuk dari, oleh, dan untuk keuntungan manusia tertentu. Kedua, dalam ajaran Islam kita ketahui bahwa Allah mengutus pesuruh-Nya (nabi dan rasul) berdasar ras dan menilai kadar penerimaan atau kedurhakaan suatu kaum terhadap risalah-Nya berdasar pertimbangan lingkup ras pula. Semakin suatu ras manusia menerima agama Allah, yang ditandai dengan semakin bertambahnya persentase pemeluk agama tauhid, maka kegiatan dakwah bisa dinilai berhasil. Contoh konkritnya ialah nabi Yunus (Jonah) AS yang mentauhidkan bangsanya justru saat sedang meninggalkan mereka. Kemudian Rasulullah SAW yang sukses pula mengislamkan ras Arab lebih dulu sebelum menyebarluaskan Islam keluar jazirah Arabia. Sedangkan contoh dakwah yang gagal, yang cuma mendapatkan pengikut risalah tauhid sangat minim di dalam sebuah ras adalah ukuran sahih untuk menilai kedurhakaan dan jatuhnya azab yang ditetapkan. Tentu kita heran mengapa azab yang dijatuhkan Allah untuk menghukum sebuah ras bisa telak menghabisi ras tersebut. Saat nabi kita Nuh AS berdoa kepada Allah mengadukan rasnya yang mendustai ajaran tauhid maka azab itu datang melanda seluruh kaum Nuh tanpa kecuali. Demikian juga saat nabi Hud dan nabi Shaleh berdoa mengadukan hal yang sama. Azab Allah jatuh tepat memusnahkan ras Tsamud dan Ad tanpa mengganggu keberadaan manusia ras lainnya yang berada di belahan bumi lain. Ketiga, basis ras tidak menyalahi faktor internal sebuah peradaban terbentuk. Basis ras adalah posisi paling netral dan fair tanpa merenggut kebebasan berpikir dan bertindak manusia di dalamnya karena ras hanyalah perwujudan bentuk fisik belaka. Sebuah pohon jeruk harus tumbuh dari biji jeruk, harus berfotosintesis dengan daun jeruk, mengandung asam jeruk/sitrat, dan menghasilkan buah jeruk. Segala hal yang bukan unsur jeruk di dalam pohon jeruk malah mengganggu kealamian tumbuhan tersebut. Ketika pribumi muslim seperti kita berdakwah kepada ras kita sendiri yang belum memeluk Islam tentu hal ini bukanlah gangguan atas kehidupan pribumi Nusantara. Kegiatan seperti ini nyatanya adalah interaksi pokok yang berlangsung terus menerus dalam peradaban kita sendiri. Tingkat penerimaan dakwah pun akan lebih berterima semenjak para pelaku dakwah maupun yang didakwahi adalah manusia dari ras yang sama. Tingkat kepercayaan diantara saudara sebangsa, satu wathan wa an-nasab, merupakan bentuk kepercayaan yang paling murni berlaku di dalam suatu bangsa (ras). Dakwah seperti ini akan bebas dari hambatan xenophobia, kecurigaan intervensi bangsa lain, maupun tuduhan maksud imperialisme bangsa lain. Pertimbangan akal logika dapat langsung dijalankan menilai isi pokok ajaran tauhid tanpa hambatan prasangka di atas. Apa yang harus kita jalankan terhadap ras kita? Petunjuk Allah yang mengatur relasi sebuah bangsa (ras) di dalam Syariat Islam pada dasarnya bersifat universal atau bisa dijalankan oleh ras manapun. Bagi kita selaku pribumi Nusantara, bangsa Melayu ini harus memegang teguh perintah Allah SWT yang secara garis besarnya sebagai berikut: • Jangan bunuh dan jangan usir dirimu (Al Baqarah [02]:84) • Damaikan saudaramu yang bersengketa (Al Hujuraat [49]:10) • Menolong saudaramu yang menganiaya dan teraniaya (HR Bukhari) • Tegakkan keadilan (An Nisaa [04]:105) Para ulama mufasir bersepakat bahwa arti dirimu dalam surat Al Baqarah ayat 84 di atas maksudnya bangsa ras kita sendiri. Membunuh dan mengusir bangsa kita sendiri tanpa alasan yang dibenarkan agama kita adalah tergolong perbuatan dzalim yang dimurkai Allah. Adapun perbuatan membunuh dan mengusir yang haq berdasar agama juga masih harus disaring lagi, yaitu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin umat. Dalam hal ini membutuhkan otoritas keumatan dan tidak bisa dilakukan berdasar inisiatif individu muslimin. Arti membunuh dan mengusir ras kita sendiri (Melayu) yang berdasarkan koridor kebenaran hanya bisa ditujukan kepada pribumi yang menghalangi usaha penyatuan ras kita (para pengkhianat), dan mereka yang mengingkari janji syahadat kita (para murtadin). Sekali lagi, keputusan hal serius tersebut hanya bisa dilakukan oleh pemimpin umat Nusantara yang diamanahi dan diputuskan setelah melalui sidang pengadilan yang dipimpin seorang Qadhi (hakim Syariat). Kondisi seperti ini belum dimiliki umat Islam negeri kita dan sedang kita usahakan perwujudannya melalui Revolusi Islam Nusantara yang tengah kita perjuangkan sekarang. Perintah Allah kepada bangsa kita terutama yang muslim adalah berusaha keras untuk mendamaikan ras kita yang bersengketa. Proses untuk mendamaikan ras bangsa kita yang bersengketa tak lain dan tak bukan ialah islah. Dan metode islah yang paling ampuh menurut redaksi Nyala adalah the sense of unity atau kehendak untuk bersatu. Tidaklah pantas sebuah ras pribumi Nusantara seperti kita bertikai padahal masih satu keyakinan, yakni Islam. Pribumi atau bumiputera Nusantara tidak boleh berpecah belah atas nama organisasi, firqah, mazhab, marga (klan), suku (ethnic), maupun ashabiyah (statehood). Wathan alias rumpun puak atau ras adalah pilihan persatuan terdekat paling mulia yang bisa diraih karena pembagiannya diciptakan langsung oleh Allah SWT. Agar persatuan ras bisa terwujud juga harus didorong secara spiritual oleh kehendak untuk bersatu. Islah terbaik yang bisa dijalankan kaum revolusioner Islam Nusantara tentunya ialah mencegah perpecahan diantara manusia yang tergolong ras kita, mendorong usaha penyatuan beridentitas ras, dan memelihara perdamaian di dalam naungan ras dengan penegakan keadilan. Dalam usaha ini, persatuan lain yang tidak berdasar ras (seperti multikulturalisme) harus kita pandang tidak ideal karena pasti menjadi bibit-bibit sengketa dan perpecahan. Kita harus bisa terangkan bahwa persatuan berdasarkan aliran firqah, mazhab, dan organisasi sosial cuma bersifat penyatuan ide sesaat. Demikian juga persatuan berdasar keluarga (trah), marga, suku (tribe / ethnic), walaupun dibangun berdasar ikatan darah atau an-nasab namun lingkupnya masih terlalu kerdil dan sempit untuk memberi arti sesungguhnya. Persatuan tersebut harus diperluas ke titik yang juga diridhai Allah SWT, yakni wathan atau ras. Dari hadits nabi, “Tolonglah saudaramu, baik ia orang yang menganiaya maupun yang dianiaya”. (HR Bukhari). Arti dari kalimat menolong saudaramu yang menganiaya adalah menghentikan dia dari segala perbuatan penganiayaan yang tengah dia lakukan. Dalam konteks perintah Allah kepada ras pribumi Nusantara, kita harus bisa menghentikan segala aktivitas penganiayaan yang berlangsung di dalam kehidupan ras bangsa kita sendiri. Menyatakan penentangan atas perbuatan aniaya tidak harus dilakukan secara hitam-putih dengan beralih pihak menjadi oposan aktif (changing side). Perbuatan seperti itu walau dimaksud kebaikan akan tetapi dipastikan dapat berakibat menghancurkan bangunan dimana dia bernaung. Menghentikan penganiayaan sambil memutus tali persaudaraan langsung tak ubah seperti perpecahan pada lazimnya. Tidak ada naungan masyarakat yang mampu bertahan atas pertentangan seekstrim itu. Menolong saudaramu yang menganiaya adalah formula Islam untuk menghentikan penganiayaan tanpa menghancurkan naungan masyarakat. Kaum revolusioner Islam dapat menghentikan perbuatan aniaya tanpa memutus ikatan ukhuwah, khususnya ukhuwah wathaniyah wa an-nasab kita. Hasilnya jelas, yaitu berhentinya aktivitas penganiayaan tanpa merusak keutuhan persatuan ras bangsa kita sendiri. Dengan petunjuk Syariat ini, kita akan menjelma jadi ras yang berhasil menghentikan perbuatan aniaya diantara pribumi Nusantara sendiri. Istilah ‘saudara kita yang menganiaya’ dalam identifikasi modern ilmu sosial dapat dikenali berupa kaum elit yang biasanya berisi kelas borjuasi yang menerapkan sistem penindas yang diberlakukan kepada kaum dhuafa bangsa sendiri. Formula analisis kelas yang pernah ditawarkan kaum Sosialis-Marxis sambil tetap menjaga keutuhan bangsa tentunya mustahil untuk diterapkan. Cara pandang kaum kiri yang fatalistik hitam-putih, yang mengorganisir kelas proletar untuk melawan kelas borjuasi penindas tanpa peduli persatuan kebangsaan ras tentu amat berbahaya bagi ukhuwah wathaniyah kita. Pertarungan brutal antarkelas yang terjadi di internal kebangsaan ras tentu akan menghancurkan naungan sosial kebangsaan ras itu sendiri. Ada batasan bagi seorang revolusioner Islam untuk melakukan penentangan aktif terhadap kedzaliman namun tanpa merusak persatuan yang dibangun melalui ikatan ukhuwah. Kaum Islamis ingin menyelamatkan ras pribumi dengan jalan Islam dan tidak ingin menjadikan rumah Nusantara ini hancur akibat pertarungan antarkelas tanpa akhir demi sebuah utopia proletar internasional. Perihal penegakan keadilan di dalam kehidupan sebuah unit sosial merupakan sesuatu yang tidak perlu ditawar lagi. Keadilan yang diterapkan oleh pemimpin adalah satu pokok dari 4 pilar umat. Namun perlu diingat bahwa penegakan keadilan merupakan kewajiban utama sang pemimpin. Artinya merupakan beban tersendiri bagi seorang pemimpin. Hal ini tidak perlu dipusingkan oleh mereka yang dipimpin atau kawula. Orang-orang yang dipimpin hanya diberi hak untuk menuntut keadilan kepada sang pemimpin. Sebaliknya, bagi mereka yang diberi beban amanah kepemimpinan oleh sekumpulan manusia tertentu maka dia bertanggung jawab atas penegakan keadilan di dalam unit sosial tersebut. Mengapa pemimpin ras pribumi muslim ini harus menegakkan keadilan di dalam kekuasannya? Sekali lagi jawabannya ialah persatuan itu sendiri. Sense of unity tak mungkin tercipta tanpa dipelihara menggunakan berlangsungnya keadilan di dalam persatuan tersebut. Tanpa atmosfer keadilan ilahiyah, yang tercetus dalam benak anggota kelompok yang kecewa hanyalah keinginan untuk memisahkan diri atau separatisme. Yang perlu para revolusioner Islam camkan ialah soal penegakan keadilan itu merupakan persoalan prerogatif, sebuah previlege, sebuah anugerah sekaligus kutukan buat sang pemimpin. Mereka yang berposisi sebagai kawula tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan ini selain menuntutnya menggunakan sense of justice dan kedisiplinan menjalankan keputusan yang telah ditetapkan. Sedangkan standar keadilan yang kita pakai ialah hukum Allah sehingga kita secara tegas tidak mengakui konsepsi keadilan selain Syariat. Kita tidak akan menerapkan keadilan gaya humanisme, HAM, atau multikulturalisme karena niscaya merugikan ras dan keyakinan agama kita. Kita tahu bahwa rezim Globalis yang kini merasuki sistem pendidikan Indonesia selalu menuntut kesetaraan di segala bidang kehidupan sebagai manifestasi keadilan. Yang kita dapati sekarang malah kekacauan luar biasa melanda rakyat kita saat equality tampil menggantikan sistem keadilan kita. Equal di segala bidang justru jadi biang keladi macetnya seluruh sistem sosial kita. Revolusioner Islam harus melawan kondisi ini habis-habisan dengan konsep keadilan sesungguhnya. Kita akan buang semua sampah equality dan bawa kembali justice. Pejuang Islamis harus bisa menghadirkan kembali justice ke tengah kehidupan pribumi negeri ini, yaitu berupa keadilan ilahiyah yang terkandung dalam Syariat. Yang perlu dipahami sekarang, semakin tajam sense of justice maka semakin kuat sense of unity muslimin Nusantara. Itulah seutas benang merah antara keadilan dengan persatuan yang bisa redaksi Nyala tunjukkan. Akhirnya ukhuwah wathaniyah wa an-nasab inilah ukuran sesungguhnya tentang suksesnya sebuah kegiatan dakwah Islam yang dijalankan terhadap suatu bangsa ras manusia. Membentuk society Islam di dalam intra sebuah unit sosial ternyata bukanlah nilai final. Mengasimilasi bangsa sendiri menjadi muslim seluruhnya atau minimal mayoritasnya tunduk kepada hukum Allah adalah Evolusi Tahap Kedua atau Fase II. Memenangkan Islam di dalam wathan kita dan mempersiapkannya untuk fase persaudaraan berikutnya menjadi tugas mulia para revolusioner Islam Nusantara. Ukhuwah Basyariyah / Insaniyah Ukhuwah basyariah sering diartikan langsung sebagai persaudaraan antarmanusia atau malah diartikan sebagai kemanusiaan itu sendiri. Pertanyaan mendasarnya sekarang benarkah ukhuwah basyariyah yang dikonsepkan Islam itu samadengan kemanusiaan yang sekarang berlaku? Kita boleh teliti beberapa ayat Quran berikut: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Al Hujuraat [49]:13 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Adz Dzaariya [51]:56 Pemahaman bahwa kita adalah umat manusia yang satu karena berasal dari satu ayah yang sama, Adam AS lalu statusnya sebagai makhluk mukhalaf yang punya kebebasan berkehendak, serta tujuan penciptaan kita untuk beribadah ialah pengetahuan yang kita dapat langsung dari wahyu atau intepretasi akal kita terhadap wahyu Allah yang sampai kepada kita. Artinya tanpa didahului dengan wahyu, Islamis seperti kita tidak bisa mendapat penyimpulan berharga ini. Tanpa turunnya wahyu, kita niscaya takkan pernah mengenal konsep persaudaraan sesama manusia. Bagaimana dengan manusia lain yang mengenali kemanusiaan lewat jalan beda, yakni lewat falsafah humanisme? Humanisme digali dari pengalaman empirik dan konstruksi logika. Di dalamnya sedikit sekali bahkan seringkali tidak memberi ruang buat sosok Tuhan untuk ikut membantu pembentukan ide tersebut. Pemahaman humanisme yang sekarang beredar selalu diakui sebagai murni dari produk akal manusia. Sifatnya yang sekularistik tersebut berseberangan dengan pemahaman ukhuwah basyariyah kaum Islamis yang dilatari oleh iman tauhid. Dua pemahaman yang beda asal-usul ini mustahil disatukan ke dalam sebuah konstruksi tunggal yang bisa dijadikan rujukan seluruh manusia. Ukhuwah basyariyah pasti berbeda dengan konsep humanisme. Dia berbeda sejak awal dari segi asal-usul, maksud, dan tujuan. Humanisme tidak dibentuk sebagai maksud ketertundukan terhadap kedaulatan Allah SWT atas manusia. Humanisme dibuat untuk membebaskan manusia dari segala belenggu, termasuk belenggu kekuasaan Allah atas manusia. Tujuan ukhuwah basyariyah untuk mendekatkan diri, menyerahkan diri atau total surrender kepada Allah, sedangkan tujuan humanisme ialah pembebasan diri dari Allah alias pemberontakan diri manusia atas kekuasaan Allah. Maksud ukhuwah basyariyah ialah untuk mensucikan dan memuliakan manusia dalam konstelasi relasi pencipta dan makhluk ciptaan-Nya. Sedangkan maksud humanisme ialah maksud kosong yang hendak menyerahkan manusia kepada individualisme, perturutan hawa nafsunya sendiri. Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa ukhuwah basyariyah ini sama, sejalan, dan sebangun dengan humanisme? Revolusioner Islam seperti kita tentu akan menjawab: tidak sama! Bagaimana bisa sebuah konsep yang mengabaikan wahyu bisa menghasilkan kesimpulan sama dengan mereka yang mengilhami konsepnya dari wahyu ilahiyah? Apakah akal manusia bisa mengambil jalan pintas pengetahuan yang harusnya didapat dari pembacaan wahyu sehingga hanya dengan mengandalkan kecerdasan akal, kita sesungguhnya tidak butuh penyampaian wahyu? Mengakui hal demikian malah tampak seperti sedang melawan eksistensi agama Islam sendiri. Kita berprinsip bahwa selalu ada keterbatasan nalar manusia atas segalanya. Dari penjelasan singkat di atas, lalu bagaimana kita membangun ukhuwah basyariyah sesungguhnya agar tidak sesat dalam pergerakan humanisme? Pertama, kita harus melakukan konstruksi sosial atas wahyu yang berkaitan dengan ukhuwah basyariyah. Langkah ini berguna sebagai wacana tandingan atas konsepsi kemanusiaan yang tidak bersumber kepada aspek ketuhanan. Menyiapkan wacana tandingan yang setara untuk dihadapkan secara vis a vis dengan segala manifestasi kekufuran ialah tugas para revolusioner Islam. Memenangkan argumen Islam dalam setiap perdebatan menjadi ekspansi dakwah yang sangat dibutuhkan oleh kebudayaan pribumi muslim Nusantara. Konstruksi sosial atas ukhuwah basyariyah seharusnya bukan lagi membicarakan kemanusiaan sebagai nilai moral. Kita harus berani membuang semua khurafat tentang moral bangsa di jaman dekadensi sekarang. Secara sosial yang disebut sebagai moral bangsa praktis tidak pernah ada. Moralitas adalah murni sebagai panduan individu dan tidak punya kemampuan untuk berlaku di ranah sosial. Moral mungkin bisa menilai sesuatu namun ia tak berdaya untuk melakukan sesuatu dalam masyarakat. Ruang sejarah manusia tidak diisi dengan pertimbangan ide siapa yang paling mulia atau paling tinggi nilainya diantara manusia lain, melainkan diisi oleh kehendak siapa yang paling cepat mengorganisir dirinya menjadi sebuah sistem untuk dijalankan. Apabila kita hendak membangun konstruksi sosial atas ukhuwah basyariyah maka kita harus berpikir soal rule of law di dalam masyarakat. Dan wujud rule of law paling pas bagi seorang Islamis ialah perwujudan Syariat Islam itu sendiri terutama aspek hukum publiknya. Ukhuwah basyariyah atau persatuan umat manusia sejati baru bisa terwujud bila diawali oleh sebuah penyatuan spiritual. Sekali lagi, penyatuan spiritual dan bukan persatuan spiritual. Penyatuan spiritual seperti apa? Bahwa setiap manusia di seluruh penjuru dunia mengakui dirinya adalah hamba Allah dan secara nyata mengakui tunduk kepada hukum Allah atau Syariat Islam. Tanpa penyatuan spiritual tauhid lebih dulu, manusia mustahil menyatukan ide kemanusiaannya. Kedua, sosok yang diberi kewenangan untuk menyatukan umat manusia dalam ide kemanusiaan sejati haruslah manusia istimewa yang dipilih oleh Allah sendiri. Dan tugas mahaberat itu hanya dibebankan kepada sang ahlul bayt. Tugas sang ahlul bayt atau keturunan Rasullulah SAW selain menjadi penjaga fisik rumah Allah Ka’bah ialah tugas menjaga aspek spiritual umat manusia agar senantiasa hanif. Dan ahlul bayt yang telah dijanjikan itu adalah sang Mahdi allaihi salam itu sendiri. Beliaulah yang diutus guna menyatukan umat manusia di bawah panji Islam dan menjadi khalifah dunia. Itulah era kedaulatan kemanusiaan sesungguhnya yang paling berhasil. Kaum Islamis pribumi Nusantara seperti kita, setelah menyadari kedudukannya selaku ras ajam, tentunya bisa memilah dan memilih mana yang menjadi prioritas dalam usaha revolusi Islam kita. Membatasi diri untuk tidak mengambil alih tugas yang dibebankan kepada para ahlul bayt karena tugas kita sendiri paling utama adalah mempersiapkan bangsa ras pribumi melayu Nusantara ini sebagai ras yang tunduk kepada Syariat Islam seluruhnya lebih dulu. Menjadikan ras kita sebagai wathan yang siap menjadi main supporter bagi kekhalifahan sang Mahdi, Muhammad ibnu Abdullah, dengan mempersiapkan negeri Nusantara sebagai Daulah Islamiyah tempat bernaungnya kebudayaan Islam. Inilah yang redaksi Nyala maksud bahwa ukhuwah basyariyah sebagai roadmap to world’s caliphate, peta jalan mencapai kekhalifahan dunia. Sebenarnya ada empat ras besar yang berpeluang menjadi pendukung kekhalifahan dunia jika dihitung dari jumlah persentase pemeluk Islam berbanding jumlah populasinya. Ras Arab berhasil diislamkan sejak masa Rasulullah lalu menyebar keluar jazirah Arabia hingga Afrika Sahara. Sayangnya ras Arab sekarang sangat terpecah ke dalam banyak ashabiyah negara kesukuan dan klan. Ras Arab masih harus mengatasi pergulatan antara Islam atau Pan-Arabisme sekular, atau justru terseret ke dalam integrasi globalisasi. Ras Parsi secara mengagumkan juga berhasil dalam menyebarkan syiar Islam ke dalam rasnya yang sebelumnya beragama Majusi, dan berhimpun di dalam satu bendera negara Iran yang berpemerintahan Islam. Namun Persia agak terasing dari pergaulan muslimin Sunni karena aliran yang mereka anut tergolong Syiah. Yang berikutnya adalah ras Turki yang kini hampir seluruhnya beragama Islam setelah sebelumnya beragama Nasrani selama kekuasaan Romawi Byzantin. Turki pernah jaya sebagai sebuah imperium Islam walaupun sekarang hidup dalam naungan negara republik sekular. Sebagaimana Persia, ras Turki tidak pernah terpecah dalam banyak ashabiyah dan dinilai berhasil untuk tetap berhimpun dalam satu negara. Dan ras terakhir adalah ras kita sendiri yaitu Melayu. Dakwah Islam terhadap ras Melayu telah menghasilkan posisi sebagai mayoritas. Tapi usaha tersebut masih harus disempurnakan untuk terus mengajak minoritas ras sebangsa yang belum tunduk kepada Islam. Patut disayangkan bangsa kita ini juga masih terpecah ke dalam beberapa ashabiyah negara, belum pernah disatukan dalam satu bendera, dan belum pernah hidup di bawah pemerintahan bersendi Syariat. Dari penjelasan tersebut, akhirnya dapat kita tarik kesimpulan bahwa wacana kemanusiaan sejati atau Evolusi Tahap Akhir adalah wacana near future, wacana yang niscaya segera tiba tapi bukan untuk hari ini. Wacana masa depan yang tidak bisa diseminasi di jaman ini mengingat kompleksitas permasalahannya yang sering menjadikan penganutnya keliru dalam meraba maupun memutuskan. Kita tidak akan membuang-buang sumberdaya kita, tidak akan menjadikan waktu berharga kita sia-sia untuk membangun usaha kemanusiaan seluruh dunia yang sesungguhnya prematur berlaku di jaman ini. Definisi kemanusiaan menurut Islam tidak akan pernah sesuai dengan definisi kemanusiaan yang dipropagandakan humanisme, Hak Asasi Manusia, atau multikulturalisme. Takkan pernah! Dialog yang intensif pun niscaya hanya akan menegaskan kesimpulan yang sama bahwa kehendak Islamis itu beda. Kita sendiri bisa menyaksikan kalau isu kemanusiaan ala humanisme dan HAM penuh dengan bias kepentingan para pengusungnya. Islamis boleh skeptis terhadap isi humanisme yang disodorkan kepada kita dan mencurigai subjek pengusungnya karena isu kemanusiaan sekarang telah dilepaskan dari kepentingan dienullah melalui proses sekularisasi di dalamnya. Apabila ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang sebelumnya kita bahas membutuhkan kehendak aktif subjek, maka untuk ukhuwah basyariyah justru berlaku sebaliknya yaitu membutuhkan kehendak pasif Islamis. Soal penyatuan umat manusia, kita harus pasif menunggu inisiatif dan keberhasilan yang diraih oleh para ahlul bayt selaku pengusung utama tugas suci tersebut. Hal paling logis yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan segalanya agar bangsa ras kita bisa tunduk kepada Syariat lalu mempersembahkan Daulah Islam Nusantara kepada khalifah agung melalui baiat suci bangsa kita. Muslimin pribumi Nusantara tidak akan berbaiat secara perorangan atau individual seperti yang sudah-sudah. Kita akan berbaiat kepada Mahdi sebagai satu wathan yang tunduk kepada hukum Allah SWT seluruhnya. Itulah ikrar para revolusioner Islam seperti kita. Pada grafik ruang 3D berikut ada tiga tahap evousi sosial: Pertama, setiap individu muslim membentuk jamaah dengan mengikatkan diri kepada ‘tali Allah’ atau Syariat. Tali Allah dipegang amat kuat oleh kehendak masing-masing individu tanpa pengaruh individu lain. Jadi bukan saling mengikatkan diri sebagaimana persatuan model lain yang terbukti rentan kecemburuan antar-anggota. Hasilnya terbentuklah ukhuwah Islamiyah pertama yang paling sederhana namun kokoh [gambar A]. Membentuk cluster Islam di dalam sebuah unit sosial tidaklah cukup. Dakwah dan tarbiyah harus diperluas hingga basis ras agar bisa mengasimilasi seluruh bangsa dimana jamaah (ummah) itu bernaung. Ras adalah ikatan nasab (genetika) paling besar yang dibentuk langsung oleh Allah secara alamiah. Terhadap saudara satu ras yang tidak bersedia memeluk Islam tidak perlu dipaksa karena kondisi minimal yang diperlukan hanya pernyataan tunduk kepada hukum Allah. Apabila mayoritas ras bangsa tersebut memeluk Islam dan minoritas pribumi non-muslim juga ikut tunduk kepada Syariat (ahlu dzimmah) maka ras tersebut dinilai sukses mencapai ukhuwah wathaniyah. Sebuah ras (wathan) yang seluruhnya bersujud di hadapan Allah. Inilah evolusi sosial Islam fase kedua [gambar B]. Dari berbagai ras manusia yang sukses mencapai ukhuwah wathaniyah tadi menjelma jadi blok-blok kekuatan Islam yang seharusnya terus menggagas persatuan yang lebih luas lagi. Saat wathan-wathan Islam ini bersepakat untuk saling menundukkan diri dan berbaiat di bawah satu pemerintahan Khalifah Islam itulah tercipta ukhuwah basyariyah sesungguhnya. Sebuah persatuan umat manusia yang secara spiritual menyatu dalam penyembahan total kepada Allah SWT. Ukhuwah basyariyah ini tentu saja amat beda dengan konsepsi humanisme yang sekarang tengah dikembangkan untuk menyatukan umat manusia. Kemanusiaan ala Humanisme ini niscaya hanya jadi utopia karena mengabaikan aspek spiritualitas. Ukhuwah basyariyah adalah evolusi sosial paling final [gambar C]. Baik ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, maupun ukhuwah basyariyah merupakan bagian integral semesta Islam (Islamic World) untuk dihadapkan secara simetrik terhadap kehidupan jahiliyah (the Kuffar system). Fungsi Teori Evolusi Sosial Islam Hal terpenting dari teori evolusi sosial Islam yang kita susun ini tentunya ada pada fungsinya yang dapat memperkaya pengetahuan para revolusioner Islam dalam khazanah ilmu sosial dan teori pergerakan. Teori ukhuwah klasik yang semula diartikan statis, berlaku simultan (paralel), dan hidup di ranah individu sebagai nilai moral, kini dapat kita susun sebagai aktifitas dinamis, berlaku tahap demi tahap sesuai lingkup sosial, dan bisa dijadikan sarana untuk menopang tujuan-tujuan keumatan kaum Islamis sendiri. Sekarang mari kita ulas beberapa realitas dunia menggunakan teori evolusi sosial Islam ini untuk menemukan relevansinya. Kasus ISIS Sepakterjang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang menurut ukuran ras kita (yang berwatak pendamai) mungkin kelihatan terlalu brutal dan keras dalam menerapkan ajaran Islam. Namun itu bukan argumen untuk mendakwa fenomena ISIS sebagai ‘bukan Islam’ seperti yang banyak diperlihatkan para ulama dan Pemerintah kita. Kader revolusioner Islam seperti kita dapat mengerti efek shock dan rasa takut yang dialami rakyat kita saat melihat tindakan ISIS dalam mempertahankan dirinya di tengah alam politik Timur Tengah yang terkenal keras dan kejam. Pejuang Islamis tetap harus mau berusaha memahami fenomena yang melatarbelakangi ISIS dengan kepala dingin. Tetap berusaha mendapatkan keyakinan lewat argumen yang diinsepsi dari realitas. Negara ISIS dengan segala self-proclaimed caliphate tetap harus kita pandang sebagai sejarah Dunia Islam karena jelas-jelas dicetuskan, dikerjakan, dan diilhami oleh ideologi politik Islam. Jangan sampai hanya disebabkan beberapa kekurangan dan detail perjuangan yang tidak sesuai dengan kehendak manusiawi diri lantas dengan ringan lidah kita mengecamnya sebagai ‘tidak Islami’ dan ‘bukan Islam’. Perilaku egoistik, dengki penuh olok-olok, dan berlatar kemunafikan itu bukanlah sikap orang yang siap mengabdikan diri kepada perjuangan Islam. Pada bulan Ramadan tahun 2014 lalu, pemerintahan ISIS mendeklarasikan berdirinya kekhalifahan Islam sedunia dan mengangkat Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai khalifah. Lalu bagaimana reaksi umat Islam sedunia? Mulai dari sini kita bisa merunut relevansi teori evolusi sosial Islam yang kita pelajari di atas. Para pejuang Islam yang berkiprah di ISIS telah melakukan pertaruhan mahal, yakni dengan modal sejumlah wilayah gabungan hasil perang sipil Syria dan wilayah hasil konflik Irak, ditambah deklarasi kekhalifahan yang dipimpin seorang keturunan Rasulullah Muhammad SAW, serta ditunjang kerja media massa / media sosial yang jaringannya membuana, diharapkan akan mampu menimbulkan efek domino panen dukungan dari populasi muslim seluruh dunia. Hasilnya adalah mereka keliru. Di bawah alam sadar manusia, tubuh mereka yang terdiri dari sel dan gen ciptaan Allah terus mengirimkan sinyal-sinyal ke pikiran mereka sendiri untuk tetap melakukan identifikasi atas lingkungan di sekelilingnya. Ayat suci QS 49:13 yang menerangkan bahwa manusia diciptakan berumat-umat (ras) dan tujuannya untuk saling mengenal (mengidentifikasi lalu menempatkan diri) bekerja sempurna dalam hal ini. Bagaimanapun kendala yang dihadapi ISIS selalu melekat pada problem sosial manusia dimana dia berdiri secara in situ. ISIS ialah salah satu upaya dari muslimin Arab untuk segera mendirikan suatu daulah Islam. Saat mereka tumbuh sebagai society Islam, tahap berikutnya yang harus mereka lalui adalah ukhuwah wathaniyah. Mereka harus mengislamkan ras Arab terlebih dahulu atau minimal menyatukan seluruh ras Arab untuk tunduk kepada satu bendera pemerintahan Syariat. Upaya ini tidak bisa dicurangi dengan melompat kepada fase ukhuwah basyariyah yang mencakup seluruh umat manusia tunduk kepada hukum Syariat melalui kekhalifahan seluruh dunia. ISIS belum memiliki kapasitas untuk mencapai semua itu. Mencurangi tahap evolusi ini tiada guna karena hanya akan memaksa pihak ISIS ‘berdisiplin’ untuk menyelesaikan tahap evolusi kedua yang mereka abaikan. Belakang hari mereka harus mengatasi banyak problem realitas. Sebagian besar ras Arab masih puas hidup terpecah ke dalam negara ashabiyah mereka masing-masing. Wilayah kekuasaan ISIS kini stalemate atau remis di segala front. Alat produksi dan sumberdaya ekonomi habis dibombardir atau diserang bertubi-tubi. Sumberdaya manusia mereka, terutama kaum lelaki yang sanggup memanggul senjata, terkuras habis dalam pertempuran tanpa henti. Semua itu bagai pelajaran berharga bahwa tidak ada civil society yang dibangun oleh kekuatan militeristik semata. Sebuah war effort harus ditanggung oleh cultured society dan bukan sebaliknya, rakyat suatu negeri harus hidup demi perang. Klaim kekhalifahan dunia ISIS baru akan menemukan legitimasinya di Dunia Islam jika dia mampu dengan segala upaya dan keuletannya sendiri menyatukan ras Arab ke dalam sistem tunggal Syariat Islam lebih dulu, untuk kemudian secara rendah hati menyerahkannya kepada sang khalifah dunia yang dinanti lewat suatu mekanisme baiat. ISIS ingin mensegerakan kekhalifahan dunia dengan deklarasi langsung sendirian. Namun evolusi sosial tahap ketiga tidak bisa dicurangi dengan melompati tahap sebelumnya begitu saja. Sekarang ISIS tetap harus bertarung dengan kekuatan reaksioner Dunia Arab lebih dulu yang luasnya jauh melebihi wilayah Syria dan Irak. Lingkar pemerintahan ISIS yang sekarang banyak diisi orang luar Arab, seperti Chechnya, Georgian, dan Tajik, akan mempersulit posisinya diantara rakyat Arab di wilayah yang dikuasainya. Kasus Palestina Persoalan Palestina-Israel sangat sering merebak di barisan Islamis negeri kita. Entah mengapa rakyat kita punya perhatian lebih kepada isu Palestina. Apakah karena disana ada tanah suci Maqdis yang sungguh berarti bagi umat muslim, atau apakah soal pendudukan pasukan Israel dan prospek terbentuknya negara baru Palestina saat Israel hengkang? Kita tampaknya perlu melakukan revisi atas persoalan ini dengan memperhatikan sejumlah fakta. Merunut sejarahnya, nama Palestina diambil dari negeri bangsa Filistin yang terangkum dalam kisah di alkitab/bible. Bangsa Filistin sesungguhnya adalah ras kuno yang telah punah semasa kepemimpinan Jalut (Goliath) setelah kalah dalam perang jihad yang dipimpin nabi Daud AS. Nama Palestina yang kita kenal sekarang sesungguhnya merupakan hasil rekayasa politik imperialis Inggris saat memperkenalkan solusi konflik daerah Timur Tengah yang menjadi mandatnya setelah Perang Dunia di abad ke-20 ini. Rencana ini akan membelah kawasan antara tepi laut Mediterania hingga sungai Jordan menjadi negara Yahudi dan negara Arab yang kelak bernama Israel dan Palestina. Sosok Palestina yang kita kenal sekarang pada dasarnya ialah bangsa Arab tanpa negara (stateless people) karena ditinggalkan atau tidak dipedulikan oleh para pemimpin Arab sendiri yang sebelumnya telah berkapitulasi dengan kekuatan regional di sekelilingnya. Tentu jadi pertanyaan besar mengapa beberapa negara Arab sekitar yang tergolong kaya seperti Saudi, Mesir, Syria, dan Jordania tidak mau mengakui suku-suku minor yang bermukim di wilayah tersebut sebagai rakyatnya lagi. Meninggalkan mereka tak terurus dan diperbudak belian bangsa lain ras Yahudi dan segelintir orang Barat. Seperti nasib kota Gaza yang pada perang 1967 merupakan kota Mesir yang dipertahankan pasukan Arab Mesir kemudian jatuh direbut Israel. Kini jalur Gaza dianggap sebagai urusan Palestina dan penguasa Mesir diam saja saat jet-jet Israel membombardirnya tanpa ampun padahal penduduknya masih sama seperti tahun 1967 dulu yaitu warga desa Arab mantan warganegara Mesir(!). Inilah pelajaran penting buat ukhuwah wathaniyah kita bahwa pribumi Melayu muslim Nusantara tidak akan sedetikpun meninggalkan bangsanya (ras) sendiri dikuasai dan diperjualbelikan lewat tebusan oleh bangsa lain. Kita bersumpah tidak akan membiarkan ‘tragedi Arab Palestina’ terjadi di tanah air Nusantara. Peta jalan damai yang digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga sama mengerikan jika sampai terwujud. Posisi negara Arab Palestina de facto sekarang sangat tidak layak untuk diberi status merdeka. Sebuah negara yang wilayahnya terpencar-pencar di dalam wilayah negara lain (Israel) tampak seperti krisis kedaulatan. Wilayah Palestina sekarang terlalu sempit untuk menopang aktivitas hidup wajar bagi warganya: overpopulasi, miskin sumberdaya, minim infrastruktur, dan bergantung total pasokan dari luar. Lebih mirip kamp konsentrasi (internir) daripada sebuah negara normal karena Israel memang mensiasatinya agar demikian. Israel sengaja menekan Arab Palestina agar senantiasa menjadi ‘sumber budak’ untuk menopang ekonomi Israel. Jika terlalu ‘nakal’ berani melawan maka akan ‘dihukum’ kekuatan militer untuk melakukan kontrol (mengurangi) populasinya. Kebijakan Israel terhadap Palestina sesungguhnya hanya mengulang strategi ‘Warsaw ghetto’ yang pernah dialami Yahudi Polandia semasa pendudukan Nazi Jerman. Bagi kita, ini seperti skema kemerdekaan omong kosong yang tak perlu didukung. Kembali ke skema awal sebelum masa perang Arab-Israel 1948 juga mustahil, sebab kita paham betul karakter Bani Israel yang pantang rugi. Mustahil minta sukarela melepas sesuatu yang telah mereka kuasai. Dukungan kaum muslim Indonesia atas kemerdekaan ‘negara Palestina’ sesungguhnya hanya memperparah perpecahan yang dialami ras Arab ke dalam sekian banyak ashabiyah. Nasionalisme sempit yang pada dasarnya cuma berupa keamiran, ke-bani-an, dan tribalisme bangsa Arab yang bahkan telah ada sebelum kemunculan Islam. Demikan pula cara pandang Islamis terhadap kasus Palestina ini. Kita tidak akan memberikan ‘blanko kosong’ dukungan untuk dimanfaatkan sebagai legitimasi politis golongan tertentu yang tidak ada manfaatnya bagi agama Allah dan ras kita sendiri. Siapa yang menjamin kelak negara Arab Palestina merdeka akan menerapkan hukum Syariat sebagaimana kita dambakan? Siapa yang akan menjamin pemerintah Arab Palestina akan selalu membuka pintu masjidil Aqsa dan menjadi pelayan ramah bagi tamu peziarah muslim ras ajam seperti kita? Apakah kita rela sentimen akidah, solidaritas keislaman harus selalu dipakai melayani kepentingan negara baru yang akhirnya berkonstitusi sekuler sebagaimana negara Arab kebanyakan? Bagaimana kalau negara Arab Palestina besok hanya negara kerdil satelit Israel yang berisi kasak-kusuk elit Arab dan Yahudi? Ini muara yang tidak kita perhitungkan sebelumnya. Persoalan Palestina harus kita bangun menggunakan cara pandang baru. Setelah kita menunaikan kewajiban spiritual atas tanah air (homeland), kita juga harus melanjutkannya dengan kewajiban bangsa kita atas tanah suci (holyland). Kesadaran tentang tanah suci Baitul Maqdis adalah tanah suci pula bagi Islamis Nusantara. Masalah faktual bahwa tanah suci Islam ini berada di tangan bukan orang Islam adalah penghinaan atas keyakinan kita. Mulai sekarang harus kita camkan kalau Maqdis problem adalah our problem. Fokus kita bukan lagi mencapai negara Arab Palestina merdeka melainkan kalahnya negara Israel di Maqdis. Hancurnya negara Israel niscaya akan membawa kebaikan bagi semua bangsa ras manusia. Seorang revolusioner Islam Nusantara harus punya keyakinan dan tekad untuk merebut Maqdis dengan tangan dan upayanya sendiri. Suatu hari nanti pemuda melayu Nusantara pasti akan bertempur sengit untuk merebut langsung Maqdis dari tangan tentara Israeli Defense Force (IDF) adalah keyakinan yang perlu selalu dikobarkan di hati para pemuda muslim bangsa kita. Kita bertekad akan hadir bertempur disana baik dengan dukungan atau tanpa dukungan orang Arab! Tapi ingat, hal itu tak akan terjadi bila kita gagal memenangkan negeri sendiri ini terlebih dulu dengan revolusi kita. Akhirnya kasus Palestina bisa jadi contoh penting teori evolusi sosial kita, bagaimana sebuah bangsa yang terjebak dalam ashabiyah kenegaraan akan kesulitan untuk menyempurnakan ukhuwah wathaniyah-nya di hadapan Allah SWT. Lahirnya negara Arab Palestina hanya akan memperparah perpecahan yang dialami ras Arab di Timur Tengah. Disamping itu menjadi keuntungan politis negara Israel yang secara timbal balik minta diakui segala posisi status quo-nya. Dunia Arab sungguh butuh pemimpin istimewa yang mampu mengatasi segala faktor perpecahan bangsa Arab seperti: demokrasi ala Barat, Pan-Arabisme sekular, tribalisme tradisional, intervensi asing, penguasaan minyak, dan keretakan Sunni-Syiah. Mungkin beliau itulah sang Mahdi sesungguhnya yang akan mengatasi kondisi mahasulit tersebut. Kasus Indonesia Perjuangan kemerdekaan Indonesia yang kini diabadikan dengan nama Revolusi Indonesia (kami menamainya Revolusi Pertama) sebenarnya sudah berada pada jalur yang tepat jika dinilai menggunakan evolusi sosial Islam ini. Pengenalan nama subjek ‘bangsa Indonesia’ sebagai pendahuluan akan tindakan ‘tuntutan untuk merdeka’ adalah menunjuk kepada penduduk pribumi negeri ini. Saat Bung Hatta mempelopori penggunaan nama Indonesia waktu menjadi motor pergerakan di negeri Belanda tahun 1925 menegaskan, “Nama bangsa Indonesia sebagai pengganti nama bangsa Hindia berfungsi untuk membedakan penduduk PRIBUMI Hindia Belanda yang ingin merdeka.”. Artinya nama ‘bangsa Indonesia’ sesungguhnya hanya disematkan kepada bangsa pribumi Nusantara. Poin ini sejalan dengan teori ukhuwah wathaniyah kita. Pun demikian ketika nama ini dipakai menuju persatuan anak negeri tiga tahun kemudian dalam Sumpah Pemuda 1928, semua perwakilan delegasi Kongres Pemuda ternyata perwakilan etnis pribumi. Pemuda ras lain yang ikut hadir sebagai observer (bukan peserta) seperti peranakan Arab dan Cina diberi kebebasan untuk menentukan sikap atas hasil-hasil yang dicapai oleh inisiatif persatuan pemuda pribumi ini. Namun apa yang terjadi sekarang? Nama ‘bangsa Indonesia’ telah diselewengkan begitu jauh menjadi pemahaman yang menyerahkan diri kepada maksud-maksud imperialistik rezim Globalisasi. Dengan berhentinya Revolusi Indonesia di tangan junta militer Soeharto yang nyata-nyata bersikap kontra-revolusi, nama bangsa Indonesia tidak lagi mewakili kepentingan pribumi muslim negeri ini. Memasuki era Reformasi nama ‘bangsa Indonesia’ makin rusak setelah dijejali macam-macam pengertian milik rezim Globalisasi. Indonesia itu yang semula menunjuk ras tunggal menjadi berwawasan multikultural, majemuk, dan tidak boleh SARA. Kini aneka ras dari seluruh penjuru dunia bisa sekejab jadi bangsa Indonesia asal sudah berubah status jadi warganegara Indonesia (WNI). Nama ‘bangsa Indonesia’ sudah demikian tercemar berat di alam anarcho-liberal seperti masa kini sehingga telah hilang kemampuan untuk melanjutkan Revolusi Indonesia yang terhenti dan belum selesai tersebut. Nama Indonesia tidak sanggup lagi memikul tanggung jawab mengangkat harkat hidup pribumi muslim seperti kita yang senantiasa terancam angkara murka kepentingan bangsa asing yang imperialistik macam neo-kolonialisme-imperialisme (nekolim). Akhirnya kaum Islamis seperti kita memutuskan untuk merelakan nama ‘bangsa Indonesia’ tamat, hancur diperkosa melayani nafsu bejat orang-orang liberal yang bercokol di negeri kita. Islamis akan berusaha keras membangun kembali identitas ‘Nusantara’ yang dimiliki rakyat pribumi, menemukannya kembali lewat penelusuran historis dan perancangan mimpi masa depan yang visioner. Jika jatidiri sebagai pribumi muslim Nusantara telah ditemukan, kita akan memposisikan diri kedudukan Islamis dalam jagat konstelasi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di alam republik sekarang, memberinya tujuan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan berjuang memenangkan tujuan itu. Revolusioner Islam Nusantara akan membawa kaum Islamis yang semula cuma society Islam kembali pada jalur evolusi sosialnya yang benar. Yaitu untuk mengasimilasi bangsanya sendiri menjadi Islam dan membawanya kepada ukhuwah wathaniyah sejati berupa persatuan ras pribumi Nusantara. Islamis akan semaikan prinsip zuhud agar kita berhenti dari kegiatan berbangga-bangga atas nama Indonesia. Kita juga akan berhenti dari membanggakan asal-usul etnis kesukuan kita karena senyatanya tiada etnis negeri ini yang cukup perkasa melawan Globalisasi yang menghancurkan kebudayaannya. Semua etnis pribumi harus bersatu padu dalam ikatan yang lebih kuat dan besar pengaruhnya, yakni persatuan ras kita meniti jalan yang Allah SWT tunjukkan. Kita akan tuntaskan Revolusi Indonesia dengan cara yang paling terhormat, yaitu dengan rendah hati mengajak seluruh pribumi Nusantara bersatu di bawah bendera Islam. Dengan rendah hati mengajak 200 juta jiwa pribumi muslim Indonesia untuk mengulurkan tangan kepada 12 juta jiwa saudaranya sebangsa, pribumi muslim Malaya untuk bersatu dalam ikatan daulah. Menolak untuk memandang mereka sebagai bangsa lain. Menginsyafkan seluas-luasnya skema penyatuan ‘abang Indonesia ajak sang adik Malaya pulang ke rumah Nusantara kita’. Memberi pengertian bahwa Semenanjung Malaya dan Borneo adalah bagian tak terpisah tanah air Nusantara yang tidak layak dipecah belah oleh imperialis bule Belanda dan Inggris. Berusaha mengobati luka parut akibat cakar imperialis Barat dari wajah negeri kita. Menghapus najis garis perbatasan Indonesia-Malaysia adalah tugas Islamis untuk tuntaskan Revolusi Pertama untuk kemudian memulai Revolusi Kedua kita, Revolusi Islam Nusantara. Dengan demikian kita akan tumbuh sebagai ras yang 100% merdeka, merdeka lahir dan batin. Merdeka fisik dan pikirannya. Mulai sekarang kita menolak untuk berhenti pada NKRI nilai final. Sekarang tidak penting lagi persoalan nama Republik Indonesia atau Federasi Diraja Malaysia selain daripada fakta bahwa keduanya adalah modal perjuangan. Karena yang ada dalam benak pejuang Islam negeri ini ialah menyelamatkan bangsa ras kita dari kehancuran struktural negara Indonesia yang salah urus, membebaskan mereka dari belenggu rezim serakah Malaysia, kemudian membangun ulang negara Nusantara sebagai naungan layak buat rakyat kita. Tak lama lagi kita akan saksikan senyum bahagia penduduk Nusantara atas karunia Allah SWT berupa negara Islam merdeka yang perkasa. NKRI terlalu kerdil untuk memberi ruang hidup buat bersatunya ras pribumi Nusantara. Mengambil sikap seperti ini tidak mungkin dipandang sebagai pengkhianatan (bughat). Setia di jalan petunjuk Allah untuk peduli dan mengasihi rakyat yang diamanahi dengan penuh tanggungjawab tidak bisa disebut sebagai pengkhianat. Justru pembesar negeri yang berani lancang menjual kekayaan alam dan tenaga rakyatnya kepada penguasa asing itulah yang layak disebut pengkhianat. Pembuktian teori evolusi sosial Islam dalam kasus Indonesia memperlihatkan kenyataan bahwa alur yang dipilih muslimin Nusantara sudah tepat. Mengislamkan penduduk negeri lewat dakwah, dan berusaha terus memperluasnya hingga basis ras akan mengatasi begitu banyak konflik etnis dan ashabiyah yang selama ini mendera. Usaha ini pada dasarnya hanya terhambat oleh huru-hara politik sesaat di jaman Orde Baru maupun era Reformasi. Kita hanya perlu memperhebat usaha ini hingga rakyat kita kembali percaya. Ideologi Islam senantiasa akan menjadi faktor pemersatu ras secara spiritual yang paling penting di kawasan ini. Setelah pihak Islamis memahami kesadaran Nusantara, dia akan yakin untuk menerobos belenggu ‘nilai final NKRI’, berhenti berbangga atas segala hal karena tidak Islami, dan mulai bergerak menyatukan serpihan Nusantara dengan penuh kerendahan hati (zuhud). Indonesia ternyata terlalu kecil untuk menampung seluruh aspek Nusantara dan jargon ‘NKRI nilai final’ sengaja diciptakan oleh para elit korup negara Indonesia yang takut kehilangan posisi akibat kebangkitan revolusi ini. Penutup • Ukhuwah Islam walaupun secara generik berlaku universal di Dunia Islam namun sejatinya harus melalui proses organik di tempat dimana dia hadir. Perbedaan antara term ikhwan dan ikhwat bisa menjadi penjelasnya. Bahwa semua ikhwan (saudara seagama) harus diperlakukan sebagaimana ikhwat (saudara sedarah) sehingga standar perilaku yang dipakai adalah ‘cara kita memperlakukan ikhwat’. Cara kita memperlakukan keluarga kita sendiri (ikhwat) ialah standar berperilaku kasih sayang diantara sesama muslim sebab kultur negeri kita sendiri itulah kehangatan persaudaraan paling awal yang pernah kita kenal dan jalani sejak kita lahir. Mengorganikkan persaudaraan Islam dilakukan dengan cara membuat kultur kita sendiri semakin sesuai dengan ajaran Islam. Demikian pula dengan konsep ‘tali Allah’ sebagai objek persatuan Islam. Batasan untuk tidak mencampuri persepsi saudara seagama atas tali Allah (Syariat Islam) niscaya menjadi rem konflik internal yang ampuh diterapkan. Ketetapan untuk terus berpegang pada tali Allah lalu kesetiaan untuk terus memperjuangkan Syariat sebagai hukum duniawi adalah standar perilaku paling penting yang berlaku diantara kaum Islamis sebagai code of honour. • Persaudaraan wathaniyah wa an-nasab akhirnya harus bisa kita bawa ke persoalan ras manusia. Proses mengorganikkan (membumikan) ajaran Islam ternyata ekuivalen dengan mengislamkan kebudayaan bangsa ras kita sendiri. Mengangkat kultur ras kita yang terislamisasi sebagai simbol keislaman bangsa kita harus dilakukan dengan hati-hati. Penuh mawas dan waskita. Jangan sampai kita terjebak lagi pada kefanatikan ashabiyah yang pernah menjerumuskan para Nasionalis Indonesia dan Nasionalis Malaysia. Perhatian yang kaum Islamis curahkan untuk persoalan ras ini digali dari perintah Allah yang ditunjukkan untuk mengelola suatu ummat (ras). Pengetahuan ras yang kita miliki tidak dibangun oleh ajaran logika rasisme yang seringkali terjebak dalam race supremacy alias kesombongan rasis sehingga koridor kita tetap dalam ajaran Syariat. • Aspek politis dari pemahaman humanisme adalah penyatuan umat manusia TANPA membedakan agama, ras, gender, dan kultur. Tanpa membedakan komponen tersebut kemudian diartikan tanpa dipengaruhi oleh komponen dasar tadi sehingga konsep humanisme yang dibentuk pada akhirnya TANPA agama, ras, gender dan kultur. Lalu manusia seperti apa yang hendak dibentuk humanisme tanpa melibatkan aspek agama (Tuhan), ras (fisiologi dan geografi), gender (fungsi kultural), dan kulturnya sendiri? Tentu saja manusia yang non-existence karena humanisme memang pemahaman yang berujung pada kepunahan manusia. Aspek politik dari humanisme pastinya bertentangan sejak awal dengan politik yang terkandung dalam ukhuwah basyariyah yang disemaikan Islam. Kita akan lawan segala maksud humanisme yang seperti itu walaupun artinya kita harus melawan apa yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Revolusioner Islam Nusantara tidak pernah gentar menghadapi seluruh dunia yang berdiri di kebatilan karena Rasulullah pernah berpesan, “Jika dunia dan seisinya diletakkan di tangan kiriku dan kalimat thoyibah di tangan kananku, niscaya kupilih kalimat la illaha ilallah.”. Teori evolusi sosial Islam yang redaksi Nyala terangkan ini bisa lebih memperjelas cakrawala revolusi Islam yang sedang kita perjuangkan. Ranah ilmu sosial dalam Islam memang butuh begitu banyak pengayaan teori pergerakan yang akan menambah kapasitas intelektual maupun pengalaman berjuang para pengusungnya. Demikianlah pelajaran sekolah politik Islam kita kali ini. Pupuklah terus keyakinan kita atas revolusi wahai saudaraku. Allahu Akbar! (Goy)