MEDIA UNTUK PELESTARIAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN MASYARAKAT RANTAU KAMPAR KIRI
Sabtu, 23 April 2016
HIKAYAT NEGERI GUNUNG SAILAN
Hikayat Kenegerian Gunung Sahilan
1. Asal mula kenegerian Gunung Sahilan
Kenegerian Gunung Sahilan merupakan suatu Kenegerian yang cukup tua dan merupakan Kenegerian yang melegenda di wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri. Hal ini disebabkan karena kenegerian Gunung Sahilan merupakan ibu kota darai kerajaan Gunung Sahilan yang merupakan salah satu kerajaan melayu di bumi lancang Kuning atau Riau ini.
Penamaan Kenegerian Gunung Sahilan berkaitan dengan legenda lautan ( Lawik Syailan), dimana pada zaman Sriwijaya dahulu wilayah tersebut merupakan pinggiran laut dan disana terdapat tanah yang cukup tinggi ( Gunung) maka di daerah tersebut dibuat sebuah Koto ( Negeri) yang pada awalnya bernama Koto Gunung Ibul kemudian berubah menjadi Kenegerian Gunung Sailan.
Menurut Para Tokoh adat dan orang tua-tua nama yang sebenarnya adalah kenegerian Gunung Sailan, bukan Gunung Sahilan sebagaimana yang dipakai dalam cacatan administratif sekarang ini. Kenegerian Gunung Sahilan pada masa berkuasanya Kerajaan/Kesultanan Gunung Sailan ( Dari abad ke 17- 1946) di Rantau Kampar Kiri merupakan pusat pemerintahan, disana terdapat Istana Darussalam di Koto Dalam yang merupakan tempat tinggal raja sekaligus istana Negara.
2. Gunung Sahilan pada masa kolonial Belanda dan Jepang
Pada masa Kolonial Belanda kenegerian Gunung Sahilan/Sailan ini merupakan tempat kedudukan Controleur ( Demang ) dari Pemerintah Kolonial belanda, setelah Kerajaan Gunung Sahilan mengadakan perjanjian persekutuan melalui Plakat pendek ( Korte Verklaring ) pada tahun 1905. dimana kerajaan Gunung Sahilan digabungkan sebagai bagian dari wilayah yang dikuasai Kerajaan Belanda. Perjanjian persekutuan ini ditandatangani oleh Sultan Tengku Abdul Jalil Bin Yang dipertuan Hitam perjanjian ini kembali diperbaharui pada masa kekuasaan Tengku Abdurrahman Yang dipertuan Muda ( 22 Februari 1922).
Pada masa pemerintahan Tengku Abdul Jalil yang dipertuan Besar atau bergelar Tengku Sulung dan Tengku H Abdullah ( 1930-1945 ) Kerajaan Gunung Sailan dimasuki oleh tentara pendudukan Jepang. Dan Kenegerian Gunung Sahilan merupakan tempat kedudukan pemerintahan militer Jepang untuk wilayah Rantau Kampar Kiri
3. Gunung Sahilan pada masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 maka pada tahun 1946 kerajaan Gunung Sailan/Sahilan digabungkan oleh Tengku Haji Abdullah yang dipertuan Sakti ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa kemerdekaan kenegerian Gunung Sahilan juga mengikuti arus perkembangan zaman pada awalnya wilayah kenegerian Gunung Sahilan terdapat tujuh koto yang disebut sebagai wilayah tuju koto dihilir, dalam bahasa adat disebutkan “ Iku Koto Di pulau Angkako kapalo koto dilipatkain “ berpusat di kenegerian Gunung Sahilan atau disebut Rantau daulat yang lansung di perintah Raja dengan daerah:
1. Mentulik
2. Sijawi-Jawi/Rantau Kasih
3. Sungai pagar
4. Penghidupan
5. Simalinyang
6. Lubuk Cimpur
7. Lipatkain
Pada masa kemerdekaan kenegerian Gunung Sahilan mengalami pemekaran wilayah untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dimana daerah-daerah yang tersebut diatas menjadi desa-desa tersendiri Pada tahun 1968 kenegerian Gunung Sahilan kembali dimekarkan menjadi desa-desa Sungai Pagar, Mentulik, Simalinyang, Penghidupan. pada tahun 1978 wilayah hukum adat kenegerian Gunung Sahilan kembali dimekarkan yaitu:
1. Desa Gunung Sahilan
2. Desa Kebun Durian
Pada tahun 1998 desa Gunung Sahilan kembali dimekarkan dimana desa Subarak berdiri sebagai desa pemekaran baru dari desa Gunung Sahilan. Pada tahun 2008 desa Gunung sahilan kembali dimekarkan dimana desa Gunung Sahilan Darusalam berdiri sebagai desa baru dalam wilayah hukum adat Kenegerian Gunung Sahilan. Dari rentang sejarah diatas dapat diambil semacam kesimpulan bahwa Kenegerian Gunung Sahilan merupakan ibu dari desa-desa di wilayah kecamatan diwilayah Rantau Kampar Kiri, khususnya bagi wilayah Rantau Daulat.
Ninik-Mamak Kenegerian Gunung Sahilan
Di dalam wilayah hukum adat Kenegerian Gunung Sahilan, masyarakat adatnya dikelompokkan menjadi delapan suku pada awalnya, dari pimpinan atau kepala suku inilah munculnya penguasa adat atau ninik-mamak dikenegerian Gunung Sahilan. Para penguasa adat di kenegerian Gunung Sahilan akrab disapa dengan sebutan ” Ninik-Mamak Salapan Suku/ Ninik-Mamak Salapan Batu” yang terdiri dari Ninik-Mamak 4 di bawuah ( bawah) dan Ninik-Mamak 4 di daghek (darat/bukit) yaitu :
1. Dt Sinaro : Selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam kenegrian di antara ninik-mamak yang lain, berasal dari suku Domo
2. Dt Marajo : Selaku Pemantau situasi di kenegerian berasal dari suku Mandailing
3. Dt. Batuah : Selaku yang menegaskan ketika ada suatu peraturan yang di tetapkan dalam Kenegerian berasal dari suku Patopang
4. Dt. Menggung : Selaku penuntut kepada Ninik Mamak jika terjadi sengketa Adat, berasal dari suku Chaniago ( suku parit nan 4 ).
5. Dt. Paduko : Bagian dari Ninik Mamak 4 di bukit yang berkedudukan di bawah Dt. Sinaro berasal dari suku Melayu Bukit
6. Dt. Paduko Sindo : Yang menguasai luhak Subarak berasal dari suku Piliang
7. Dt. Jibobagh : Ninik Mamak yang berpusako berasal dari suku Melayu Palo Koto
Sebagaimana yang dijelaskan terdahulu bahwa jumlah suku serta Ninik-Mamak di Kenegrian Gunung Sahilan sebenarnya berjumlah delapan suku, akan tetapi sekitar tahun 1940 satu suku pecahan dari suku piliang, disebabkan tidak mempunyai kemenakan lagi maka dengan sendirinya salah suku yang termasuk kelompok 4 di bawuah tersebut hilang (Tiang palang nan 4).
Di dalam kenegerian Gunung Sahilan, disamping ada penghulu delapan suku juga ada dua orang Datuk sebagai penguasa rantau yaitu Datuk Besar ( Bosauhg) Kalifah Van Kampar Kiri, berasal dari suku Melayu Palokoto dan Seorang lagi Orang Besar Raja yaitu Datuk Godang berasal dari suku Piliang. Kedua orang datuk ini memiliki Kebesaran mewakili Kenegerian Gunung Sahilan dalam berurusan dengan pihak luar atau negeri-negeri lainnya.
Secara adat Kenegerian Gunung Sahilan terdiri dari delapan suku sebagaimana disebutkan diatas, setiap suku memiliki pemangku adat sebanyak empat orang ( baompek dalam Kampuong) dan satu penasehat yang disebut dengan orang tua (Balimo Jo Ughang tuo). Struktur pemangku adat setiap suku serupa yaitu terdiri atas :
1. Mamak Godang Kenegeri yang memiliki tugas mewakili suku/Kampungnya dalam kerapatan adat negeri
2. Mamak soko atau mamak Kampuong, adalah bertugas memimpin kemenakan dalan satu sukunya saja.
3. Dubalang ( Polisi) adalah bertugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam suku.
4. Malin ( Alim-ulama) bertugas dalam bidang pendidikan dan keagamaan.
Setiap suku memiliki nama-nama/gelar pemangku adat yang berbeda, berikut nama-nama pemangku adat setiap suku di Kenegerian Gunung Sahilan :
1. Suku Domo
Mamak Godang Kenegeri : Dt Sinaro
Mamak Soko : Dt. Padano
Dubalang : Dt. Seribu Garang
Malin : Malin Pandito/ Bilal Masjid
2. Suku Melayu Darat/Bukit
Mamak Godang Kenegeri : Dt. Paduko
Mamak Soko : Dt. Intan Pucuk
Dubalang : Dt. Kali Bandaro
Malin : Jalelo Nan Tunggang
3. Suku Piliang
Mamak Godang Kenegeri : Dt. Paduko Sindo
Mamak Soko : Dt. Lakmano
Dubalang : Tunggang Marajo
Malin : Malin Panenan
4. Suku Caniago
Mamak Kenegeri : Dt. Tumenggung
Mamak Soko : Dt. Ajo Mangkuto
Dubalang :
Malin : Khadi
5. Suku Maliling
Mamak Godang Kenegeri : Dt. Majo
Mamak Soko : Dt. Gindo Batu
Dubalang : Jalelo Nan tenggang
Malin :
6. Suku Melayu Palokoto
Mamak Godang Kenegeri : Dt Majo Bobae
Mamak Soko : Dt. Paduko Majo
Dubalang : Dt. Jalelo Garang
Malin : Malin Sutan
7. Suku Pitopang
Mamak Godang Kenegeri : Dt. Batua
Mamak Soko : Dt. Penghulu Kayo
Dubalang : Dt. Bagindo Ali
Malin : Malin Bungsu
8. Suku Yang Hilang berasal dari pecahan suku Piliang
Mamak Godang Kenegeri : Dt Majo Indo
Mamak Soko : Dt. Paduko Marajo
Dubalang :
Malin : Malin Marajo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar