KERAJAAN GUNUNG SAILAN KAMPAR KIRI
Istana
Kerajaan Gunung Sailan Rantau Kampar Kiri
Kerajaan Kerajaan
Gunung Sahilan secara ilmiah historis
baru dtercatat pada masa colonial Belanda, pada waktu itu kerajan Gunung
Sahilan berada di bawah kekuasaan Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam
pada tahun 1905 menandatangani Korte Verklaring dengan pemerintah
Belanda. Pada tahun 1930, Yang Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku
Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah yang bergelar
Tengku Yang Dipertuan Sakti dinobatkan menjadi raja dengan mengadakan upacara
besar-besaran (lihat Lutfi, “Sejarah Riau”).
Kerajaan Gunung
Sahilan berdiri pada awal abad ke 16 sebagai kerajaan vazal dengan raja
pertamanya adalah Raja Bujang Sati yang merupakan anak Raja Pagaruyung. setelah
runtuhnya kerajaan Pagaruyung, akibat perang paderi maka Kerajaan Gunung
Sahilan merdeka secara Depakto dan Deyure. Semenjak berdiri sehingga
berintegrasi dengan NKRI, Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh 12 orang
Raja/ Sultan dengan gelar Raja : Tengku yang dipertuan Besar.
Sebagai sebuah
kerajaan/Negara berdaulat tentunya kerajaan Gunung Sailan memiliki wilayah Negara/territorial
yang meliputi seluruh Rantau Kampar Kiri. Secara adat Rantau Kampar Kiri
Memiliki dua daerah Besar yaitu di sebut daerah Rantau Daulat dan Rantau
Andiko.
Rantau Daulat adalah
adalah daerah pusat Kerajaan yang terdiri dari, Mentulik, sijawi-jawi,
simalinyang, sungai pagar, Gunung sailan, subarak, lipatkain dan lubuk cimpur. Sedangkan
Rantau andiko adalah daerah 4 khalifah dimudiak yaitu, Kekhalifaan kUntu, Ujung
Bukit, Khalifah Batu Songgan, Dan Kekhalifaan Loedai.
1. Kehalifaan Loedai di
berpusat di Koto Loedai dengan Khalifahnya Dt. Maharajo Besar
2. Kekhalifaan Batu
Songgan berpusat dikenegerian batu songgan dengan Khalifanya Dt Godang
3. Kekhalifaan Ujung
Bukit berpusat di Tg Belit dengan Khalifah Dt Bendaharo
4. Kekhalifaan Kuntu
yang berpusat di Negeri Kuntu dengan Khalifanya Dt Bandaro
Sistem Pemerintahan Adat
Sistem pemerintahan adat mencakup semua pranata yang berhubungan dengan
susunan organisasi, tata kerja, formasi aparatur, tugas/kewajiban, wewenang dan
tanggung jawab, serta hubungan kerja dari badan-badan yang ada.
Kedudukan tertinggi
dalam pemerintahan adat adalah sultan. Sebagai raja,
ia adalah penguasa tertinggi di bidang politik, adat, agama, ekonomi, budaya,
dan lain sebagainya. Kedudukan raja didapatkan karena keturunan. Akan tetapi
tidak berarti bahwa semua keturunan raja dapat menjadi raja/sultan.
Kedudukan raja baru sah bila sudah mendapat pengesahan (legitimasi) yang sesuai
dengan suatu prosedur yang telah ditetapkan oleh adat, antara lain melalui
upacara penobatan. Seseorang yang telah dinobatkan menjadi raja berarti telah
memenuhi syarat-syarat kepemimpinan menurut
adat, seperti telah dewasa, berakal budi, adil dan bijaksana, berilmu
(tahu akan undang-undang, hukum adat dan pusaka, serta paham akan agama),
berwibawa, terampil dalam ilmu bela diri dan ilmu kebatinan, dan ahli perang.
Sebenarnya syarat kepemimpinan itu hampir semuanya merupakan syarat bagi pemimpin
adat lainnya. Perbedaannya, kalau raja diresmikan dengan upacara penobatan,
sedangkan pemimpin-pemimpin adat lainnya dengan upacara pengangkatan dan
peresmian.
Sesudah dinobatkan,
raja mempunyai wewenang untuk memimpin secara resmi. Namun wewenang raja, di
Kerajaan Kampar Kiri, tidak penuh (otokrasi). Dalam mengambil keputusan maupun
melaksanakannya, ia harus mendapat persetujuan dewan tertinggi bernama
Kerapatan Khalifah.
Dalam melaksanakan
pemerintahan, sultan/raja dibantu oleh seorang khadi untuk bidang
agama. Di Kampar Kiri, raja dibantu oleh seorang saudagar yang mengurus bidang
perdagangan atau ekonomi. Khalifah di Kerajaan Kampar Kiri, seperti camat
atau bupati sekarang. Seperti halnya raja, Urang Godang dan Khalifah tidak
berhak mencampuri urusan dalam nagari ataupun koto yang berada di
bawah pengawasannya secara langsung tanpa persetujuan Dewan Menteri. Raja dan
Urang GodangKhalifah tidak lain hanya sebagai badan pengawas, pengatur, atau
koordinator terhadap daerah yang ada di bawah kekuasaannya.
Selain itu, Khalifah
Kampar Kiri juga bertugas membantu raja dalam menyelesaikan masalah-masalah
tertentu. Sebagai contoh, Khalifah Kuntu yang bergelar Datuk Bandaro
mempunyai tugas dan kewajiban menyelesaikan perkara adat. Apabila Khalifah Kuntu
ditugaskan menyelesaikan masalah adat dalam musyawarah Majelis Dewan Menteri
Kerajaan Kampar Kiri, maka bendera (tonggou) yang berdiri adalah
bendera Khalifah Kuntu. Begitu pula dengan tugas datuk-datuk lainnya. Datuk
Godang Khalifah Batu Sanggan berkewajiban menyelesaikan perkara pidana, Datuk
Marajo Basa Khalifah Ludai menyelesaikan masalah keamanan, dan Datuk Bendahara
Khalifah Ujung Bukit menangani urusan syarak (agama). Sebenarnya sistem
pemerintahan itu berpedoman pada sistem pemerintahan adat di Minangkabau yang
dikenal dengan Basa Ampek Balai (Tengku Ibrahim, 1939).
Landasan aturan bagi wewenang pejabat-pejabat adat diungkapkan dalam
ungkapan adat “Rantau dituruik dengan undang, nagori batunggui jo pusako,
kampung dilimbak jo limbago”, yang berarti “Rantau diperintah raja,
luhak diperintah orang besar, nagori diperintah penghulu, kampung
diperintah orang tua”. Selain itu terdapat kalimat-kalimat sumpahan nenek
moyang yang dipatuhi oleh setiap generasi, yang berbunyi “Undang-undang
basimpuah janji, cupak baparbuatan, sumpah manua parbakala. Kalau rajo manguih
dimakan biso kawi, kalau khalifah manguih dimakan sumpah. Manokalo penghulu
manguih dimakan perbuatan. Kalau urang banyak manguih dimakan kutuak kalamullah
saribu malam”. Kalimat-kalimat tersebut berarti “Kalau melanggar sumpah
akan terkena bisa kawi, khalifah akan dimakan sumpah. Apabila penghulu
melanggar sumpah akan dimakan perbuatan. Kalau orang banyak melanggar sumpah
akan dikutuk Tuhan sepanjang hidup”.
Dari urutan struktur organisasi pemerintahan adat di atas, maka yang
benar-benar mempunyai hak otonomi adalah nagari-nagari atau kotokoto.
Nagari berhak penuh mengatur ke dalam maupun ke luar. Raja dan Urang
Godang/Khalifah tidak mempunyai wewenang secara langsung untuk mencampuri
urusan dalam setiap nagari. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
pemerintahan di kedua kerajaan itu mengandung ciri-ciri demokrasi. Raja duduk
di atas tahta kerajaan atas persetujuan penghulu-penghulu (datuk-datuk) yang
merupakan wakil dari seluruh penduduk nagari. Hal ini didasari
oleh perjanjian dan sumpah sakti pada waktu upacara penobatan yang disaksikan
oleh roh-roh nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, muncul pepatah yang berbunyi
“Rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah”.
Penghulu kepala atau
penghulu pucuk adalah penghulu segala penghulu yang ada dalam setiap nagari.
Dalam setiap nagari paling tidak terdapat empat suku. Masing-masing suku
klan) ini dipimpin oleh seorang penghulu suku yang bergelar datuk. Perkembangan
jumlah penduduk dan daerah pemukiman menyebabkan jumlah suku dalam satu nagari
lebih dari empat suku nagari, misalnya saja di Lipat Kain (Kampar Kiri)
terdapat sembilan suku dan di Gunung Sahilan terdapat delapan suku. Dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, setiap penghulu suku dibantu oleh tiga
orang pejabat adat. Penghulu suku di Rantau Kuantan
dibantu oleh monti, hulubalang, dan malin. Adapun penghulu suku di
Kampar Kiri dibantu oleh pucuak kampuang, hulubalang, dan malin/pandito.
Seperti halnya dengan urang godang/khalifah, maka penghulu kepala
(penghulu pucuak) dan penghulu suku beserta tiga orang pembantunya
duduk di jabatan adat tersebut setelah diangkat atas dasar garis keturunan
(matrilineal) dari suku tertentu pada satu rumah soko (perut) atau
menurut garis keturunan ibu. Jabatan penghulu kepala/pucuak nagari (penghulu
pucuak) dan penghulu suku disahkan dengan upacara adat memotong kerbau.
Orang yang dipilih dari keturunan satu perut (asal satu soko) adalah
orang-orang yang memenuhi syarat kepemimpinan adat (Rahim A. dkk., 1983/1984).
Pengangkatan tiga pejabat adat pembantu penghulu suku tidak memerlukan
upacara seperti di atas. Tugas monti (pucuak kampuang) adalah
sebagai pejabat eksekutif, hulubalang bertugas di bagian keamanan,
dan malin bertugas dalam urusan agama, sedangkan penghulu suku
bersama-sama dengan penghulu-penghulu suku dalam negeri lainnya serta
penghulu pucuk merupakan lembaga legislatif. Lembaga legislatif mengadakan
kerapatan adat di balai adat nagari (soko). Penghulu
kepala/penghulu pucuak tidak boleh menjalankan apa saja tanpa melalui
musyawarah semua penghulu suku terlebih dahulu. Begitu juga suara yang dibawa
oleh penghulu suku dalam kerapatan nagari adalah suara keputusan
musyawarah dalam sukunya.
Hak seorang penghulu
suku antara lain adalah memungut manah (memungut pajak) yang berjumlah
“sapuluh satu”, artinya 10%. Ungkapan seperti “Ka rimbo babungo kayu, ka
tambang babungo ameh, ka ladang ampiang” menunjukkan bahwa penghulu suku
berhak memungut pajak atas beberapa hasil. Hak lain adalah uang ganti rugi
retribusi yang dikenakan bagi orang luar yang membuka hutan untuk berladang di
tanah ulayatnya.
Selain itu, dalam mengerjakan
sawah ladangnya, penghulu berhak dibantu oleh penduduk, terutama keponakannya
secara sukarela. Tanah, pekarangan, istana raja, dan istana khalifah digarap
tiga kali setahun. Pendapatan raja lainnya berasal dari monopoli penjualan
gading gajah. Gading gajah dibeli oleh raja dengan harga setengah dari harga
pasaran. Di Kampar Kiri, raja memonopoli penjualan emas. Pendapatan raja yang
besar adalah dari hasil sawah ladang dan ternaknya sendiri. Sesudah Belanda
masuk, hak raja untuk monopoli dan hak pancung alas (pajak hutan/kayu)
dihapuskan.
Syarat berdirinya
sebuah nagari yaitu terdapat masjid, balai adat, lapangan, dan pasar labuah
nan ramai). Antara bidang eksekutif (rumah gadang), legislatif (balai
adat), ekonomi (pasar/labuah), serta agama (masjid) saling terkait.
Empat sarana tersebut menjadi syarat utama bagi terbentuknya sebuah
pemerintahan adat.
Sebuah nagari terdiri dari koto, kampuang, dusun, dan
teratak. Sebuah nagari dapat terdiri dari beberapa koto
karena perkembangannya. Koto biasanya sebagai pusat pemukiman dan di situ terdapat
balai adat, masjid, lapangan, dan jalan yang agak ramai. Koto adalah
tempat berdirinya masjid nagari, balai adat, dan rumah gadang (soko)
setiap suku. Dulu mungkin ada tanah ulayat suku, tetapi sekarang yang
tinggal hanyalah ulayat kuburan suku. Oleh karena nagari-nagari di
kedua daerah ini terletak di pinggir sungai, biasanya lokasi koto itu
terletak di daerah yang lebih tinggi dari lainnya. Barangkali hal ini ada
hubungannya dengan pandangan tradisional yang beranggapan bahwa tempat yang
tinggi dipandang lebih suci. Alasan lain adalah untuk menghindari bahaya banjir.
Koto dibagi lagi dalam beberapa kampung. Penduduk dalam satu
kampung merupakan satu kesatuan suku. Pola perkampungan mengelompok menurut
suku (klan), kemudian karena perkembangan dan mobilitas penduduk, pola
perkampungan yang mengelompok ini berubah. Pengelompokan ini ada hubungannya
dengan sejarah terjadinya sebuah nagari yang dimulai dengan pembukaan
hutan oleh beberapa keluarga. Proses pertama membangun teratak,
kemudian berubah menjadi dusun dan kampung serta seterusnya menjadi koto.
Akhirnya, koto dapat berkembang menjadi nagari.
Ladang dan sawah
terletak di luar koto. Perladangan dibangun
dengan jalan menebang hutan secara bersama-sama oleh kelompok banjar.
Pola seperti ini ada di kedua daerah tersebut (Rahim A. dkk., 1984/1985). Pada
zaman dulu, setiap koto diberi parit atau pagar yang terbuat dari kayu,
bambu, dinding batu, atau tanah liat untuk menjaga keamanan. Daerah sekitar koto,
termasuk dusun, teratak, tanah perladangan/sawah, hutan serta
sungai-sungai yang ada dalam lingkungan nagari adalah tanah ulayat
nagari. Semua warga masyarakat nagari berhak menikmati hasil serta
apa saja yang hidup dan ada di atasnya. Bagi orang luar yang memungut hasil
atau mengolah tanah wajib membayar retribusi kepada penghulu. Tanah milik
pribadi tidak dikenal, kecuali hak milik terbatas, sedangkan tanah pusaka
merupakan tanah komunal yang hak pakainya turun-temurun. Dalam perkembangannya,
kemudian ada tanah yang dibeli, disewakan, atau dipinjamkan. Setelah berlakunya
UUPA 1960, tanah jenis ini dikenal sebagai tanah hak milik bebas.
Pemimpin di bidang agama dalam sebuah kerajaan adalah khadi yang berkedudukan
di ibu kota kerajaan. Ia bertugas dan berwenang melaksanakan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah agama, misalnya mengawinkan orang, membacakan doa pada
upacara penobatan raja, serta upacara-upacara kerajaan lainnya seperti
pernikahan raja, pernikahan anggota keluarganya, dan pernikahan
pembesar-pembesar istana lainnya. Tugas khadi juga mengumpulkan semua
zakat fitrah masyarakat, termasuk dari anggota keluarga raja. Sebagian dari
dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan agama, seperti membangun
masjid di ibukota kerajaan atau disumbangkan kepada pembangunan masjid-masjid
lainnya.
5. Kedudukan Dan
Pengaruh Adat Dalam Pemerintahan Sekarang
Kedudukan dan
pengaruh kaum adat mulai mengalami goncangan setelah masuknya tentara Jepang
pada tahun 1942 dan semakin bergeser setelah masa Revolusi Kemerdekaan
Republik Indonesia tahun 1945–1950. Kedua daerah bekas kerajaan ini dijadikan
kawedanan. Kekuasaan kaum adat digantikan administrasi pemerintahan Republik
Indonesia. Keadaan ini merupakan suatu revolusi, yaitu perombakan total.
Daerah yang sebelumnya merupakan sebuah kerajaan sekarang hanya menjadi
kawedanan. Fungsi raja dan urang godang/khalifah dihapus sama sekali, sedangkan
fungsi penghulu kepala/pucuak nagari diubah menjadi wali nagari.
Jabatan ini tidak lagi ditentukan menurut garis keturunan, tetapi atas dasar
pemilihan oleh rakyat menurut kemampuan dan republiken. Pemilihan wali
nagari berpedoman pada Indische Staats Regeling Pasal 128.
Masyarakat desa berwenang memilih kepala desa yang dikehendakinya yang
pelaksanaannya ditetapkan oleh bupati sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Kedudukan kaum adat
pada masa sebelum kebijakan Pelita adalah membantu kepala desa dalam wadah
Lembaga Masyarakat Adat. Meskipun kaum adat hanya berfungsi sebagai pembantu
dan bukan lagi sebagai pengambil keputusan, akan tetapi pengaruh dan peran
mereka dalam masyarakat masih besar. Kalau berbicara
tentang kaum adat, berarti juga membicarakan tentang kaum ulama. Dengan kata
lain, kaum adat dan kaum ulama sebelum Pelita berada dalam satu kesatuan yang
kokoh.
Sesudah keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Pasal 4 tentang
Pemerintahan Desa, di samping kepala desa terdapat suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pembantu kepala desa dalam pembangunan yang bernama Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Lembaga ini dijadikan wadah tokoh-tokoh
masyarakat pedesaan yang ditunjuk oleh kepala desa/lurah dengan persetujuan
camat. Fungsi LKMD adalah untuk membantu kepala desa/lurah dalam
melaksanakan pembangunan. Masalahnya sekarang adalah bahwa tokoh adat yang
duduk pada lembaga terbatas jumlahnya. Mereka tidak dapat mewakili semua tokoh
adat yang ada di desa. Berdasarkan penelitian tahun 1981, proses pemilihan
tokoh adat yang duduk di LKMD bukan melalui kesepakatan semua tokoh adat di
desa, tetapi atas dasar penunjukan. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan tidak seperti yang diharapkan, meskipun hal ini tidak terjadi di
semua desa. Seperti diketahui, peran dan pengaruh tokoh adat masih
besar pada sebagian besar desa di Riau (Rahim A. dkk., 1981/1982). Barangkali
perlu dicari jalan keluar yang lebih baik agar partisipasi aktif dari semua
lapisan masyarakat dalam pembangunan ini dapat meningkat dan menyeluruh, sehingga
hal yang ingin dicapai dalam pembangunan desa betul-betul menjadi kenyataan.
(Dari berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar