Rabu, 29 Juli 2020

LEGENDA AWANG TIKULUAK

LEGENDA AWANG TIKULUAK
CERITA RAKYAT LIPATKAIN


Tersebutlah suatu cerita rakyat tentang awang Tikuluak, awang Tikuluk adalah nama sebuah rawa yang terdapat di Negeri Lipatkain di tepi Kampung Maliliang. Rawa atau awang atau disebut juga “Bonca Tikuluak” memiliki luas lebih kurang 10 hekatar, memiliki Loghan (anak Sungai kecil yang bermuara di Muara Sungai Sitingkai, sungai kecil ini berhulu di sebuah tempat yang bersama Bukit balam, dalam ulayat negeri Lipatkain.
Pada masa dahulunya Awang atau Bonca ini belum ada yang ada hanyalah sebuah anak sungai kecil saja, kemudian sungai kecil ini menjadi sebuah rawa yang cukup luas, dan kalau sungai Sitingkai mengalami banjir maka kawasan rawa ini membentuk sebuah danau.
Menurut Hikayat atau cerita Rakyat di Negeri Lipatkain, dan diyakini turun temurun, diceritakan dari generasi kegenerasi bahwa penyebab munculnya awang tikuluk ini karena suatu peristiwa legenda “ anak durhaka kepada ibunya. Begini gambaran cerita rakyatnya.
Di negeri Lipatkain pada masa dahulunya, tepatnya di kampung Maliliang, hidup seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Wanita atau perempuan janda tersebut memiliki seorang anak gadis yang cantik Jelita bernama “ Gadi Umbai” (dibuat Penulis). Sementara ibunya bernama “ Mak Mina” ( dibuat oleh Penulis).
Mak Mina ini, semenjak suaminya meninggal, dia yang bekerja menghidupi anak-anaknya, mak Mina sebagaimana orang lain bekerja sebagai peladang/petani.  Mak Mina memiliki ladang dan kebun di Seberang Loghang atau Sungai kecil itu. Di ladang tersebut ditanami padi, Sokui, Jaguang, Nyolai dan tanaman sayur sayuran. Hasil dari perladang dan bertani tersebut akan dijual sebagai mata pencaharian bagi keluarganya.
Sebagai tulang Punggung keluarga setelah wafatnya sang suami, membuat nasib mak Mina Kurang beruntung secara ekonomi (miskin), kondisi ini ditambah mak mina memiliki seorang anak perempuan, yang pada masa ayahnya masih hidup tergolong anak yang dimanjakan oleh ayahnya, hal ini karena ayahnya termasuk orang yang berada (kaya).
Gadi Umbai sang anak, tumbuh menjadi anak yang cantik, pemalas  dan manja di kampungnya, sementara sang ibu harus membanting tulang mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Pagi-pagi makmina sudah bekerja di lading, sementara si anak bangun tengah hari tidak mau mmebantu ibunya bekerja di lading.
Hari kehari dihabiskan oleh gadi Umbai, bermain-main saja di kampung, bersama kawan-kawan sepermainannya, sikap dan tingka lakunya semakin durhaka kepada ibunya, tidak jarang dia merasa malu memiliki ibu yang miskin seperti mak Mina.
Kedurhakaan Si gadi Umbai, sampai-sampai diwaktu menyajikan makanan dirumah kepada ibunya, makanan untuk ibunya diletakkan di dalam “ Sayak’ atau tempurung kelapa, bukan diatas Pinggan (piring) sebagaimana layaknya.
Melihat kelakuan anaknya mak mina sangat bersedih hati, berulang kali makmina memberikan nasehat, tetapi nasehet itu dianggap angina lalu saja oleh sianak. Bahkan Si gadi umbai merasa terhina memiliki seorang ibu yang miskin dan buruk rupa.
Pada suatu hari, karena Bosan dirumah, gadi Umbai ikut keladang melihat ibunya bekerja di seberang Loghan/ Sungai di kampungnya. Melihat perubahan perangai anaknya si ibu merasa gembira, mungkin gadi Umbai sudah mulai sadar fikir Mak Mina.
Sesampai diladang, gadi umbai Bukannya membantu ibunya bekerja “menuai Padi dan Nyolai” tapi Gadi Umbai sibuk bermain-main di aliran Loghan sungai saja. Setelah hari petang maka si ibu mengumpulkan hasil Panen kedalam “ Kumbuik dan Ombuang” ( alat penyimpan hasil panen) tradisional Lipatkain. Karena hasil panen cukup banyak maka makmina membawa beban panen yang cukup banyak di letakkan di dalam “Ombuang”. Sementara hasil panen yang sedikit di letakkan  di dalam “ Kombuik”.
Pada waktu mau kembali kerumah, mak mina meminta tolong kepada anaknya untuk membantu membawa Kombuik padi hasil panen tersebut. Tapi malang tak bisa di tolak, mujur tak dapat diraih, bukan bantuan yang didapat justru hamun carut yang di sampaikan oleh Gadi umbai kepada ibunya.
Dengan perasaan hancur dan sedih, akhirnya Ombuang dan Kombuik tersebut dibawah oleh Makmina sendiri, dengan tertati-tati mak Mina berjalan membawa beban berat hasil panen dibelakang. Sementara gadi Umbai melenggang lengkok bak penari saja berjalan di depan ibunya.
Pada waktu berjalan melewati Titian Loghan sungai kecil itu menuju kampung, maka kaki kiri Gadi umbai tergelincir dan Jatuh ke dalam Loghan itu. Setelah jatuh ke dalam Loghan gadi umbai berteriak meminta Tolong kepada ibunya “ Omak-omak tolong deyen Omak”. Jerit gadi Umbai.
Karena masih sakit hati karena hamun carut gadi umbai di lading, mak minah cuek saja, dia kemudian berjalan diatas titian loghan dan sampai kesebarang dengan selamat.
Sesampai diseberang, Makmina masih mendengar jeritan gadi Umbai meminta tolong, Mak tolong tarek ambo mak, bonac Ku maisok ambo mak (Mak tolong saya mak rawa ini menarik saya mak) begitu lolongan si gadi Umbai. Mak Mina pun menoleh dia melihat rawa itu sudah menelam badan anaknya sampai ke dadanya.
Mak mina merasa gadi umbai hanya bercanda saja sebab dia sering mencandai ibunya, setahu mak mina loghan ini sebelumnya tidak memiliki lumpur hisap, sebab hampir saban waktu makmina menjadikan anak sungai ini sebagai tempat mandi dan mencuci di ladanny. Kemudian Loghan ini juga sering makmina jadikan tempat mencari ikan dengan “sembighai atau Luka” sebab loghan sungai ini banyak ikannya seperti, ikan Bakok, uwan, ikan sepat, ikan limbek dan sebagai-sebainya.
Mak mina terus berjalan pulang, membiarkan anaknya bangkit sendiri dari lumpur lungai tanpa harus di Tolong, “ jangan manjo fikir mak Mina dalam hati”.
Setelah berjalan beberapa langkah dari Titian, Jeritan gadi Umbai semakin Keras, Mak tolong ambo den mak, Lumpur iko semakin Kuat maisok, mak tabonam den le mak, mati den le mak, begitu kira-kira jeritan, permohonan dari gadi Umbai sambil menangis.
Mak mina kemudian menoleh kebelakang, dan dilihatnya lumpur sungai sudah sampai di leher anak gadisnya, maka dengan berlari skencang-kencangnya makmina mengenjar Gadi umbai dan berusaha meraih tangan si anak,,Tapi nasib berkata lain. Gerakan Orang Tua ini kalah cepat dengan Hisapan lumpur hidup tersebut.
Tangan mak mina hanya mampu merai ujung rambut sianak dan dapat menarik penutup kepala yang biasa dipakai oleh gadi umbai ketika keluar rumah, orag kampung menyebutnya “ TIKULUK”. Secepat kedipan mata tubuh Gadi Umbai hilang ditelan Bumi, sang ibu hanya mampu menyelamatkan Tikuluk atau selendangnya saja.
Dengan perasaan sedih, maka pulanlah makmina ke kampungnya dan memberitahukan kejadian ini kepada orang kampung. Dan mentakan bhawa dia hanya mampu menyelamatkan “ Tikuluk Sigadi umbai” dia telah ditelan oleh Lumpur Hisap di Loghan Bukik Maliliang tersebut.
Maka orang-orang kampung pun beramai-ramai dating ketepi Loghan itu, untuk menolong si gadi Umbai, akan tetai Pencipta alam berkehendak lain, Sungai yang tadinya kecil dan dangkal berubah menjadi rawa yang cukup luas, lubang lumpur hisap tersebut mengeluarkan air bercampur lumpur terus-menerus, sehingga membentuk sebuh danau lumpur yang disebut penduduk kampung “ Awang”. Maka awang tersebut diberi nama “ Awang Tikuluk”.
Menurut Legenda masyarakat Lipatkain, bahwa setelah kejadian tersebut Sungai Loghan Bukit maliliang ini, berubah menjadi sebuah rawa/ awang, dan Gadi umbai yang durhaka kepada ibunya ini menjelma menjadi seekor induk Linta sebesar Nyiru (sebagai Penunggu awang Tikuluk). Sehingga hari ini, anak-anak di Lipatkain taku untuk bermain di sekitar rawa tersebut, karena memang rawa awang Tikuluk terkenal banyak di huni oleh “Lintah”.
Cerita Rakyat ini sangat terkenal di Lipatkain, bisanya cerita ini diceritakan oleh orang tua mereka kepada anak-anaknya sebelum tidur pada zaman dahulu, diwaktu televisi belum masuk kampung, disamping itu cerita-cerita rakyat ini mengandung pesan Moral dan akhlak kepada generasi Muda di Negeri Lipatkain Kampar Kiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar