LEGENDA AWANG TIKULUAK
CERITA
RAKYAT LIPATKAIN
Tersebutlah suatu
cerita rakyat tentang awang Tikuluak, awang Tikuluk adalah nama sebuah rawa yang
terdapat di Negeri Lipatkain di tepi Kampung Maliliang. Rawa atau awang atau
disebut juga “Bonca Tikuluak” memiliki luas lebih kurang 10 hekatar, memiliki
Loghan (anak Sungai kecil yang bermuara di Muara Sungai Sitingkai, sungai kecil
ini berhulu di sebuah tempat yang bersama Bukit balam, dalam ulayat negeri
Lipatkain.
Pada masa dahulunya Awang atau Bonca ini belum ada yang ada hanyalah sebuah anak sungai kecil saja,
kemudian sungai kecil ini menjadi sebuah rawa yang cukup luas, dan kalau sungai
Sitingkai mengalami banjir maka kawasan rawa ini membentuk sebuah danau.
Menurut Hikayat atau
cerita Rakyat di Negeri Lipatkain, dan diyakini turun temurun, diceritakan dari
generasi kegenerasi bahwa penyebab munculnya awang tikuluk ini karena suatu
peristiwa legenda “ anak durhaka kepada ibunya. Begini gambaran cerita
rakyatnya.
Di negeri Lipatkain
pada masa dahulunya, tepatnya di kampung Maliliang, hidup seorang wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya. Wanita atau perempuan janda tersebut memiliki
seorang anak gadis yang cantik Jelita bernama “ Gadi Umbai” (dibuat Penulis).
Sementara ibunya bernama “ Mak Mina” ( dibuat oleh Penulis).
Mak Mina ini, semenjak
suaminya meninggal, dia yang bekerja menghidupi anak-anaknya, mak Mina
sebagaimana orang lain bekerja sebagai peladang/petani. Mak Mina memiliki ladang dan kebun di
Seberang Loghang atau Sungai kecil itu. Di ladang tersebut ditanami padi, Sokui,
Jaguang, Nyolai dan tanaman sayur sayuran. Hasil dari perladang dan bertani
tersebut akan dijual sebagai mata pencaharian bagi keluarganya.
Sebagai tulang
Punggung keluarga setelah wafatnya sang suami, membuat nasib mak Mina Kurang
beruntung secara ekonomi (miskin), kondisi ini ditambah mak mina memiliki
seorang anak perempuan, yang pada masa ayahnya masih hidup tergolong anak yang
dimanjakan oleh ayahnya, hal ini karena ayahnya termasuk orang yang berada
(kaya).
Gadi Umbai sang anak,
tumbuh menjadi anak yang cantik, pemalas
dan manja di kampungnya, sementara sang ibu harus membanting tulang
mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Pagi-pagi makmina sudah bekerja di lading,
sementara si anak bangun tengah hari tidak mau mmebantu ibunya bekerja di
lading.
Hari kehari dihabiskan
oleh gadi Umbai, bermain-main saja di kampung, bersama kawan-kawan
sepermainannya, sikap dan tingka lakunya semakin durhaka kepada ibunya, tidak
jarang dia merasa malu memiliki ibu yang miskin seperti mak Mina.
Kedurhakaan Si gadi
Umbai, sampai-sampai diwaktu menyajikan makanan dirumah kepada ibunya, makanan
untuk ibunya diletakkan di dalam “ Sayak’ atau tempurung kelapa, bukan diatas
Pinggan (piring) sebagaimana layaknya.
Melihat kelakuan
anaknya mak mina sangat bersedih hati, berulang kali makmina memberikan
nasehat, tetapi nasehet itu dianggap angina lalu saja oleh sianak. Bahkan Si gadi umbai merasa terhina memiliki seorang ibu yang miskin dan buruk rupa.
Pada suatu hari,
karena Bosan dirumah, gadi Umbai ikut keladang melihat ibunya bekerja di seberang
Loghan/ Sungai di kampungnya. Melihat perubahan perangai anaknya si ibu merasa
gembira, mungkin gadi Umbai sudah mulai sadar fikir Mak Mina.
Sesampai diladang,
gadi umbai Bukannya membantu ibunya bekerja “menuai Padi dan Nyolai” tapi Gadi
Umbai sibuk bermain-main di aliran Loghan sungai saja. Setelah hari petang maka
si ibu mengumpulkan hasil Panen kedalam “ Kumbuik dan Ombuang” ( alat penyimpan
hasil panen) tradisional Lipatkain. Karena hasil panen cukup banyak maka
makmina membawa beban panen yang cukup banyak di letakkan di dalam “Ombuang”.
Sementara hasil panen yang sedikit di letakkan di dalam “ Kombuik”.
Pada waktu mau kembali
kerumah, mak mina meminta tolong kepada anaknya untuk membantu membawa Kombuik
padi hasil panen tersebut. Tapi malang tak bisa di tolak, mujur tak dapat
diraih, bukan bantuan yang didapat justru hamun carut yang di sampaikan oleh Gadi
umbai kepada ibunya.
Dengan perasaan hancur
dan sedih, akhirnya Ombuang dan Kombuik tersebut dibawah oleh Makmina sendiri,
dengan tertati-tati mak Mina berjalan membawa beban berat hasil panen
dibelakang. Sementara gadi Umbai melenggang lengkok bak penari saja berjalan di
depan ibunya.
Pada waktu berjalan
melewati Titian Loghan sungai kecil itu menuju kampung, maka kaki kiri Gadi
umbai tergelincir dan Jatuh ke dalam Loghan itu. Setelah jatuh ke dalam Loghan
gadi umbai berteriak meminta Tolong kepada ibunya “ Omak-omak tolong deyen
Omak”. Jerit gadi Umbai.
Karena masih sakit
hati karena hamun carut gadi umbai di lading, mak minah cuek saja, dia kemudian
berjalan diatas titian loghan dan sampai kesebarang dengan selamat.
Sesampai diseberang,
Makmina masih mendengar jeritan gadi Umbai meminta tolong, Mak tolong tarek
ambo mak, bonac Ku maisok ambo mak (Mak tolong saya mak rawa ini menarik saya
mak) begitu lolongan si gadi Umbai. Mak Mina pun menoleh dia melihat rawa itu
sudah menelam badan anaknya sampai ke dadanya.
Mak mina merasa gadi
umbai hanya bercanda saja sebab dia sering mencandai ibunya, setahu mak mina
loghan ini sebelumnya tidak memiliki lumpur hisap, sebab hampir saban waktu
makmina menjadikan anak sungai ini sebagai tempat mandi dan mencuci di ladanny.
Kemudian Loghan ini juga sering makmina jadikan tempat mencari ikan dengan
“sembighai atau Luka” sebab loghan sungai ini banyak ikannya seperti, ikan
Bakok, uwan, ikan sepat, ikan limbek dan sebagai-sebainya.
Mak mina terus berjalan
pulang, membiarkan anaknya bangkit sendiri dari lumpur lungai tanpa harus di
Tolong, “ jangan manjo fikir mak Mina dalam hati”.
Setelah berjalan
beberapa langkah dari Titian, Jeritan gadi Umbai semakin Keras, Mak tolong ambo
den mak, Lumpur iko semakin Kuat maisok, mak tabonam den le mak, mati den le
mak, begitu kira-kira jeritan, permohonan dari gadi Umbai sambil menangis.
Mak mina kemudian
menoleh kebelakang, dan dilihatnya lumpur sungai sudah sampai di leher anak
gadisnya, maka dengan berlari skencang-kencangnya makmina mengenjar Gadi umbai
dan berusaha meraih tangan si anak,,Tapi nasib berkata lain. Gerakan Orang Tua
ini kalah cepat dengan Hisapan lumpur hidup tersebut.
Tangan mak mina hanya
mampu merai ujung rambut sianak dan dapat menarik penutup kepala yang biasa
dipakai oleh gadi umbai ketika keluar rumah, orag kampung menyebutnya “
TIKULUK”. Secepat kedipan mata tubuh Gadi Umbai hilang ditelan Bumi, sang ibu
hanya mampu menyelamatkan Tikuluk atau selendangnya saja.
Dengan perasaan sedih,
maka pulanlah makmina ke kampungnya dan memberitahukan kejadian ini kepada
orang kampung. Dan mentakan bhawa dia hanya mampu menyelamatkan “ Tikuluk
Sigadi umbai” dia telah ditelan oleh Lumpur Hisap di Loghan Bukik Maliliang
tersebut.
Maka orang-orang
kampung pun beramai-ramai dating ketepi Loghan itu, untuk menolong si gadi
Umbai, akan tetai Pencipta alam berkehendak lain, Sungai yang tadinya kecil dan
dangkal berubah menjadi rawa yang cukup luas, lubang lumpur hisap tersebut
mengeluarkan air bercampur lumpur terus-menerus, sehingga membentuk sebuh danau
lumpur yang disebut penduduk kampung “ Awang”. Maka awang tersebut diberi nama
“ Awang Tikuluk”.
Menurut Legenda
masyarakat Lipatkain, bahwa setelah kejadian tersebut Sungai Loghan Bukit
maliliang ini, berubah menjadi sebuah rawa/ awang, dan Gadi umbai yang durhaka
kepada ibunya ini menjelma menjadi seekor induk Linta sebesar Nyiru (sebagai
Penunggu awang Tikuluk). Sehingga hari ini, anak-anak di Lipatkain taku untuk
bermain di sekitar rawa tersebut, karena memang rawa awang Tikuluk terkenal
banyak di huni oleh “Lintah”.
Cerita Rakyat ini
sangat terkenal di Lipatkain, bisanya cerita ini diceritakan oleh orang tua
mereka kepada anak-anaknya sebelum tidur pada zaman dahulu, diwaktu televisi
belum masuk kampung, disamping itu cerita-cerita rakyat ini mengandung pesan
Moral dan akhlak kepada generasi Muda di Negeri Lipatkain Kampar Kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar