Sabtu, 15 Oktober 2016

SISTEM HUKUM KOLONIAL

MENGENALI NEKOLIM
(BELAJAR DARI DE LANDRAAD)

Litograf “de Landraad” Litograf “de Landraad” tidak hanya menggambarkan situasi penjajahan pada pra-kemerdekaan, atau yang disebut Kolonialisme (lama). Tetapi juga didalamnya menyiratkan simbol-simbol tokoh yang berperan dalam terjadinya penjajahan secara umum. Dari litograf ini, kita juga bisa belajar untuk mengenali siapa-siapa yang berperan dalam nekolim, Neo Kolonialisme-Imperialisme, penjajahan yang sedang terjadi dan selalu mengancam negeri ini. Litograf “de Landraad” dibuat berdasarkan foto sidang de Landraad di Pati, Jawa Tengah, yang terjadi sekitar tahun 1875. Foto aslinya berjudul “Zitting van de Landraad in Pati” (pertemuan dewan tanah di Pati), merupakan koleksi Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda, dengan nomor koleksi TMnr 60005267. Sedangkan litograf tersebut baru dibuat pada tahun 1968, sebagai repro, yang kini juga menjadi koleksi Tropenmuseum, dengan nomor koleksi TMnr 3728-472. De Landraad Secara etimologi, “de Landraad” jika diterjemahkan kurang lebih berarti “Dewan Tanah”. Tetapi secara istilah dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “Lembaga Peradilan Daerah”, yaitu sebuah peradilan umum di Nederlands-Indië (Hindia-Belanda) yang memutus perkara perdata dan pidana diantara penduduk Hindia-Belanda yang bersengketa atau berperkara. Jika dibandingkan dengan lembaga peradilan masa kini, kira-kira setara dengan Pengadilan Negeri.
Di Hindia-Belanda berlaku dua sistem hukum, yaitu Hukum Adat (termasuk syari’at) dan Hukum Barat (Belanda). Pribumi pada dasarnya menggunakan hukum adat dan syari’at untuk mereka yang muslim. Hukum Belanda hanya berlaku bagi orang Belanda beserta keturunannya, golongan Eropa (Kulit Putih), dan sebagian golongan Timur-Asing seperti Cina juga India. Akan tetapi terdapat asas “Penundukan Diri” untuk yang memilih patuh dan tunduk pada hukum Belanda, sehingga ada pribumi, termasuk arab, yang memilih terikat dengan hukum Belanda dan meninggalkan hukum adat dan syari’at. Banyak yang memilih hukum Belanda dengan asas penundukan diri ini.
Dengan dua sistem hukum tersebut, tidak akan menjadi masalah jika yang bersengketa atau berperkara menggunakan hukum yang sama. Namun jika pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara menganut hukum yang berlainan, maka akan diberlakukan hukum Belanda dalam memutusnya. Biasanya yang berperkara adalah sesama rakyat jelata pribumi. Namun sangat berbeda ketika yang berperkara adalah antara ningrat lokal, bule belanda, atau taipan cina yang melawan rakyat jelata. Dari sidang seperti ini, seringkali rakyat jelata menjadi pesakitan yang selalu kalah dengan golongan atas tersebut. Dalam de Landraad, sidang berjalan dengan dihadiri beberapa pihak yang ‘berwenang’, yaitu: Satu orang hakim yang memimpin persidangan (jurist die voorzitter), dua orang atau lebih pemuka adat/ningrat (vooraanstaande inheemse leden). Selain itu juga didampingi oleh pemuka agama Islam yang disebut Penghulu (de penghoeloe), panitera (de griffier), dan jaksa (de djaksa). Berdasarkan litograf diatas, jalannya de Landraad dapat di-ilustrasikan sebagai berikut: Sidang de Landraad digelar karena adanya perkara pidana antara seorang taipan yang berperkara dengan dua orang pribumi. Entah siapa yang menjadi korban/saksi dan siapa yang menjadi terdakwa, sebab tidak merubah posisi duduk mereka dalam sidang. Taipan tetap duduk dikursi dan kedua pribumi tetap duduk bersila dilantai. Tapi dalam hal ini kita asumsikan taipan sebagai ‘korban’ dan pribumi yang menjadi terdakwa. Sidang tersebut dipimpin oleh seorang hakim Belanda, yang bertindak memutus perkara. Dua orang ningrat Jawa, sebagaimana kaum feodal umumnya, bertindak sebagai pemuka adat akan memberikan penjelasan kepada hakim tentang pandangan hukum adat atas perkara yang sedang disidangkan. Seorang penghulu, sebagai pemuka agama Islam, juga akan memberikan pandangannya berdasarkan hukum Islam, dikarenakan pihak terdakwa adalah pribumi-muslim. Pandangan dari para ningrat dan penghulu hanya menjadi bahan pertimbangan saja, bukan untuk dasar memutus perkara, karena hukum yang dipakai tetap menggunakan hukum Barat. Kadangkala kehadiran ningrat dan penghulu tidak memberikan keterangan apa-apa, kecuali hanya hadir dalam sidang sebagai formalitas. Seorang panitera yang bertugas kepaniteraan pengadilan, biasanya dari kalangan pribumi yang terdidik. Dan yang terakhir, seorang jaksa yang melakukan penuntutan dalam sidang. Seorang jaksa biasanya juga seorang belanda seperti halnya hakim. Para pribumi yang menjadi abdi dalem ningrat, pegawai pemerintahan kolonial, centéng, atau rakyat jelata, hanya bisa menonton jalannya persidangan. Lalu bisa kita bayangkan, bagaimana jalannya sidang de Landraad ini dan akhir nasib kedua pribumi yang menjadi terdakwa tersebut. Dari Kolonialisme menuju Neo Kolonialisme-Imperialisme (Nekolim) Lembaga peradilan de Landraad berlangsung pada jaman Kolonialisme, hingga sebelum kedatangan Jepang ditahun 1942. Kolonialisme adalah metode penjajahan bangsa asing dengan metode lama, yaitu menguasai obyek jajahan secara fisik melalui proses kolonisasi yang dikendalikan secara langsung oleh para kolonis, untuk kepentingan bangsa (ras) kaum kolonis, baik yang berada di daerah koloni maupun yang berada di homeland-nya. Dalam kolonialisme, interaksi antara pribumi dengan kaum kolonis seringkali timbul konflik diantaranya, yang kemudian harus diselesaikan secara formal dalam peradilan. Selesainya konflik dimeja hijau tidak serta merta habis perkara diantara pribumi dan kaum kolonisnya. Tak jarang timbul perkara-perkara baru mengikuti interaksi pribumi dan kaum kolonis ini, tentunya dengan sentimen ras. Belum lagi hasil interaksi pribumi dengan timur-asing yang notabene pendatang juga, turut menimbulkan persoalan yang serupa dinegeri ini. Dari ilustrasi dalam litograf sangat nampak, akibat yang dapat timbul dari perbedaan ras. Maka kita bisa dengan mudah mengidentifikasi penjajah/musuh kita dalam kolonialisme, yaitu “Bangsa Asing”. Namun beda ketika kita merdeka dan berhadapan dengan penjajahan baru. Penjajahan baru setelah Kolonialisme disebut dengan Neo Kolonialisme-Imperialisme atau disingkat Nekolim. Metode yang digunakan bukan lagi penguasaan obyek jajahan secara fisik/langsung, melainkan memanfaatkan antek-anteknya yang berada dinegeri obyek jajahan. Karena faktor perbedaan ras dapat menjadi identifikasi ancaman untuk dijadikan alasan perlawanan, maka untuk mengurangi risiko tersebut, bangsa asing bermental imperialis akan memakai antek yang notabene pribumi juga. Siapa para antek asing ini? Mereka adalah pribumi yang khianat terhadap Allah dan ras-nya sendiri, dengan menjadi pelayan bangsa asing, baik karena kecintaannya atau karena simbiosis-mutualisme untuk memperoleh sedikit remeh-remah keuntungan dari yang diperoleh bangsa asing tersebut. Bahkan ada pula dari para pengkhianat ini bukan bagian dari antek asing, tapi ikut-ikutan menghisap ras-nya sendiri. Antek asing bukan hanya diartikan sebagai bangsa lain, tetapi juga diartikan menjadi antek bagi rezim globalis. Makhluk semacam ini selalu ada setiap jaman. Seperti halnya dalam kolonialisme, dalam nekolim juga terdapat pengkhianat, hanya saja beda ‘porsi’ dalam kedudukan strategis. Pada masa kolonialisme, posisi pejabat tinggi atau kedudukan penting lainnya masih dipegang oleh bangsa asing. Antek pribumi dari kalangan ningrat/bangsawan hanya menjadi simbol penguasa feodal pribumi, untuk dimanfaatkan kesakralan kedudukannya. Pribumi yang lebih terpelajar menjadi pekerja kerah putih semacam clerk (juru tulis). Sedangkan yang rakyat jelatanya hanya kebagian posisi kroco dan kacung saja. Bedanya dengan Nekolim adalah, setelah kita merdeka segala posisi penting dinegeri ini sudah dipegang langsung oleh pribumi. Bangsa asing imperialis tidak mungkin memegang posisi strategis lagi kecuali merebutnya melalui kekuatan bersenjata. Maka untuk mengurangi segala risiko kegagalan, para imperialis ini hanya ‘memegang’ tokoh-tokoh pribumi elit yang berada dalam sistem di negeri ini, untuk menjadi kaki-tangannya. Dengan situasi seperti ini, kita jadi lebih sulit mengidentifikasi ancaman dari nekolim, sebab musuh kita bukan hanya bangsa asing tapi juga bangsa sendiri alias sesama pribumi yang menjadi musuh dalam selimut. Lalu apa hubungannya antara litograf de Landraad, kolonialisme, dan nekolim? Meski litograf de Landraad dibuat berdasarkan gambaran situasi pada masa kolonialisme, akan tetapi simbol-simbol penokohan yang ditampilkan masih relevan mewakili pihak-pihak yang berperan dalam keberlangsungan nekolim. Karena prinsip-prinsip dalam penjajahan secara umum tetaplah sama, baik pada masa kolonialisme maupun pada masa kini melalui nekolim. Kita hanya perlu lebih jeli dalam mencermatinya. Al-Mala’ dan Dhuafa Sebagai permulaan, kita perlu memahami terlebih dahulu dua pihak dalam kelompok besar yang terdapat dalam litograf de Landraad. Sebuah pertarungan selalu melibatkan dua subyek. Kedua subyek ini terbagi menjadi Al-Mala’ dan Dhuafa. Siapakah mereka? Al-Mala’ atau Al-Mala’u diartikan sebagai “Para Pembesar”, yaitu para penguasa negeri, mereka yang memegang sistem. Tetapi perlu digarisbawahi, bahwa al-mala’ yang dimaksud adalah, para pembesar yang telah berlaku dzalim. Terutama menyebarkan kedzaliman dengan berbuat aniaya terhadap kaum dhuafa-nya sendiri. Ciri-ciri yang nampak pada al-mala’ adalah El-PraKor, yaitu Elitis, Pragmatis murni, dan Korup. Bahkan Allah telah mewahyukan ciri-ciri al-mala’ sebagai petunjuk kita mengenali mereka. Yaitu: dzalim (QS.8:54), sombong (QS.10:75), takabur (QS.23:46), fasik (QS.28:32), dan melampaui batas (QS.20:24). Penyebutan ciri-ciri ini diulang beberapa kali dalam beberapa surah, semakin mempertegas keberadaan mereka. Al-mala’ pada dasarnya adalah himpunan para elit dzalim yang kolaborasi saling mendukung posisinya berdasarkan fungsi yang dimiliki dalam society. Secara simbolik, al-mala’ ini dibagi menjadi: Fir’aun, Qorun, Haman (QS.29:39). Tentang siapa-siapa ketiga simbol ini akan dibahas pada bagian berikutnya. Berlanjut pada subyek berikutnya. Dhuafa adalah “Mereka yang lemah”, yaitu mereka yang dalam kondisi tertindas tanpa perlindungan. Ditindas oleh sistem yang dikuasai oleh al-mala’. Mereka ini pada dasarnya adalah kaum pekerja. Sehingga tidak mampu untuk melawan atau bela-diri secara mandiri ketika terjadi penindasan al-mala’ terhadap mereka, kecuali atas bimbingan dari kaum pejuang yang berasal dari golongannya sendiri. Untuk detilnya hal ini, baca Tiga Macam Manusia. Bagaimana simbolik kedua pihak ini dapat terbagi? Coba perhatikan meja yang digunakan dalam sidang. Dari posisinya sudah menyiratkan batas antara al-mala’ dengan kaum dhuafa. Mereka yang dalam keadaan duduk, posisi kepalanya lebih tinggi daripada meja adalah para pembesar atau setidak-tidaknya punya kedudukan dalam masyarakat. Sedangkan mereka yang dalam keadaan duduk juga, namun posisi kepalanya lebih rendah dari meja adalah rakyat jelata. Mengapa meja yang menjadi batas dari kedua subyek ini? Sebab meja sendiri adalah sebuah simbol. Simbol sebuah sistem. Kemudian berkaitan dengan posisi kepala yang lebih tinggi dan yang lebih rendah dari permukaan meja, tidak bisa terlepas dari apa yang terdapat di atas meja. Al-mala’ dengan posisi kepala yang lebih tinggi akan mengetahui segala sesuatu yang terletak diatas meja. Artinya hanya al-mala’ saja yang dapat mengetahui seluk-beluk sistem. Sedangkan rakyat jelata dengan posisi kepala yang lebih rendah daripada meja, tidak dapat melihat apa-apa yang ada diatas meja, dan tidak bisa mengetahui yang terjadi di atas meja. Sehingga tak heran, para pembesar ini sering kasak-kusuk terhadap rakyat jelata di atas ‘meja’ yang dikuasainya. Fir’aun Simbol pertama dari al-mala’ adalah Fir’aun. Nama Fir’aun sendiri merupakan jabatan tertinggi yang menguasai negeri Qibti. Wewenang Fir’aun meliputi pemerintahan sipil dan militer. Dalam Qur’an sendiri dituliskan betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki Fir’aun. Sehingga Fir’aun adalah simbol kaum “Birokrat” dari al-mala’. Para birokrat ini menjadi kekuatan “Organisatoris” yang fungsinya mengatur jalannya negara/sistem. Mereka akan bertindak berdasarkan jalur formil, melalui produk hukum, aparat negara, institusi negara, lembaga negara, dll.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, akan mengatur jalur formil negara untuk kepentingan al-mala’. Sehingga segala perilaku al-mala’ yang merugikan dan menganiaya kaum dhuafa jadi punya legitimasi dan pembenaran. Dengan demikian luasnya peran Fir’aun, maka simbol Fir’aun dalam litograf de Landraad terbagi kedalam beberapa peran. Hakim adalah pemimpin dalam sidang. Maka dalam litograf tersebut, hakim disimbolkan sebagai pemimpin dari sistem, pemimpin dari negeri. Hakim adalah “Simbol Penguasa Negeri”. Dalam kolonialisme, pemimpin negara koloni adalah “Gouverneur-Generaal (Gubernur Jenderal)”. Jabatan gubernur jenderal Hindia-Belanda selalu dipegang oleh orang kulit putih atau kolonis keturunan belanda. Pucuk kepemimpinan sistem dalam kolonialisme adalah ras lain, bangsa asing. Sedangkan setelah kita merdeka, secara otomatis jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan akan dipegang oleh pribumi, sehingga kekuatan imperialis asing tidak bisa lagi menjadi pemimpin dari obyek jajahannya. Kekuatan nekolim akan selalu berusaha ‘memegang’ pemimpin negara yang hendak dijajah. Ada dua hal yang dapat terjadi, yaitu nekolim akan bersekutu dengan penguasa negeri yang menjadi antek nekolim, atau nekolim akan menggunakan kekuatan dengan invasi atau penggulingan untuk memasang bonekanya disuatu negeri. Yang pasti, terjadinya neo kolonialisme-imperialisme pasti melibatkan penguasa negara. Jaksa adalah penuntut dalam sidang. Dia adalah orang yang mengabdi untuk kepentingan negara. Dalam litograf, jaksa disimbolkan sebagai alat negara, “Simbol Aparat Negara”. Seperti halnya hakim dalam kolonialisme, seorang jaksa umumnya adalah seorang belanda atau juga keturunan belanda. Hal ini menunjukkan bahwa alat negara dalam kolonialisme juga dipegang oleh bangsa lain yang menjajah. Kebanyakan pribumi yang menjadi alat negara dalam kolonialisme, hanya menjadi pegawai rendahan atau kroco. Setelah kemerdekaan, posisi alat negara dari yang tingkat tinggi sampai rendah secara otomatis juga telah diisi semua oleh pribumi. Dengan pengabdiannya kepada negara, maka alat negara akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh negara. Keadaan ini dimanfaatkan penguasa untuk menganiaya rakyat jelata. Sehingga terjadinya nekolim akan memakai alat negara. Baik alat negara sipil, maupun alat negara militer. Ningrat adalah pemegang hukum adat. Mereka adalah tokoh masyarakat lokal yang menempati strata sosial kelas atas. Dalam litograf, ningrat adalah “Simbol Kelas Elit”. Meski bukan bagian dari pemerintah, kelas elit ini akan memiliki kedekatan dan pengaruh dengan pemerintahan. Terjadi simbiosis antara kelas elit dengan sistem. Segala kepentingan kelas elit dapat difasilitasi oleh sistem. Sebaliknya, pemerintah dapat menggunakan pengaruhnya dimasyarakat terhadap rakyat jelata. Ningrat adalah kekuatan feodal yang menjadi pemimpin bagi masyarakat lokalnya. Sejak dulu hingga sekarang, kelas elit ini selalu ada dan diisi oleh kaum feodal. Hanya bedanya, feodalis pada masa kolonialisme adalah berdasarkan darah (keturunan, trah) dan tanah yang dimilikinya. Sedangkan para feodalis terkini tidak lagi berdasarkan darah, melainkan atas dasar pada kekayaan materi yang dimilikinya. Sebagai catatan, materi yang diperoleh kelas elit tidak melulu dari ekonomi produktif. Dengan kondisi kaum feodal yang seperti itu, secara informal seringkali dijadikan ‘pemimpin’ dari masyarakat kelas dibawahnya. Kekuatan nekolim, akan menggunakan kaum elit untuk berbuat dzalim dengan kelas masyarakat dibawahnya (dhuafa). Qorun Simbol kedua dari al-mala’ adalah Qorun. Qorun adalah orang yang menguasai sektor ekonomi di negeri Qibti, dengan kekayaannya yang sangat melimpah, hingga disimpan dalam rumah dengan kunci-kunci yang diseret. Berbeda dengan Fir’aun yang berupa gelar, nama Qorun kemungkinan merujuk pada person individu. Meski menjadi bagian dari al-mala’ di negeri Qibti, tokoh Qorun sendiri bukan seorang pribumi Qibti, melainkan seorang dari Bani Israil, umat Nabi Musa AS. Namun kiranya kita bahas lebih dulu mengenai siapa Qorun itu. Yaitu orang yang menguasai perekonomian suatu negeri, terutama pada sektor produksi maupun sektor keuangan. Penguasaannya melalui lembaga korporasi. Maka Qorun adalah simbol dari kaum “Korporat” dari al-mala’. Para korporat menjadi kekuatan “Finansial” untuk membiayai segala kegiatan al-mala’. Bagaimana cara kerjanya? Kaum korporat adalah pengusaha bermental profit-oriented dengan pola pikir pragmatis-murni. Agenda orang-orang ini hanya satu yaitu keuntungan bagi korporasinya. Dengan kongkalikong bersama kaum birokrat, profit korporasinya akan bertambah, sebagai timbal-baliknya, kaum korporat akan menjadi kekuatan finansial bagi al-mala’yang lain. Dan terus berjalan seperti itu laksana lingkaran setan. Taipan adalah pengusaha dengan latar belakang bangsa Cina atau keturunan Cina. Kehadiran taipan dalam sidang, adalah sebagai salah satu pihak yang berperkara atau punya kepentingan. Secara harfiah, taipan ini dapat diartikan sebagai pengusaha asing dalam arti umum. Namun makna ini menyesuaikan seiring dengan perkembangan sistem perekonomian dan sistem sosial. Pengusaha asing pada masa kolonialisme adalah merujuk pada person individual, yaitu seorang pengusaha dengan latar belakang bangsa asing. Bisa Belanda (Kulit Putih), Cina, atau India, yang jelas non-pribumi. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, makna pengusaha asing tidak hanya sebagai person individu, tapi juga perusahaan atau korporasi sebagai organ. Korporasi dalam nekolim bukan hanya yang berbendera asing, tetapi juga yang berdiri dengan bendera multinasional. Dengan aktifitas transnasional, lintas negara, korporasi macam ini sangat cocok dengan iklim ekonomi kapitalisme ala rezim globalis. Maka simbol taipan dalam litograf selain dapat dimaknai sebagai “Simbol Pengusaha Asing”, kini dapat juga dimaknai sebagai “Simbol Korporasi Asing”, sesuai dengan era nekolim yang sedang mengancam kita. Centéng adalah orang bayaran yang mengabdi pada pengusaha. Seperti yang tergambarkan dalam litograf, kehadirannya dalam sidang de Landraad sebagai ‘bodyguard’ sang taipan. Keberadaannya bukan untuk kegiatan ekonomi normal, tapi untuk keperluan majikan diluar aktifitas ekonomi. Dalam litograf, centéng mewakili makna kaki-tangan pengusaha, “Simbol Aparat Swasta”. Cara kerjanya sama persis seperti aparat negara, hanya saja beda ‘majikan’ dan lebih fleksibel dikarenakan tidak terikat oleh sistem. Seperti halnya simbol taipan, para centéng ini juga mengalami perubahan mengikuti perkembangan sosial-ekonomi. Pada era kolonialisme, yang direkrut jadi centéng adalah perseorangan yang memiliki skill beladiri. Kini centéng pun berkembang tidak hanya sebagai perseorangan tapi juga telah menjelma jadi korporasi. Yaitu korporasi yang khusus bergerak dalam bidang keamanan swasta, bahkan juga jadi tentara bayaran sebagai korporasi militer swasta. Haman Simbol ketiga dari al-mala’ adalah Haman. Dalam Qur’an, Haman adalah sekelompok orang yang menguasai bidang-bidang ilmu pengetahuan pada pemerintahan negeri Qibti. Tidak hanya ilmu sekuler, tapi juga sekelompok orang yang menguasai ilmu dan pengetahuan dari sistem religi (agama). Ilmuan-ilmuan yang merancang dan membuat bangunan tinggi nan megah, dan para penyihir yang menjadi pemuka agama, adalah kaum yang disebut dengan Haman. Dengan menguasai ilmu pengetahuan dan sistem religi, maka Haman adalah simbol dari kaum “Teknokrat” dari al-mala’. Peran mereka adalah sebagai kekuatan “Inovasi” yang menjadi think-tank sebuah sistem. Selalu memodernisir sistem yang melayani al-mala’ lainnya dengan keilmuan yang dimilikinya. Kaidah normatif dari ilmu pengetahuan dan agama bukan lagi menjadi idealisme sistem, akan tetapi telah jadi pelayan bagi sistem yang dzalim. Haman adalah para ilmuan dan pemuka agama yang telah masuk kondisi tersebut. Panitera adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan hukum, yang bekerja untuk pengadilan. Dalam litograf, panitera digambarkan sebagai seorang pribumi terpelajar yang bekerja dalam sidang de Landraad. Maka panitera adalah “Simbol Intelektual Tukang”. Meski memiliki kedudukan dalam masyarakat karena terdidik dan terpelajar, akan tetapi ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya tidak digunakan untuk kebaikan ras bangsanya, melainkan melayani kedzaliman al-mala’. Pada masa kolonial, para intelektual tukang adalah pribumi yang memiliki akses pendidikan sehingga lebih terdidik dan terpelajar dibandingkan dengan pribumi kebanyakan, tetapi keadaan ini hanya buat mereka bekerja pada sistem kolonial sebagai ‘buruh kerah putih’. Sedangkan dalam nekolim, intelektual tukang adalah kaum cendikiawan, intelektual, maupun akademisi yang hanya ‘bekerja’ demi reputasi pribadi dan gengsi almamater. Mengabdikan ilmu hanya untuk ilmu dan ikut menerapkannya pada sistem yang dzalim. Penghulu adalah pemuka agama Islam, karena memiliki ilmu dan pengetahuan mengenai agama Islam. Dalam litograf, penghulu punya peran untuk menyampaikan pandangan hukum Islam mengenai perkara yang sedang disidangkan. Tetapi seringkali tidak demikian, melainkan mereka hanya diam. Perilaku penghulu demikian ini adalah pemuka agama yang telah rusak. Maka penghulu adalah “Simbol Ulama Su'”. Su’ atau Su’u artinya buruk atau rusak. Keburukan mereka adalah menjadi pelayan penguasa dengan ilmu agama yang dimilikinya. Menggunakan dalil-dalil agama sebagai pembenaran atas segala kedzaliman yang dilakukan al-mala’. Dalam kolonialisme, ulama su’ adalah para penghulu yang menjadi kelompok elit di masyarakatnya dan ‘mesra’ dengan bangsa asing yang dzalim. Sedangkan dalam nekolim, ulama su’ telah berkembang kepada ulama yang melalaikan umatnya. Yaitu ulama yang hanya ‘meninabobokan’ umat dengan mengejar kesalehan individual belaka. Tanpa ada kesadaran untuk membangun keumatan dan bergerak secara kolektif sebagai umat. Siapa saja mereka? Ialah ustadz yang kesohor bak selebritis, kyai yang sibuk menumpuk harta, dan ulama yang memberatkan diri pada firqohnya. Dhuafa Simbol dhuafa bukan bagian dari al-mala’. Dhuafa artinya adalah kaum yang lemah tanpa ada perlindungan. Seringkali secara quick reference dianggap sebagai “Simbol Rakyat Jelata”. Sebagai pihak yang paling lemah maka dhuafa akan selalu jadi obyek al-mala’ untuk dieksploitir, dieksploitasi, dianiaya. Jumlahnya memang paling besar, tapi tidak memiliki kekuatan untuk melawan kedzaliman al-mala’ secara mandiri. Sebab pada dasarnya mereka ini adalah kaum pekerja yang membutuhkan perlindungan dan bimbingan dari pemimpin (baca Tiga Macam Manusia). Dalam litograf digambarkan dhuafa yang terbagi jadi beberapa simbol karena keadaannya. Pesakitan adalah simbol dhuafa yang sedang teraniaya secara langsung oleh sistem al-mala’. Posisinya dalam litograf digambarkan kedua pesakitan ini diadili oleh sistem yang dzalim. Pesakitan ini juga tidak mampu melakukan beladiri melawan secara langsung. Penonton adalah simbol dhuafa yang tidak sedang teraniaya oleh sistem al-mala’. Dalam litograf, digambarkan sebagai orang yang hanya duduk terdiam menonton berlangsungnya sidang. Sebab penonton juga tidak mampu menolong dhuafa lain yang sedang teraniaya apalagi melakukan perlawanan atas kedzaliman. Pegawai adalah simbol dhuafa yang sudah memilih pihak menjadi bagian dari al-mala’. Mereka menjadi pegawai karena mencari titik aman bagi dirinya. Bukan sepenuhnya suatu kesalahan, karena pada dasarnya mereka membutuhkan naungan untuk eksistensinya, dan mereka juga tidak memiliki kapasitas untuk melawan kedzaliman yang sedang berlangsung. Sehingga tidak ada pilihan selain menjadi pegawai dari sistem al-mala’. Sifatnya sangat pasif mengikuti keadaan. Tapi tanpa disadari, sesungguhnya pegawai juga sedang teraniaya, yaitu kehilangan sebagian kemerdekaannya karena sedang diperalat oleh al-mala’. Pegawai bukan orang mardhika. Rezim Globalis Ada satu hal yang tersimbol tidak berupa gambar dalam litograf, karena memang jadi titik perbedaan antara kolonialisme dengan nekolim, yaitu Rezim Globalis. Dalam kolonialisme, rezim globalis belum eksis secara zahir, sehingga simbol yang mewakilinya tidak ada. Tetapi sejak kemenangan revolusi bangsa-bangsa budak di akhir perang dunia II, negara-negara bermental imperialis mengubah metode penjajahannya dengan nekolim. Dari situ baru muncul rezim globalis sebagai subyek pelaku nekolim. Bagan tokoh dan peran dalam nekolim Rezim globalis adalah kekuatan anarcho-liberal dengan bendera multi-nasional. Pergerakkannya lintas negara dengan memakai organisasi internasional sebagai instrumennya. Simbol dari rezim globalis adalah frame/bingkai dari litograf itu sendiri. Sebab frame adalah batas yang menunjukkan bahwa rezim globalis berasal dari luar alam nusantara (yang terlukis dalam litograf). Awas! Nekolim sudah di depan mata. Peringatan mengenai nekolim sebenarnya sudah pernah dilontarkan jauh-jauh tahun sebelumnya. Bung Karno sebagai salah satu founding fathers dari golongan nasionalis yang memimpin revolusi pertama sudah melihat gelagat nekolim. Dengan sedikit menyitir ucapannya, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri…”. Menunjukkan bahwa nekolim tidak hanya berisi bangsa asing tapi juga bangsa sendiri yang jadi traitor. Khianat kepada Allah dan rasnya sendiri. Sebelum Soeharto mengacak-acak negeri ini dengan junta militernya, ketiga entitas politik negeri ini telah sadar dan sepakat mengenai bahaya nekolim ini. Namun masing-masing memiliki perbedaan perspektif karena memandang dari kacamata yang beda pula. Inilah cara Islamis mengenali Nekolim. Dengan petunjuk Allah kita bisa mengenali Nekolim melalui kacamata kita sendiri. Islamis menggunakan ideologi Islam, sehingga tidak lepas dari wahyu Ilahi. Petunjuk yang telah memperingatkan kita jauh sebelum entitas politik modern lainnya menyadari. Kini tidak ada pilihan lagi bagi kita untuk segera bangkit menghadapi kekuatan nekolim. Rezim globalis akan tanpa ampun terus bergerak menggerus kita. Tiap detak detik terlalu berharga untuk kita abaikan. Karena nekolim tidak hanya mengancam diri kita secara fisik-personal, tapi juga menjadi ancaman besar bagi tegaknya kalimat Allah dimuka bumi, ancaman besar bagi eksistensi ras sawo matang dibumi nusantara, ancaman besar bagi keturunan kita. Jangan biarkan apa yang terlukis dalam de Landraad dialami lagi kita dan anak-anak kita. Allah beserta umat yang memuliakan nama-Nya.(Ajm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar