MEDIA UNTUK PELESTARIAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN MASYARAKAT RANTAU KAMPAR KIRI
Rabu, 07 November 2018
Kamis, 01 Februari 2018
HIKAYAT TOLUOK BANDARUHUM KAMPAR KIRI
HIKAYAT
TOLUOK BANDARUHUM
Ikhtiar: Mengumpul Nan Taseghak, Menyambung Nan Taputui
Oleh : Zaldi Ismet (Pemerhati Sejarah dan Budaya Rantau Kampar Kiri)
MALAYU DALAM CATATAN SEJARAH
Sejarah merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan maka sejarah harus dapat dipercaya kebenarannya. Oleh karena itu didalam menggali berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi harus berdasarkan pada sumber-sumber yang ada. Untuk menggali sumber-sumber sejarah harus berdasarkan pada metode penelitian sejarah.
Metode penelitian sejarah adalah langkah-langkah sistematis didalam mengkaji berbagai peristiwa sejarah melalui pencarian informasi sumber sejarah, mengumpulkan sumber sejarah primer dan sekunder, memeriksa kebenaran sumber sejarah, menafsirkan sumber sejarah dan menuliskan kembali peristiwa sejarah.
Menurut Louis Gottschalk metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman atau peninggalan masa lampau. Kemudian data-data yang telah teruji dan dianalisis disusun kembali menjadi sebuah kisah sejarah.
Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kali¬nya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot 1904:324 dan 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatera. Pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (=Śrīwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebe¬lum melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha (Kedah) dan menuju Nālanda (India) (Wheatly 1961:41-42).
Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing menuliskan bahwa sekemba¬li¬nya dari Nālanda, pada tahun 685 Masehi ia singgah di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing meninggalkan Nālanda pada tahun 685 Masehi, pendudukan Mālayu oleh Śrīwijaya berlangsung antara tahun 671 Masehi, ketika ia mening¬galkan Śrīwijaya dan tahun 688/689 Masehi ketika ia datang lagi ke Śrīwijaya.
Berita I-tsing tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi yang tidak mau tunduk kepada Kadātuan Śrīwijaya. Kedua data ini menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Mālayu telah ditaklukan dan diduduki oleh Śrīwijaya sampai sekitar abad ke-13 Masehi. Pendudukan Śrīwijaya atas Mālayu dianggap penting karena dengan menduduki Mālayu, Śrīwijaya dapat menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumī Jāwa, serta Palas dan Jabung (Lampung).
TANAH KAMPAR DI PERCHA TENGAH
Sungai Kampar atau Batang Kampar merupakan sebuah sungai di Indonesia, berhulu di Bukit Barisan sekitar Sumatera Barat dan bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera Riau. Sungai ini merupakan pertemuan dua buah sungai yang hampir sama besar, yang disebut dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Pertemuan ini berada pada kawasan Langgam (Kabupaten Pelalawan), dan setelah pertemuan tersebut sungai ini disebut dengan Sungai Kampar sampai ke muaranya di Selat Malaka.
Aliran Sungai Kampar Kanan menelusuri Lima Puluh Kota dan Kampar, sedangkan aliran Sungai Kampar Kiri melewati Sijunjung, Kuantan Singingi dan Kampar, kemudian kedua aliran sungai tersebut berjumpa di Langgam Pelalawan.
Sungai Kampar Kanan bermata air dari Gunung Gadang, memiliki luas daerah tangkapan air 5.231 km². Alur utama semula mengalir ke utara kemudian berbelok ke timur, bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir dengan kemiringan sedang melalui lembah Batubersurat. Selanjutnya bertemu dengan anak sungai Batang Mahat, mengalir ke arah timur.
Sungai Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalau tinggi, Gunung Solok janjang, Gunung Paninjauan Nan Elok, memiliki luas daerah tangkapan air 7.053 km². Sungai Kampar Kiri memiliki banyak anak sungai besar diantaranya bernama Batang Sibayang, Batang Singingi, Sungai Teso, Sungai Lipai, Sungai Sitingkai, serta puluhan sungai-sungai kecil lainnya. Diantara lima sungai yang terdapat pemukiman penduduk didalamnya, ada tiga sungai yang memiliki persebaran penduduk yang banyak yakni sungai Singingi, sungai Sibayang dan sungai Sitingkai.
Tugu Khatulistiwa di tepi Sungai Kampar Kiri
Uniknya ketiga sungai ini bermuara di Koto Bungo Setangkai/Lipatkain, Ibuo Kota Kecamatan Kampar Kiri hari ini, dimana dipertemuan diantara tiga sungai ini terletak Garis Khatulistiwa di desa Lipatkain Selatan. Sementara aliran sungai Sitingkai juga menjadi jalur utama dan singkat untuk mencapai daerah hulu Kampar Kanan melalui hulu sungai Batang Kotuo tepatnya menuju wilayah Kabupaten 50 Kota Propinsi Sumatera Barat dan Melalui Hulu Sitingkai Kecil menuju Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Propinsi Riau, melalui Negeri Balung dihulu Sitingkai.
Di Kecamatan XIII Koto Kampar juga terdapat peninggalan peradaban tua yakni Candi Muara Takus, yang dianggap sebagai salah satu peninggalan dari Kedatuan Sriwijaya.
Sekitar 1993, seorang bernama Pierre-Yves Manguin melakukan observasi. Ia pun berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya, sejarawan bernama Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang).
Dalam catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, Bila Malayu ada di kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (Provinsi Riau sekarang). Dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I-Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya ( Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa ) di tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan Cheng Tien Wan Shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Komplek Koto Candi Muara Takus
Silang pendapat para ahli atas pengakuan pusat kerjaan Sriwijaya, terbantahkan. Sebuah temuan lama yang tersembunyi dari karya Prof Dr. Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “Sriwijaya” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-Tsing (Yi-Jing) pada 635-713. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang.
Bagi Slamet Mulyono, catatan ini sangat kuat. Bahwa I-Tsing pernah menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini sangat jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Jika dilihat dari lokasi bayang-bayang tersebut, maka letak Candi Muara Takus pada siang hari, berdasarkan garis khatulistiwa berada di titik nol atau tanpa ada bayangan.
Daerah Lintasan garis tengah Bumi seperti tanah Kampar dan beberapa daerah lain di Pulau Sumatera serta di Asia Tenggara mengaku bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di wilayah mereka. Menurut Sejarawan Kampar A.Latif Hasyim, Beliau membuat pernyataan bahawa “ maka kita kembali kepada pangkal: catatan I-Tsing, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada pada siang hari tidak ada bayang-bayang. " Ini kuasa Allah. Dari dasar inilah, banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau," (Sumber : A.Latif Hasyim, Sejarawan Kampar).
Kuntu Dalam hikayat Masyarakat Adat
Dalam hikayat tutur masyarakat adat (Foklor) di Kenegerian Kuntu disebutkan bahwa, sebelum Negeri Kuntu berdiri, masyarakat adatnya tinggal di seberang sungai di suatu tempat yang bernama Batang Siontan. Pada zaman dahulu Muara Sungai Sibayang dan Singingi dan Sitingkai itu lebih kehulu dari sekarang. Muara dari ketiga sungai itu berada pada sebuah teluk yang Bernama Teluk Bandaruhum.
Teluk Bandaruhum itu merupakan tempat Pemukiman terawal di Kampar Kiri bersama Gunung Ibul di Muara Langgai ( Muara sungai Kampar Kiri).
Ditepi Sebelah Kiri Teluk Bandaruhum itu berdiri sebuah Kota (Koto) bernama Koto Tinggi sekaligus sebagai Kota pelabuhan pada masa itu.
Pemukiman masyarakat pada awalnya dibangun di sebelah Kiri hadap mudik sungai-sungai di Kampar Kiri termasuk anak –anak sungainya yakni sungai Sitingkai, Sibayang dan Singingi. Pola itu disebut Kotak Antau dan Kotak Negeri. Kotak Negeri di Sebelah Kiri Mudik dan Kotak antau disebelah Kanan Mudik. Dari pola pemukiman ini maka pucuk Pimpinan di sebuah Negeri atau Koto melahirkan Konsep Kepemimpinan “Andiko Duo Sakato” yakni Datuk Pucuk Negeri dan datuk Pucuk Rantau.
Di sungai Sibayang, tepatnya yaitu di Muara Sungai Siontan, pemukiman awal itu bernama “ Koto Tenggi”. Pendiri Koto Tenggi di Teluk Bandaruhum adalah Datuk Maharajo Godang dari Pesukuan Domo atau disebut dengan nama sehari – hari oleh masyarakat dengan sebutan “ Datuk Majo Godang”.
Negeri Koto Tenggi di Teluk Bandaruhum inilah yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Malayu Tuo di Kampar Kiri pada masa Hindu.
Koto Tenggi menjadi maju karena menjadi pusat perdagangan di Pulau Sumatera Tengah (Pulau Poco). Hasil bumi dari daerah hulu dan pegunungan Bukit Barisan untuk dipertukarkan dengan dunia luar musti melalaui pelabuhan ini. Pada masa proto sejarah, pulau Sumatera terkenal dengan hasil emas dan lada hitamnya serta rempah-rempah lainnya.
Adalah penting untuk melihat kedudukan sumberdaya alam pulau Sumatera untuk dapat memahami mengenai timbulnya pemukiman, pelabuhan, pola perdagangan, dan kerajaan-kerajaan kuno di Sumatera. Hal yang tidak dapat dipungkiri oleh banyak orang adalah bahwa hasil bumi dan hasil tambang Sumatera banyak dicari oleh para pedagang baik dari Arab, India, Tiongkok dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Salah satu hasil Sumatera yang terpenting adalah emas.
Dalam catatan Yunani kuno Claudius Ptolomeus disebutkan nama Gunung Ophir, sebagai Gunung emas di tanah Sumatera. Para ahli ada yang berpendapat kata Ophir dekat dengan kata Swanpur atau kata Sumpur yang bermakna daerah penghasil emas di Bukit Barisan. Selain emas, beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatera seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen 1944:210; Miksic 1979: 263).
Barang-barang logam itu telah lama ditambang dan jauh sebelum abad ke-16 Masehi, yaitu ketika para penguasa Barat ( Eropa Barat dan Amerika Utara) melakukan penambangan secara besar-besaran di bumi Suma¬tera (Miksic 1979:262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan Cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum keda¬tangan orang Barat (Miksic 1979:262; Tobber 1919:463-464). Cinnabar juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) (van Bemmelen 1944:210). Di Muara Sipongi, sebelum kedatangan bangsa Barat ditambang plumbum, zink, besi, dan tembaga.
Selain hasil tambang, sumber daya alam Sumatera yang menjadi komoditi penting pada masa lampau adalah hasil hutan.
Pada masa Kesultanan Melaka diberitakan ada selusin kapal yang singgah di Melaka setiap tahunnya membawa muatan yang sebagian besar berupa hasil hutan. Hasil hutan yang dikapalkan itu antara lain berupa Damar, Kapur Karus, Storax, bahan untuk membuat minyak wangi, Myrobalan (bahan baku untuk pencelup kain), Dadah, dan Benzoin.
Hasil bumi ini kemudian dibawah ke Tumasik atau ke Semenjung Malaya untuk diperdagangkan dengan bangsa India dan bangsa Cina, begitu juga produk-produk dari bangsa luar dibawah kepedalaman melalui jalur sungai Kampar Kiri dengan pelabuhan utama yakni Teluk Bandaruhum dengan Koto Tenggi Sebagai Kota Dagangnya.
Penguasa Koto Tenggi pada masa dahulu adalah Suku Domo dengan gelar Pisoko adalah Datuk Rajo Godang, Ajaran Hindu dari India adalah Agama yang Dianut oleh masyarakat di Kota itu. Gelar Datuk Maharajo Godang ini diwariskan dari Mamak kepada kemenakan melalui jalur Soko ( Matrilinial) berdasarkan ajaran agama Hindu “Mother Codes”. Tali kekerabatan disusun berdasarkan garis Perempuan (Para Ompuan), para ompuan ini adalah pengikat tali kekerabatan yang berisi ajaran persaudaraan kemanusiaan (ajaran batin) sehingga Mahluk yang berjenis kelamin wanita disebuta “ Batino” Pemengan tali batin.
Konsep ajaran bahwa kekuatan tertinggi ada di Perempuan ini merupakan warisan ajaran Hindu Siwa-Sati. Siwa atau Sivva adalah pemegang kuasa atas kekutan inti yang bernama Sati/Parwati.
Perlambangan ajaran Hindu ini dapat dijumpai pada peninggalan Arkelogis di Tanah Kampar yakni candi Muara Takus berupa Valus/Lingga dan Yoni. Sebagai perlambangan Jantan dan Batino sebagai lambang Siva dan Sati. Dari ajaran ini bisa dilihat bahwa ajaran Hindu Siwa merupakan agama awal dari bangsa Malayu di Sumtera Tengah termasuk di Kampar Kiri.
Candi Muara Takus : Lambang Lingga dan Yoni
Dalam hikayat masyarakat adat di Kampar Kiri dan Negeri Kuntu dapat ditemui bahwa Koto Tenggi merupakan pemukiman awal yang berkembang, dimana Negeri Kuntu didiami oleh banyak masyarakakta adat dengan berbagai macam suku kaum disana awalnya hanya ada enam suku di Koto Tenggi dan kemudian pada masa Daulat Gunung Sailan, Negeri Kuntu dihuni oleh enam belas pesukuan.
Dalam hikayat adat pada masa dahulu perkembangan masyarakat di Kuntu dan Kampar Kiri mengalami kemandekan, disebabkan jalur perdangan di Selat Malaka terganggu oleh munculnya perompakan oleh para lanun yang datang dari selatan.
Para lanun dan perompak ini menganggu keamanan perdagangan di Selat Malaka dengan menguasai wilayah pesisir timur Pulau Poco/Percha, hingga ke muara muara sungai di selatan pulau Poco seperti muara Indragiri, Muara Batang Hari sampai ke Muara Sungai Musi. Kondisi ini mematikan aktifitas perdagangan dan perekonomian masyarakat di Sumatera Tengah termasuk masyarakat kerajaan Malayu di Koto Tenggi dan Kerajaan Malayu di Muara Mahat ( Momaek).
Melihat kondisi ini maka atas inisitif dari Datuk Sri Maharajadiraja Muara Mahat di Koto Sijangkang di hulu Kampar Kanan, maka dilakukan pertemuan bersama dengan Datuk Maharajo Godang ( Majo Godang) dari Koto Tenggi di Kampar Kiri. Hasil permufakatan antara dua kerajaan maka dijalinlah suatu persekutuan untuk menumpas para Lanun atau perompak yang menganggu pelayaran di Selat Malaka ( Riwayat Tutur Masyarakat Adat Kuntu Oleh Bapak Buyung Hendrizal Dt. Bandaro Khalifah Kuntu).
Setelah mufakat diperoleh, maka muncul suatu pertanyaan siapa yang akan memimpin peperangan ini. Maka Datuk Srimaharaja Diraja dari Muara Mahat meminta Datuk Maharajo Godang yang akan memimpin penyerangan. Datuk Maharajo Godang justru mempersilakan Datuk Sri Maharajadiraja untuk memimpin peperangan karena inisiatif awal untuk melakukan pengamana jalur dagang ini datang dari Kerajaan Muara Mahat Koto Sijangkang.
Berita sejarah tentang adanya ekpedisi dari bangsa Malayu yang disebut dengan nama “ Sidhayatra” pada abad ke 7 masehi ini ditemukan oleh Ilmuwan Belanda di Muara Sungai Tatang di Palembang, yang disebut dengan Prasasti Kedukan Bukit.
Dalam prasati itu disebutkan bahwa Sepasukan tentara dibawah Pimpinan Dapunta Hiyang Srijaya Nasa telah melakukan Sidhayatra atau Perjalanan suci dengan membawa 20.000 tentara dengan Sampan ( Pasukan Kavaleri) sementara 1.312 tentara darat (Invantri) melakukan perjalanan melalui perbukitan menuju selatan dan menancabkan Walacakra kemenangan di Muara Sungai Musi (Palembang). Sebagai pertanda Sidayatra Subiksa ( tercapainya tujuan yang membawa kejayaan Semesta). Pada ilmuwan sejarah mengatakan ekpedisi Sidhayatra bangsa Malayu itu sebagai cikal bakal bendirinya Kerajaan Malayu Maritim Sriwijaya yang menguasai Nusantara selama 7 abad.
Sumber sejarah adanya kerajaan Sriwijaya antara lain :
Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti ini ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berukuran 45 x 80 cm dan terdiri dari 10 baris kalimat. Isinya menceritakan bahwa pada tahun 683 M, raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang Datang dari Matajap lalu Marvuat Wanua Sriwijaya-jaya. Mereka menang dan berhasil mendirikan kota Sriwijaya.
Berikut tulisan prasasti Kedukan Bukit:
svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu
apunta hiyaklapakşa vulan vaiśākha d<m> nāyik di
sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
apunta hiyavulan jyeşţha d<m> maŕlapas dari minānga
vala dualakşa dangan ko-tāmvan mamāva yam
duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
di mata japtlurātus sapulu dua vañakña dātam
sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula
Prasasti Kedukan Bukit berasal dari tahun 604 Saka (682 M) dan merupakan prasasti yang mencantumkan angka tahun tertua di Indonesia. Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) Dapunta Hyang penguasa Kerajaan Sriwijaya dari Minanga menuju Muka Upang. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, keadaan seperti ini ditafsirkan bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah.
Prasasti Kedukan Bukit hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja tersebut. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 606 Saka (684 M) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684).
Besar kemungkinan dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.
Sebagain para ilmuwan juga berpendapat bahwa tempat awal keberangakatan pasukan tersebut adalah Minanga tanwan atau pertemuan dua muara yakni muara sungai Kampar Kiri dan muara sungai Kampar kanan. Sehingga letak Candi Muara Takus yang terletak di hulu Kampar Kanan disebut sebagai tempat awal diberangkatkan pasukan tersebut.
Selat Malaka pada masa dahulu sampai sekarang merupakan jantung peradaban yang menjadi penghubung Bangsa Malayu di Pulau Percha untuk menjalin kontak dagang dan kebudayaan dengan bangsa –bangsa lain di dunia. Aman atau tidaknya selat malaka menjadi penentu maju atau mundurnya peradaban Malayu di Sumatera dan Semenjaung tanah Malayu.
Makna Minangatamwan bagi masyarakat adat Kampar Kiri bukan saja bertemunya dua muara sungai, akan tetapi pada masa lampau pernah terjadi Kesepakatan Politik bersama-sama dari masyarakat adat di Pulau Percha Tengah ini yang sebut dengan bahasa kiasan “ Undang-undang di Kampar Kiri, undang Sejati di Kampar kanan talago Undang di Muara Takus”. Pusek jalo Pumpunan Ikan, Kosiek Putih airnyo Jernih”. Permufakatan Politik ini memiliki tanda bukti berupa masih kokohnya bangunan komplek percandian “ Koto Candi “ di Muara Takus yang terletak di hulu Kampar kanan. Tentunya adanya candi bukan hanya menjelaskan bahwa Candi adalah tempat ibadah sebuah Agama tertentu saja, tetapi keberadaan candi memiliki makna-makna kebudayaan, pesan-pesan kebudayaan yang diukir dibatu, yang dipahat dikayu, yang diserakkan kebumi dan dibendangkankan kelangit sebagai wujud permohonan restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Letak Candi itu diatas sebuah Negeri yang bernama Koto Tuo di hulu Kampar Kanan tidak jawuh dari Negeri Tua Batu Bersurat Muara Mahat, Di Pinggang Bukit Barisan. Hari ini Negeri-Negeri tua tersebut sudah terbenam kedalam Waduk PLTA Koto Panjang.
Besarnya perhatian Kŗtanagara kepada Mālayu mem¬buk¬tikan bahwa pada abad ke-13 Masehi Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri meng-adakan ekspedisi pamālayu. Pararaton menye¬¬butkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasu¬kan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“ (Pitono 1965:37). Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu berarti pendudukan atas Mālayu .
Ekspedisi Pamalayu I dalam buah tutur masyarakat adat di Rantau Kampar Kiri, tidak bisa dipisahkan dari nama Negeri Kuntu. Pada masa Pra Islam Negeri Kuntu sekarang disebut Teluk Bandaruhum dengan Koto Tenggi sebagai ibu Kotanya, disana pada masa lampau hidup seorang putri yang bernama Puti Lindung Bulan.
Putri Lindung Bulan sangat cantik dan terkenal kemanca Negara, pada waktu itu masyarakatnya belum mengenal agama Islam. Menurut Hikayat Adat Putri Lindung Bulan ini adalah Anak Datuk Maharajo Godang Negeri Koto Tenggi di Teluk Bandaruhum.
Datuk Maharajo Godang (Majo Godang) Memiliki seorang anak laki-kakinya bernama Datuk Sigha Mato tertawan dalam pertempuran menghadapi ekpedisi Pamalayu I dari Singosari, sehingga yang tertinggal hanya Putri Lindung Bulan Di Koto Tenggi Kuntu.
Pada suatu hari datanglah hulubalang Raja Feratu Gading ( Nama ini bersumber Kitab Sejarah Adat Kampar Kiri, Penulis HT. Ibrahim : 1939 ) dari laut hendak meminang Putri Lindung Bulan, akan tetapi lamaran ini ditolak oleh sang putri. Setelah mendengar lamarannya ditolak, maka murka MaharajFaratu Gading. Maka di utus lah hulubalang untuk merebut Putri Lindung Bulan yakni Gagak Jawo.
Gagak Jawo adalah hulubalang yang sangat sakti dengan para prajutit tangguh datang ke Kuntu Kampar Kiri.
Mendengar kedatangan kedatangan Hulubalang Gagak jawo, maka penduduk pun tidak sanggup melawan lalu mereka melarikan diri kehulu sungai Sibayang. Dalam pelarian tersebut Putri Lindung Bulan terjatuh di tepi sungai Subayang, dan keluarlah ucapan yang secara tidak terduga yakni kata “ Kuntu Toerobah ”.
Kata –kata tersebut belum dimengerti oleh masyarakat akan maknanya.
Setelah Gagak Jawo datang dan merebut Koto Tenggi dan tidak menemukan rakyat dan Putri Lindung Bulan, maka Gagak Jawo Mengejar rombongan Putri Lindung Bulan sampai ke Ujung Bukit. Negeri Ujung Bukit di rebut oleh tentara Gagak Jawo, dinegeri itu tentara Gagak Jawo Menawan anak laki laki dan Cucu Perempuan Datuk Maharajo Godang yakni Anak Datuk Sigha Mato dan anak perempuanny bernama Dara Pitok, Putri Dara Pitok (Si Putri bermata Sipit) merupakan anak perempuan dari Datuk Sigha Mato dari istrinya Putri dari Pesukuan Malayu Majo Kayo di Negeri Ujung Bukit. Dara Pitok beserta ayahnya ini kemudian ditawan dan dibawah ke tanah Jawa sebagai hadiah kepada Maharaja Singasari Srimaharaja Kartanegara, menurut tutur dari tokoh-tokoh adat di Kampar kiri Dara Pitok dan dara Jingga (Jenggo) ini adalah orang yang sama.
Sehinga menurut cerita hikayat dalam masyarakat Adat Kampar kiri yang tertawan dalam ekpedisi pamalayu Singosari ini adalah Datuk Sigha Mato dan Putrinya Dara Pitok. Dara Pitok ini yang kemudian dijadikan Selir oleh Menantu Kartanegara yakni Raden Wijaya. Sehingga menurut pendapat tokoh-tokoh adat Kampar kiri dan Negeri Kuntu pada khususnya Adityawarman atau Arya Damar ini merupakan anak dari Raden Wijaya. Sementara Datuk Singha Mato adalah Kakek dari Adityawarman dari Pihak Ibunya Darah Pitok.
Kemudian pengejaran Putri Lindung Bulan( Anak raja Perempuan dari dinasti Koto Tenggi) dilanjutkan oleh para Prajurit hulubalang Singosari ke hulu Subayang, sampai ke Negeri Batu Songgan, rombongan Putri Lindung Bulan akhirnya menyingkir ke Gunung Hijau ( Tanah Pariangan). Di Negeri Batu Songgan Panglima Perang Singosari yang di kenal masyarakat dengan nama Gagak Jawo juga gagal untuk menawan Putri Lindung Bulan.
Untuk melampiaskan kemarahannya maka Gagak Jawo memancung batu besar di pinggir sungai sebanyak tiga kali tebasan dan menantang setiap Dubalang untuk berperang. Disebabkan kesaktian Gagak Jawo maka tidak ada satu dubalang pun yang berani untuk menghadapinya.
Foto : Batu Concang Gagak Jawo di Batu Songgan
Foto Negeri Batu Songgan
Hikayat lain mengatakan bahwa asal mula perubahan nama ini adalah berkaitan dengan datangnya tentara Islam pada abad ke 11 Masehi 11-12 masehi di Kampar kiri. Kedatangan rombongan tentara Arab ini juga membawa seorang Ulama yang bernama Syekh Burhanuddin. Setelah beliau sampai di Koto Tenggi beliau bersama tentara nya menancapkan sebilah tongkat di tepi rawa-rawa yang terdapat diseberang Koto tenggi sambil berseru “ Kuntu Turaba”.
Tentara Islam yang datang bersama Syekh Burhanuddin lalu menguasai Kampar Kiri mendirikan kerajaan Kuntu Darussalam, Sultan Pertamanya dalam catatan sejarah bernama Sulthan Muhammad Amrullah dan Qadinya Bernama Haji Fadhilullah. Apakah Haji Fadhilullah ini orang yang bergelar Syekh Burhanuddin?, masih merupakan suatu Hipotesis. Pada Kurun abad ke 11 dan 12 masehi itu, dalam menjalankan pemerintahan kerajaan dan menegakkan hukum-hukum Islam maka dibentuklah 4 wilayah kekhalifaan dengan mengambil contoh kepada para sahabat Nabi Muhammad yakni Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Usman dan Khalifah Ali.
Kerajaan Islam ini kemudian kembali Muncul setelah dinasti Aru Barumun memasuki Kampar kiri dan dinasti ini bertahan Lebih Kurang 50 tahun menurut catatan sejarah dari MD Mansyur dalam Sejarah Minangkabau. Dinasti ini memiliki empat orang raja muda yang dikuburkan di Bumi Kuntu dan peneliti dari pemerintah Kolonial Belanda perna menjumpai makam-makan dari dinasti Islam Aru Barumun ini.
Kekuasaan Dinasti Aru Barumun Perkasa Alam juga berakhir pada masa datangnya serangan dari penguasa Majapahit dibawah Pimpinan Adityawarman. Masuknya tentara Majapahit kembali ke Bumi Malayu sebagai Panglima Perang kerajaan Majapahit yang awalnya merebut Palembang. Dari Palembang Pasukan Majapahit memasuki wilayah Sumatera Tengah melalui Sungai Batang Hari, wilayah Malayu di taklukkam kedalam suatu kekuasaan disebut dengan kerajaan Malayu Pura dengan pusat kekuasaan awalnya Sungai Lansat di hulu Sungai Batanghari ( MD Mansyur dkk. Sejarah Minangkabau ).
Bahwa Adityawarman masih memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan masyarakat Malayu Kampar Kiri dengan kata lain bahwa Adityawarman/ Arya Palembang masih merupakan Cucuong Kamanakan dari Datuk Bandaro Puti di Kuntu Kampar Kiri.
Maka dengan alasan inilah kemudian Datuk Bandaro Puti kemudian menyerahkan Kampar kiri kepada perlindungan Panglima Perang Adityawarman dengan ungkapan, “ Kamankan Nan Jawuo Olah Baliek, Nan Kociek Olah Godang, Nan Binguang Ola Codiak “ Bukti bukti sejarah yang menunjukkan adanya hubungan antara Datuk Sigha Mato ( Datuk Merah Mata) dengan Kampar Kiri masih dapat ditemukan di Negeri Kuntu, disana masih ada beberapa barang peninggalan Datuk Sigha Mato diantaranya Pedang, Dayung Kapal, dan keturunan Perempuan ( Soko) yang disebut dengan Suku Domo Puak Palembang. Anak perempuan datuk Sigha mato ini adalah hasil pernikahan beliau dengan Kaum malayu Palembang dan anak perempuan ini dibawah kembali ke Kampar kiri diwaktu Adityawarman menaklukkan Kampar kiri.
MITOS MASYARAKAT ADAT KAMPAR KIRI
Mitos Gajah Mada
Dalam hikayat adat juga disebutkan bahwa Pulangnya Datuk Sigha Mato ke Kampar kiri bersama anak Perempuannya mendapat penghinaan dari Seekor Gajah Tunggal, penghinaan ini membuat Datuk Sigha Mato menjadi Murka. Kemudian Datuk Sigha Mato menantang Si Gajah Tunggal untuk bertarung sampai mati di seberang Negeri Kuntu. Maka setelah melalui pertarungan seharian akhirnya Datuk Sigha Mato dan Si Gajah Tunggal sama-sama menemui Kematian.
Datuk Singha Mato dimakamkan oleh kaum keluarganya, sebelum beliau meninggal beliau berpesan supaya anak perempaunny karena dia tidak bersuku, sebab ibunya adalah wanita dari tanah Palembang. Maka beliau beramanat supaya anak perempuan ini dimasukkan kedalam suku kerabat Datuk Sigha Mato di Kuntu yakni menurut garis matrilineal Datuk Sigha Mato adalah bersuku Domo. Maka keturunan matrilineal dari anak perempuan Datuk Sigha Mato di dikenal dengan nama Suku Domo rumah Panjang puak Palembang, sebab ibunya Perempuan Palembang.
Benda Pusaka peninggalan Datuk Singha Mato di Negeri Kuntu Kampar Kiri
Makam beliau kemudian hilang ditelan abrasi sungai Sibayang Kampar kiri, dari hikayat ini masyarakat Kampar Kiri memempercayai bahwa yang menghina Datuk Sigha Mato adalah Mahapati Gajah Mada, sehingga masyarakat adat Kuntu mempercayai bahwa Gajah Mada adalah Si Gajah Tunggal yang mati di Kuntu Kampar kiri dalam perang tanding bersama Datuk Sigha Mato.
Mitos Hubungan Dinasti Malayu,
Mitos hubungan darah dinasti merupakan salah satu alat pemersatu dalam masyarakat adat. Hubungan dinasti ini dalam bahasa adat disebut “ Adat nan batali Pisoko nan ba,angkai” ini disambungkan melalui hububungan darah Soko dan Pisoko “ Jopuik Minyak jo Air jopuik Soko Jo Pisoko” adalah bahwa Ibu Sri Maharaja Adityawarman adalah Dara Pitok yang merupakan cucu dari Datuk Maharajo Godang Koto Tenggi yang dibawah ketanah Jawa oleh tentara Singosari dahulunya. Sedangkan ayah dari Darah Pitok adalah Datuk Sigha Mato sedangkan Datuk Sigha Mato adalah saudara dari Putri Lindung Bulan sama – sama Bersuku Domo. Sedangkan Putri Lindung Bulan adalah Keturunan Datuk Maharajo Godang di Koto Tenggi yang beragama Hindu yang melarikan diri ke Gunung Hijau.
Berdasarkan hubungan kekeluargaan inilah kedatangan Adityawarman, yang menurut tutur adat disebut dengan nama Aria Damar atau Arya Palembang diterima oleh para Ninik-Mamak di Kampar Kiri. Datuk Sigha Mato diangkat oleh cucunya menjadi seorang Penasehat Politik dan Militer dalam ekpedisi merebut Malayu, beliau yang membantu Adityawarman dalam menyatukan wilayah-wilayah Pulau Percha kedalam kerajaan Malayapura.
Pada waktu Adityawarman meminta penguasa Gunung Hijau untuk tunduk kepada Malayapura maka Datuk Sigha Mato dari Kuntu inilah yang diutus kesana bernegosiasi dengan Datuk Suri Dirajo di Pariangan Gunung Hijau. Sehingga terjadi perkawinan antara Adityawarman dengan Putri Jailan, sehingga Ibu Kota Malayapura dipindahkan dari pesisir Timur Ke Suruaso ditanah Pariangan.
Selama lebih kurang 200 tahun lamanya Kampar kiri dibawah kekuasaan Kerajaan Malayapura di Suruaso hingga pada awal abad ke 16 Masehi atas mufakat para Datuk, Ninik Mamak para Andiko Duo Sakato dan para Khalifah nan berempat di Andiko sebagai Suluh serantau Kampar Kiri, maka diniatkan untuk mendirikan kerajaan kembali di Kampar Kiri.
Permufakatan untuk mendirikan adat dan limbago dikampar kiri disampaikan kepada datuk Khalifah adat Kampar Kiri yakni Datuk Bandaro Khalifah Kuntu yang nama awalnya Datuk Bandaro Puti. Di dalam adat Ninik-Mamak dan Khalifah Andiko statusnya sama yakni “Togak Sama tenggi dan duduk sama rendah”. Begitu ajaran yang di kembangkan oleh Syekh Burhanuddin dalam pembentukan kerajaan Islam Kuntu Kampar Kiri.
Sementara keturunan Raja dari garis laki-laki (Pisoko) dari kerajaan Koto Tenggi pada masa Hindu di Kampar Kiri Adalah Datuk Sigha Mato yang tertawan pada masa ekpedisi Pamalayu I Singosari beliau bersama Anak perempuannya Dara Pitok/ Dara Jinggo. Dara Pitok dijadikan selir oleh Raja majapahit Raden Wijaya dan kelak memiliki seorang anak bernama Adityawarman. Panglima Adityawarman ini kelak bersama kakeknya Datuk Sigha Mato kembali ke tanah Malayu. Ditanah Malayu Adityawarman Kemudian menikah dengan Puti Jailan di Negeri Pintu Rayo Tanah Pariangan Gunung Hijau
Tanah Pariangan merupakan Negeri dimana para masa kedatangan Gagak Jawo atau ekpedisi Pamalayu I menjadi tanah perlindungan bagi Putri Lindung Bulan ( keturunan Soko), anak Perempuan dari Datuk Maharajo Godang Koto Tenggi Teluk Bandaruhum. Sehingga Puti Jailan masih dianggap bagian dari Soko Puti Lindung Bulan.
Pada abad ke 16 disaat masyarakat adat Kampar kiri bersepakat untuk mendirikan adat, maka persolan siapa pewaris dinasti Malayu juga menjadi sesuatu yang perbincangkan. Maka persoalan siapa yang pantas menjadi raja ini akhirnya membuat rencana menegakkankan adat di Kampar Kiri ini menemui jalan buntu. Sebab faktor kunci dalam penegakkan adat berlembaga adalah hadirnya seorang pemimpin. Sementara jalur kepemimpinan ideal di dalam adat adalah bertemunya dua garis keturunan yakni menurut garis darah Laki-laki (Pisoko) dan jalur kekerabatan tali perut/rahim (Soko). Atau anak yang lahir dari perkawinan Bako-Baki.
Konsep lahirnya kepemimpinan dalam adat adalah “ Botuang Tumbuo dimato, Pasak Tumbuo dimani”. Keturunan Maharaja yang akan dirajakan”. Adat Rajo turun-temurun adat Puti sunduik-basunduik. Aier nan bakacucuran jo tanah nan bakatelengan, nan manundo kapae sosak nan manote Kalimuntiang”.
Sampai akhirnya Ninik-Mamak Andiko Duo Sakato bermufakat dengan Suluo Serantau Andiko besar yakni Khalifah nan berempat di Andiko, untuk menyerahkan persoalan mencari Bijo Raja ini kepada Datuk Bandaro Khalifah Kuntu sebagai Khalifah Adat.
Menurut pertimbangan sejarah dan hubungan kekerabatan antara Penguasa awal Kampar Kiri yakni Datuk Maharajo Godang Teluk Bandaruhum maka garis keturunan matrilineal yang masih tersambung adalah melalui zuriat Puti Lindung Bulan yang menyingkir ke Gunung Hijau. Sementara melalui jalur Patrilinial adalah melalui keturunan Datuk Sigha Mato dengan anak Perempuannya yang bernama Dara Pitok. Dalam adat Kampar kiri Dara Pitok dan Dara Jinggo adalah orang yang sama dengan nama panggilan yang berbeda-beda. Maka Adityawarman/Arya Damar yang merupakan keturunan Darah Pitok, maka dengan sendirinya Keturunan laki-laki Adityawarman masih memiliki hubungan darah dengan Datuk Maharaja Godang Kuntu.
Dengan dasar inilah akhirnya Datuk Khalifah Kuntu Datuk Bandaro sebagai Khalifah adat memerintahkan Datuk Senjayo dan Datuk Singo Untuk Mencari Keturunan Asli Datuk Sigha Mato melalui jalur Adityawarman dan Keturunan Putri Lindung Bulan Ke Bumi Pariangan Gunung Hijau.
Sehingga dalam riwayat tutur dalam adat Kampar kiri disebutkan berbagai macam versi pencaharian anak raja ini ke Pagaruyung, ada yang menyebutnya 3 kali pencaharian bahwakan ada yang menyebutkanya sampai 7 kali pencaharian baru ditemukan. Setiap kali diutus delegasi untuk menjemput anak raja ke Pagaruyung makan anak raja yang diminta diuji dengan ujian ritual “ Sembah raja”. Dalam adat di Kampar Kiri jika Pihak Penyembah lebih tinggi derjatnya (Asi) dalam adat, maka yang disembah akan sakit dan mati”. Jika pihak yang disembah lebih tinggi derajatnya (Asi) dari penyembah maka yang disembah akan selamat dan dia berhak menjadi penguasa atau Raja”.
Dalam hikayat tutur/lisan setiap kali di jemput anak raja Pagaruyung, maka tetap anak raja yang dijemput sakit dan mati, hal ini menimbulkan kegegeran pada masyarakat adat di Kampar Kiri bahwa garis keturunan Datuk Maharajo Godang melalui anak laki lakinya datuk Sigha Mato dan garis perempuan Putri Lindung Bulan memang sudah pupus/punah. Melihat kekhawatiran dan kegalauan tersebut maka Datuk Bandaro Khalifah Kuntu memerintahkan Kemenakannya Datuk Andomo/ Indomo Pucuk Rantau Negeri Domo Kampar Kiri untuk mencari Keturunaan penguasa Kampar Kiri yang asli ke Pagaruyung.
Maka Datuk inilah yang berhasil mendapatkan Keturunan Asli dari Daulat Pagaruyung yang masih berasal dari Keturunan Datuk Maharajo Godang Koto Tenggi Teluk Bandaruhum. Maka Datuk Andomo ini kemudian diberi gelar Kehormatan sebagai Orang Besar Raja Gunung Sailan dengan Nama Datuk Nyato Dirajo dan gelar ini Masih bertahan sampai hari ini.
Sumber Sekuder :
1. Sejarah Minangkabau yang ditulis oleh MD Mansyur dkk, Penerbit Bratara Jakarta 1970.
2. Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999
3. Kitab Sejarah Adat Kampar Kiri yang dikarang oleh Tengku Haji Ibrahim, diterbitkan di Payakumbuh tahun 1939
4. Sejarah Kesusastraan Malayu Klasik, ditulis oleh Dr. Liew Yok Fang diterbitkan oleh Singapura University.
5. Sejarah Riau, Muhtar Lutfi (1999). LITBANG Rrov Riau
6. Sistem pemerintahan adat Kuantan dan Kampar Kiri , Marlaili Rahim (1985). Diseminarkan dalam seminar kebudayaan Riau di Tanjung Pinang.
2. Sumber fhoto Group Kebudayaan , Kuntu Heritage.
3. Sumber Foto Dokumen Pribadi Penulis
Langganan:
Postingan (Atom)