TAMBO ADAT ALAM MINANGKABAU
VERSI KAMPAR KIRI
Ditulis oleh : Zaldi Ismet
“
ALAM MINANGKABAU
Semua bermula dari dataran tinggi Yunnan ditanah besar Asia, Bangsa Malayu, merupakan keturunan Iskandar Zulqarnaen Raja Mazrik wal Magrib. Setelah kematian Maharaja Iskandar Zulqornain, keturunanya Bangsa Malayu mengalami malapetaka, diserang dan didesak oleh bangsa-bangsa lain yang lebih kuat, hal ini menyebabkan Bangsa Malayu berpindah ke asia tengara melalui sungai Zilwin yg bermuara di Burma, lalu bergerak kegenting Kra dan ketanah semenanjung Malayu.
Diseberangi selat Malaka dgn perahu bercadik, sayang separu rombongan terseret angin barat kelawik ceylon dan terdampar di antananrivo di tanah Madagaskar.
Sebagian rombongan selamat ketanah seberang pulau Malayu/poco, bertemu dgn mulut sungai besar yang berembun, sungai embun. dengan perahu bercadik terus dibawa bono kerana Tanjung bunga, disitu sungai bercabang dua. Sebelah kanan dicoba untuk dimudiki, tapi sayang airnya deras dan penuhi oleh timbunan kapar, disebut sungai Kapar. Rombongan kembali kehilir dicoba memasuki sungai yang sebelah kiri, airnya tenang maka dimudikilah sungai itu disebut sungai Sumbahyang. lalu perahu bercadik terdampar di Muara Langgai, kemudian berlabuh di lawik Sailan (Tambo adat gunsai).
Rombongan 50 kaum bermukim di Gunung Ibul,
Dipandang aliran sungai kehulu oleh Datuk Srimaharaja, tampak lah Bukit Biaro di Ujung Bukit, Dipandangi bukit Gunung Ibul, belum layak untuk ditempati, sebab dikeliling oleh rawa-rawa, maka sang Datuk memutuskan untuk kehulu. Tapi sebagian rombongan memutuskan tinggal di Gunung Ibul yakni Datuk Senjayo (saiyo bertukar sobuik, saighiang bapisa jalan).
Setelah perjalanan dilanjutkan maka rombongan Datuk Sri Maharaja sampai ke muara sungai Bungo/Lipatkain, Kaum Datuk Singo memutuskan tingal.
Sampai dimuara sungai Siontan/ Kuntu, kaum Datuk Rajo Godang memutuskan tinggal, begitu juga Sampai di Ujung Bukit kaum Datuk Rajo Bungsu juga memutuksan tinggal, sampai di Batu Songgan kaum Datuk Godang juga memutuskan tinggal. Sampai di Pangkalan Tuo, kaum Datuk Bandaro Hitam juga memutuskan tinggal.
Maka dari 50 kaum yang pertama hijrah ke Poco tengah dari bangsa melayu, 6 kaum memutuskan menetap di Batang Subayang, itulah yang di sebut subayang 6 (Kaum) koto,
Rombongan tersisa 44 kaum di pimpin oleh Datuk Sri Maharajadiraja, kemanakah Datuk srimaharaja membawa 44 kaum nya bermigrasi. Setelah sampai di Pangkalan Tuo/Pangkalan Serai, dipandang kehulu nampaklah bukit Suligi, maka rombongan sampai ke Padang Sionta.
Dari Padang Sionta terlihatlah Gunung Hijau/Marapi, maka setelah sampai ke Gunug Marapi, rombongan berhenti untuk bermusyawarah, apakah akan menetap atau melajutkan perjalanan.
Sebagain rombongan memutuskan untuk tinggal yakni kaum Datuk Parpati dan Datuk tumenggung, mereka menetap di Dusun Tuo limo kaum tanah Datar/Pariangan, Inilah pemukiman awal di lereng marapi.
Rombongan Datuk Sri Maharaja Diraja kembali meneruskan perjalanan kembali ketimur yakni kehulu sungai Kapur, Mahat dan singgah dibatu bersurat di Kampar Kanan serta menetap disana membangun pemukiman.
Maka batu bersurat adalah pemukiman awal di hulu Kampar Kanan. Dari Batu Bersurat, Rombongan menyebar dan berkembang kesegala penjuru membentuk bentuk koto- koto . penyebaran kaum Datuk 50 tersebar kesetiap aliran sungai. sehingga jumlah andiko/ dunsanak di poco tongah ditambah 6 andiko/dunsanak di Kampar Kiri semuanya berjumlah 50 andiko, yakni jumlah 50 kaum awal dari rombongan Datuk Sri Maharaja Diraja. Pusat dari andiko nan 50 itu adolah Batu Basugek di Kampar Kanan sebagai tempat kediaman Datuk Sri Maharajo Dirajo sebagai kepala rombongan,maka dirikanlah suatu tempat peribadatan yakni Candi Motakui, sebagai pusat undang-undang bagi 50 Andiko itu.
Dari situlah lahirnya bahasa adat Undang-Undang di Kampar Kiri, Undang Jati di Kampar Kanan, Talago Undang di Motakui. Pusek Jalo Pumpunan Ikan. Dimana ulayat dari 50 andiko itu disebut Minanga Kabanua, yakni tanah yang terletak diantara dua aliran sungai, yakni Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan dengan pusat di Batu Bersurat, itulah Minangkabau Tuo.
PAGARUYUNG
Munculnya Pagaruyung Ini saya kasi kata pembuka nya. undang-undang di Kampar Kiri, Undang sejati di Kampar Kanan, Talago Undang di Motakui, Baulak Undang Ka Pagaruyung, dimanakah Pagaruyung?. dilahir abad ke 13 masehi.
Pagaruyung bermula dari cerita di Kampar Kiri 6 koto, pusat enam koto itu di kota Batang sontan dibawah kuasa Datuk Rajo Godang. Sekarang namanya negeri Kuntu. pada abad ke 12 masehi negeri kuntu diserang oleh tentara Singosari dalam ekpedisi Pamalyu/ serangan Gagak Jawo. Soko adat Puti Lindung Bulan, lari ke hulu Subayang yakni kesebuah koto yakni Koto Pinang di tanah datar/Pariangan.
Penduduk 6 koto yang selamat dari invasi ini melarikan diri ke Benteng Koto Pinang Masak di dusun Tuo 5 kaum Pariangan, akan tetapi soko adat koto Ujung Bukit, di tawan tentara Singosari yakni Dara Jingga, anak dari Datuk Rajo Bungsu Koto Ujung Bukit.
Dara djingga ini nama panggilannya Dara Pitok (karena bermata sipit), Disebut Dara Djingga adalah panggilan penghinaan yakni Dara Jenggo ( Jongkek) dihina karena dia putri tawanan yang dibawa paksa oleh panglima perang gagak jawo/Singasari dan dijadikan istri oleh panglima Perang Gagak jawo serta dibawa ketana Jawa. Invasi ini tak sampai ke tanah datar, hanya sampai ke negeri Batu Songgan, tentara Gagak Jawo kembali ke negerinya.
Setelah Singosari runtuh, berdiri Majapahit 50 tahun kemudian Majapahit kembali mengutus tentaranya menyerang Malayu, pimpinan tentranya seorang mentri bernama Adityawarman yang tak lain adalah anak soko Dara Jingga Putri Datuk Rajo Bungsu. Adityaarman ini kembali menaklukkan Malayu, satu-satu daerah yang masih bertahan namanya negeri Koto Pinang Masak di tanah Pariangan, Tanah Datar. Negeri itu adalah negeri istri Datuk Srimaharajo Dirajo yakni Negeri Puti Indo Jalito.
Putri Indojalito memiliki 3 anak yakni Datuk Temenggung. Datuk Parpatih dan Putri Jailan. Tapi anak kandung Datuk Srimaharajo Dirajo hanya Datuk Tumenggung, sementara yang 2 lagi adalah anak Bat/Ceti Bilang Pandai yang bergelar Datuk Suri Dirajo (suami kedua Indojalito).
Pada waktu adityawarman datang untuk merebut Koto Pinang masak, maka Datuk Tumenggung dan Datuk Perpati, membuat Benteng diperbukitan untuk melindungi Koto Pinang Masak. Benteng itu dibuat dengan bahan Uyuang Kayu/Toghe Kayu. maka disebut Benteng Pagaruyung, atau benteng Koto Pinang Masak. Benteng ini tidak mampu ditembus oleh tentara Adityawarman.
Puti Lindung Bulan itu adolah soko Adat Kampar Kiri di Kuntu yang lari ke tanah datar di Pariangan, pada masa Invasi Singasari 50 tahun sebelumnya masa Serangan Pamalayu Mahesa Anabrang, keturunan Puti Lindung Bulan ini yang mendiami Koto Pinang Masak (Mulo duduok kan badiri, pohon beringin di Tonga Padang, mulo adat kan badiri, turun di Pariangan Padang Panjang, Anak Siputi Jailan Maisiok Bungo Lintobung. Barajo Ka Gunung Sailan Batuo Ka Gunung Ijau).
Kembali kecerita Adityawarman, Datuk Perpati dan Datuk Tumenggung tetap bertahan di Koto Pinang Masak yang telah dibentengi Pagar Uyuang, akan tetapi tentara Majapahit yang datang sangat kuat ( tentara Sionggang Daghi lawik). Maka atas dasar mufakat diselidikilah siapa Adityawarman ini, setelah diselidiki soko nya maka diketahui dia adalah putra dari soko Malayu juga yakni Dara Pitok anak Datuk Rajo Bungsu dari negeri Ujung Bukit. Maka di buatlah siasat diplomasi dan pinangan untuk berdamai dan menyerahkan Koto Pinang Masak dan Benteng Pagaruyuang kepada Adityawarman.
Dengan syarat Adityawarman mau menikahi adek perempuan Datuk Parpati yakni Puti Jailan, keturunan dari puti Indojalito.
siasat ini berhasil maka Adityawarman kemudian menjadi Simondo dari Datuk Parpati dan Datuk Tumenggung, kemudian diangkat dia menjadi yang dipertuan Besar Bumi Malayu. Tempat kedudukannya adalah di benteng Pagaruyung Koto Pinang Masak itu.
Kembali kepada adityawarman anak Puti Bongsu Cucu Datuk Rajo Bonsu Ujung Bukit. Setelah menikah dgn Puti Jailan, soko malayu keturunan Indojalito, anak cucu Datuk Srimaharajodirajo. Maka lahirlah anak laki-laki bernama Ananggawarman nama juga disebut Rum Pitualo. Anak inilah yang kemudian di angkat jadi raja pertama Minangkabau yang berkuasa di Negeri Pagaruyung.
Dimana Koto Pinang Masak dirubah namanya menjadi Koto Pagaruyung, Maka didirikan Istana yakni Istana Silindung Bulan.
(Penulis tidak dlm kapasitas percaya atau tidak percaya) hanya memaparkan inilah isi Tambo Alam Minangkabau versi Tetuo Adat Kampar Kiri.
Itu juga alasan mengapa Ninik Mamak Rantau Kampar Kiri menjemput Raja ke Pagaruyung yang ditanah datar itu. Sebab bagi orang Kampar Kiri, keturunan Adityawarman, Ananggawarman, Puti Jailan, Indojalito, Puti Lindung Bulan, Dara Djingga, Datuk parpati, Datuk Tumenggung, Datuk Srimaharaja Diraja adalah satu keluarga besar Datuk 50 kaum bangsa Malayu.
Bahkan Adityawarman itu anak soko Dagha Pitok/ Jingga yang asal sokonya negeri Ujung Bukit, cucu Datuk Rajo Bungsu.(ughang awak juo). Bahkan orang tanah datar 5 kaum dusun tuo juga berasal dari Kampar Kiri juga. Begitu juga yang bertahan di benteng Koto Pinang Masak itu juga anak cucu Puti Lindung Bulan asal Kuntu. Datuk Rajo Godang itu kini namanya Datuk Bandaro/posisinya Datuk Khalifah Kuntu. Sedangkan Datuk Rajo Bungsu adalah sekarang bergelar Datuk Bandaro Juga khalifah Ujung Bukit.
Di Kampar Kiri, tambo inilah yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, dari migrasi awal Kampar Kiri itu didiami oleh 6 kaum saja membentuk 6 koto. Dari migrasi yang di Pariangan Padang Panjang tanah datar dusun tuo 5 kaum tanah datar, ini berkembang. lalu dari perkembangan di daghek ini kembali ke timur/kampar kiri 7 kaum lagi membentuk 7 koto baru, sehingga pada awal pembentukan kerajaan Gunung Sailan itu abad ke 16 masehi jumlah koto nya yakni 13 koto.
Koto-koto baru nya yaitu Ludai, Pangkalan Kapas, Koto lamo, Domo, Tanjung belit, Pasir Amo Dan lubuk cimpur. pada tahun 1930 jumlah negeri/kotonya menjadi 35 koto.
GUNUNG SAILAN
“HIKAYAT KECERDIKAN DATUK NYATO DIRAJO”
Datuk Nyato Dirajo adalah pucuk rantau Negeri Domo Kekhalifaan Kuntu, pada masa kurun abad ke 16 masehi pucuk Rantau Negeri Domo bernama Datuk Indomo. Pada masa ini Datuk-datuk Serantau Kampar Kiri sudah bersepakat untuk berdiri sendiri dalam wadah suatu kerajaan. Setelah kesepakatan di buat maka para datuk bersepakat untuk memintah seorang anak Raja Asli dari Raja Pagaruyuang untuk dirajakan di rantau Kampar Kiri.
Maka Datuk Rajo Godang dari Kuntu, kemudian menjadi delegasi dari Luak Subayang untuk menghadap ke Istana raja Pagaruyuang. Setibah di istana raja maka disampaikanlah maksud dan tujuan kedatangan kedua Bangsawan Kampar Kiri ini, yaitu untuk memintah seorang anak raja yang asli keturunan Daulat Raja Pagaruyuang, dimana anak tersebut akan menjadi “ Bijo ” atau cikal Raja bagi kerajaan Gunung Sailan.
Setelah mendengar maksud kedatangan delegasi Pembesar Rantau Kampar Kiri yang di kepalai oleh Datuk Rajo Godang. Maka Raja Pagaruyuang kemudian mengiyakan dan merestui keinginan Datuk-datuk dari Kampar Kiri tersebut. Adapun mengenai permintaan untuk membawah seorang anak raja yang asli (laki-Laki) ke Rantau Kampar Kiri, Raja Pagaruyuang waktu itu juga memberikan restunya, silakan ambil dan bawahla ke Kampar Kiri. Kemudian Raja Pagaruyuang menunjuk kepada halaman istana Pagaruyuang waktu itu dan berkata “ di sana ada sekumpulan anak-anak raja Pagaruyuang” ambillah satu dan bawahla ke Negeri Tuan-tuan.
Menurut hikayat para tetua adat, pada waktu itu di halaman istana ada sekitar 40 orang anak laki-laki yang sedang bermain-main, maka Raja Pagaruyuang mempersilakan untuk mencari dan memilih sendiri anak mana yang disukai oleh para Datuk untuk dijadikan Raja di Kampar Kiri. Melihat kesempatan ini maka Datuk Besar ketua delegasi Masyaraakat Kampar Kiri kemudian memilih seorang anak Raja yang paling bagus dan elok raut mukanya. Anak tersebut diambil lalu dibawah ke Rantau Kampar Kiri, lalu di duduk kan diatas tahta di Negeri Gunung Sailan.
Sebelum di Nobatkan menjadi Raja, maka anak raja yang dijemput tadi dilakukan upacara sembah raja. Dimana seluruh Datuk pembesar rantau menyembah anak raja tersebut, sebagai wujud Baiat mereka atas kepemimpinan Raja baru. Akan tetapi setelah dilakukan upacara sembah Raja, Sang Anak Bijo Raja tersebut tiba-tiba sakit, tidak beberapa lama kemudian sang anak menginggal dunia.
Kejadian ini membuat gempar Rakyat serantau Kampar Kiri, dimana raja yang dijemput kepagaruyuang tiba-tiba wafat tak tahan sembah. Maka bermusyarahlah kembali para datuk Pembesar Rantau dimana dalam Musyawarah itu didapat kata sepakat bahwa jika anak Raja tersebut wafat tak tahan sembah, berarti anak tersebut bukan anak raja yang asli dari kerajaan Pagaruyuang.
Maka diutuslah delegasi kedua yang dikepalai oleh Datuk Singo rajo Dibanding, kembali menghadap Raja Daulat Pagaruyung, dengan maksud yang sama yakni memintah anak raja yang asli untuk dijadikan raja di Gunung Sailan. Setibah di istana Raja Pagaruyuang jawaban Raja tetap sama yakni silakan dipilih dari sekumpulan anak raja Pagaruyuang yang ada. Kemudian Datuk Singo Rajo Dibanding kembali memilih seorang anak yang menurut hemat dan pertimbangan beliau ini adalah anak raja yang asli. Setelah dapat maka dibawahlah kerantau Kampar Kiri, sebelum sampai di Gunung Sailan disuatu tempat maka berhentilah datuk Singo dan pengiring nya dan kemudian menghampiran sang Raja Muda Pagaruyuang tersebut, kemudian bertanya apakah tuan muda adalah anak raja Pagaruyuang..? maka sang anak tersebut mengangguk. Lalu datuk Singo kembali memastikan agar kejadian pertama tidak terulang kembali, apakah tuan muda, benar-benar anak Raja asli/kontan raja Pagaruyuang. Mendengar pertanyaan tersebut maka tuan muda dari Pagaruyuang ini kemudian menggeleng.
Mendengar jawaban sang Tuan muda dari Pagaruyuang maka bingunglah datuk Singo, maka tuan Muda ini diberi gelar “ Rajo Ongguak –Geleng”. Untuk memastikan bahwa anak ini bisa untuk dijadikan Raja di Kampar Kiri, maka diadakanlah kembali upacara “sembah Raja” jika benar dia anak Raja asli Pagaruyung asli pasti tahan sembah, kata sang Datuk. Setelah upacara sembah raja, tidak berapa lama sang tuan muda menderita sakit perut, tidak lama kemudian tuan Muda dari Pagaruyuang ini juga mennggal duni. Maka bertambah bingunglah para pembesar Rantau Kampar Kiri, dua kali menjemput Raja, kedua-duanya berakhir dengan kegagalan.
Maka dengan tekad bulan, sekali layar terkembang, pantang surut kebelakang, maka diadakan musyawarah kembali dan dibentuklah delegasi ketiga, untuk memimpin delegasi ketiga ini kemudian diserahkan kepada Datuk Andomo, yakni pucuk Rantau Negeri Domo, Kekhalifaan Kuntu. Maka berangkatlah sang Datuk pembesar rantau Kampar Kiri ini kembali ke Istana Raja Pagaruyung dengan tekad akan mendapatkan seorang anak Raja yang asli keturunan Raja Pagaruyuang.
Setelah sampai di Pagaruyuang, sang datuk Andomo tidak lansung ke istana Raja, tetapi sang datuk pergi kepasar dan membeli setandan pisang. Lalu dipikullah pisang tersebut ke istana Raja Pagaruyung, setelah tiba di halaman istana, maka dipanggillah semua anak-anak yang bermain dihalaman istana dan diberikan pisang ( diumbuok dengan pisang). Anak-anak kemudian ramai berebut pisang sang datuk, sambil membagikan pisang sang datuk mengajukan pertanyaan kepada anak-anak tersebut, maka anak raja Pagaruyuang yang sebenarnya. Maka anak-anak tersebut dengan polosnya menunjuk kepada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di pingir lahaman istana. Anak tersebut tidak ikut berebut pisang sang datuk.
Maka Datuk Andomo memperhatikan gaya anak-anak istana ini memakan pisang, ada yang lansung dibuka dan dibuang kulitnya. Kemudian buah pisang lansung dimakan oleh anak-anak tersebut, beragam cara memakan pisng anak-anak istana ini. Kemudian sang datuk mendatangi anak yang duduk dipinggir halaman dan memperhatikan sang anak ini. Secara lahiriah sang anak terkesan biasa-biasa saja , bahkan dilihat dari kulit sang anak berwarna agak hitam dan rupa yang tidak terlalu tampan. Secara lahiriah tentu sang Datuk tidak begitu yakin jika sang anak ini Tuan Muda yang sebenarnya dari kerajaan Pagaruyuang.
Maka sang Datuk Andomo kemudian mempersembahkan buah pisang yang dibawah nya kepada tuan muda Pagaruyuang ini, pemberian sang datuk diterima oleh sianak. Kemudian sang tuan muda ini membuka kulit pisang selembar demi selembar dan menyisahkan bahagian bawahnya, karena bagian bawah itu adalah tempat untuk memakan pisang secara berlahan. Cara ini disebut dengan tata cara santap istana yakni disebut “ Kubak Ajo”. Melihat tatakrama sang tuan muda Pagaruyuang ini maka yakinlah sang datuk Kampar Kiri bahwa memang tuan bujang hitam inilah anak Raja yang asli dari Dinasti Raja Pagaruyuang.
Kemudian sang Datuk Kampar Kiri ini , kembali menemui Raja Pagaruyung dengan tujuang yang sama dengan dua delegasi terdahulu yakni untuk meminta seorang anak raja yang asli keturunan lansung dari Raja Pagaruyuang untuk dirajakan di Kampar kiri. Sebagaian mana jawaban terdahulu seperti itulah jawaban raja Pagaruyuang yakni mempersilahkan Datuk Andomo untuk memilih seorang anak , dari halaman istana Pagaruyung.
Dengan diberikan izin tersebut, maka dengan cekatan Datuk Andomo bergerak menuju tuan Muda Hitam tersebut mengapit tangannya dan membawah Sianak kehadapan Raja Pagaruyuang, sambil berkata bahwa dia akan membawah anak ini ke Gunung Sailan untuk dijadikan Raja di kampar Kiri. Melihat kejadian ini maka terkejutlah sang Raja Pagaruyuang, melihat anak laki-laki satu satunya sudah berada dalam gengaman tangan datuk Andomo dari kampar Kiri. Malang tak dapat ditolak, munjur tak dapat di raih, kata izin telah keluar dari mulut tuanku Raja, tentu pantang untuk menjilat ludah yang telah terlajur dibuang. Maka Sang Raja mengiyakan permintaan Datuk Andomo dari Kampar Kiri.
Kemudian setelah semua perlengkapan sudah siap di depan istana pagaruyung maka Datuk Andomo kemudian akan turun dari istana Pagaruyuang membawa sang Tuan Muda untuk dijadikan Raja di Rantau. Melihat kejadian tersebut maka terseraklah tagis di tengah istana, dimana ibu sang Raja Bujang menagis meraung menyaksikan putra tunggalnya di jemput terbawah oleh Datuk-datuk dari kampar kiri. Melihat kejadian tersebut bertambah yakinlah Sang datuk Andomo bahwa yang terbawa adalah Anak Raja Asli Pagaruyuang. Dengan senyum kemenangan Sang Datuk Andomo kemudian meninggalkan Istana Pagaruyuang kembali Ke Gunung Sailan.
Setibah di Gunung Sailan Kampar Kiri, maka segeralah diadakan acara nobat Raja melalui acara sembah Raja dan pembacaan Sumpah setia di Muarabio tepatnya di pulau Angkako. Maka jadilah Tuan Bujang Pagaruyuang sebagai Raja pertama kerajaan Gunung Sailan Kampar Kiri.
Kecerdikan Datuk Andomo dalam bersiasat untuk mendapatkan anak raja yang asli dari Pagaruyung ini menjadi legenda turun temurun di Rantau Kampar Kiri. Sehingga Datuk Andomo pucuk Rantau Negeri Domo memperoleh kehormatan sebagai orang Besar Raja Gunung Sailan dengan gelar Datuk Nyato Dirajo, yakni sebagai mentri untuk urusan pemerintahan dalam negeri.
SUMPAH SOTIE DI MUAGHO BIO
BATU BAKAGHANG DIMUAGHO SUBANGI
DIBACOKAN DI PULAU ANGKAKO
DICOMPUONG KA LUBUK ALAI
INDAK BULIE DIANGKEK DIUNGKIEK LAI
BUEK TINGGAE DI DATUK BOSAE
AMANAT TINGGAE DI DATUK GODANG
GAMGAM POCIK KA OMPEK SUKU
PAKAIAN DATUK NAN SALAPAN DI GUNUONG SAILAN
UNDANG BASUMPA JONJI
CUPAK BAPARBUATAN
CUPAK MANO PURBAKALO
KALAU AJO NAN MAUBAH DIMAKAN BISO KOGHI
KALAU KHALIFAH NAN MAUBAH DIMAKAN SUMPAH MANAH
KALAU PENGHULU NAN MAUBAH DIMAKAN PERBUATAN
KALAU UGHAGH BANYAK NAN MAUBAH DIMAKAN KUTUK KALAMULLAH
SAIBU-SIANG SAIBU MALAM
KA’ATE INDAK BAPUCUK KABAWAH INDAK BAUGHEK
DITONGA-TONGA DI GHIGHIEK KUMBANG
IDUIK ONGGAK MATI TAK OMUE
SAUPO UMPUIK DI TONGA JALAN
BALADANG TAK BULIE PADI
BAANAK SOGHANG MATI JUO
ANTAU DITUWIK JO UNDANG
NAGHONGI DIHUNI JO PISOKO
KAMPUONG DILAMBAK JO LIMBAGO
ANTAU SAPARENTA AJO
LUAK NAN SAPARENTA UGHANG GODANG
NAGHONGI SAPARENTA PENGHULU
KAMPUONG NAN SAPARENTA UGHANG TUO
UMA NAN SAPARENTA TUNGGANAI
NAN BA HAQ NAN DI BOGHI
NAN BASOSOK BA JUAMI
NAN BATUNGGUE BASILAMPIK
NAN BATUWUN BANAIKKAN
NAN BAJONJANG NAIOK BA TANGGOTUWUN
GODANG IKAN HINGGO SISIAK
GODANG KA MANAKAN HINGGO MAMAK
KAMANAKAN BAAJO KA MAMAK
MAMAK BAAJO KA PENGHULU
PENGHULU BAAJO MUFAKAT
MUFAKAT BAAJO KA NAN BONAE
NAN BONAE, BULEK NAN BULIE DIGOLEKKAN
PICAK NAN BULIE DILAYANGKAN
NAN INDAK MALOMPEK KALUE POPA
NAN INDAK MAHAMBU KALUE SEGAE
JALAN BAAMBA NAN KAN DITUWIK
BAJU BAGUNTIANG NAN KAN DISAWUONGKAN
GODANG INDAK MALINDAN
PANJANG INDAK MALILIK
LOWE INDAK MANYUNGKUIK
GOPUOK INDAK MAMBUANG LOMAK
CODIK INDAK MAMBUANG KAWAN
INDAK MAMBUEK NAN BOLUN-BOLUN
INDAK MAUBAH NAN BIASO
ANTAU PANJANG KA ULU
NAGHONGI PANJANG KAUSUK
LICIN BAK LANTAI KULIK
ALUI BA ANTAU SIAK
SUMPAH SOTIE DIPASOKSIKAN
KA GAJAH SA KUNTO NYO
KA IMAU SA CINDAKU NYO
KA BUAYO SA ANTAU
KA ANTU SA IMBO AYO.
Catatan penulis :
Menurut hikayat tambo Kampar Kiri, sumpah sotie ini dibawah oleh Raja Mangiang ke Kampar kiri dari Pagaruyuang, sumpah setia ini mengambil dasar dari sumpah setia Khadam Poghiek di tanah Pariangan. Sumpah sotie ini adalah perjanjian antara Datuk Besar Khalifah kampar Kiri dan Datuk Godang (Mamak Pisoko Rajo Gunung Sailan) mewakili Rajo Mangiang yang masih kecil dengan 13 orang Datuk delegasi dari 13 Koto serantau Subayang.
Perjanjian ini disepakati di Pangkalan Tuo/ Pangkalan serai oleh Datuk Bandaro hitam pada abad ke 16 masehi, bunyi sumpah setia ini dibacakan di pulau Angkako di Muara Bio, tetapi di perjanjian ini di tulis Muara Subangi ( Negeri Domo). dibawah Datuk Khalifah Kuntu Datuk Rajo Godang/ Datuk Bandaro sekarang.
Sumber :
1. Di sarikan dari diskusi lepas denga tokoh-tokoh adat Kampar Kiri tentang Tambo Alam Minangkabau, Pagaruyung dan Gunung Sailan.
2. Tambo Adat Manyigi Tambo Adat Kampar Kiri dalam Minangkabau, oleh H. Munir Junu Datuk Bandaro.