MEDIA UNTUK PELESTARIAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN MASYARAKAT RANTAU KAMPAR KIRI
Jumat, 30 Maret 2012
ADAT KAMPAR KIRI VS ADAT MINANGKABAU
ADAT KAMPAR KIRI VS ADAT MINANGKABAU
( Saatnya Orang Rantau Kampar Kiri menemukan jatidiri....)
AdatKampar Kiri
Sejarah Kerajaan Kamparkiri
Dalam buku Sejarah Riau yang disusun Wan Galib dkk dalam BAB VI yakni Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda, tepat pada halaman 355-357 disebutkan tentang Kerajaan Kamparkiri. Berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti namun salah satu peninggalannya adalah suatu tempat disebut benteng yang menjadi peninggalanbersejarah.
Masyarakat tempatan menyebut ini sebagai peninggalan sejarah sebelum Islam. Artinya, kerajaan ini sudah berdiri sebelum agama Islam masuk. Namun kemungkinan besar perkembangannya berkemungkinan besar baru mencuat pada awal abad 19 Masehi. Kerajaan Kampar Kiri ini berpusat di Gunungsahilan yakni kira-kira 5 Km dari desa Kebun Durian, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar.
Wilayah kerajaan ini meliputi dari Muara Linggi (Langgam, kini masuk Kabupaten Pelalawan) di hilir sampai ke Pangkalan Dua dihulu (diperkirakan daerah Pangkalan Indarung di Sumatera Barat).Perkembangan kerajaan ini diperkirakan tergolong lambat sebab dalam beberapa kali keturunan raja-raja yang memerintah tidak terdapat perubahan-perubahan yang berarti.
Pada 1905, Tengku Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam yang menduduki tahta kerajaan, mengirim utusan ke Bengkalis untuk menyerahkan dan mengaku tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuan negerinya akan aman dan makmur. Maka 27 Februari 1905 disepakati sebuah perjanjian antara kerajaan Kamparkiri dengan Hindia Belanda dan setelah itu, kerajaan Kamparkiri merupakan wakil pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Kamparkiri langsung diwakili seorang raja dengan gelar Yang Dipertuan Besar van Gunung Sahilan en Datuk van het Landschap.
Pada 29 Mei 1907 kembali dibuat perjanjian dengan Hindia Belanda yang ditandatangani Yang Dipertuan Abdurrahman sebagai pengganti Sultan Abdul Jalil. Maka dengan perjanjian tersebut, secara administrasi kekuasaan Kamparkiri diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Belanda menempatkan seorang controleur sebagai kepala dari pangreh praja di sana dan menurut perjanjian itu bekas kerajaan Kampar Kiri termasuk dalam Zelbestuur.
Kerajaan ini dibagi atas lima kekhlifahan dan kedudukan khalifah tidak terpusat pada pusat pemerintahan tetapi berkedudukan di daerahnya masing-masing. Lima kekhalifahan itu antara lain; Datuk Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunungsahilan, Datuk Bendahara Khalifah Kuntu berkedudukan di Kuntu, Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit berkedudukan di Ujung Bukit, Datuk Gedang Khlaifah Batu Sanggam berkedudukan di Batu Sanggam, serta Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai berkedudukan di Ludai.
Kerajaan Kamparkiri kemudian disebut dengan Kerajaan Gunungsahilan yang semula meliputi 25 negeri, berkembang menjadi 30 negeri. Pada 1930 Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti ditabalkan sebagai raja. Perhelatan besar dilaksanakan dengan memotong beberapa ekor kerbau tiap-tiap orang dari khalifah yang berlima.
Pembangunan di masa pendudukan Belanda arah pembangunan negeri hanya untuk kepentingan Belanda seperti pembangunan kantor pos, kantor kontreleur dan sekolah. Sedangkan istana sultan dibangun sekedar mengambil hati sultan agar kerajaan tersebut tetap setia pada Hindia Belanda. Salah seorang keturunan Tengku Sulung yakni Tengku Arifin bin Tengku Sulung menjelaskan, hingga hari ini masih ada tapak-tapak sejarah yang terabaikan seperti kandang kuda, sekolah perpolof school, asrama polisi, pesanggrahan, penjara, kantor markoni/berita dan kantor raja/merah.
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunungibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunungibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunungibul, atau Kerajaan Gunungsahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunungsahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunungibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orangtua mereka, Kerajaan Gunungibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunungibul.
“Cerita soal Kerajaan Gunungibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunungsahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunungibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunungsahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunungsahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu sedang dalam menuai masa keemasannya. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunungsahilan untuk meminta anak raja dan di-raja-kan di Gunungsahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang untuk datang ke Pagaruyung mencari siapa yang pantas dirajakan di Negeri Gunungsahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunungsahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunungsahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
Pembentukan Adat-Istiadat Kampar Kiri
Menurut buku tentang adat-istiadat Kampar Kiri yang ditulis oleh Wazir kerajaan Gunung Sailan Tengku Haji Ibrahim Bin Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam. Mengatakan bahwa Adat-Istiadat Kampar Kiri disusun pada masa pemerintahan Sulthan Tengku Abdul Jalil Yang Dipertuan Hitam (1850-1880 M).
Dalam buku adat istiadat Kampar kiri tersebut di katakan bahwa yang dimaksud dengan adat ialah, kalau terhadap mesjid/surau disebut IBADAT, kalau terhadap balai (pemerintahan/kerajaan) disebut ADAT. Sedangkan yang menjadi dasar Adat Kampar kiri adalah “ Addienul Islam” pada awalnya pelaksanaan Adat dan Ibadat itu dilaksankan oleh junjungan umat Nabi Muhammad SAW, beliaulah yang pandai memegang dan menjalankan adat dan ibadat itu, setelah beliau wafat maka pelaksanaan adat dan ibadat tersebut dilanjutkan oleh para sahabat beliau yaitu para Khalifah. Sampai pada khalifah terakhir yang memegang adat dan ibadat dalam satu tangan ialah Khalifah Husein Bin Ali Bin Abi Thalib.
Setelah berakhirnya masa kehalifaan Husein Bin Ali Bin Abi Tahlib maka pelaksanaan Adat dan Ibadat di bagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Bagian Adat dipegang oleh para Raja/Sulthan yang bertulang kuat, bertangan besi sebagai pelaksananya( eksekutif).
2. Sedangkan bagian ibadat dipegang oleh para alim ulama yang disebut bermata jalang bercermin terus (Majlis syuro/legislatif).
Dari dasar inilah dibentuk pemerintahan di kerajaan Gunung Sailan Kampar Kiri dimana Raja dibagi dua yaitu Raja Adat yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Raja Ibadat Yang Bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti. (Tengku Haji Ibrajim. Adat Istiadat Kampar Kiri)
Dalam Kerajaan Kampar Kiri Adat dibagi menjadi beberapa bagian anatara laian, Adat Ashal (Penghambaan diri Kepada Allah) Adat Fhuru’ (Penghormatan kepada Orang Tua) Adat Suguhari (Adat Perdamaian) Adat Islamiyah (Adat perdamaian) dan lain-lain. Dari dasar inilah disusun “ Adat bersendi syarak (Syariat) syarabersendi Kitabullah”
Prinsip-prinsip Adat Kampar Kiri
1. Adat Nan Sebenar nya Adat Ialah Adat yang diterima dari Nabi Muhammad SAW (Al-Quran dan Sunnah) di situ diambil syah dan batal, Halal dan haram, Pardu dan sunnat, da’wa dan Jawab, Saksi dan Bai,ah.
Adat Perpatih
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Adat Perpatih berasal dari tanah Minangkabau, Sumatera, diasaskan oleh seorang pemimpin Minang bernama Sutan Balun yang bergelar Dato' Perpatih Nan Sebatang. Adat ini adalah amalan dan peraturan hidup yang ditentukan bagi masyarakat Minangkabau yang rata-ratanya adalah petani ketika itu. Tidak ada tarikh yang tepat dicatatkan bila adat ini diwujudkan. Tetapi Adat Perpatih telah dibawa ke Semenanjung Tanah Melayu (Semenanjung Malaysia) oleh perantau-perantau Minangkabau pada abad ke 14 Masehi.
Struktur Masyarakat Adat Perpatih
Masyarakat Adat Perpatih terbahagi kepada tiga kumpulan utama iaitu [[Perut Suku dan Luak. Perut adalah unit sosio-politik yang terkecil di mana anggota sesuatu perut itu adalah berasal daripada moyang (keturunan perempuan) yang sama. Mereka ini sangat rapat dan lazimnya tinggal di sesuatu perkampungan atau kawasan yang sama. Setiap perut mempunyai seorang ketua yang digelar Buapak.Buapak ini dipilih oleh anak-anak buah di dalam sesuatu perut berkenaan. Kumpulan yang kedua ialah suku. Suku dibentuk oleh beberapa perut yang menjadikan keluarga berkenaan semakin besar. Suku diketuai oleh seorang ketua yang digelar Dato' Lembaga. Kumpulan ketiga ialah Luak. Luak adalah unit kawasan pentadbiran dari segi adat di mana ada empat luak utama iaitu Rembau, Sungai Ujung, Johol dan Jelebu. Setiap luak diketuai oleh seorang Undang. Selain daripada empat luak utama ini ada satu lagi luak yang kelima dipanggil Luak Tanah Mengandung. Luak Tanah Mengandung ini adalah terdiri daripada lima luak kecil di Seri Menanti iaitu Luak Inas, Luak Ulu Muar, Luak Gunung Pasir, Luak Terachi dan Luak Jempol. Setiap luak kecil ini ditadbirkan oleh seorang ketua yang bergelar Penghulu Luak.
Adat Perpatih ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui kata-kata perbilangan. Ia merangkumi pelbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk soal harta pusaka, perlantikan pemimpin, hukum nikah kahwin, amalan bermasyarakat, sistem menghukum mereka yang melanggar adat atau melakukan kesalahan dan pelbagai aspek lagi. Setiap peraturan atau adat itu ada perbilangannya dan setiap peraturan itu ada rasional atau sebab-sebab terjadinya hukum atau adat itu.
Perlantikan pemimpin, misalnya, banyak yang menyamakan sistem Adat Perpatih dengan amalan demokrasi. Contohnya ialah perlantikan Yang DiPertuan Besar Negeri Sembilan di mana bukannya melalui keturunan dari bapa ke anak tetapi adalah melalui pemilihan oleh Undang Luak yang empat iaitu Undang Rembau, Undang Sungai Ujung, Undang Johol dan Undang Jelebu. Empat undang ini akan bermesyuarat untuk melantik salah seorang keturunan dari raja Pagar Ruyung untuk menjadi Yang DiPertuan. Undang Luak pula dilantik oleh Dato'-Dato' Lembaga di luak (daerah) masing-masing. Dato' Lembaga ini pula adalah pemimpin-pemimpin yang dilantik secara muafakat oleh pemimpin-pemimpin keluarga yang digelar Buapak. Oleh itu secara keseluruhannya kuasa melantik pemimpin itu sebenarnya berada di tangan rakyat biasa.Inilah satu sistem Adat Perpatih yang ada persamaan dengan demokrasi.
Prinsip-prinsip Adat Perpatih
Adat Perpatih mempunyai lima prinsip utama.
1. Keturunan dikira melalui nasab ibu: Adat Perpatih memberi keistimewaan kepada perempuan yang dianggap bonda kandung iaitu ibu yang melahirkan anggota-anggota masyarakat. Seseorang individu itu adalah anggota suku ibunya dan bukan anggota suku bapanya.
2. Tempat Kediaman adalah di kawasan ibu isteri: Apabila berlangsungnya sesuatu perkahwinan, si lelaki akan meninggalkan kampung halamannya dan menetap di kawasan ibu isterinya sebagai orang semenda. Pada zaman dahulu si lelaki akan mengusahakan tanah keluarga isterinya.
3. Perempuan mewarisi pusaka, lelaki menyandang saka: Hanya lelaki sahaja yang berhak menyandang saka (jawatan-jawatan dalam adat) manakala perempuan adalah mewarisi harta pusaka keluarga ibunya.
4. Perkahwinan seperut atau sesuku adalah dilarang: Dalam sesuatu perut dan suku, hubungan adalah rapat dan si lelaki menganggap perempuan dalam perut atau sukunya adalah saudara perempuannya. Begitu juga sebaliknya. Oleh itulah perkawinan sesama suku ini adalah terlarang. Perempuan yang berkahwin sesama suku akan hilang haknya untuk mewarisi harta pusaka ibunya manakala lelaki pula akan hilang hak untuk menyandang sebarang jawatan dalam adat.
5. Orang luar boleh menjadi ahli sesuatu suku: Untuk tujuan perkahwinan atau waris mewarisi, dibenarkan orang luar untuk menjadi ahli sesuatu suku dengan cara melalui upacara berkedim. Dalam upacara ini seseorang itu akan bersumpah taat setia dan bersaudara dengan ahli-ahli suku yang akan disertainya.
KESIMPULAN
1. Adat Kampar Kiri berdasar atas Syariat Islam disusun Oleh Sultan Tengku Abdul Jalil Yang Dipetuan Hitam pada abad ke 18
2. Adat Istiadat Minangkabau disusun oleh Pemimpin MinangKabau Sutan Balun yang bergelar Datu’ Parpati nan Sabatang dengan dasar filsafat Matrilinial (Hindu) pada abad ke 14.
3.
Minggu, 25 Maret 2012
JEJAK-JEJAK KEJAYAAN RANTAU KAMPAR KIRI
Jejak Sejarah Kerajaan Gunung Sahilan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.Beberapa keturunan raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang rumahnya berada tidak jauh dari istana.
Menurut Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Sebelum kerajaan jilid II terbentuk,masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Tidak jauh dari Istana dapat kita jumpai Makam-Makam Raja Gunung Sahilan, namun ada yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak makam tersebut terdapat Makam yang di nisan bertuliskan tahun 1357, apakah tahun yang dimaksud Tahun Hijriah atau Tahun Masehi, kemudian juga terdapat Makam yang bernisankan batu alam.
Rabu, 21 Maret 2012
AIR TERJUN SUNGAI KOBOKO DESA LIPATKAIN SELATAN KAMPAR KIRI
AIR TERJUN SUNGAI KOBOKO DI DESA LIPATKAIN SELATAN KAMPAR KIRI, AIR TERJUN INI MEMILIKI 7 TINGKAT DAN YG DI GAMBAR INI ADALAH TINGKAT KE 2.
AKSI PARA AKTIVIS PRO RANTAU KAMPAR KIRI
AKSI MEMUNTUT PEMEKARAN KABUPATEN DI KANTOR DPRD BANGKINANG
AKSI PRO ILEGAL LOGING
Senin, 19 Maret 2012
EKSPEDISI PAMALAYU DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU KE RANTAU KAMPAR KIRI
RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM KUNTU
DARUSALAM
DAN KEDATANGAN GAGAK JAOU (Orang
Bagak/Kuat dari Tanah Jawa/Ekspedisi Pamalayu)
Stutterheim berpendapat bahwa
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak mengandung pengertian
bahwa Kerajaan Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya, melainkan
persekutuan antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya
penaklukan secara langsung (militer) terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada awalnya dilakukan
melalui penaklukan pusat perdagangan lada di Sungai Batanghari dan Sungai
Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini merupakan urat nadi
perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini,
perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat
Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk
di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. Pemakaian istilah persekutuan
dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada 1286, Raja
Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago
yang terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto,
1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa
diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di
antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah
Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu). Tiruan arca ini diterima
oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan sebagai balasan, sang raja
mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga kepada Raja
Kertanegara (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56-57).
Ketika sampai di Jawadwipa
(Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh. Penerus Kerajaan Singasari
adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada 1292,
sekaligus memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan gelar
Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Dara Petak yang telah
terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa
(1292-1309). Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan
Kalagemet yang kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu
Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Menurut Prasasti Kubu Rajo No I
yang merupakan sebuah prasasti Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Kubu Rajo
daerah Limau Kaum, ayah Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono
Hardjowardojo, 1966:20). Adwayawarmma merupakan salah satu pejabat tinggi di
Kerajaan Majapahit yang berpangkat “dewa”. Adwayawarmma inilah yang menikah
dengan Dara Jingga, sehingga secara garis keturunan, Adityawarman masih
memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Darmasraya. Pasca kelahirannya,
Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Nama raja Melayu yang lahir dari perkawinan antara Dara Jingga dan
Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965) disebut dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri
Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono Hardjowardojo, 1965:46)
Seperti tertulis di dalam buku
Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan Kerajaan Majapahit. Beliau pernah ditunjuk sebagai utusan Kerajaan
Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman menjabat Mantri
Prandhatara, sebuah jabatan yang sama dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang
tinggi untuk Adityawarman ini menandakan bahwa Adityawarman adalah seorang
anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang sangat dekat, mengingat ibu
Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu Raja Jayanegara sekaligus
permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama Majapahit (M.D. Mansoer, et.al.,
1970:57).
Berkembangnya Majapahit sebagai
kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan ekspedisi Pamalayu
kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai seorang mahapatih yang
terkenal dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah Mada. Maka sebagai
pembuka atas Ekspedisi Pamalayu jilid 2, diutuslah Adityawarman untuk pergi ke
Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana. Kebetulan Darmasraya telah jatuh
ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Seperti dikutip dalam buku Sedjarah
Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang
menganut ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang
telah menganut Mazhab Syafi’i. Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan
Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299,
Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita
kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan
Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga praktis monopoli
lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari, dikuasai oleh
Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan
Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa
oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan
agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah bermukim di daerah ini sejak
1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng Gunung
Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan
nama Singasari dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak
hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke
Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para
pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama
Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55).
Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada
perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi
Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada di
tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk
membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan
lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari.
Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan
Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan
sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli
lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan
Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai
daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama
Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi
(Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang
Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari
(M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai
upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga menyerang dan
menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan ditaklukkannya Kesultanan
Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di kedua
daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari.
Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu
jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak sebagai penguasa di tanah Melayu.
Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke
Riau Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman
Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah
Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian,
Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung
Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan
Minangkabau” (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari lokasi
perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian
Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak Kerajaan Pagaruyung
secara spesifik sebagaimana disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di
Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir
et.al., 1993:19).
Jumat, 16 Maret 2012
SEKILAS PANDANG KENEGERIAN LIPATKAIN RANTAU KAMPAR KIRI
KENEGERIAN
LIPATKAIN
IBU KOTA RANTAU
KAMPAR KIRI
Seandainya Rantau Kampar Kiri sebentuk
cincin emas,
maka Kenegerian Lipatkain adalah mata cincin nya.
LIPATKAIN KOTA KHATULISTIWA |
1. Sejarah Kenegerian Lipatkain
Dalam
tombo adat Kenegerian Lipatkain yang diwariskan secara lisan dari generasi ke
generasi disebutkan bahwa, pada zaman dahulu kala datanglah dua orang datuk
kedaerah Lipatkain secara bersamaan yaitu datuk pertama bernama Datuk Sutan
Lawik Api beliau, datang dengan perahu dari selat Malaka mudik ke Sungai Ombun
(Batang Kampar Kiri) dan singgah (maontak
Gala, membuang sauh) di daerah yang sekarang Lipatkain. Ditepi sungai
tersebut Datuk Sutan Lawik Api Manundo
Kapae Sosak, Malambe (menebas)
Kalimunting membuat ladang dan kebun. Tidak jauh disebelah hulu sungai
datang pula seorang Datuk dari hulu sungai Kampar Kiri yaitu dari daerah Gunung
Merapi (Pagaruyung) yaitu Datuk Godang menghilir dari hulu dan singgah membuat
ladang dan kebun pula.
Kemudian
disaat kedua Datuk tadi berburu binatang,
dan menggumpulkan makanan dihutan( foodghatering).
Maka berjumpalah mereka berdua, maka
terjadilah dialok diantara keduanya tentang siapa yang dahulu datang di
daerah Lipatkain ini. Masing-masing datuk mengakui dirinya yang dahulu datang
dan berhak atas daerah Lipatkain dengan menunjukkan tanda-tanda masing-masing.
Setelah
menunjukkan bukti masing-masing ternyata kedua datuk memang datang bersamaan,
sehingga mereka bersepakat untuk tinggal bersama-masa membangun kampuong, dan
ladang serta membuat janji persaudaraan layak nya adik dan kakak.
Disaat
kedua datuk sedang berburu di atas sebuah bukit, mereka melihat asap api yang
sangat besar di daerah aliran sungai Singingi. Maka kedua Datuk kedaerah
berangkat menyelusuri sungai Singingi
melihat apa gerangan yang terjadi. Didaerah Singingi kedua datuk menemui
kampuong yang tengah terbakar dan mayat-mayat yang berserakan, rupanya daerah
Singingi diala (diserang Garuda), maka terjadilah pertempuran antara Datuk
Sutan Lawik Api dan Datuk Godang dengan Garuda, sehingga Sang Garuda dapat
dibunuh.
Setelah
Garuda dapat dibunuh, datuk-datuk tersebut mendengar tangisan anak kecil
diantara reruntuhan rumah yang hancur diamuk Garuda. Direruntuhan rumah
tersebut Sang Datuk menemukan seorang gadis kecil yang selamat. Maka gadis
kecil tersbut di bawah ke Kampuong Lipatkain dan dibesarkan oleh kedua orang
datuk tersebut.
Setelah
berlalunya waktu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti
tahun, dan tahun pun berganti. Maka gadis kecil yang bernama “Puti Majo”
beranjak remaja dan dewasa maka
tampaklah kecantikan dan rupawan nya sang Putri. Melihat paras yang rupawan
maka jatuh hatilah kedua datuk pada Puti Majo, maka jadilah perselisihan
tentang siapa yang berhak untuk mengawini Sang Putri.
Puncak
dari persingan antara kedua Datuk, maka terjadilah pertarungan antara keduanya,
setelah sekian lama bertarung, saling adu kesaktian, rupanya kedua datuk
sama-sama pendekar dan tidak ada yang menang dan kalah. Setelah lelah bertarung
maka dibuatlah kesepakatan untuk bersama-sama meninggalkan Kampuong dan
meninggalkan Puti Majo sendirian. Datuk Godang lari keseberang Kampuong dan
menetap disana, sedangkan Datuk Sutan Lawik Api lari ke hulu Batang Olang dan
menetap pula disana.
Tidak
lama berselang maka datanglah Datuk Sinaro kedaerah Lipatkain dari pesukuan Mandailing/Maliling,
di daerah Lipatkain tersebut Datuk
Sinaro menemui seorang gadis menagis sendirian. Gadis tersebut adalah
Puti Majo, Puti Majo menceritakan kisah tentang kedua Kakak angkat nya yaitu
Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang yang berselisih dan meningalkan Kampuong
karena memperebutkan dirinya. Dan meminta Datuk Sinaro untuk menjemput keduanya
kembali ke Kampuong.
Maka
Datuk Sinaro berhasil membujuk kedua datuk untuk kembali kekampuong Lipatkain
dan memperdamaikan keduanya. Maka dibutlah kesepakatan bahwa Datuk Sutan Lawik
Api, Datuk Godang dan Puti Majo adalah bersaudara dan tidak boleh saling
menikahi hal ini juga berlaku bagi anak keturunan mereka hingga hari ini(Cilampuong pata baindiak sutonyo batali juo).
Maka Puti Majo dinikahi oleh Datuk Sinaro maka Datuk Sinaro menjadi simondo
dari Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang.
Maka
dibagilah kekuasaan diantara datuk-datuk tersebut dimana Datuk Sutan Lawik Api
adalah Pemilik Rantau, Datuk Godang Pemilik tanah Ulayat dan Puti Majo Pemilik
Negeri, sehingga ketiga datuk adalah penguasa dinegeri Lipatkain dengan sebutan
(Datuk Batigo). Sedangkan Datuk
Sinaro adalah Suluh Negeri (Andiko Besar).
Maka dibuatlah sebuah Negeri dengan nama Negeri Bungo Setangkai, inilah nama
awal dari negeri Lipatkain.
Kemudian
datanglah beberapa suku lagi kenegeri Bungo Setangkai yaitu suku Melayu
Palokoto, Suku Melayu Bendang, suku Nelayu nan ompek, suku Domo, sehingga
negeri Bungo Setangkai didiami oleh delapan suku sehingga berdirinya kerajaan
Gunung Sailan.
Pada
masa kerajaan Gunung Sailan terjadilah perkara yang tak selesai-selesai di
negeri Bungo Setangkai dimana negeri terbelah menjadi dua praksi besar delapan
suku terpecah menjadi dua golongan yang masing masing kokoh pada pendiriannya.
Sehingga setiap persoalan tidak bisa diambil kata sepakat.
Persoalan
ini sampai kepada Raja Gunung Sailan, maka raja mengambil keputusan untuk menempatkan
keturunannnya dari suku Piliang untuk menetap di Lipatkain sebagai penengah
dari delapan suku yang berselisih. Sehingga negeri Lipatkain terdiri dari sembilan
suku.
2.
Keadaan Geografis Kenegerian Lipatkain
Kenegerian
merupakan suatu komunitas hukum adat
yang terdapat di Kecamatan Kampar Kiri
Kabupaten Kampar . Pada wilayah hukum adat Kenegerian Lipatkain hari ini
secara administrasi pemerintahan terdiri dari lima Desa yaitu :
1. Desa
Lipatkain Selatan
2. Desa
Lipatkain Utara
3. Kelurahan
Lipatkain
4. Desa
Sungai Paku
5. Desa
Sungai Geringing
Secara
geografis Kenegerian Lipatkain terletak
di sebelah selatan Kabupaten Kampar dengan ketinggian 40 Meter dari permukaan
Laut, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
-sebelah
utara berbatasan dengan Desa Kebun Durian dan Desa Subarak
-Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Teluk Paman Timur dan desa Tanjung Pauh
-Sebelah
Timur dengan Kecamatan Salo Kecamatan bangkinang Barat
-SebelahBarat
dengan Desa Gunung Sari Kecamatan Gunung Sahilan
Kenegerian Lipatkan pada hari ini terdiri atas lima
desa/kelurahan dengan luas wilayah 250,2 M2. Iklim kenegerian Lipatkain adalah
beriklim tropis terletak pada garis Khatulistiwa, dimana tugu khatulistiwa
terdapat di desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri.( Kecamatan Kampar Kiri Dalam Angka 2008)
3. Penduduk/Demografis Kenegerian
Lipatkain
Sedangkan
secara administasi pemerintahan kenegrian Lipatkain terdiri dari lima desa
dengan jumlah penduduk yaitu :
Tabel
.1
Jumlah Kelurahan/Desa
serta Jumlah penduduk
No
|
Nama
Desa/ Kelurahan
|
Jumlah Penduduk
|
1.
|
Lipatkain
|
3.954
|
2.
|
Lipatkain
Selatan
|
2105
|
3.
|
Lipatkain
Utara
|
2023
|
4.
|
Sungai
Paku
|
1038
|
5.
|
Sungai
Geringging
|
673
|
|
5
|
9.793
Jiwa
|
Sumber
: Kampar Kiri dalam angk 2008
Sedangkan
penggolongan jumlah penduduk di Kenegerian Lipatkin berdasarkan jenis kelamin yaitu
:
Tabel
.2
Pembagian Jumlah Penduduk
Berdasarkan Jenis Kelamin
No
|
Nama
Desa/ Kelurahan
|
Jumlah Penduduk
|
|
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
1.
|
Lipatkain
|
2011
|
1943
|
2.
|
Lipatkain
Selatan
|
1421
|
684
|
3.
|
Lipatkain
Utara
|
701
|
1322
|
4.
|
Sungai
Paku
|
539
|
499
|
5.
|
Sungai
Geringging
|
366
|
307
|
|
5
|
5038
|
4755
|
Sumber
: Kampar Kiri dalam angka 2008
4. Mata Pencaharian Masyarakat
Kenegerian Lipatkain
Masyarakat
Kenegerian Lipatkain mayoritas bermata pencaharian sebagai petani (agraris),
terutama petani karet dan sawit sebagai mata pencaharian pokok masyarakat.
Disamping itu juga ada yang berpropesi sebagai pedagang,nelayan, dan pegawai
swasta dan pegawai negeri sipil.
5. Sarana Pendidikan dan Kesehatan
Di Kenegrian Lipatkain
Kenegerian
Lipatkain merupakan wilayah tempat berdirinya ibu Kota Kecamatan Kampar Kiri
yaitu di kelurahan Lipatkain, tentu memiliki sarana dan prasarana pendidikan
dan kesehatan yang lebih lengkap di bandingkan dengan masyarakat kenegerian
lain di kecamatan Kampar Kiri. Berikut data-data mengenai jumlah fasilitas
pendidikan seperti sekolah TK,SD, SMP/MTs, SLTA/MA dan Universitas dan kesehatan di Kenegerin Liptkani
perkecamatan seperti, Puskesmas, pustu (puskesmas pembantu) Klinik, pos Yandu
dll.
Tabel
.3
Jumlah
Pendidikan dan Kesehatan /Desa
No
|
Nama
Desa/ Kelurahan
|
Fasilitas
|
|
|
|
Pendidikan
|
Kesehatan
|
1.
|
Lipatkain
|
7
|
2
|
2.
|
Lipatkain
Selatan
|
3
|
1
|
3.
|
Lipatkain
Utara
|
2
|
1
|
4.
|
Sungai
Paku
|
1
|
1
|
5.
|
Sungai
Geringging
|
1
|
1
|
|
5
|
15
|
6
|
Sumber
: Kampar Kiri dalam angk 2008
6.
Agama
dan Fasilitas Kerohanian di Kenegerian Lipatkain
Mayoritas
masyarakat Adat Kenegerian lipatkain menganut ajaran islam, sehingga islam
menjadi bagian adat yang tidak terpisahkan. Persatuan adat dan agama ini
tercermin dalam pepatah “ Adat bersyandi syarak, syarak bersendi kitabullah”.
Berikut data tentang rumah ibadah dan penganut agama di Kenegerian Lipatkain.
Tabel
4
Jumlah Penganut Agama
No
|
Nama
Desa/Kel
|
JenisAgama
|
||||
|
|
Islam
|
Khatolik
|
Protestan
|
Budha
|
Hindu
|
1
|
Lipatkain
|
3915
|
12
|
27
|
-
|
-
|
2
|
Lipatkain
Selatan
|
2067
|
7
|
31
|
-
|
-
|
3
|
Lipatkain
Utara
|
2010
|
-
|
13
|
-
|
-
|
4
|
Sei
Paku
|
1029
|
-
|
9
|
-
|
-
|
5
|
Sei.
Geringging
|
673
|
|
|
|
|
Sumber
Kampar Kiri Dalam Angka 2008
Tabel
4
Jumlah Tempat
Peribadatan
No
|
Nama
Desa/Kel
|
Jenis
Rumah Ibadah
|
||||
|
|
Mesjid/
Mushallah
|
Gereja
|
Katedral
|
Wihara
|
Pura
|
1
|
Lipatkain
|
9
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Lipatkain
Selatan
|
9
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Lipatkain
Utara
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4
|
Sei
Paku
|
7
|
-
|
-
|
-
|
-
|
5
|
Sei.
Geringging
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sumber
Kampar Kiri Dalam Angka 2008
7.
Budaya dan Adat Istiadat Kenegerian Lipatkain
Masyarakat
Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan menganut kebudayaan matrilineal
yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu, Kebudayan ini dikenal dengan
budaya Minangkabau. Sedangkan system perkawinan nya adalah system matrilokal
dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku atau klannya.
Secara
adat-istiadat penduduk kenegerian Lipatkain terdiri dari Sembilan suku/pesukuan
yaitu terdiri dari :
1. Suku
Pitopang Basa dengan kepala suku Dt. Jalelo
2. Suku
Pitopang Tonga dengan kepala suku Dt. Godang
3. Suku
Melayu Palokoto dengan kepala suku Dt. Paduko Majo
4. Suku
Mandailing/Maliling dengan kepala suku Dt. Sinaro
5. Suku
Melayu Bendang dengan kepala suku Dt. Tanaro
6. Suku
Piliang dengan kepala suku Dt. Mongguong/Tumenggung
7. Suku
Domo dengan kepala suku Dt. Paduko Tuan
8. Suku
Melayu Nan Ompek kepala suku Dt. Mahudum
9. Suku
Melayu Datuk Marajo dengan kepala suku Dt. Majo
Satu
suku/pesukuan disebut juga satu Kampuong, satu kampuong terdiridari beberapa
keluarga yang masih memiliki hubung kekerabatan dari pihak ibu.satu
suku/kampuong di perintah oleh Ninik Mamak di
Sebut “ Baompek Dalam Kampuong
Balimo Jo Ughang Tuo” yaitu terdiri dari
1. Mamak
Godang Ka Naghonghi ( Kepala Suku)
2. Mamak
Godang Ka Kampuong
3. Malin
4. Dubalang
5. Ughang
Tuo
Masing-masing
memiliki tugas dan wewenang tersendiri dalam suatu satuan hokum adat di tingkat
Kampuong terhadap rakyat yang disebut dengan sebutan “Kamanakan”. (dihimpun
dari berbagai sumber).
Langganan:
Postingan (Atom)