Sabtu, 23 April 2016

HIKAYAT TAPAK SEJARAH KAMPAR KIRI DI GUNUNG IBUL

HIKAYAT NEGERI GUNUNG IBUL Awalnya negeri Gunung Sailan bernama Gunung ibul Pada mulanya, Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sailan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung sailan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orangtua mereka, Kerajaan Gunung ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul. Menurut H.T Ibrahim, tentang asal usul negeri Gunung Sailan juga menuliskan bahwa, asal pisoko adat Gunung Sailan berasal dari negeri tua yang bernama Negeri Gunung Ibul. Negeri Gunung Ibul ini merupakan Lantak Tunggal atau negeri tertua di Rantau Kampar Kiri, dahulunya cikal bakal pisoko Datuk Besar Khalifah Van Kampar Kiri itu berasal dari negeri Gunung Ibul ini. Pada masa awalnya sebelum masa Islam atau masa kekuasaan kerajaan Hindu dan Budha gelar penguasa Kampar Kiri adalah Datuk Intan Dilangit dan permaisurinya bernama Ninik Mandai, Ninik mandai adalah sompu dari Datuk Rajo Mandailing ( Mandala Holing) yang bergelar Sutan Saudagar. Keturunan dari Ninik Mandai ini adalah suku Domo dengan gelar pucuk sukunya yaitu Datuk Sinaro , Selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam kenegrian di antara ninik-mamak yang lain. Datuk Sinaro atau Sinagho (dealek local) yang berasal dari Suku Domo, disebut Kombuik Bonie Kuntuang Pisoko, bilik bakunci jo peti bagewang bagi Datuk Besar dan Datuk Godang. Suku domo disebut juga sebagai suku tuo dari suku ompek parit di dalam di negeri Gunun Sailan. Pucuk suku domo ini merupakan pemengang tanda adat dan tanda cupak bagi kerajaan Gunung Sailan. Cerita soal Kerajaan Gunung ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sailan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana. Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sailan. Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung sailan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sailan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu sedang dalam menuai masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh. “Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali domo,’’ ujarnya. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung sailan untuk meminta anak raja dan di-raja-kan di Gunung Sailan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang untuk datang ke Pagaruyung mencari siapa yang pantas dirajakan di Negeri Gunung sailan.“ Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Datuk Nyato Dirajo dari Negeri Domo yang bisa menentukan siapa anak raja yang asli dari kerajaan Pagaruyuang, beliau yang menjemput anak raja tersbut ke istana Raja Di Pagaruyung. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sailan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sailan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). “Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu.Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut. Dalam buku Sejarah Riau yang disusun Wan Galib dkk dalam BAB VI yakni Riau Menghadapi Kolonialisme Belanda, tepat pada halaman 355-357 disebutkan tentang Kerajaan Kamparkiri. Berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti namun salah satu peninggalannya adalah suatu tempat disebut benteng yang menjadi peninggalan bersejarah. Masyarakat tempatan menyebut ini sebagai peninggalan sejarah sebelum Islam.Artinya, kerajaan ini sudah berdiri sebelum agama Islam masuk. Namun kemungkinan besar perkembangannya berkemungkinan besar baru mencuat pada awal abad 18 Masehi. Kerajaan Kampar Kiri ini berpusat di Gunung Sailan yakni kira-kira 5 Km dari Kampung Kebun Durian, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Wilayah kerajaan ini meliputi dari Muara Linggi (Langgam, kini masuk Kabupaten Pelalawan) di hilir sampai ke Pangkalan Dua dihulu (diperkirakan daerah Pangkalan Indarung di Sumatera Barat). Perkembangan kerajaan ini diperkirakan tergolong lambat sebab dalam beberapa kali keturunan raja-raja yang memerintah tidak terdapat perubahan-perubahan yang berarti. Pada 1905, Tengku Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam yang menduduki tahta kerajaan, mengirim utusan ke Bengkalis untuk menyerahkan dan mengaku tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuan negerinya akan aman dan makmur. Maka 27 Februari 1905 disepakati sebuah perjanjian antara kerajaan Kampar kiri dengan Hindia Belanda dan setelah itu, kerajaan Kampar kiri merupakan wakil pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Kamparkiri langsung diwakili seorang raja dengan gelar Yang Dipertuan Besar van Gunung Sahilan en Datuk van het Landschap. Pada 29 Mei 1907 kembali dibuat perjanjian dengan Hindia Belanda yang ditandatangani Yang Dipertuan Abdurrahman sebagai pengganti Sultan Abdul Jalil. Maka dengan perjanjian tersebut, secara administrasi kekuasaan Kampar kiri diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Belanda menempatkan seorang controleur sebagai kepala dari pangreh praja di sana dan menurut perjanjian itu bekas kerajaan Kampar Kiri termasuk dalam Zelbestuur. Kerajaan ini dibagi atas lima kekhlifahan dan kedudukan khalifah tidak terpusat pada pusat pemerintahan tetapi berk edudukan di daerahnya masing-masing. Lima kekhalifahan itu antara lain; Datuk Khalifah Kamparkiri berkedudukan di Gunungsahilan, Datuk Bendahara Khalifah Kuntu berkedudukan di Kuntu, Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit berkedudukan di Ujung Bukit, Datuk Gedang Khlaifah Batu Sanggam berkedudukan di Batu Sanggam, serta Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai berkedudukan di Ludai. Kerajaan Kamparkiri kemudian disebut dengan Kerajaan Gunung sailan yang semula meliputi 25 negeri, berkembang menjadi 30 negeri. Pada 1930 Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti ditabalkan sebagai raja. Perhelatan besar dilaksanakan dengan memotong beberapa ekor kerbau tiap-tiap orang dari khalifah yang berlima. Pembangunan di masa pendudukan Belanda arah pembangunan negeri hanya untuk kepentingan Belanda seperti pembangunan kantor pos, kantor kontreleur dan sekolah. Sedangkan istana sultan dibangun sekedar mengambil hati sultan agar kerajaan tersebut tetap setia pada Hindia Belanda.Salah seorang keturunan Tengku Sulung yakni Tengku Arifin bin Tengku Sulung menjelaskan, hingga hari ini masih ada tapak-tapak sejarah yang terabaikan seperti kandang kuda, sekolah perpolof school, asrama polisi, pesanggrahan, penjara, kantor markoni/berita dan kantor raja/mera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar