Sabtu, 23 April 2016

HIKAYAT NEGERI KUNTU

HIKAYAT NEGERI KUNTU 1. Kuntu Dalam Catatan sejarah Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama-tama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, Arab dan Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan. Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu. dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Kesultanan Aru Barumun merupakan sebuah kesultanan yang menganut ajaran agama Islam Syiah dan lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang telah menganut Mazhab Syafi’i. Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan Malik As Saleh, Sultan Samudera Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299, Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang kini kita kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada 1301 Kesultanan Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga praktis monopoli lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari, dikuasai oleh Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas Kerajaan Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana yang dibawa oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan menggantikannya dengan agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah bermukim di daerah ini sejak 1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus melarikan diri ke lereng Gunung Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka mendirikan perkampungan dengan nama Singasari dan mengembangkan pusat perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera saja, melainkan juga diangkut ke Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para pedagang dari Gujarat/India. Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55). Penguasaan atas Rantau Kampar Kiri oleh Kesultanan Aru Barumun, pada perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54). Sultanan Kuntu Darussalam dinasti Aru barumun, ini bertahan selama 50 tahun dengan empat orang Raja dengan gelar Perkasa Alam. Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi penguasaan lada di tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke tanah Melayu untuk membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan dominasi penguasaan lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari. Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Sebagai upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga menyerang dan menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan ditaklukkannya Kesultanan Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli perdagangan lada di kedua daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri dan Sungai Batanghari. 2. Kuntu Dalam hikayat Masyarakat Adat Dalam hikayat tutur masyarakat adat dikenegrian Kuntu disebutkan bahwa, sebelum negeri kuntu berdiri masyarakat adatnya tinggal di seberang sungai di suatu tempat yang bernama batang Siontan. Disanalah kampuang tuo dari negeri kuntu sekarang ini, kampuang di sungai siontan ini terkenal dengan hasil emas dan lada hitamnya disana pada masa lampau hidup seorang putri yang bernama Puti Lindung Bulan. Putri Lindung Bulan sangat cantik dan terkenal kemanca Negara, pada waktu itu masyarakatnya belum mengenal agama Islam. Pada suatu hari datanglah Hulubalang Raja Feratu Gading dari laut hendak meminang Putrid Lindung Bulan, akan tetapi lamaran ini ditolak oleh sang putri. Setelah mendengar lamarannya ditolak, maka murkalah sang Faratu Gading. Maka di utuslah hulubalang untuk merebut putrid lindung yakni Gagak jawo. Gagak jawo adalah hulubalang yang sangat sakti dengan para prajutit tangguh datang ke kuntu kampar kiri. Mendengar kedatangan kedatangan Hulubalang Gagak jawo, maka penduduk pun tidak sanggup melawan lalau mereka melarikan diri kehulu sungai sibayang. Dalam pelarian tersebut Putri Lindung Bulan terjatuh di tepi sungai Subayang, dan keluarlah ucapan yang secara tidak terduga yakni kata “ Kuntu Toerobah ”. Kata –kata tersebut belum dimengerti oleh masyarakat akan maknanya. Setelah gagak jawo datang dan tidak menemukan rakyat dan Putri Lindung Bulan, maka gagak jawo.mengejar rombongan Putri Lindung Bulan sampai ke hulu subayang. Sampai ke batu songgan. Dibatu songgan gagak jawo juga gagal untuk merebut Putri Lindung Bulan. Untuk melampiaskan kemarahannya maka gagak jawo memancung batu besar di pinggir sungai sebanyak tiga kali tebasan dan menantang setiap dubalang untuk berperang. Disebabkan kesaktian gagak jawo maka tidak ada satu dubalang pun yang berani untuk menghadapinya. Foto : Batu Concang Gagak Jawo di Batu Songgan Setelah tidak bisa menemukan Putri Lindung Bulan maka gagak jawo dan prajuritnya kembali kehilir, sambil merampok dan membunuh penduduk yang ditemukan maka dia berhenti di negeri pasir Amo untk berpesta kemenagan. Pesta kemenangan ini dilakukan sambil meminum tuak dari batang enau dengan wadah minumnya bumbung dari bamboo atau buluh. Gagak jawuo merampas, merampok dan memperkosah gadis-gadis dalam pesta tersebut dengan disertai minum tuok sampai mabuk berhari-hari. Masyarakat yang marah atas ulah gagak jawo kemudian bermusyawarah untuk membunuhnya. Maka disiapkanlah para dubalang pilihan untuk membuat tuak dari pohon enau sebanyak-banyak, sementara bubung bamboo atau buluh untuk minum tuak itu diruncingkan pada ujung nya. Kemudian gagak jawau yang sedak mabuk tuak ini, diberikan minuman sebnyaknya kemudian mulutnya di tusuk dengan ujung gelas tuak yang runcing itu secara bersama-sama, maka tewaslah gagak jawo. Tempat terbunuhnya gagak jawo ini kemudian disebut dengan nama Pasir Amo , yang berasal dari kata pasamoan atau membunuh dengan cara keroyokan. Sekarang negeri ini diganti nama dengan Desa Gemah, terletak di kecamatan kampar kiri Hulu. Setelah gagak jawo berhasil dibunuh, maka masyarakat kembali kenegeri masing-masing, masyarakat kuntu yang tadinya bermukim di dalam sungai Siontan kemudian pindah ketepi batang sibayang membuat negeri baru negeri tersebut diberi nama Koto Tenggi, yang terletak di daerah Desa Kuntu Darussalam hari ini. Kemudian mengingat ucapan Putri Lindung Bulan yang jatuh dalam pelarian yakni ucapab “Kuntu terobah”. Maka kemudian Koto Tenggi itu berganti nama dengan Negeri Kuntu. ( Sumber : Alm. Jasar Karana Datuk Mudo ) HIKAYAT SYECH BURHANUDDIN a. Menurut catatan Buku Makam Syech Burhanuddin merupakan salah satu Wisata Religi yang terdapat di kabupaten Kampar. Makam Syech Burhanuddin berada di Desa Kuntu Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Makam ini cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan, terutama menjelang bulan ramadhan,mereka datang dengan tujuan memberi doa kepada Syech Burhanuddin. Desa Kuntu secara administratif termasuk dalam kawasan Kecamatan Kampar kiri Kabupaten Kampar, desa ini berjarak lebih kurang 3jam dari pekanbaru, akses untuk mencapai Desa ini begitu gampang karena jalan sudah diaspal, dari Pekanbaru perjalanan kita arahkan menuju Lipat Kain, Tugu Equator (Tugu Khatulistiwa) menjadi ikon Lipat Kain, dan hanya berjarak beberapa kilometer dari Tugu Equator kita akan menjumpai persimpangan tiga, di persimpangan tiga tersebut akan kita jumpai sebuah rambu petunjuk menuju Desa Kuntu dan Desa Gema. Dari persimpangan tersebut menuju Desa Kuntu lebih kurang berjarak 14km. Tidak banyak catatan sejarah mengenai Syech Burhanudin. Syech Burhanuddin kampar ini adalah murid Syech Abdullah Arif, Almarhum Syech Burhanuddin adalah salah seorang penyebar Agama Islam yang juga merupakan tuan guru dari Tarekat Naqsybandiah. Kemudian Syech Burhanuddin menetap dan menyiarkan Islam di Kuntu, Riau, selama 20 tahun hingga meninggal pada tahun 1191 dan dimakamkan di tepian sungai Sebayang, Desa Kuntu. Sebelum menyebarkan agama Islam di Kuntu, Syech Burhanuddin selama 30tahun telah menyiarkan agama Islam selama 30tahun di Sumatra Barat. Banyak hal-hal menarik yang dianggap keramat oleh masyarakat, baik pengikutnya maupun masyarakat luas, yang kemudian menjadikan imam ini menjadi mulia. Salah satunya adalah dua batu nisan yang menandai makamnya. Makam tuan guru Tarekat Naqsabandiah ini ditandai dengan batang kayu sungkai yang kini telah menjadi batu. Beberapa barang peninggalannya dipegang oleh keturunannnya baik buku kotbah, kitab, stempel, pedang maupun baju kebesarannya, menurut warga disekitar makam, sejak ditanam hingga sekarang belum ada yang bisa mencabut kayu ataupun batu nisan tersebut, bahkan seekor gajah yang mencoba mencabut dengan belalai,gajah tersebut langsung mati. b. Menurut Hikayat Rakyat Kampar Kiri. Menurut hikayat adat turun temurun dalam cerita rakyat kampar kiri, bahwa tokoh syekh Burhanuddin adalah seorang Muballigh Islam yang menyebarkan islam terawal di Rantau Kampar Kiri. Menurut hikayatnya beliau ini berasal dari Negeri Arab, hanya saja di dalam cerita rakyat tidak diketahui periode waktu kedatangannya. Menurut cerita para tetuo bahwa beliau datang disaat masyarakat Kampar Kiri, terutama masyarakat negeri Kuntu belum lagi mengenal ajaran islam atau zaman “ Apik tupai Panggang Kaluang”. Zaman apik tupai panggang kaluang ini kemungkinan masa periode zaman masyarakat masih beragama Hindu dan Budha. Pada masa ini negeri Kuntu adalah suatu pelabuhan dagang malayu tua di tanah Riau ini. Disana terdapat pelabuhan dagang bagi daerah penghasil rempah-rempah terutama lada hitam (merica) dan hasil alam lainynya seperti hasil hutan dan juga hasil tambang yakn emas dari daerah sumatera tengah. Tentu saja hasil ala mini sangat dibutuhkan oleh bangsa lain seperti bangsa India, Cina adan Arab. Dimana kurun waktu abad ke 7-11 masehi adalah masa kekuasaan bangsa-bangsa tersebut dalam perdagangan dunia. Pengaruh Islam pada periode abad ke 7-abad 11 masehi itu adalah berasal lansung dari tanah Arab, melalui kekuasaan Daulah Umayyah, Abasiyah, maupun dinasti Fatimiyyah di Mesir. Melihat mazhab yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin di Kuntu Kampar kiri yakni Mazhab Sunni ( Ahlusunnah wal Jamaan) dengan bermazhab Fiqih Islam Mazhab Syafii, dapat di ambil kesimpulan bahwa Syekh Burhanuddin di perkirakan berasal pada masa kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Begitu juga barang-barang peninggalan beliau di Kuntu juga berupa peninggalan mazhab Sunni, Bukan mazhab Syiah. Begitu juga mengenai adanya catatan sejarah bahwa beliau masuk melalui Sumatera Barat, juga tidak masuk akal sebab kurun abad ke 7-11 jalur niaga dari pantai barat bukanlah jalur niaga yang popular. Para pedagang mancanegara lebih umum melalui jalur panti timur melalui selat Malaka. Menurut hikayat rakyat mengatakan bahwa beliau ini bertubuh besar dan tinggih, berhidung besar dan berkuping lebar, cirri-ciri fisik belaiu ini menunjukkan bahwa beliau ini memang berasal dari tanah Arab. Seperti lazimnya pola dakwa islam sunna wal jamaaah dengan mazhab fiqih imam Syafii. Yang berkembang di Irak dan Asia Tenggara dimana sangat toleran dengan tradisi dan budaya local masyarakat Malayu. Maka pola dakwah beliau dalam mengenalkan Islam itu lebih menekankan pada perubahan pola aqidah syirik kepada aqidah tauhid. Maka sasaran dakwah utama adalah penekan pada aqidah tauhid pada masyarakat dengan cara bertahap. Sementara penerapan syariat Islam diharapkan setelah kokohnya aqidah Islamiyah masyarakat. Metode pendidikan aqidah yang ditempu adalah melalui jalur (suluk/Salik) pendidikan Thariqoh Sufiyyah yakni tariqoh Naqsabandiyyah. Dimana tempat pembinaaan aqidah ini di Kampar Kiri dikenal dengan nama “Sughau”. Sughau atau surau ini adalah sebuah madrasah tradisional sekaligus digunakan sebagai tempat peribadatan harian. Menurut hikayat masyarakat Kampar Kiri, jalur lain yang beliau gunakan untuk mengembangkan dakwah di Kampar Kiri adalah melalaui jalur perkawinan dengan penduduk pribumi kampar kiri, dimana beliau menikah dengan puteri setempat dari suku Malayu Singkuang. Dengan jalur persemendaan ini memudahkan beliau melakukan dakwah kepada masyarakat pribumi di Rantau kampar Kiri, sebab seorang simondo di dalam hokum adat Kampar kiri memiliki posisi istimewah sebagai ughang sijogha bagi Tunganai rumah, fungsi orang simondo ini dalam adat sangat penting yakni sebagai Suluo atau ambang, sangat berperan dalam pembinaan anak kemenakan ninik-mamak. Sampai sekarang masih ada keturunan beliau di negeri Kuntu, dimana keturunan beliau ini mendapat kedudukan istimewa dalam bidang agama di negeri tersebut. Menurut cerita rakyat, bahwa pada waktu beliau mengajukan lamaran kepada orang tua sigadis dari suku Melayu Singkuang. Pada awalnya lamaran beliau di tolak oleh si gadis, dimana sigadis merasa takut dengan postur tubuh beliau yang asing dengan kebanyak pemuda pribumi. Dimana badannya besar, kuping besar, mata besar, mulut lebar, hidung pun besar. Mendengar lamaran beliau ditolak oleh si gadis Melayu Singkuang itu, beliau menitip pesan pada ibu sigadis yaitu “ Badan beliau yang besar itu, digunakan untuk berjihad dijalan Allah, kuping beliau yang lebar di pergunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, Mata beliau yang besar dipergunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, sementara mulut beliau yang lebar juga digunakan untuk membaca Ayat-ayat Allah”. Setelah mendengar pesan yang di sampaikan oleh syekh Burhanuddin, yang disampaikan kepada Sigadis melalui Ibunya, maka luluhlah hati si gadis, lalu lamaran beliau duterima oleh Gadis suku Malayu Singkuang Itu, maka menikahlah beliau dengan gadis setempat dan memiliki zuriat ( keturunan yang banyak).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar